basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Efek Psikologi Sosial bagi Yahudi dari Perampasan Tanah Palestina Sejarah manusia tidak pernah lepas dari perpindahan, pengasing...


Efek Psikologi Sosial bagi Yahudi dari Perampasan Tanah Palestina

Sejarah manusia tidak pernah lepas dari perpindahan, pengasingan, dan pencarian rumah. Namun, tidak ada bangsa yang lebih melekat dengan kata diaspora selain bangsa Yahudi. Sejak ribuan tahun, mereka hidup tercerai-berai di berbagai belahan dunia. Ironisnya, ketika pada 1948 berdiri sebuah negara yang mengaku sebagai “rumah nasional Yahudi” bernama Israel, diaspora itu tidak serta-merta berakhir. Hingga hari ini, setengah dari orang Yahudi dunia tetap memilih hidup di luar Israel.

Lalu, apa artinya sebuah “rumah” bagi bangsa yang sudah terlalu lama hidup tanpa rumah? Dan bagaimana kerinduan untuk berkumpul kembali di Palestina justru melahirkan sebuah tragedi besar berupa perampasan tanah Palestina? Pertanyaan ini tidak sekadar bersifat historis, melainkan menyentuh ranah psikologi sosial yang mendalam.


---

Akar Diaspora: Dari Yakub hingga Runtuhnya Baitul Maqdis

Mari kita mulai dari sumber awal. Kata Israel sendiri berasal dari nama Nabi Yakub. Dari anak cucu Yakub inilah lahir sebuah bangsa yang kelak dikenal sebagai Bani Israil. Al-Qur’an menceritakan bagaimana mereka hidup berpindah-pindah: dari Mesir di bawah kekuasaan Fir’aun, ke padang pasir bersama Musa, hingga mengalami penaklukan oleh Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi.

Peristiwa paling menentukan dalam membentuk identitas diaspora adalah kehancuran Baitul Maqdis oleh Romawi pada tahun 70 M. Ribuan orang Yahudi dibantai, sisanya tercerai-berai ke berbagai wilayah. Sejak saat itu, keterpisahan bukan lagi sekadar kondisi sosial, melainkan bagian dari kesadaran kolektif mereka.

Al-Qur’an menegaskan hal ini:

> “Dan Kami pecah-pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antara mereka ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian.”
(QS. Al-A’raf: 168)



Ayat ini tidak hanya berbicara tentang peristiwa, tetapi juga psikologi. Bangsa Yahudi hidup dengan perasaan bahwa tercerai-berai adalah bagian dari takdir mereka.


---

Israel Berdiri, Diaspora Bertahan

Banyak orang menduga, berdirinya Israel pada 1948 akan menjadi titik akhir diaspora. Ternyata tidak. Hingga kini, hampir setengah populasi Yahudi dunia tetap memilih tinggal di Amerika, Eropa, dan Rusia. Bahkan, komunitas Yahudi terbesar justru ada di New York, bukan di Tel Aviv.

Mengapa demikian?

1. Faktor Ekonomi dan Sosial
Yahudi diaspora sudah lama membangun kemapanan di negara-negara Barat. Mereka menguasai bisnis, lembaga pendidikan, hingga politik. Pindah ke Israel sama artinya dengan meninggalkan kenyamanan yang diperoleh dengan susah payah.


2. Faktor Psikologis
Hidup sebagai minoritas justru membentuk daya tahan mereka. Identitas “umat yang bertahan dalam diaspora” menjadi kebanggaan tersendiri. Mereka merasa lebih bebas menjadi warga dunia, daripada terkekang dalam konflik permanen di Timur Tengah.


3. Faktor Politik
Tidak sedikit Yahudi diaspora yang tidak setuju dengan kebijakan Israel, khususnya dalam menindas Palestina. Mereka memandang Israel bukan rumah spiritual, melainkan proyek politik.



Dengan kata lain, berdirinya Israel tidak pernah benar-benar menjadi akhir diaspora. Sebab diaspora telah menjelma menjadi identitas itu sendiri.


---

Genosida Gaza dan Suara yang Terbelah

Perang Gaza hari ini membuka luka yang lebih dalam antara Yahudi diaspora dan Israel. Ribuan Yahudi di Amerika turun ke jalan dengan spanduk bertuliskan “Not in Our Name.” Mereka menolak genosida yang dilakukan Israel, menolak perampasan tanah, menolak pembantaian warga sipil.

Namun, di sisi lain, banyak pula yang tetap membela Israel. Mereka berlindung pada trauma Holocaust: “Kami pernah hampir dimusnahkan, maka apa pun yang kami lakukan demi bertahan adalah sah.”

Perpecahan ini menunjukkan sesuatu yang penting: menjadi Yahudi tidak selalu berarti menjadi Zionis. Diaspora justru memperlihatkan spektrum yang luas—ada yang humanis, ada yang nasionalis, ada pula yang apatis.


---

Yahudi Diaspora vs Yahudi Israel: Dua Karakter Sosial

Secara psikologi sosial, perbedaan ini terlihat jelas:

Yahudi Diaspora:
Terbiasa hidup sebagai minoritas, mereka adaptif, terbuka, dan diplomatis. Identitas mereka lebih cair, lebih universal. Mereka tahu cara hidup berdampingan dengan masyarakat lain.

Yahudi Israel:
Hidup dalam kerangka negara, mereka dibentuk oleh trauma perang yang berulang. Karakter mereka lebih militeristik, eksklusif, dan defensif. Mereka hidup dengan semangat “kami melawan dunia.”


Amos Oz, seorang sastrawan Israel, pernah menulis paradoks bangsanya: “Kami ingin menjadi bangsa normal dengan negara normal, tetapi selalu merasa dikepung dan terancam.”


---

Efek Psikologi Sosial dari Perampasan Palestina

Di sinilah letak paradoks terbesar: keinginan untuk berkumpul di Palestina justru melahirkan tindakan yang merampas tanah bangsa lain. Apa dampak psikologis dari tindakan ini terhadap Yahudi sendiri?

1. Rasa Bersalah Kolektif
Banyak Yahudi muda, terutama di diaspora, merasa terasing dari identitas Israel. Mereka menyadari bahwa tanah yang dijanjikan itu tidak pernah kosong. Rumah yang mereka sebut Eretz Israel dihuni oleh orang-orang Palestina yang kini terusir.


2. Konflik Identitas
Di satu sisi mereka ingin mengingat sejarah penderitaan, di sisi lain mereka justru menjadi pelaku penderitaan baru. Pertentangan batin ini membuat sebagian Yahudi menjauh dari Zionisme, dan sebagian lagi justru semakin keras membelanya.


3. Ketakutan yang Tak Pernah Selesai
Dengan merampas tanah, mereka hidup dalam lingkaran kekerasan. Israel menjadi negara dengan rasa aman paling rapuh di dunia: benteng tinggi, senjata nuklir, tapi juga dihantui roket dari Gaza dan perlawanan yang tak padam.




---

Apakah Diaspora Akan Berakhir?

Pertanyaan besar muncul: mungkinkah semua Yahudi suatu saat berkumpul di Israel?

Secara ideologis, Zionisme bermimpi demikian. Namun, secara psikologis, hal ini hampir mustahil. Diaspora sudah menjadi bagian dari DNA Yahudi.

Al-Qur’an bahkan menyebutkan:

> “Dan Kami telah menetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”
(QS. Al-Isra: 4)



Ayat ini dipahami banyak mufassir sebagai sunnatullah: keterpecahan, kesombongan, dan ketercerai-beraian akan terus menjadi bagian dari sejarah mereka.


---

Pandangan Ulama dan Sejarawan

Ibnu Katsir: Yahudi akan terus bertebaran di bumi sebagai bentuk hukuman atas pembangkangan mereka terhadap para nabi.

Buya Hamka: Sejarah Yahudi adalah cermin agar umat Islam tidak terjebak pada kesalahan yang sama—merasa paling benar lalu menolak kebenaran dari luar diri mereka.

Quraish Shihab: Al-Qur’an memang mencatat keburukan Bani Israil, tetapi juga memuji sebagian kecil yang beriman. Maka umat Islam harus bersikap adil: mengkritik kezaliman Israel, tapi tetap menghargai Yahudi yang cinta damai.

Shlomo Sand (sejarawan Israel modern): “Bangsa Yahudi” sebagai identitas tunggal adalah konstruksi modern. Dalam sejarah, mereka selalu beragam, tidak pernah benar-benar bersatu.



---

Refleksi: Diaspora sebagai Cermin Manusia

Ketika kita menatap sejarah Yahudi, kita sedang menatap cermin umat manusia. Bukankah kita semua selalu mencari rumah? Namun rumah itu tidak selalu berupa tanah atau negara. Kadang ia hanyalah komunitas, kenangan, atau tempat ibadah.

Kegagalan Israel menjadi rumah bagi semua Yahudi menunjukkan satu hal: negara bisa memberi paspor, tapi tidak bisa memberi makna.

Dan Gaza hari ini menjadi ujian terbesar. Apakah Yahudi akan mengulangi sejarah pengusiran, hanya saja kali ini bukan sebagai korban, melainkan sebagai pelaku?


---

Penutup: “Not in Our Name”

Diaspora Yahudi tampaknya tidak akan pernah berakhir. Ia bukan sekadar kondisi geografis, melainkan eksistensial. Bahkan bisa jadi, Allah menjadikannya sebagai pelajaran bagi umat manusia.

Tugas umat Islam bukanlah membenci buta, melainkan memahami dengan jernih. Bedakan antara Yahudi sebagai manusia dengan Israel sebagai rezim politik. Jangan sampai kita jatuh pada kesalahan yang sama: menolak kebenaran hanya karena datang dari “yang lain.”

Mungkin, justru dari luar Israel—dari New York atau London—akan lahir suara-suara Yahudi paling lantang yang menolak genosida Gaza. Mereka membawa pesan sederhana namun mendalam:

“Not in Our Name.”

Dari Harapan ke Kekecewaan: Refleksi Sejarah dari Seorang Yahudi Inggris yang Ditolak Israel Gerbang yang Tertutup Di perbatasan...


Dari Harapan ke Kekecewaan: Refleksi Sejarah dari Seorang Yahudi Inggris yang Ditolak Israel


Gerbang yang Tertutup

Di perbatasan Sheikh Hussein, antara Yordania dan Israel, seorang pria berusia 67 tahun duduk menatap aliran sungai yang kini hanya tinggal riak kecil. Di tangannya, hanya ada sekantong kacang yang ia kunyah pelan, sembari menunggu petugas perbatasan memutuskan nasibnya. Namanya Peter Prinsley: seorang dokter, seorang Yahudi, sekaligus anggota parlemen Inggris. Ia datang dengan misi sederhana—menyaksikan langsung kondisi layanan kesehatan bagi warga Palestina di Tepi Barat. Namun, ia tidak pernah berhasil melangkah masuk.

Israel menolaknya dengan alasan “keamanan publik”. Bagi Prinsley, alasan itu absurd, bahkan ironis. Bagaimana mungkin seorang dokter senior, seorang Yahudi diaspora, dianggap ancaman? Dari titik itulah muncul renungan: apa yang terjadi dengan Israel?


Israel yang Pernah Menjadi Harapan

Untuk generasi Yahudi pasca-Holocaust, Israel pernah berdiri sebagai simbol harapan. Tahun 1948, ketika bendera biru putih dengan bintang Daud dikibarkan, banyak yang percaya itu adalah janji pemulihan—sebuah rumah bagi kaum yang selama ribuan tahun tercerai-berai. Prinsley, seperti banyak Yahudi diaspora lainnya, tumbuh dengan gambaran ideal itu. Ia pernah datang ke Israel sebagai mahasiswa, merasakan liburan penuh sukacita bersama keluarga, bahkan membawa pulang cerita tentang sebuah negeri yang katanya demokratis, terbuka, dan plural.

Namun kini, tujuh dekade lebih berselang, ia menemukan wajah lain Israel: negara yang menutup pintu bagi parlemen sahabat, menolak kemanusiaan dengan alasan “keamanan”, dan memenjarakan dirinya dalam paranoia.


Dari Demokrasi ke Paranoia

Dalam sejarah, banyak rezim yang tumbuh dari idealisme, lalu berubah menjadi kekuasaan yang curiga pada dunia luar. Israel bukan pengecualian. Semakin kuat ia menegaskan klaim sebagai “demokrasi tunggal di Timur Tengah”, semakin rapuh pula wajah demokrasi itu terlihat.

Dulu, Israel menyatakan diri terbuka bagi semua Yahudi di dunia. Kini, bahkan seorang Yahudi yang duduk di parlemen Inggris—yang hanya ingin meninjau rumah sakit—ditolak. Prinsley bukan satu-satunya. Beberapa anggota parlemen Inggris sebelumnya juga mengalami nasib serupa. Seolah Israel ingin berkata: “Kami tidak butuh saksi, bahkan dari kalanganmu sendiri.”

Tindakan seperti ini lebih mirip rezim yang ketakutan, bukan negara yang percaya diri.


Yahudi Diaspora vs. Zionisme Politik

Kisah Prinsley juga membuka bab yang lebih dalam: ketegangan antara identitas Yahudi diaspora dengan politik Zionisme. Bagi banyak Yahudi di Eropa dan Amerika, menjadi Yahudi tidak identik dengan mendukung kebijakan Israel. Mereka hidup dalam tradisi sinagoge lokal, berkontribusi pada masyarakat tempat tinggalnya, dan tetap kritis terhadap segala bentuk penindasan—termasuk yang dilakukan oleh negara yang mengklaim “berdiri atas nama Yahudi”.

Prinsley adalah cerminan itu. Ia seorang Yahudi yang taat, anggota Dewan Perwakilan Yahudi Inggris, tetapi tidak menutup mata terhadap penderitaan Palestina. Di sinilah letak paradoks besar: Israel mengaku mewakili seluruh Yahudi dunia, namun justru menolak sebagian dari mereka yang berani bersuara jujur.


Tirai yang Menutupi Gaza dan Tepi Barat

Selama berbulan-bulan, dunia menyaksikan tragedi di Gaza melalui layar kaca. Gambar rumah sakit yang hancur, tenaga medis yang gugur, anak-anak yang terluka. Namun Israel tidak hanya memutus listrik dan air di Gaza, ia juga berusaha memutus arus informasi. Jurnalis dihalangi, diplomat dihalangi, aktivis HAM dihalangi. Kini, bahkan anggota parlemen asing yang datang dengan mandat kemanusiaan pun ditolak.

Penolakan ini bukan sekadar masalah protokol perbatasan. Ia adalah pesan: Israel ingin mengontrol narasi. Tak ada saksi luar yang boleh melihat terlalu dekat, tak ada suara independen yang boleh membawa pulang kisah dari lapangan.

Namun, justru di sinilah kontradiksi mencolok: negara yang mengaku demokratis, tapi menutup diri rapat-rapat dari transparansi.


Jejak Sejarah yang Berulang

Dalam sejarah panjang bangsa-bangsa, ada pola yang sering terulang: ketika sebuah kekuasaan menolak dialog, menolak kritik, dan menolak saksi, biasanya ia sedang menuju fase kejatuhan. Kaisar Romawi menolak kritik para senator, Firaun menolak Musa, kaum Quraisy menolak mendengar kebenaran yang dibawa Muhammad ï·º. Kini, Israel menutup pintunya bahkan dari Yahudi diaspora yang peduli pada kemanusiaan.

Apakah ini tanda bahwa negara itu sedang berada di jalan yang sama: jalan kesombongan yang berujung pada keterasingan?


Luka Seorang Yahudi yang Dikhianati

Bagi Prinsley, pengalaman ini lebih dari sekadar ditolak di perbatasan. Ia merasa dikhianati oleh sebuah negara yang dulu dianggap bagian dari identitas kolektifnya sebagai Yahudi. Ia berkata: “Israel pernah menjadi harapan bagi satu generasi Yahudi. Kini persahabatan yang dulu abadi telah dirusak.”

Kata-kata ini mengguncang. Ketika seorang Yahudi sendiri merasa Israel tak lagi mencerminkan nilai-nilai yang ia junjung, maka krisis yang dihadapi Israel bukan sekadar politik, tetapi moral.


Refleksi bagi Dunia

Kisah ini menegaskan bahwa kritik terhadap Israel bukanlah antisemitisme. Ketika seorang Yahudi Inggris ditolak Israel, ia membuktikan bahwa masalahnya bukan agama, melainkan rezim. Ini membuka ruang bagi solidaritas baru: solidaritas yang melampaui agama dan identitas, solidaritas yang berbicara dengan bahasa universal—kemanusiaan.

Israel bisa menutup gerbangnya, tapi ia tak bisa menutup hati nurani dunia. Justru semakin ia menolak saksi, semakin dunia curiga. Semakin ia memenjarakan kebenaran, semakin kebenaran mencari jalan lain untuk keluar.


Dari Sungai Yordan ke Amman: Sebuah Pertanyaan Terbuka

Ketika akhirnya Prinsley kembali ke Amman, ia membawa lebih dari sekadar koper. Ia membawa luka, kekecewaan, sekaligus pertanyaan besar: apa yang terjadi dengan Israel?

Pertanyaan itu bukan hanya milik dia. Itu adalah pertanyaan yang kini bergema di banyak ruang: dari sinagoge Yahudi di Eropa, dari masjid-masjid di Timur Tengah, dari gereja-gereja di Amerika, dari ruang-ruang kuliah di universitas-universitas dunia.

Israel pernah lahir dengan klaim sebagai jawaban atas penderitaan. Kini, ia berubah menjadi sumber penderitaan baru. Dan sejarah selalu mencatat: negara yang kehilangan nurani, cepat atau lambat akan kehilangan legitimasi.

Penutup: Bayang-Bayang Masa Depan

Prinsley hanyalah satu orang di perbatasan. Namun kisahnya adalah cermin dari krisis besar yang menimpa sebuah negara. Krisis identitas, krisis legitimasi, krisis moral.

Dari kacang kecil yang ia kunyah di tepi Sungai Yordan, lahirlah sebuah renungan yang seharusnya menggugah dunia: apakah Israel masih bisa kembali ke jalan keterbukaan, ataukah ia akan terus terperosok dalam isolasi yang diciptakannya sendiri?

Sejarah selalu memberi pilihan. Tapi sejarah juga tegas dalam memberi hukuman: siapa pun yang menutup pintu bagi kebenaran, pada akhirnya akan ditinggalkan oleh zaman.


Sumber:
https://www.theguardian.com/commentisfree/2025/sep/20/jewish-british-mp-israel

The Godfather: Andai Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu Gaza, Tanah yang Menolak Takluk Gaza adalah sebuah nama yang selalu kemb...


The Godfather: Andai Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu


Gaza, Tanah yang Menolak Takluk

Gaza adalah sebuah nama yang selalu kembali dalam sejarah. Di era Perang Salib, ia menjadi benteng pertahanan umat Islam, sebuah gerbang yang harus direbut jika ingin menguasai Yerusalem. Di era Nakba 1948, ia menjadi tempat penampungan pengungsi terbesar di dunia, menanggung luka kolektif bangsa Palestina. Dan kini, di era modern, Gaza menjadi mimpi buruk Israel yang tak kunjung usai.

Di balik semua itu, ada ironi sejarah yang menyentuh para pemimpin Israel sendiri. Ariel Sharon, yang dijuluki Sang Penjagal karena tangannya berlumuran darah Sabra-Shatila, justru memilih untuk meninggalkan Gaza pada 2005. Sedangkan Benjamin Netanyahu, pewaris politik yang dulu menentangnya, kini harus menanggung konsekuensi: Gaza yang ditinggalkan Sharon menjadi bara api yang terus membakar Israel.

Seperti sebuah film epik, ada adegan mentor dan murid. Ada saat di mana sang guru mengambil keputusan pahit, dan muridnya, karena keras kepala, justru masuk ke dalam perangkap yang sama.


---

Gaza di Era Perang Salib: Benteng yang Tak Bisa Ditaklukkan

Ketika Perang Salib pertama meletus (1096–1099), pasukan Kristen Eropa merebut Yerusalem. Kerajaan Latin Yerusalem lahir, dan Gaza menjadi salah satu kota kunci. Letaknya di pesisir selatan Palestina menjadikannya jalur strategis menuju Mesir dan pintu masuk suplai militer.

1099–1149: Gaza dikuasai pasukan Salib, dijadikan pos militer.

1150: Baldwin III, Raja Yerusalem, membangun kastil besar di Gaza sebagai pertahanan pesisir.

1187: Shalahuddin al-Ayyubi mengalahkan pasukan Salib di Hattin, lalu merebut kembali Gaza, menutup jalur musuh ke Mesir.


Sejarawan Muslim Ibn al-Atsir menyebut Gaza sebagai “gerbang selatan Palestina yang selalu diperebutkan.”
Steven Runciman, sejarawan Barat, menyebutnya “benteng kunci di jalur pesisir yang menentukan siapa penguasa Tanah Suci.”

Dengan kata lain, Gaza sejak dulu bukan kota kecil. Ia adalah benteng terakhir. Dan siapa pun yang mencoba mendudukinya, cepat atau lambat, akan menghadapi gelombang perlawanan.


---

Gaza di Era Nakba 1948: Dari Benteng Menjadi Kamp Pengungsi

Delapan abad kemudian, Gaza kembali menjadi panggung sejarah. Ketika Israel berdiri (14 Mei 1948), Gaza menjadi front utama pertempuran. Tentara Mesir masuk untuk melawan pasukan Zionis, dan setelah gencatan senjata 1949, Gaza jatuh ke dalam administrasi Mesir.

Namun Gaza tidak menjadi wilayah nyaman. Ia menampung lebih dari 200 ribu pengungsi Palestina, korban pengusiran besar-besaran Zionis. Wilayah sempit ini berubah menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.

1948–1967: Gaza di bawah Mesir, tapi warga tidak diberi kewarganegaraan. Hidup mereka penuh keterbatasan.

1967: Israel merebut Gaza dalam Perang Enam Hari. Sejak itu dimulailah babak baru pendudukan militer yang kejam.


Walid Khalidi, sejarawan Palestina, menyebut Gaza pasca-Nakba sebagai “kamp pengungsi terbesar di dunia yang hidup dalam penderitaan kolektif.”
Rashid Khalidi menegaskan Gaza adalah “produk paling tragis dari Nakba,” karena menanggung populasi berlipat tanpa sumber daya.

Seperti di era Perang Salib, Gaza kembali menolak takluk. Bedanya, kini perlawanan lahir dari anak-anak pengungsi, dari tenda-tenda kumuh yang berubah menjadi benteng perlawanan.


---

Ariel Sharon dan Gaza (2005): Sang Penjagal yang Mundur

Ariel Sharon adalah nama yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam Palestina. Ia arsitek permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, tangan berdarah di Sabra–Shatila, dan dikenal sebagai Buldoser Israel.

Namun pada 2005, Sharon membuat langkah mengejutkan: penarikan sepihak dari Gaza (Gaza Disengagement Plan).

8.000 pemukim Yahudi dipindahkan dari Gaza.

Semua pangkalan militer Israel ditarik keluar.

Sharon menyebut Gaza sebagai “beban” yang terlalu mahal untuk dijaga.


Langkah ini bukan karena simpati pada Palestina. Sharon ingin mengkonsolidasikan kekuatan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem. Dengan kata lain, ia memotong jari untuk menyelamatkan tangan.

Sejarawan militer Israel, Martin van Creveld, menilai keputusan Sharon realistis: Gaza tidak bisa dikuasai selamanya, terlalu padat, terlalu miskin, terlalu penuh perlawanan.


---

Netanyahu: Murid yang Menolak Jalan Sharon

Ironisnya, murid politik Sharon, Benjamin Netanyahu, justru menentang keras langkah itu. Netanyahu bahkan keluar dari kabinet Sharon pada 2005. Baginya, meninggalkan Gaza sama dengan memberi Hamas panggung untuk membangun kekuatan.

Dan memang, dua dekade kemudian, ramalan Netanyahu benar sebagian: Hamas tumbuh lebih kuat. Tapi di sisi lain, justru Netanyahu yang kini terjebak dalam rawa Gaza.

Hamas menguasai Gaza sejak 2007.

Gaza menjadi basis perlawanan yang menekan Israel secara terus-menerus.

Dunia internasional melihat blokade Israel sebagai kezaliman, bukan solusi keamanan.


Seperti dalam drama klasik, murid yang dulu menolak jalan gurunya akhirnya dipaksa menghadapi medan yang gurunya tinggalkan.


---

Jika Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu

Andai Sharon masih hidup hari ini, ia mungkin akan berkata pada Netanyahu:

> “Aku sudah tahu Gaza tak bisa ditaklukkan. Aku tinggalkan karena ingin menyelamatkan Israel. Tapi engkau terlalu keras kepala, dan kini engkau justru terjebak di dalamnya.”



Sharon adalah penjagal, tapi ia punya insting militer: Gaza tak bisa dikendalikan. Netanyahu adalah politisi ulung, tapi terjebak dalam ideologi: ia ingin menghancurkan Gaza, namun justru setiap serangan melahirkan generasi baru pejuang.

Pakar geopolitik Rashid Khalidi menulis: “Gaza adalah bukti kegagalan Zionisme untuk menundukkan bangsa yang diusir. Setiap generasi Gaza hanya melahirkan perlawanan baru.”

Sementara Avi Shlaim, sejarawan Israel, menilai: “Sharon tahu batas Israel. Netanyahu melampaui batas itu, dan justru mengantarkan Israel ke arah kehancuran dari dalam.”


---

Analogi Film: Sang Guru dan Murid yang Membangkang

Jika kisah ini difilmkan, ia akan mirip dengan drama epik seperti Star Wars atau The Godfather.

Sharon adalah seperti Darth Vader yang akhirnya mengambil keputusan pahit demi keberlangsungan kerajaan.

Netanyahu adalah Kylo Ren, pewaris keras kepala yang terobsesi dengan masa lalu, tapi akhirnya hancur oleh obsesinya sendiri.


Atau, jika kita gunakan analogi The Godfather:

Sharon adalah Don Vito Corleone, yang tahu kapan harus mundur demi menyelamatkan keluarga.

Netanyahu adalah Sonny, anak keras kepala yang akhirnya jatuh dalam perangkap karena amarahnya.



---

Benang Merah Gaza: Dari Perang Salib, Nakba, hingga Sharon dan Netanyahu

Jika kita tarik garis panjang, kita menemukan satu benang merah:

Di era Perang Salib, Gaza menjadi benteng pertahanan Shalahuddin.

Di era Nakba, Gaza menjadi benteng pengungsian yang penuh perlawanan.

Di era Sharon, Gaza menjadi “beban” yang ditinggalkan demi fokus ke Yerusalem.

Di era Netanyahu, Gaza menjadi kuburan politik Israel, tempat di mana Zionisme kehilangan legitimasi moral.


Sejarah berulang, dengan wajah yang berbeda. Gaza tetap menolak tunduk.


---

Epilog: Gaza, Cermin yang Menghantui Israel

Pada akhirnya, Gaza adalah cermin yang selalu memantulkan wajah penjajah. Di masa Salibis, ia memantulkan wajah Eropa abad pertengahan. Di masa Nakba, ia memantulkan wajah kolonialisme modern. Di masa Sharon, ia memantulkan wajah militer Israel yang pragmatis. Dan di masa Netanyahu, ia memantulkan wajah Zionisme yang keras kepala, buta sejarah, dan penuh amarah.

Sharon meninggalkan Gaza untuk menyelamatkan Israel. Netanyahu terjebak di Gaza, dan mungkin akan membawa Israel menuju kehancuran.

Seakan sejarah berbisik:

> “Sang Penjagal pergi dari Gaza untuk menyelamatkan negaranya. Tapi pewarisnya ingin membunuh Gaza, dan akhirnya justru membunuh negerinya sendiri.”

Warga Amerika yang “Terjebak” Menjadi Tentara Israel Di sebuah pantai yang jauh dari rumah asal mereka, anak-anak muda Amerika b...

Warga Amerika yang “Terjebak” Menjadi Tentara Israel

Di sebuah pantai yang jauh dari rumah asal mereka, anak-anak muda Amerika berdiri di bawah bendera yang bukan milik tanah airnya. Mereka disebut lone soldiers — tentara tunggal, tanpa keluarga dekat, tanpa akar yang dalam di negeri yang kini mereka bela.

Seolah-olah mereka sedang mencari rumah baru, namun justru mendapati diri mereka berada di medan perang yang paling getir di dunia: Gaza.

Fenomena ini mengundang tanya. Bagaimana mungkin seorang warga Amerika, yang lahir dan tumbuh di negeri yang menjanjikan keamanan dan stabilitas, rela meninggalkan kenyamanan itu untuk terjun dalam konflik yang dituding dunia sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terburuk abad ini?


---

Jejak Sejarah: Dari Gachal, Machal, hingga “Lone Soldiers”

Sejarah memberi petunjuk. Fenomena ini bukan hal baru. Pada 1948, saat Israel berdiri, ribuan sukarelawan dari diaspora datang membentuk pasukan Gachal (Giyus Chutz LaAretz — rekrutan dari luar negeri) dan Machal (Mitnadvei Chutz LaAretz — sukarelawan luar negeri). Mereka adalah orang-orang Yahudi dan simpatisan yang percaya bahwa berdirinya Israel adalah janji sejarah, bahkan “takdir ilahi”.

Dari sana lahir pola: diaspora dipanggil untuk kembali, bukan sekadar dalam doa, tapi juga dalam darah dan senjata.

Di era modern, panggilan ini hadir lewat program resmi maupun semi-resmi. Ada Nefesh B’Nefesh yang memfasilitasi aliyah (imigrasi Yahudi ke Israel), ada organisasi Garin, hingga Friends of the IDF yang menggalang dana miliaran dolar. Para relawan ditawari bantuan administratif, asrama, tunjangan, bahkan “keluarga kedua” yang katanya akan merangkul mereka.

Namun di balik kisah manis itu, muncul cerita getir: trauma psikis, luka fisik, hingga kasus bunuh diri karena rasa terasing. Seorang pakar psikologi militer Israel, Dr. Orna David, pernah menulis bahwa “lone soldiers sering datang dengan idealisme, tetapi pulang dengan kesunyian dan luka yang tak kasat mata.”


---

Antara Idealisme dan Realitas

Mengapa mereka datang?

Ada yang menjawab dengan tegas: ideologi. Mereka merasa bagian dari “bangsa yang terancam” dan ingin menjaga identitasnya. Seorang mantan lone soldier asal New Jersey pernah berkata dalam wawancara: “Saya datang untuk melindungi rumah leluhur saya. Amerika adalah tempat saya lahir, tapi Israel adalah jiwa saya.”

Tapi tak semua sesederhana itu. Ada yang datang karena mencari arti hidup, karena merasa asing di tanah kelahiran mereka sendiri. Ada pula yang tergiur jalan cepat menuju kewarganegaraan Israel, akses ekonomi, atau sekadar ingin disebut pahlawan.

Namun perang bukanlah panggung heroisme klasik. Ia adalah ruang hancur di mana tubuh dan jiwa manusia dilumat tanpa kompromi. Profesor Neve Gordon, pakar hukum internasional dari Queen Mary University London, menulis: “Keterlibatan relawan asing dalam operasi militer Israel bukan hanya soal identitas, tetapi juga soal keterjeratan pada mesin perang yang dituduh melakukan kejahatan internasional.”


---

Jaringan Perekrutan: Antara Solidaritas dan Ilusi

Perekrutan ini tidak terjadi begitu saja. Ada jejaring diaspora yang aktif membangun narasi. Poster-poster, film pendek, testimoni heroik dipublikasikan lewat organisasi kampus dan sinagoga di Amerika.

Friends of the IDF, misalnya, mengklaim telah mendukung lebih dari 7.000 lone soldiers dengan dana, akomodasi, bahkan terapi psikologis. Di permukaan, ini tampak mulia: sebuah solidaritas transnasional.

Namun realitas di lapangan sering berbeda. Laporan investigasi dari Haaretz mencatat bahwa banyak lone soldiers yang merasa ditelantarkan, mengalami kesulitan bahasa, kekurangan dukungan medis, bahkan diabaikan setelah mengalami cedera.

Seorang veteran asal California yang bertugas di Gaza berkata getir: “Mereka menyebut kami keluarga. Tapi setelah saya terluka, keluarga itu menghilang. Yang tersisa hanya rasa sakit.”


---

Dimensi Psikologis: Dari Heroisme ke Trauma

Dalam psikologi militer, ada istilah moral injury — luka moral. Bukan sekadar trauma karena melihat kematian, tetapi luka batin karena merasa ikut melakukan tindakan yang bertentangan dengan nurani.

Banyak lone soldiers menghadapi dilema ini. Mereka datang dengan idealisme “melindungi”, tetapi menemukan diri dalam operasi yang membom rumah, sekolah, bahkan rumah sakit. Amnesty International menegaskan, banyak operasi di Gaza berpotensi melanggar hukum humaniter internasional.

Seorang mantan prajurit Amerika-Israel pernah menuturkan kepada The Intercept: “Saya datang untuk membela, tapi saya pulang dengan pertanyaan: siapa sebenarnya yang saya lindungi, dan siapa yang saya lukai?”

Pertanyaan ini mengubah heroisme menjadi beban psikologis yang kadang tak tertanggungkan.


---

Dimensi Geopolitik: Pertanyaan tentang Akuntabilitas

Di titik ini, masalah tak lagi personal, melainkan geopolitik. Bagaimana posisi hukum seorang warga Amerika yang terlibat langsung dalam operasi militer Israel di Gaza — sebuah konflik yang sedang diselidiki Mahkamah Pidana Internasional (ICC)?

Profesor Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB untuk Palestina, menegaskan: “Keterlibatan warga asing dalam operasi militer Israel membuka celah pertanggungjawaban hukum internasional. Negara asal punya kewajiban moral, bahkan hukum, untuk tidak membiarkan warganya ikut serta dalam tindakan yang berpotensi kejahatan perang.”

Namun di sisi lain, banyak pemerintah menutup mata. Amerika Serikat, misalnya, jarang menindak warganya yang bertugas di IDF. Padahal, jika seorang warga negara Amerika bergabung dengan kelompok milisi di Timur Tengah lain, ia bisa dianggap teroris.

Di sinilah letak paradoksnya: korban bisa disebut tersangka, dan prajurit asing bisa disebut pahlawan.


---

“Prajurit Tunggal” sebagai Simptom: Kolonisasi Identitas

Jika ditarik ke akar, lone soldiers adalah simptom dari sesuatu yang lebih besar: kolonisasi identitas.

Mereka adalah generasi diaspora yang identitasnya dikonstruksi untuk merasa bahwa rumah sejati mereka bukanlah New York, Los Angeles, atau Miami — melainkan sebuah tanah yang sedang berdarah di Timur Tengah.

Di satu sisi, ini memberi makna dan arah bagi hidup mereka. Tetapi di sisi lain, mereka sedang dijadikan instrumen sebuah proyek politik kolonial modern.

Sosiolog Ilan Pappé menulis: “Lone soldiers bukanlah sekadar relawan. Mereka adalah bagian dari strategi yang lebih luas: menjadikan diaspora sebagai cadangan militer dan moral bagi proyek Zionis.”


---

Renungan Akhir: Antara Solidaritas dan Luka

Maka muncul pertanyaan yang harus direnungkan:

Apakah keberanian tanpa kebijaksanaan hanya akan memperpanjang luka?
Apakah solidaritas diasporik harus selalu berarti senjata, bukan roti dan obat?
Apakah sebuah generasi muda harus mencari arti hidupnya dengan menukar nyawa orang lain?

Fenomena lone soldiers memperlihatkan betapa perang ini bukan lagi konflik lokal. Ia telah menjadi panggung global, yang memanggil anak-anak muda dari seberang lautan untuk menanggung beban sejarah yang bukan milik mereka.

Namun, pada akhirnya, perang tidak menanyakan paspor. Ia hanya meninggalkan tubuh-tubuh hancur, jiwa-jiwa terluka, dan keluarga yang menunggu dalam hening.

Seorang veteran lone soldier pernah berkata lirih: “Saya pergi ke Gaza untuk menemukan diri saya. Yang saya temukan hanyalah keheningan malam, dan wajah anak-anak yang terus menghantui tidur saya.”

Dan di situlah tragedi sejati: ketika solidaritas berubah menjadi luka, ketika korban dijadikan tersangka, ketika mereka yang mencari rumah justru kehilangan arah pulangnya.


---

Kata akhir:
Fenomena warga Amerika yang menjadi tentara Israel adalah cermin yang mengganggu. Ia mengungkap wajah diaspora yang terjebak antara identitas dan kolonisasi, antara idealisme dan kekerasan, antara solidaritas dan luka. Pertanyaannya kini: beranikah dunia — dan terutama masyarakat Amerika sendiri — melihat cermin itu tanpa ilusi?

Dari Reagan ke Trump: Janji Kosong Amerika dan Dilema Palestina Janji yang Tak Pernah Terealisasi Sejarah Palestina adalah sejar...



Dari Reagan ke Trump: Janji Kosong Amerika dan Dilema Palestina


Janji yang Tak Pernah Terealisasi

Sejarah Palestina adalah sejarah luka yang ditulis ulang dengan pena asing. Setiap kali ada perjanjian, rakyat Palestina dipaksa berharap, tetapi setiap kali pula mereka dikecewakan. Dari janji Ronald Reagan pada 1982, euforia Perjanjian Oslo 1993, hingga rencana Donald Trump tahun 2020 yang disebut “Deal of the Century”, pola yang sama berulang: korban dijadikan tersangka, penjajah dilegitimasi, dan kebenaran dikubur di meja perundingan.

Al-Qur’an sudah mengingatkan:

> “Apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)



Namun, bagaimana bila perdamaian hanya menjadi jebakan? Bagaimana jika yang disebut “perdamaian” hanyalah selubung untuk memperkuat penjajahan?


---

Janji Reagan: “Palestinian Homeland”

Pada tahun 1982, usai perang Lebanon yang menghancurkan PLO, Presiden AS Ronald Reagan mengumumkan sebuah inisiatif damai. Ia berbicara tentang “Palestinian homeland”, rumah bagi bangsa Palestina, meski tidak pernah menyebut negara. Retorika itu sekilas memberi harapan, tetapi para analis, termasuk sejarawan Rashid Khalidi, menyebutnya hanya “karpet retorika” yang menutupi strategi sebenarnya: memperkuat Israel, menundukkan PLO, dan menyingkirkan aspirasi Palestina ke ruang abu-abu.

Reagan berhasil membuka jalan bagi Israel untuk menghindari isolasi internasional, sementara rakyat Palestina tetap tercerai-berai. Dalam ingatan kolektif Palestina, janji itu sama kosongnya dengan suara yang lenyap tertiup angin Laut Tengah.


---

Oslo 1993: Euforia yang Memabukkan

Sepuluh tahun setelah pidato Reagan, Oslo lahir. Dunia melihat foto ikonik: Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan di Gedung Putih, dengan Bill Clinton tersenyum di tengah. Gambar itu menjadi simbol harapan baru. Tetapi Oslo juga menjadi jebakan besar.

Edward Said, intelektual Palestina terkemuka, menyebut Oslo sebagai “instrument of Palestinian surrender”. Kenapa? Karena Oslo tidak menyebutkan akhir penjajahan, tidak menyentuh masalah pemukiman ilegal, tidak menjamin hak kembali pengungsi, dan tidak menegaskan batas-batas negara Palestina.

PLO terjebak dalam euforia legitimasi internasional, sementara Israel mendapatkan pengakuan resmi tanpa perlu mengakhiri pendudukan. Dalam istilah politolog Avi Shlaim, “Israel mendapat pengakuan tanpa konsesi, Palestina mendapat otoritas tanpa kedaulatan.”

Al-Qur’an menyinggung sikap seperti ini dalam firman-Nya:

> “Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9)




---

Trump dan “Deal of the Century”

Donald Trump melangkah lebih jauh dari pendahulunya. Ia menyebut rencananya sebagai “kesepakatan abad ini”. Dalam realitasnya, itu adalah penyerahan total Palestina.

Poin-poin utamanya:

1. Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel.


2. Tidak ada hak kembali bagi pengungsi Palestina.


3. Pemukiman ilegal dilegitimasi.


4. Negara Palestina boleh ada, tetapi tanpa kedaulatan penuh—lebih mirip “bantustan” seperti di Afrika Selatan era apartheid.


5. Hamas harus dilucuti sebelum Gaza bisa disebut “damai”.



Profesor Rashid Khalidi menyebut rencana Trump sebagai “puncak dari satu abad kolonialisme.” Sementara Richard Falk, pakar hukum internasional, menegaskan bahwa kesepakatan ini “bukan damai, tetapi perwujudan dominasi satu bangsa atas bangsa lain.”

Trump tidak bersembunyi di balik retorika. Ia terang-terangan memihak Israel, seolah Palestina hanyalah gangguan kecil bagi proyek geopolitik Timur Tengah.


---

PLO dan Hamas: Dua Jalan, Satu Dilema

PLO terjebak dalam jebakan Oslo. Mereka mendapatkan struktur otoritas, bendera, dan kursi di PBB, tetapi kehilangan kendali nyata atas tanah. Kini, Hamas menghadapi dilema serupa: apakah mereka akan terjebak dalam rencana Trump seperti PLO di Oslo, atau memilih jalan lain yang lebih getir namun bermartabat?

Di Gaza, Hamas adalah simbol perlawanan. Tetapi dunia Barat mendefinisikan mereka sebagai teroris. Perjanjian Trump menuntut Hamas melucuti senjata, menyerahkan kendali keamanan, dan berubah menjadi semacam otoritas administratif tanpa daya.

Pertanyaan besar muncul: akankah Hamas mengulang kesalahan PLO? Ataukah mereka akan menolak “damai” ala Trump yang sejatinya adalah jerat politik?


---

Analisis Para Pakar

Rashid Khalidi (sejarawan): Oslo adalah awal dari “penjara terbesar di dunia terbuka” yang bernama Gaza. Trump hanya mempertebal dinding penjara itu.

Edward Said (intelektual): Oslo adalah “bencana moral” karena mengubah korban menjadi mitra seolah setara dengan penjajah.

Richard Falk (hukum internasional): Deal of the Century adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, karena melegitimasi pemukiman ilegal.

Avi Shlaim (sejarawan Israel): Israel sejak awal tidak berniat memberi negara bagi Palestina; semua perjanjian hanyalah strategi penundaan.



---

Korban Menjadi Tersangka

Tragedi paling besar dari semua perjanjian ini adalah narasi yang terbalik: korban dijadikan tersangka, penjajah dijadikan “pencari damai.”

Ketika anak-anak Gaza menolak tunduk, mereka disebut ekstremis. Ketika rakyat Palestina bertahan, mereka dituduh radikal. Sementara Israel yang merampas tanah, menghancurkan rumah, dan membunuh ribuan warga sipil, tetap diperlakukan sebagai “demokrasi yang sah.”

Al-Qur’an telah menyinggung fenomena pembalikan narasi ini:

> “Dan mereka (orang-orang kafir) membungkus yang benar dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)




---

Refleksi: Bisakah Sejarah Berulang?

Jika Oslo adalah jebakan, apakah rencana Trump adalah jebakan berikutnya? Hamas kini berada di persimpangan yang sama. Perjanjian yang terlihat manis, tetapi berisi racun.

Di satu sisi, Hamas lelah dengan blokade, kehancuran, dan penderitaan Gaza. Ada godaan untuk meraih “napas lega” meski sebentar. Di sisi lain, menyerah pada rencana Trump berarti kehilangan hak-hak asasi bangsa Palestina untuk selamanya.

Sejarawan Ilan Pappé mengingatkan: “Setiap kali Palestina menerima janji damai Barat, mereka kehilangan lebih banyak tanah, lebih banyak martabat, dan lebih banyak masa depan.”


---

Epilog: Jalan yang Pahit tapi Bermartabat

Perjalanan sejarah Palestina adalah perjalanan penuh luka. Dari janji Reagan yang hampa, Oslo yang mengecewakan, hingga Deal of the Century yang brutal, semuanya menunjukkan satu hal: Amerika bukan mediator, melainkan sponsor penjajahan.

Kini, bola ada di tangan Hamas dan generasi muda Palestina. Mereka bisa mengulang kesalahan PLO, atau memilih jalan pahit yang penuh perlawanan.

Dan dalam keyakinan orang-orang beriman, janji Allah lebih kokoh daripada janji Washington:

> “Dan sungguh, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (bahwa) bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)



Sejarah manusia mungkin berulang, tetapi janji Allah tidak pernah ingkar. Palestina mungkin dikhianati dunia, tetapi tidak pernah ditinggalkan oleh langit.

Menanggalkan Keris Mpu Gandring, Cara Menenggelamkan Penjajah Israel?  Prolog: Gelombang yang Tak Terlihat Ada gelombang yang ta...


Menanggalkan Keris Mpu Gandring, Cara Menenggelamkan Penjajah Israel? 


Prolog: Gelombang yang Tak Terlihat

Ada gelombang yang tak tercatat dalam peta angkatan laut mana pun. Ia bukan gelombang ombak yang menggulung kapal, bukan pula gelombang peluru yang dimuntahkan meriam. Gelombang ini lahir dari dada manusia, dari doa-doa mustadh’afin, dari jeritan anak-anak yang kehilangan ayahnya, dan dari nurani yang terbangun di jalanan kota-kota dunia.

Gelombang itu pula yang ditakuti oleh para tiran: gelombang yang tidak bisa mereka tembak dengan drone, tidak bisa mereka kepung dengan tank, dan tidak bisa mereka tenggelamkan dengan kapal perang.

Ketika kita membaca Al-Qur’an, kita mendapati kisah Firaun yang ditelan laut, kaum Ashabul Ukhdud yang dihancurkan gelombang api, atau kaum-kaum yang binasa tanpa satu pun pasukan dunia mengangkat pedang untuk menjatuhkan mereka. Gelombang sejarah tidak selalu lahir dari senjata. Kadang ia datang dari laut, kadang dari bumi, kadang dari kesadaran yang tiba-tiba bangkit di hati manusia.

Hari ini, di Gaza, kita melihat gelombang itu mulai meninggi.


---

Gelombang dalam Al-Qur’an

Firaun tidak kalah di medan perang. Ia kalah di laut. Bukan oleh panah Bani Israil, bukan oleh pedang Musa, tetapi oleh gelombang yang diperintahkan Allah.

> “Maka Kami hukumlah dia (Firaun) dan tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang zalim itu.”
(QS. Al-Qashash: 40)



Ashabul Ukhdud juga binasa bukan karena senjata. Mereka menghukum orang beriman dengan parit api, tetapi gelombang murka Allah turun, dan sejarah hanya mencatat bahwa mereka musnah.

> “Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab neraka dan bagi mereka azab (pula) kebakaran.”
(QS. Al-Buruj: 10)



Dari dua kisah ini, kita belajar: penghancur kezaliman sering datang bukan dalam bentuk pasukan manusia, melainkan dalam bentuk gelombang Ilahi yang sulit diprediksi.


---

Bukan Pedang, Bukan Keris

Sejarah Nusantara pun menyimpan simbol: keris Mpu Gandring yang meneteskan darah, melahirkan dendam tak berkesudahan. Dari Singasari ke Majapahit, darah terus mengalir, bukan karena musuh asing, tapi karena senjata yang disalahgunakan.

Pelajaran ini relevan bagi dunia hari ini: penghentian pembantaian bukan selalu berarti menambah senjata, melainkan berhenti meneteskan darah yang sia-sia. Gelombang penghancur penjajah bisa lahir bukan dari peluru tambahan, melainkan dari solidaritas global, dari tekad manusia untuk berkata: “Cukup sudah darah yang menetes.”


---

Gelombang Gaza

Israel mengepung Gaza dengan segala cara: dari laut, udara, darat. Rumah sakit dihancurkan, sekolah dibom, masjid dijadikan target, bahkan kantor-kantor diplomatik asing dan perwakilan PBB pun tidak luput dari serangan. Ratusan ribu tentara reguler dan cadangan dikerahkan, seolah-olah Gaza adalah kerajaan besar, padahal hanya sepotong tanah sempit yang dipenuhi pengungsi.

Mereka mengulang strategi Quraisy di Mekah: mengepung rumah Nabi ï·º dengan para pemuda bersenjata, agar pembunuhan dianggap tanggung jawab bersama, agar darah tak bisa dituntut. Bedanya, hari ini Israel melakukannya terhadap jutaan jiwa, dengan mengatasnamakan “keamanan nasional.”

Sejarawan Sirah, Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, pernah menulis bahwa makar Quraisy saat itu adalah puncak keputusasaan mereka menghadapi dakwah Rasulullah ï·º. Demikian pula Israel kini: makin brutal, makin tak rasional, tanda bahwa mereka sedang kehabisan akal menghadapi keteguhan Gaza.


---

Gelombang Dunia

Tetapi lihatlah apa yang terjadi setelah serangan terhadap Armada Sumud Flotilla. Kapal-kapal bantuan yang membawa relawan dari puluhan negara dicegat, satu per satu diserbu kapal perang Israel. Namun, yang muncul bukanlah kemenangan Israel, melainkan gelombang baru yang mengguncang Eropa.

Di Napoli, ribuan orang menutup stasiun kereta api, menghentikan perjalanan ribuan penumpang. Di Roma, polisi mengepung Termini karena massa menolak bubar. Di Milan, Turin, Florence, hingga Livorno, para buruh memblokade pelabuhan. Serikat pekerja CGIL menyebut agresi Israel sebagai “masalah serius,” lalu menyerukan pemogokan massal.

Di Jerman, stasiun pusat Berlin ditutup demonstran. Di Irlandia, senator Chris Andrews ditahan Israel, memicu amarah pemerintah. Di kota-kota lain: Athena, Istanbul, Tunis, Paris, Barcelona, Brussels—gelombang rakyat memenuhi jalanan.

Ini adalah gelombang yang sama yang dulu menenggelamkan Firaun: bukan pedang, bukan tombak, melainkan gelombang massa yang bergerak karena nurani.


---

Gelombang Nurani vs Gelombang Senjata

Sejarawan Barat, Montgomery Watt, pernah menyebut hijrah Nabi ï·º sebagai “titik balik sejarah dunia,” sebab makar Quraisy gagal dan strategi Nabi justru membuka jalan peradaban. Demikian juga, setiap kali Israel menekan Gaza, yang lahir justru gelombang dukungan global yang tak pernah mereka perhitungkan.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi menulis: “Setiap penindas pada akhirnya akan kalah bukan hanya oleh perlawanan orang beriman, tapi oleh beban kezaliman yang ditolak nurani umat manusia.”

Gelombang ini nyata: survei di Barat menunjukkan semakin banyak generasi muda menolak Israel, media sosial dipenuhi suara yang tak bisa dibungkam, serikat pekerja internasional memblokade perdagangan mereka, bahkan para jenderal IDF sendiri mulai meragukan kemenangan.


---

Charlie Kirk, Oposisi Israel, dan Suara dari Dalam

Gelombang itu bahkan dirasakan oleh mereka yang semula membela Israel. Charlie Kirk, komentator konservatif Amerika, menulis surat yang bernada getir: ia mengakui Israel semakin kehilangan simpati dunia. Di dalam negeri Israel sendiri, oposisi politik dan sejumlah jenderal cadangan IDF mulai terang-terangan menentang kebijakan Netanyahu.

Mereka mulai merasakan gelombang yang tak bisa dihentikan: gelombang delegitimasi. Sebab dunia tidak lagi menelan narasi “membela diri” ketika yang terlihat adalah bayi-bayi terbunuh dan kota-kota hancur rata.


---

Ayat dan Janji Langit

Al-Qur’an menegaskan janji ini:

> “Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)



Dan lagi:

> “Mereka membuat makar, dan Allah pun membuat makar. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.”
(QS. Ali Imran: 54)



Maka gelombang ini sejatinya adalah makar Allah: suara rakyat dunia, keteguhan Palestina, dan runtuhnya legitimasi moral Israel.


---

Epilog: Gelombang yang Tak Pernah Reda

Firaun mungkin menyangka laut adalah sekutunya. Israel mungkin mengira senjata nuklir adalah bentengnya. Tetapi sejarah selalu membuktikan: yang menenggelamkan bukan peluru, melainkan gelombang yang diperintahkan langit.

Hari ini gelombang itu bernama Gaza. Ia kecil, sempit, terkepung, tapi dari sanalah gelombang keteguhan lahir, menular ke Napoli, Berlin, Dublin, Istanbul, hingga Jakarta.

Dan ketika gelombang itu sudah meninggi, tak ada kapal perang, tank, atau pesawat tempur yang bisa menahannya. Sebab gelombang itu bukan hanya gelombang air, melainkan gelombang nurani, doa, dan janji Allah bahwa kebenaran selalu akan menang, meski tirani sementara tampak perkasa.

Obliteration Doctrine dan Logika AI Penjajah Israel dalam Bumihangus Gaza --- 1. Gaza sebagai Cermin Dunia Gaza hari ini bukan s...

Obliteration Doctrine dan Logika AI Penjajah Israel dalam Bumihangus Gaza


---

1. Gaza sebagai Cermin Dunia

Gaza hari ini bukan sekadar sebuah wilayah sempit di tepi Laut Tengah. Ia telah berubah menjadi cermin besar yang memantulkan wajah kemanusiaan kita. Setiap bom yang jatuh di sana, setiap reruntuhan sekolah, setiap rumah sakit yang hancur, adalah pertanyaan yang dilemparkan kepada dunia: apakah kita masih punya nurani?

Di langit Gaza, drone berputar bagai kawanan burung besi. Di bumi, tank-tank merayap sambil menabur debu kehancuran. Di balik layar, algoritma dingin bekerja, memilih target tanpa rasa, mengolah data tanpa doa, lalu mengirimkan koordinat kepada rudal yang akan memusnahkan sebuah keluarga dalam hitungan detik.

Dan di sinilah kita berjumpa dengan istilah yang dipaparkan oleh Dan Steinbock: Obliteration Doctrine — sebuah doktrin penghancuran total, bukan sekadar melawan kombatan, tapi meremukkan seluruh ruang kehidupan lawan. Sebuah cara berpikir yang ingin menjadikan Gaza tak layak huni, tak layak hidup, tak layak dikenang.


---

2. Doktrin Penghancuran Total

Steinbock menyebut, Obliteration Doctrine bekerja dengan lima pilar utama:

1. Scorched-earth — bumi hangus, penghancuran infrastruktur vital: rumah sakit, sekolah, listrik, air, jalan. Tujuannya bukan sekadar melemahkan lawan, tapi membuat masyarakat tak mungkin hidup normal.


2. Collective punishment — hukuman kolektif. Sebuah kampung dibom karena ada seorang kombatan di sana. Sebuah rumah dihancurkan karena salah satu penghuninya dicurigai. Bukan lagi individu yang dihukum, melainkan seluruh komunitas.


3. Area bombing — serangan kawasan, bukan titik. Rudal dan bom dijatuhkan bukan pada target spesifik, tetapi menyapu seluruh blok kota.


4. Cultural genocide — penghapusan jejak budaya: perpustakaan, universitas, arsip sejarah, bahkan masjid dan gereja ikut jadi sasaran. Identitas kolektif dipangkas agar generasi mendatang kehilangan pijakan.


5. Instrumentalisasi kelaparan — blokade pangan, obat, dan bantuan. Kelaparan dijadikan senjata untuk menekan jutaan orang agar tunduk.



Inilah wajah doktrin itu. Sebuah rencana sistematis untuk membuat Gaza tidak sekadar kalah, tetapi lenyap.

Profesor Richard Falk, pakar hukum internasional dan mantan pelapor khusus PBB untuk Palestina, pernah berkata:

> “Gaza adalah eksperimen sosial terbesar di abad ini: bagaimana menundukkan sebuah populasi lewat pengepungan, blokade, dan hukuman kolektif.”




---

3. Logika AI: Perang Tanpa Nurani

Jika doktrin ini adalah kerangka besar, maka AI adalah mesinnya.

a) Targeting by Algorithm

Laporan investigatif The Guardian (2024) mengungkap adanya sistem berbasis AI yang digunakan Israel, dijuluki Habsora (“Injil”). Sistem ini menggabungkan citra satelit, metadata komunikasi, dan rekaman drone. Algoritma kemudian menghasilkan daftar ribuan target hanya dalam waktu singkat.

Seorang perwira anonim dalam wawancara dengan +972 Magazine mengakui:

> “Dulu, butuh waktu berhari-hari bagi intelijen manusia untuk memverifikasi satu target. Kini, AI bisa memberi ratusan target dalam semalam.”



Tapi pertanyaan besar muncul: apakah algoritma peduli siapa yang ada di dalam rumah itu? Anak-anak? Pasien? Orang tua?

b) Optimisasi Efektivitas

AI didesain untuk efisiensi operasional: jumlah target yang bisa dihantam, kecepatan serangan, perhitungan logistik. Namun, seperti diingatkan pakar AI militer Paul Scharre dalam bukunya Army of None, “otomasi memperbesar skala, tapi sekaligus memperbesar potensi salah.”

c) Hilangnya Akuntabilitas

Siapa yang bertanggung jawab ketika sebuah algoritma salah sasaran? Apakah programmer? Komandan yang menekan tombol? Atau politisi yang memberi perintah?

Inilah bahaya besar: AI membuat kejahatan massal bisa terjadi tanpa wajah pelaku yang jelas. Dalam dunia hukum, akuntabilitas kabur; dalam dunia moral, nurani hilang.

Al-Qur’an mengingatkan:

> “Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11).



Bukankah inilah persis yang kita saksikan? Mesin pembunuh dipasarkan sebagai “teknologi presisi” padahal jejaknya adalah puing dan darah.


---

4. Hukum Internasional yang Lumpuh

Obliteration Doctrine seharusnya bisa dihentikan oleh hukum internasional. Tetapi kenyataannya? Lembaga hukum global lumpuh.

Konvensi Jenewa 1949 jelas melarang:

serangan terhadap sipil,

penggunaan kelaparan sebagai senjata,

penghancuran infrastruktur non-militer.


Namun, laporan Komisi HAM PBB menunjukkan pola pelanggaran berulang.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pernah membuka penyelidikan, tetapi terbentur politik veto, lobi negara besar, dan sulitnya akses lapangan.

Profesor William Schabas, pakar hukum genosida, menulis:

> “Kejahatan paling parah sering terjadi bukan karena hukum tak ada, tetapi karena hukum tak ditegakkan. Gaza adalah contohnya.”



Di sinilah dunia terjebak: aturan ada, tapi impunitas lebih kuat.


---

5. Kritik dan Batas Analisis

Ada yang menganggap istilah “Obliteration Doctrine” hanyalah retorika politis. Israel sendiri mengklaim serangan mereka ditujukan untuk melawan Hamas, bukan rakyat sipil.

Namun, seperti dicatat oleh ilmuwan militer Martin van Creveld (Universitas Hebrew, Yerusalem), “Israel tidak bisa membedakan antara Hamas dan Gaza, karena struktur sosial-politik yang melebur. Setiap serangan besar pasti meluas ke sipil.”

Artinya, meski Israel membantah doktrin itu, realitas di lapangan menunjukkan pola sistematis yang sulit disangkal.


---

6. Gaza dalam Cermin Al-Qur’an

Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan tentang kaum yang hancur karena kezaliman mereka sendiri.

> “Maka masing-masing mereka Kami azab karena dosanya: di antara mereka ada yang Kami timpakan angin ribut, ada yang ditimpa suara keras, ada yang Kami benamkan dalam bumi, dan ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Al-‘Ankabut: 40).



Bukankah sejarah ini berulang? Mesir Fir’aun, Romawi yang zalim, bahkan Quraisy yang mengepung rumah Nabi ï·º. Semua memakai logika yang sama: hapus lawan dengan segala cara.

Tetapi sejarah memberi jawaban: tiada kekuasaan zalim yang kekal.


---

7. Jalan Keluar: Tindakan dan Kesadaran

Apa yang bisa dilakukan dunia?

1. Penegakan hukum: rujukan kasus Gaza ke ICC/ICJ, investigasi independen, litigasi universal oleh negara pihak.


2. Embargo senjata & AI: hentikan pasokan komponen kritis bagi sistem drone, algoritma targeting, dan senjata presisi.


3. Sanksi bertarget: kepada pejabat, komandan militer, perusahaan penyokong.


4. Diplomasi rakyat: dokumentasi, kampanye global, boikot sipil.


5. Kesadaran moral: mendidik generasi bahwa teknologi tanpa etika adalah pedang bermata dua.



Seorang pakar AI etika, Kate Crawford, menulis:

> “Setiap dataset punya bias, dan setiap algoritma punya dampak politik. AI bukan netral; ia memperbesar struktur kekuasaan yang ada.”



Dengan kata lain, jika algoritma dipakai oleh penjajah, maka ia akan memperbesar penjajahan.


---

8. Penutup Liris: Cahaya yang Tak Bisa Dipadamkan

Gaza kini mungkin terlihat sebagai reruntuhan. Jalan-jalan hancur, rumah sakit roboh, anak-anak bermain di bawah bayangan drone. Namun, ada sesuatu yang tak bisa dihancurkan oleh bom, algoritma, atau doktrin militer: iman dan harapan manusia.

Al-Qur’an memberi janji:

> “Janganlah kamu menyangka bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42).



Obliteration Doctrine mungkin ingin memadamkan Gaza, tapi Gaza justru menjelma menjadi api moral dunia. Setiap reruntuhan di sana menjadi saksi, bahwa teknologi tanpa nurani hanyalah jalan singkat menuju kehancuran diri.

Sejarah akan mencatat: di abad AI ini, manusia pernah mencoba memakai algoritma untuk memusnahkan sebuah bangsa. Tapi sejarah juga akan mencatat: cahaya tak bisa dipadamkan. Gaza tetap hidup, dalam doa, dalam perjuangan, dalam nurani umat manusia.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)