basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Ceritakan Kegagalan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Apakah para nabi selalu berbicara tentang kemenangan? Tidak. Dalam Al-Qur...

Ceritakan Kegagalan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Apakah para nabi selalu berbicara tentang kemenangan?

Tidak. Dalam Al-Qur'an, kita justru menemukan kisah-kisah kegagalan yang sangat manusiawi. Bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan—bahwa bahkan para nabi pun diuji oleh Allah, bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka sedang dibentuk.

Nabi Adam tergoda

Lihatlah Nabi Adam. Ia tergoda.

> "Lalu setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: 'Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak akan binasa?' Maka keduanya pun memakannya, lalu tampaklah aurat keduanya. Dan keduanya mulai menutupinya dengan daun-daun surga. Adam pun telah durhaka kepada Tuhannya, maka sesatlah ia."
(QS. Thaha: 120–121)



Ia bukan sekadar tergoda karena lemah, tapi karena ada keinginan akan keabadian dan kekuasaan—dua hal yang paling sering menjerat manusia sepanjang zaman.

Nabi Sulaiman terpedaya

Demikian pula Nabi Sulaiman. Di satu petang, ia terpesona oleh kuda-kuda perang—simbol kekuatan dan keindahan dunia. Hingga tanpa sadar, ia lalai dari mengingat Allah.

> "Ketika pada suatu petang dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang ketika berhenti dan cepat ketika berlari, ia berkata: 'Sesungguhnya aku menyukai harta (kuda-kuda) yang baik ini karena (mengingat) Tuhanku, sampai kuda-kuda itu hilang dari pandangan.' (Maka ia berkata): 'Bawa kembali kuda-kuda itu kepadaku.' Lalu ia mulai mengusap kaki dan leher mereka."
(QS. Shad: 31–33)



Nabi Sulaiman menyadari bahwa pesona dunia—dalam bentuk kekuatan dan keindahan—telah melalaikannya. Maka ia menebusnya dengan sikap simbolik: mengusap kuda-kuda itu sebagai tanda penyesalan dan pelepasan keterikatan.

> "Manusia tergoda bukan karena ia hina, tapi karena ia lemah di titik yang paling ia cintai."



Namun yang paling indah dari kisah ini: mereka kembali kepada Allah. Mereka bertobat. Dan dari merekalah kita belajar bahwa taubat bukanlah aib, tapi jalan kemuliaan.


---

Nabi-Nabi yang Gagal Menyelamatkan Umatnya

Lihatlah Nabi Nuh. Ia menyeru umatnya siang dan malam. Namun...

> "Nuh berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).'"
(QS. Nuh: 5–6)



Secara duniawi, itu tampak seperti kegagalan. Tapi dalam pandangan Allah, ia tetap utusan yang agung.

Begitu pula Nabi Yunus. Ia pernah merasa putus asa. Ia meninggalkan umatnya dalam kemarahan, menyangka Allah tak akan mengujinya lebih jauh.

> "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menguji/menyulitkannya)."
(QS. Al-Anbiya: 87)



Dan Nabi Musa—ketika ia mengajak Bani Israil masuk ke Tanah Suci. Apa kata mereka?

> "Wahai kaumku! Masuklah ke Tanah Suci (Palestina) yang telah ditetapkan Allah untukmu dan janganlah kamu berbalik ke belakang, niscaya kamu akan menjadi orang-orang yang rugi."
(QS. Al-Ma’idah: 21)



Namun mereka menjawab:

> "Wahai Musa! Sesungguhnya dalamnya ada kaum yang sangat kuat. Sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami akan masuk."
(QS. Al-Ma’idah: 22)



Akibat penolakan itu, mereka dihukum mengembara selama 40 tahun di padang pasir. Apakah ini kegagalan? Mungkin dalam pandangan manusia. Tapi dalam rencana Allah, ini adalah bentuk tarbiyah—pendidikan rohani.


---

Kegagalan adalah Bagian dari Takdir

Mengapa Allah kisahkan kegagalan para nabi?

Agar kita tidak menyembah keberhasilan. Agar kita tak hancur hanya karena gagal. Karena sukses dan gagal adalah dua sisi dari mata uang kehidupan.

Seperti yang dikatakan Muhammad Iqbal, filsuf Muslim dari India:

> "Kegagalan bukanlah kehancuran—selama kita tidak menyerah. Mencoba kembali adalah kunci kemenangan yang gemilang."



> "Tujuan akhir dari diri manusia bukan sekadar melihat sesuatu, melainkan menjadi sesuatu."



> "Bangkitlah dari kepentingan sempit dan ambisi pribadi. Melangkahlah dari materi menuju ruh. Materi itu keragaman, ruh itu cahaya, kehidupan, dan kesatuan."



Iqbal mengajarkan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tapi momen transformasi. Ruh manusia tidak diciptakan untuk menyerah.


---

Buya Hamka: Kegagalan adalah Guru Terbaik

Buya Hamka, ulama dan sastrawan besar Indonesia, menyatakan:

> "Orang yang gagal bukan orang yang jatuh, tapi yang tidak bangkit kembali setelah jatuh."



> "Kegagalan bukanlah kehinaan. Justru darinya kita belajar berdiri lebih tegak."



> "Berani hidup berarti berani menghadapi kegagalan. Karena hidup bukan untuk menang terus, tapi untuk tetap tegar meski kalah."



> “Bila hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Bila bekerja sekadar bekerja, kera pun bekerja. Maka hidup dan bekerja harus punya tujuan.”




---

Dua Umar: Takdir Itu Ketenangan

Bagaimana para khalifah menyikapi takdir?

Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah ﷺ dan khalifah kedua, berkata:

> “Aku tidak peduli dalam keadaan apa aku berada—apakah dalam kesenangan atau kesusahan. Sebab aku tidak tahu mana di antara keduanya yang lebih baik bagiku.”
(HR. Ibnu Sa’ad)



Umar bin Abdul Aziz, khalifah besar Bani Umayyah, berkata:

> “Barangsiapa merasa cukup dengan takdir dan ridha terhadap keputusan Allah, maka ketenangan akan tinggal dalam hatinya.”




---

Maka Ceritakanlah Kegagalanmu...

Walaupun dirimu sedang jatuh, ceritakanlah. Agar orang lain tidak jatuh pada lubang yang sama.

Cerita kegagalan bisa menjadi:

Samudera ilmu bagi yang sedang mencari arah,

Tiang pancang untuk membangun ulang kehidupan,

Penyejuk bagi jiwa yang patah,

Jalan pulang bagi yang tersesat.


Bukan untuk melemahkan, tapi untuk menunjukkan:
Di balik kegagalan, selalu ada keajaiban dan samudera hikmah.

Kita semua adalah bagian dari kisah besar Allah.
Dan setiap kegagalan yang kita alami…
bukan tanpa arti.

Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam? Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat...

Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat di bawah matahari yang belum jatuh sempurna. Darah mengalir bukan hanya dari tubuh, tapi juga dari hati. Rasulullah sendiri terluka. Sahabat-sahabat terbaik gugur satu per satu. Tapi benarkah kekalahan di Uhud adalah bencana? Atau justru jalan menuju kebangkitan?

Sayyid Qutb, dalam Fi Zhilalil Qur'an, mengajak kita merenung lebih dalam. Ia menolak menyebut Uhud sebagai tragedi kehancuran. Bagi Qutb, Uhud adalah madrasah—tempat Allah menempah ruh para pejuang.

> "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia..." (QS. Ali Imran: 140)



Kemenangan dan kekalahan, menurut Sayyid Qutb, adalah cara Allah menyaring keimanan. Agar tampak siapa yang benar-benar jujur dalam janji jihad, dan siapa yang goyah saat musibah datang. Bukankah sebagian pemanah yang turun dari bukit tergoda oleh dunia?

> "Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada umat yang belum selesai proses tarbiyahnya."



Begitulah. Umat Islam diajarkan untuk tidak sekadar bersemangat, tetapi harus lurus niat, disiplin, dan siap diuji.

Hasan al-Banna pun bersuara dalam nada yang seirama. Baginya, Uhud bukan sekadar sejarah kekalahan, melainkan refleksi ruhani. Ia berkata:

> "Perhatikanlah peristiwa Uhud! Mereka tidak kalah karena jumlah, tetapi karena pelanggaran disiplin yang kecil tetapi fatal."



Kekalahan, menurutnya, bukan akhir. Itu awal dari evaluasi, cermin untuk melihat ke dalam: sejauh mana niat kita lurus? Apakah ukhuwah terjaga? Apakah pemimpin ditaati?

> "Rasulullah sendiri terluka dalam Uhud, namun beliau tetap menjadi pusat keteguhan. Maka, pemimpin dakwah harus menjadi sumber ketenangan di tengah badai."



Sejarah Islam tak kekurangan tragedi. Tapi dari sana, bangkit tokoh-tokoh besar. Lihatlah Abdullah bin Zubair.

Ia bertahan di Mekkah, kota suci yang pada akhirnya dibombardir dengan manjanik oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Batu-batu besar menghantam Ka'bah, tempat yang selama ini menjadi arah sujud. Mekkah pun luka. Bangunan Ka'bah retak.

Namun tahukah kamu? Dari retakan itu, Rasulullah seakan berbicara kembali.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah:

> "Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, niscaya aku akan menghancurkan Ka'bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim."



Maka saat Ka'bah rusak akibat serangan, Abdullah bin Zubair membangunnya seperti yang diinginkan Rasulullah: dengan dua pintu, dan mengembalikan bagian Hijr Ismail ke dalam struktur. Tragedi melahirkan penyempurnaan.

Tapi sejarah belum selesai.

Abdullah dikhianati oleh salah satu jenderalnya, yang kemudian pergi ke Irak. Ironisnya, dari pengkhianatan itu lahirlah babak keadilan: ia menumpas para pembunuh Husein bin Ali, cucu Rasulullah, yang selama ini lolos dari hukuman. Tidak ada yang menyangka: pengkhianatan justru membuka jalan bagi qisas yang selama ini tertunda.

Sejarah Islam seperti itu. Penuh luka, tapi dari luka-luka itu tumbuh pohon keadilan.

Mari melompat lebih jauh.

Bangsa Tartar. Nama yang membuat jantung berdegup di abad pertengahan. Mereka membumihanguskan Baghdad, menenggelamkan buku-buku ulama dalam tinta yang menghitamkan Sungai Tigris. Peradaban runtuh. Kekhalifahan berakhir.

Tapi apakah ini akhir?

Yusuf al-Qaradawi menjawab tidak.

> "Bangsa Tartar yang selalu menang... akhirnya masuk Islam atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Mereka menjadi bangsa yang menang masuk agama bangsa yang kalah."



Betapa dahsyatnya dakwah Islam. Tanpa pedang. Tanpa paksaan. Tapi menembus hati bahkan bangsa yang paling brutal. Setelah itu, mereka mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Timurid, dan menjadi fondasi bagi kebangkitan Utsmani.

Dan lihatlah Utsman bin Ertugrul. Di tengah reruntuhan Abbasiyah, ia memulai dari suku kecil, melawan Tartar. Dari sana, berdirilah kekhalifahan Turki Utsmani yang bertahan lebih dari enam abad.

Tak cukup? Mari kita tengok Salib.

Perang Salib memporak-porandakan Syam dan Palestina. Tapi siapa yang muncul?

Shalahuddin al-Ayyubi. Seorang pemimpin yang bukan hanya menang, tetapi juga mengajarkan kepada Eropa arti akhlak mulia. Ia menang dengan cinta, bukan hanya pedang.

Dari tragedi, lahir tokoh. Dari runtuhan, tumbuh kekuatan.

Lalu, adakah semua tragedi itu menghancurkan umat Islam?

Jika kita menilai hanya dari darah dan reruntuhan, jawabannya bisa jadi iya. Tapi jika kita melihat dari kelahiran ruh baru, jawabannya adalah: tidak. Bahkan sebaliknya.

Tragedi adalah panggilan. Panggilan untuk bangkit. Untuk membersihkan barisan. Untuk menyaring niat. Untuk memperbaiki jalan dakwah.

> "Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki." (QS. Ali Imran: 169)



Sejarah bukan kuburan. Ia adalah nadi. Tragedi bukan akhir. Ia adalah permulaan. Seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—menyakitkan di awal, tapi membawa kehidupan.

Uhud bukan akhir. Karbala bukan penutup. Baghdad bukan kehancuran total. Setiap tragedi adalah batu loncatan. Tinggal kita, apakah hanya menangisi masa lalu, atau menumbuhkan benih harapan dari tanah yang basah oleh darah syuhada?

Di sanalah letak kebangkitan. Di antara reruntuhan dan keheningan.

Wallahu a'lam.

Perjalanan Ruhani dari Satwa Kebun Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di pagi yang belum sepenuhnya terang, saat embun masih bergelayut ...

Perjalanan Ruhani dari Satwa Kebun

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di pagi yang belum sepenuhnya terang, saat embun masih bergelayut di ujung daun dan cahaya mentari masih malu-malu menyentuh bumi, kebun memulai hidupnya. Tapi tahukah kita, siapa yang lebih dulu terjaga dari tidur? Bukan manusia. Bukan pula mesin pemotong rumput. Tapi para makhluk mungil yang telah lebih dulu bersujud kepada tugasnya—menghidupi tanah, merawat tunas, menjaga bunga dari hama, bahkan membantu kelahiran buah yang manis.

Di bawah daun dan di antara batang, semesta kecil ini bergerak dalam harmoni. Sebuah simfoni kehidupan yang acap kali tak kita dengar, tapi bekerja tiada henti. Dan jika kita bersedia menundukkan pandangan, memelankan langkah, dan membuka batin, kita akan menemukan pelajaran spiritual dalam kehidupan mereka—dalam diam, dalam kecil, dan dalam keikhlasan yang tak pernah meminta tepuk tangan.

Laba-laba: Arsitek Kesabaran

Lihatlah laba-laba, hewan mungil dengan seni arsitektur paling anggun di dunia. Jaringnya bukan sekadar perangkap, tapi mahakarya yang dibangun dengan ketekunan dan presisi tinggi. Ia tak berteriak. Ia tak mengeluh. Ia hanya bekerja. Dalam ekosistem kebun, laba-laba adalah pengendali alami serangga perusak.

Dalam banyak tafsir, disebutkan bagaimana jaring laba-laba menjadi pelindung Rasulullah ﷺ saat hijrah ke Gua Tsur. Jaring yang tampak rapuh itu membuat musuh menyangka gua tak berpenghuni. Dari sini, kita belajar bahwa perlindungan Allah bisa hadir dari makhluk kecil dan tampak lemah. Bukankah ini pengingat agar tak meremehkan peran sekecil apapun dalam kehidupan?

Burung: Penabur Kehidupan dari Langit

Burung-burung yang terbang di langit membawa benih kehidupan. Mereka tak hanya bernyanyi di pagi hari, tapi juga menebar biji, memangsa hama, dan membantu penyerbukan. Burung dalam kebun adalah dzikir yang terbang. Seperti disebut dalam Surah Al-An’am ayat 38, bahwa burung adalah umat seperti kita.

Dalam kisah Al-Qur’an, burung Hud-hud menjadi pembawa berita bagi Nabi Sulaiman dari negeri Saba—sebuah negeri dengan dua kebun yang subur di kiri dan kanan. Negeri yang dahulu makmur karena bersyukur, tapi porak-poranda karena kufur. Kebun mereka pun dihancurkan banjir dan diganti dengan kebun yang pahit dan berduri.

Lebah: Sang Pekerja yang Diberi Wahyu

Surah An-Nahl (68–69) menempatkan lebah sebagai makhluk penerima wahyu. Ia diberi ilham untuk membangun sarangnya dan menghisap sari bunga. Dari perutnya keluar minuman (madu) yang menyembuhkan. Tapi lebih dari itu, lebah juga penyerbuk andalan bagi tanaman.

Di kebun, lebah adalah pekerja tanpa pamrih. Tanpa pestisida dan racun, lebah akan hadir. Maka kebun yang penuh lebah adalah kebun yang bebas dari kimia perusak. Bukankah ini menjadi parameter alami: jika satwa masih betah tinggal, berarti kebun itu sehat.

Jangkrik, Belalang, dan Ngengat: Nyanyian yang Menyeimbangkan

Saat malam turun, suara jangkrik mengisi keheningan. Mereka bukan hanya penyanyi malam, tapi juga pengurai dan pengontrol populasi tumbuhan liar. Belalang memakan rumput, mengurangi kepadatan tanaman liar. Ngengat, seperti kupu-kupu, ikut menyebarkan serbuk sari. Dalam sistem kehidupan, tak satu pun dari mereka hidup sia-sia.

Ulat dan Kupu-kupu: Metamorfosis Harapan

Ulat memang memakan daun. Ia tampak sebagai perusak. Tapi ia sedang menuju perubahan. Dari ulat menjadi kepompong, lalu terbang sebagai kupu-kupu yang indah dan berguna bagi penyerbukan. Bukankah itu cermin kehidupan kita juga?

Hidup tak selalu langsung indah. Kita perlu melewati fase-fase gelap, dibenci, dijauhi. Tapi jika sabar, Allah mengubah kita menjadi kupu-kupu kehidupan—terbang, lembut, dan memberi manfaat.

Bunglon: Sang Penyesuai Tanpa Menipu

Bunglon mengubah warna tubuhnya bukan karena tipu daya, tapi karena kepekaan. Ia membaca lingkungan, meresponnya, dan menyesuaikan diri. Ia bukan simbol kemunafikan, tapi simbol hikmah: tahu kapan harus berubah demi bertahan.

Di kebun, bunglon adalah pemangsa serangga pengganggu. Ia menjaga keseimbangan. Dalam kehidupan, kita pun perlu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.

Semut: Disiplin yang Tak Tersorot

Semut menggemburkan tanah, mengangkut biji, dan menciptakan pori-pori tanah yang sehat. Ia hidup dalam koloni yang rapi dan teratur. Nabi Sulaiman mendengar suara semut, bukan hanya sebagai mukjizat, tapi pelajaran bahwa semut pun punya peradaban.

Kebun yang sehat punya semut. Mereka adalah petani kecil yang bekerja dalam senyap. Tak minta imbalan, tapi hasil kerja mereka dirasakan oleh akar, batang, dan buah.

Kisah Kebun dalam Al-Qur’an: Taman Syukur dan Murka

Kebun adalah simbol berulang dalam Al-Qur’an. Kebun di negeri Saba adalah contoh kebun yang subur karena syukur, namun hancur karena kufur. Dalam surah Al-Qalam, diceritakan pemilik kebun yang enggan bersedekah, lalu Allah hancurkan kebunnya semalaman hingga menjadi hitam seperti malam.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 265–266, Allah menggambarkan perumpamaan amal orang yang berinfak karena mencari ridha Allah, diibaratkan seperti kebun di dataran tinggi yang diguyur hujan lebat, menghasilkan dua kali lipat buahnya.

Lalu, dalam Surah Ar-Rahman, Jannatān (dua kebun) menjadi gambaran kenikmatan surga yang penuh pohon, buah, dan mata air. Maka kebun tak hanya tempat bercocok tanam, tapi juga cerminan syurga dan hati.

Tanah yang Dihuni, Bukan Sekadar Ditanami

Kebun bukan sekadar tempat menanam. Ia rumah bersama. Jika tanah dibiarkan tanpa kehidupan—tanpa cacing, tanpa semut, tanpa burung—maka ia mati. Kehidupan makhluk kecil adalah bukti bahwa tanah itu masih hidup. Maka menghidupkan kebun berarti menghadirkan kehidupan selengkap-lengkapnya, tanpa racun, tanpa pengusiran terhadap makhluk lain.

Penutup: Sujud Sunyi di Kebun

Kebun adalah kitab terbuka. Daun-daunnya adalah ayat. Batangnya adalah kisah. Dan makhluk kecilnya adalah huruf-huruf yang menyusun makna kehidupan. Kita hanya perlu memelankan langkah, menundukkan hati, dan membaca dengan iman.

Jika Al-Qur’an menyuruh kita “berjalan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana Allah menciptakan makhluk-Nya,” maka kebun adalah tempat paling dekat untuk mengawali perjalanan itu.

Dan siapa tahu, dalam senyap suara lebah dan sayap kupu-kupu, kita menemukan kembali ruh yang hilang: ruh ketundukan kepada Sang Pencipta, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu, betapapun kecilnya, punya peran dalam simfoni kehidupan.



Air dari Langit: Bagai Wahyu dan Hadis bagi Nutrisi Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Hujan adalah wahyu dalam bentuk air...

Air dari Langit: Bagai Wahyu dan Hadis bagi Nutrisi Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Hujan adalah wahyu dalam bentuk air. Ia turun dari langit, menyentuh tanah, menghidupkan yang mati, dan menumbuhkan yang tersembunyi. Seperti itulah Al-Qur’an dan hadis: keduanya diturunkan untuk menyuburkan jiwa.

Saya masih ingat sore itu, saat langit menggantung mendung kelabu, angin menari ringan di antara daun-daun pisang di halaman pondok. Lalu hujan pun turun — tidak terburu-buru, tapi dengan tenang dan pasti, seolah hendak menyampaikan pesan yang dalam: “Aku datang dari langit, bukan hanya untuk membasahi tanah, tetapi untuk menghidupkan jiwa-jiwa yang lama diam.”


---

Hujan: Sabda Langit dalam Bahasa Air

Air hujan adalah tamu paling halus dari langit. Ia datang bukan dengan letupan, tetapi dengan ketukan lembut di atap rumah dan tanah yang berdebu. Ia mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam bumi dengan izin Tuhan.

Allah berfirman:

> “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi, lalu Kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan biji-bijian yang dapat dipanen.”
— QS. Qaf: 9



Wahyu juga demikian. Ia turun tidak memaksa. Ia mengetuk hati manusia yang lembut, lalu mengalir, lalu tumbuh menjadi amal. Dalam tetes hujan ada energi dari langit; dalam ayat wahyu ada cahaya dari Tuhan.

Keduanya menyatu dalam satu misi: menghidupkan yang mati.


---

Air, Wahyu, dan Hadis: Satu Rantai Penghidupan

Jika Al-Qur’an adalah air hujan pertama yang turun, maka hadis adalah sungai yang mengalir darinya. Ia menuntun arah, membentuk muara, dan menyirami ladang peradaban manusia.

> “Sesungguhnya aku diutus bukan untuk melaknati, tetapi sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
— HR. Muslim



Rasulullah ﷺ adalah hujan kedua setelah wahyu pertama. Beliau mencontohkan bagaimana hujan bisa menjadi pelindung di gua, menjadi cahaya di malam, dan menjadi obat bagi luka jiwa. Bahkan ketika hujan turun, beliau membuka bajunya dan menyambut tetesnya dengan doa dan keharuan:

> “Ini baru saja datang dari Tuhannya.”
— HR. Muslim




---

Tanah yang Mengingat Air, Jiwa yang Mengingat Wahyu

Tidak semua tanah bisa menyerap air. Tidak semua hati mampu menerima wahyu. Tanah yang gembur — itulah yang menyimpan air dan menumbuhkan kehidupan. Dan hati yang lembut — itulah yang menyimpan hikmah dan melahirkan amal.

Tanah terbentuk dari air hujan. Lapisan humus yang subur, tempat tumbuhnya tanaman, tidak hadir sendiri. Ia lahir dari perjumpaan air, organisme mati, dan waktu. Sebagaimana hati yang lembut terbentuk dari perjumpaan ilmu, ujian, dan kesabaran.

Air dari langit menyatu dengan tanah, membentuk ruang kehidupan. Maka tak heran, Al-Qur’an juga menggambarkan wahyu sebagai air:

> “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
— QS. Al-Isra’: 82




---

Tanah Menyimpan Air, Hati Menyimpan Hikmah

Air hujan yang diserap oleh tanah akan mengalir ke sumur, ke akar-akar, bahkan menjadi sumber mata air yang memberi minum bagi seluruh makhluk. Begitu pula jiwa manusia yang menyimpan Al-Qur’an dan hadis. Ia menjadi telaga hikmah — tempat orang lain datang mencari kesejukan.

Seorang ulama berkata, “Orang yang menghafal Al-Qur’an ibarat tanah yang menyimpan air untuk musim kering.” Di saat gersang akhlak melanda, ia mengeluarkan tetes-tetes kesejukan dari dalam batinnya. Ia tak hanya selamat sendiri, tapi menyelamatkan.


---

Ketika Para Nabi Menemukan Hujan

Nabi Nuh ‘alaihissalam menyaksikan hujan sebagai bentuk penyucian global. Ia bukan hanya membasuh bumi, tapi juga menandai sebuah permulaan baru. Di atas banjir itu, bahtera menjadi tempat menumbuhkan kehidupan kedua.

Nabi Musa ‘alaihissalam, di tengah gersangnya padang pasir, mendapatkan air bukan dari langit, tetapi dari batu. Namun tetap saja: air itu datang sebagai bentuk wahyu yang dipukul dari bumi yang keras.

Dan Rasulullah ﷺ — saat bersembunyi di Gua Tsur — menyaksikan bagaimana hujan turun dan menghapus jejak kaki sahabat-sahabat beliau. Hujan itu menjadi penghapus bahaya, pembawa keselamatan. Seperti wahyu: ia tidak selalu menenangkan, tapi ia selalu menyelamatkan.


---

Ekosistem Cinta: Hujan, Cacing, Burung, dan Pohon

Setelah hujan turun, tanah menjadi lembab. Cacing-cacing muncul dari lubang-lubang kecil. Lalu datang burung-burung dari langit, mematuk cacing dan membawa pulang makanan untuk anak-anaknya.

Kotoran burung itu jatuh, menjadi pupuk. Lalu tumbuhan tumbuh, dan daunnya gugur, kembali ke tanah.

Begitulah sebuah ekosistem spiritual juga bekerja: wahyu turun, hati menyimpannya, amal tumbuh, lalu menghidupi manusia lain. Cinta berputar, manfaat bersirkulasi.

Al-Qur’an menyebut ini dengan kelembutan:

> “Kami tuangkan air dengan berlimpah, lalu Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di dalamnya, dan anggur serta sayur-sayuran, dan zaitun serta kurma.”
— QS. Abasa: 25–29




---

Hati yang Gersang Menunggu Hujan

Kadang jiwa kita menjadi kering, keras, dan dingin. Seperti tanah tandus di musim kemarau. Namun jangan salah — bukan berarti hujan tak akan turun. Ia hanya menunggu kesiapan tanah.

Allah menurunkan air pada waktu yang ditentukan. Wahyu juga demikian. Ia tidak turun karena keinginan, tetapi karena kesiapan. Maka tugas kita bukan meminta wahyu datang, tetapi menyiapkan diri untuk menerimanya.


---

Menjadi Tanah yang Baik

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus bersamaku adalah seperti hujan yang jatuh ke bumi…”
— HR. Bukhari & Muslim



Sebagian tanah menyerap dan menumbuhkan. Sebagian hanya menahan, tapi memberi minum. Sebagian menolak sama sekali. Maka kita harus memilih: ingin menjadi tanah yang mana?


---

Ketika Langit Turun ke Bumi

Hujan bukan hanya fenomena alam. Ia adalah tafsir dari rahmat. Ketika langit mengirimkan air, itu tanda bahwa bumi belum dilupakan. Dan ketika Allah menurunkan wahyu, itu tanda bahwa manusia belum ditinggalkan.

> “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”
— QS. Ali Imran: 190



Air hujan menetes. Wahyu juga menetes — dalam bentuk ayat, dalam bentuk hadis, dalam bentuk pengalaman batin.


---

Penutup: Menyambut Tetes Wahyu

Ketika hujan turun, Rasulullah ﷺ tidak hanya berteduh. Beliau membuka wajahnya. Menyambut tetes air dari langit seakan menyambut kabar dari Tuhan.

Maka kita pun, ketika wahyu datang — baik dalam bentuk ayat, hadis, atau peringatan hidup — belajarlah untuk menyambut. Bukan menolak. Bukan sekadar menghindar.

Bukalah wajah batinmu. Biarkan air dari langit — yang membawa rahmat, cinta, dan kehidupan — meresap perlahan, masuk ke dalam tanah hatimu. Biarkan tumbuh sebuah pohon: yang akarnya iman, batangnya amal, daunnya adab, dan buahnya manfaat bagi seluruh makhluk.

Karena pada akhirnya, hujan bukan sekadar air — dan wahyu bukan sekadar kata. Keduanya adalah kehidupan.


-

Kebijaksanaan Jiwa, Seperti Proses Kesuburan Tanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tanah tidak sekadar benda mati tempat berpijak. Ia...

Kebijaksanaan Jiwa, Seperti Proses Kesuburan Tanah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Tanah tidak sekadar benda mati tempat berpijak. Ia menyimpan jejak sejarah, memeluk bangkai masa lalu, dan menyuburkan kehidupan yang baru. Dalam tanah, terkandung rahasia besar: bahwa kehancuran bukan akhir, tapi awal bagi kehidupan yang lain. Seperti halnya jiwa manusia, yang bisa menjadi subur setelah luka, menjadi kuat setelah ujian.

Di sinilah kebijaksanaan itu tumbuh—dalam senyap, dalam gelap, dalam proses panjang yang tidak terlihat. Tanah tidak bicara, namun ia mengajarkan. Tanah tidak menuntut, namun ia memberi. Maka jiwa manusia pun bisa meneladani cara tanah menyuburkan kehidupan.

Tanah dan Sifat Memaafkan

Tanah menerima apa saja. Bangkai, kotoran, daun-daun kering, bahkan racun. Ia tidak menolak, tidak mencaci, tidak membalas. Ia hanya menerima. Kemudian mengolahnya dalam diam. Dalam keheningan, ia mengubah semua itu menjadi nutrisi. Menjadi sumber kehidupan bagi tumbuhan, hewan, dan manusia.

"Tanah adalah pengingat paling jujur bahwa segala sesuatu yang hancur tidak selamanya berakhir. Ia mungkin sedang berubah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat."

Ilmu pedologi mengajarkan bahwa unsur hara makro dan mikro banyak berasal dari pelapukan bahan organik: dedaunan rontok, bangkai, kotoran, sisa akar. Justru tanah yang paling subur adalah tanah yang paling banyak menerima kehancuran. Begitu pula jiwa. Ia yang paling matang adalah ia yang mampu memaafkan, memproses luka menjadi hikmah.

Jiwa yang Mengolah Luka

Sayyid Qutb menulis, “Kadang-kadang manusia tidak bisa tumbuh dalam keadaan lembut dan tenang. Mereka hanya bisa berkembang di bawah tekanan dan penderitaan.”

Lihatlah pohon yang kokoh, akarnya menembus tanah keras. Semakin dalam, semakin kuat. Demikian pula manusia. Jiwa yang subur bukan yang steril dari cobaan, tetapi yang mampu mengolahnya. Ujian bukan beban, tetapi nutrisi. Derita bukan kutukan, tetapi pupuk.

Ketika hati disakiti, ketika harapan runtuh, ketika fitnah datang bertubi-tubi—jiwa yang bijak tak melawan dengan kemarahan. Ia diam seperti tanah. Menyerap. Mengendapkan. Mengolah. Lalu perlahan-lahan, dari luka itu, tumbuh kesadaran baru. Dan dari reruntuhan itu, bangkit kekuatan yang lebih matang.

Ketabahan dalam Struktur Tanah

Pakar tanah, Dr. Rattan Lal, menyebutkan bahwa partikel keras seperti kerikil dan pasir memberi struktur yang mendukung akar. Tanah bukan hanya lembut. Ia juga keras. Dan justru kombinasi itulah yang memungkinkan tanaman tumbuh kuat.

Jiwa pun demikian. Tabah bukan berarti lembek. Tabah berarti mampu menahan, menampung, menopang. Tanah yang terlalu lunak longsor. Tanah yang terlalu keras tidak bisa ditanami. Jiwa yang terlalu lembut bisa patah. Jiwa yang terlalu kaku bisa retak. Maka diperlukan keseimbangan.

“Setiap tanah punya cara sendiri menopang kehidupan, tergantung bagaimana ia mengelola sampah dan kerasnya dunia bawah tanah.” — Rattan Lal

Tabah bukan berarti tidak merasa sakit. Tapi tetap bertahan meski sakit. Seperti tanah yang diinjak, dibajak, dibakar—namun tetap memberi hasil.

Kehidupan yang Sibuk di Dalam Diam

Satu sendok tanah mengandung miliaran mikroorganisme. Mereka bekerja tanpa suara. Menguraikan, memurnikan, memperkaya. Di permukaan, tanah tampak diam. Tapi di dalamnya, kehidupan berdenyut tanpa henti.

Begitu juga jiwa. Ia yang tampak tenang bisa jadi sedang sibuk memperjuangkan kedamaian batin. Ia sedang memurnikan niat, menyaring amarah, menumbuhkan cinta, dan menanam harapan. Jiwa yang paling dalam justru yang paling diam. Tapi dari keheningan itulah muncul kebijaksanaan.

“Allah menciptakan manusia dari tanah, dan mengembalikannya kepada tanah. Di antara dua peristiwa itu, manusia diajarkan untuk belajar dari tanah.”

Tanah sebagai Harta Karun Kehidupan

Tanah menyimpan rahasia peradaban. Dari tanah keluar emas, perak, logam langka, energi fosil. Dari tanah tumbuh makanan, pohon, dan kehidupan. Kristin Ohlson dalam The Soil Will Save Us menulis bahwa tanah menyimpan karbon, menyaring polusi, dan mengolah limbah. Ia adalah mesin kehidupan yang diam-diam menopang dunia.

“Di bawah telapak kaki kita, terdapat laboratorium kehidupan yang paling tua dan paling jenius di bumi.” — William Bryant Logan

Jiwa pun demikian. Jika dijaga dan diolah, ia bisa melahirkan kebijaksanaan, kreativitas, dan keberanian. Tapi jika diabaikan, ia bisa menjadi tempat tumbuhnya penyakit hati. Maka tanamlah dalam jiwa nilai-nilai luhur seperti menanam benih di tanah subur.

Pemimpin Seperti Tanah

Pemimpin yang baik seperti tanah. Ia menyerap kritik, menampung luka, menyuburkan lingkungan. Ia tidak membalas cercaan dengan kemarahan. Ia mengolahnya menjadi kebijakan. Ia memaafkan, tapi tidak melupakan. Ia memproses, lalu menumbuhkan perubahan.

Hasan Al-Banna berkata, “Jadilah seperti tanah yang diinjak, tetapi darinya tumbuh kebaikan bagi semua makhluk.”

Dakwah pun serupa. Jiwa manusia tidak bisa ditanami langsung. Ia harus digemburkan. Disirami kesabaran. Dipupuk dengan cinta. Bukan dengan kemarahan dan paksaan. Tanah yang keras perlu diolah. Begitu juga hati manusia.

Tanah dan Ketaatan

Dalam QS. Fussilat: 11, langit dan bumi diperintahkan oleh Allah untuk datang: “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku.” Dan keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.”

Tanah adalah makhluk yang taat. Ia menerima takdir tanpa mengeluh. Ketika dibakar, dibajak, ditaburi racun—ia tetap memberi. Ia tetap menumbuhkan. Ia tetap melayani. Tanah tidak memilih siapa yang berpijak di atasnya. Ia tidak menolak siapa yang mencangkulnya. Ia tidak marah meski dijadikan kuburan.

Tidakkah kita malu kepada tanah?

Tanah, Cermin Jiwa yang Matang

Akhirnya, kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tapi sebelum kembali, mari belajar darinya. Belajar untuk diam tapi memberi. Diam tapi menyaring. Diam tapi menyuburkan.

Tanah tidak menuntut dipuji. Tidak meminta balas jasa. Ia hanya terus memberi. Karena memberi adalah bentuk tertinggi dari eksistensi.

Begitu pula jiwa. Yang matang adalah yang tidak sibuk membalas. Tapi sibuk menyuburkan. Yang matang bukan yang banyak bicara, tapi yang memberi manfaat. Bukan yang menonjolkan diri, tapi yang menjadi penopang diam-diam.

Tanah menyubur setelah mengelola kehancuran. Jiwa pun menjadi bijak setelah melewati penderitaan. Maka jangan takut jatuh. Jangan takut luka. Karena dari situ, kebijaksanaan bisa tumbuh.

Penutup

Proses tanah menjadi subur adalah gambaran sempurna dari jiwa yang matang. Ia menerima luka, mengendapkannya, memprosesnya, lalu memberikannya kembali dalam bentuk kebaikan. Jika tanah bisa, mengapa jiwa manusia tidak? Bukankah manusia berasal dari tanah?

Jika engkau merasa hancur, ingatlah: mungkin saat ini Allah sedang menjadikanmu lebih subur.


---

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan ...

Ruh dan Strategi: Mengulangi Kejayaan Umat Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengulang kejayaan lebih mudah daripada menciptakan kejayaan dari nol. Sebab jalan itu sudah pernah dilalui, meski kini tertutup debu zaman. Rasulullah Muhammad ﷵ، telah memberikan gambaran indah tentang posisinya dalam sejarah kenabian:

> "Perumpamaan antara aku dan para nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia menyempurnakan dan memperindahnya, kecuali satu tempat bata di pojokan. Maka orang-orang mengelilingi rumah itu dan mereka kagum seraya berkata, 'Mengapa tidak diletakkan satu bata di sini?' Maka akulah bata itu, dan akulah penutup para nabi." (HR. Bukhari no. 3535 dan Muslim no. 2286)



Bata itu telah ditaruh. Rumah itu telah lengkap. Kini, tugas generasi umat adalah menjaga, memperkuat, dan memperluas peradaban yang telah Rasulullah wariskan.

Allah mengingatkan kita melalui kisah para nabi, bukan sebagai cerita nostalgia, melainkan sebagai panduan praktis bagi setiap generasi:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yusuf: 111)

Itulah cara membangun  kembali ruh yang lemah dan menyegarkan strategi yang beku.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menyatakan:

> "Kisah-kisah dalam Al-Qur'an bukanlah cerita khayal atau khazanah sejarah yang mati. Ia adalah pancaran kehidupan dan pelajaran nyata bagi gerakan dakwah di setiap masa."



Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, menambahkan:

> "Sesungguhnya kisah para nabi adalah kurikulum Allah untuk mencetak rijal dakwah. Dengannya terbentuk keberanian, kejernihan visi, dan kematangan ruhani."



Bagi Al-Banna, pemimpin dakwah tidak cukup hanya cerdas dan fasih. Ia harus berjiwa nabi: berpandangan jauh seperti Nuh, bijaksana seperti Yusuf, tegas seperti Musa, dan lembut seperti Isa. Karakter itu dibentuk dengan menyerap ruh kisah-kisah kenabian.

Sebagaimana Allah mampu menciptakan manusia dari tanah, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkannya kembali. Maka membangkitkan peradaban Islam bukan mustahil—asal jalan itu ditempuh dengan sungguh.

Ulama salaf berkata: "Tidak mungkin membangun kejayaan Islam tanpa menempuh jalan para pendahulu." Jalan kejayaan itu tetap sama: semangatnya, obsesinya, dan jiwanya. Yang berubah hanyalah strateginya.

Namun mengapa terasa begitu sulit membangun kembali kejayaan umat?

Kadang masalahnya bukan pada strategi. Ruh, obsesi, dan keikhlasan telah melemah. Strategi boleh canggih, namun tanpa jiwa, ia tak akan bergerak. Hasan al-Banna memperingatkan:

> "Melepas jihad dari Islam sama halnya dengan mencabut ruh dari jasadnya." (Majmu' Rasail)



Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi al-Thariq menegaskan:

> "Jihad bukanlah fase sementara, tetapi sebuah perang abadi ... hingga kekuatan setan ditundukkan dan agama hanya untuk Allah secara menyeluruh."



Di sisi lain, ada pula yang memiliki semangat membara, namun memakai strategi usang yang tidak relevan dengan zaman. Maka perjuangan itu pun kehilangan daya dorong sosial. Strategi yang tak kontekstual hanya membangun nostalgia, bukan transformasi.

Sayyid Qutb mengkritik kebekuan umat:

> "Sesungguhnya Islam datang untuk membebaskan akal manusia dari setiap bentuk tekanan dan belenggu, baik yang berasal dari mitos, tradisi, atau tirani penguasa. Maka, kebekuan berpikir dan kepasrahan terhadap warisan lama tanpa kritik adalah pengkhianatan terhadap pesan Islam yang hidup dan bergerak."



> "Umat ini telah kehilangan pengaruh karena mereka tidak lagi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membentuk realitas, melainkan hanya menjadi simbol yang beku, dibicarakan tetapi tidak dijalani."



Hasan al-Banna pun memperingatkan:

> "Hendaknya kita keluar dari jumud dan taqlid buta kepada masa lalu. Kita harus membangkitkan ruh baru dalam memahami Islam sebagai sistem hidup yang sempurna, menyatu antara ibadah, jihad, politik, dan sosial."



> "Kita bukanlah kaum yang hidup dengan mimpi masa lalu. Kita adalah pewaris risalah yang harus bergerak. Janganlah kita tertidur dalam pujian terhadap sejarah, sementara ruh dan semangat para pendahulu telah hilang dari kita."



Sejarah membuktikan: ruh yang sama, jika dikawinkan dengan strategi baru, akan membangkitkan kejayaan.

Umar bin Khattab dan Abu Bakar tidak memimpin dengan cara yang sama. Utsman bin Affan membangun armada laut, sesuatu yang tak dilakukan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib menyelesaikan konflik internal dengan kebijaksanaan tersendiri.

Lihat juga Umar bin Abdul Aziz. Dengan ruh khilafah yang bersih, ia mengembalikan keadilan sosial dalam waktu singkat. Lihat Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menyatukan kembali negeri-negeri Islam yang tercerai dan menaklukkan Al-Quds. Lihat Muhammad Al-Fatih. Ia menaklukkan Konstantinopel dengan teknologi meriam dan strategi pengepungan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Mereka semua punya ruh yang sama, tetapi strategi yang kontekstual. Inilah pelajaran penting bagi kita: kejayaan Islam tidak akan terulang hanya dengan mengutip masa lalu, tetapi dengan menjiwai ruhnya dan menyesuaikan caranya.

Sekarang, hidupkan ruh itu. Juga bangun tubuhnya. Tubuh berupa strategi. Tubuh berupa gerakan. Tubuh berupa pemimpin dan umat yang bersatu.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya, adalah tanggung jawab generasi ini.

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rasulullah ﷺ baru saja melepas pas...

Mewujudkan Nubuwah Rasulullah SAW: Selalu Menjadi Pelanjut Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Rasulullah ﷺ baru saja melepas pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam. Tapi belum sempat menyaksikan hasil perjalanannya, beliau dipanggil oleh Allah. Di ujung kehidupan beliau yang mulia, masih ada tugas yang belum selesai: pembebasan negeri-negeri besar yang menjadi pusat kekuatan dunia saat itu.

Syam adalah jantung kekaisaran Bizantium. Di sanalah jejak darah para syuhada Muslim mengering: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur dalam Perang Mu’tah. Maka, ketika Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid—seorang pemuda—untuk memimpin ekspedisi ke Syam, itu adalah pesan penting: misi ini belum selesai, tapi harus terus berjalan.

> "Siapkanlah pasukan Usamah! Semoga Allah memberkahi pasukan itu."
(HR. Ahmad)



Belum sempat menanti kabar kemenangan, Rasulullah ﷺ wafat. Maka siapakah yang melanjutkan misi ini?

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Menyambung Benang yang Terputus

Abu Bakar di tengah  menyelesaikan badai dahsyat: kemurtadan dan nabi-nabi palsu. Beliau mengutus pasukan Usamah seperti yang diwasiatkan Rasulullah ﷺ. Meski ditentang oleh beberapa sahabat, Abu Bakar tegas:

> "Demi Allah, aku tidak akan membatalkan pasukan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ."



Begitulah Abu Bakar menjaga warisan Nabi. Tapi waktu tidak memberinya banyak ruang. Beliau pun wafat, dan sekali lagi, benang sejarah itu belum selesai dirajut.

Umar bin Khattab: Mematahkan Kisra dan Kaisar

Umar bin Khattab tampil menggenapi nubuwah Nabi. Di masanya, Persia runtuh. Kaisarnya tumbang. Syam dan Mesir ditaklukkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika Kisra bin Hurmuz binasa, maka tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, maka tidak akan ada Kaisar setelahnya..."
(HR. Bukhari no. 3593)



Nubuwah ini nyata. Persia hancur. Romawi kehilangan tanah jajahan penting. Tapi Umar pun gugur. Dan misi itu belum selesai. Masih ada negeri-negeri di seberang lautan.

Utsman bin Affan: Membuka Lintasan Lautan

Utsman meletakkan fondasi armada laut pertama umat Islam. Beliau membuka pintu ke arah lautan: ke Siprus, Tunisia, dan wilayah Mediterania. Ekspedisi-ekspedisi maritim diluncurkan.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Pasukan pertama dari umatku yang berlayar di lautan, wajib baginya surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Utsman membuktikan sabda itu. Ia menapak jejak kemenangan Rasul di medan air. Namun badai fitnah membunuhnya. Dan sekali lagi, sejarah tergantung di udara.

Ali bin Abi Thalib: Meredam Fitnah, Menjaga Umat

Ali tidak mendapat kemewahan memperluas wilayah. Ia tidak membangun ekspedisi. Ia menjaga nyawa umat dari saling tikam.

Perang Jamal. Perang Shiffin. Fitnah internal. Ali memikul beban sejarah paling berat: menjaga rumah umat dari kehancuran.

Namun, sekeras apa pun usahanya, Ali pun dibunuh. Dan sejarah kembali meminta pewaris.

Hasan bin Ali: Damai Lebih Tinggi dari Tahta

> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin. Semoga Allah mendamaikan dengan perantaraannya dua kelompok besar dari kaum Muslimin."
(HR. Bukhari no. 2704)



Hasan bin Ali tidak bertempur. Ia melepaskan kekuasaan demi kedamaian. Langkahnya bukan kelemahan, tapi nubuwah.

Kini, para khalifah setelahnya menyambung kembali benang yang lama terputus. Siapkah membebaskan Konstantinopel dan Roma?



Muawiyah bin Abu Sufyan: Ekspedisi ke Konstantinopel

Muawiyah memulai jihad maritim besar. Antara tahun 49–55 H, ia meluncurkan ekspedisi darat dan laut menuju Konstantinopel. Medan yang sangat sulit:

Kota dengan perlindungan benteng berlapis.

Dijaga laut dan armada tangguh.

Jauh dari pusat kekuasaan Islam (Damaskus).


Tapi Muawiyah tidak mundur. Ia kirim sahabat-sahabat utama. Jalan menuju penaklukan Konstantinopel dibuka.

Harun ar-Rasyid: Membuat Bizantium Tunduk

Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah melanjutkan jihad ini. Ia mengirim jenderal Humayd bin Ma’yuf al-Hajbi memimpin ekspedisi besar. Kaisar Nikephoros sempat menghinakan Islam. Tapi Harun membalas:

> "Dari Harun, Amirul Mukminin, kepada kaisar Romawi. Telah engkau baca suratmu, dan jawabannya akan kau lihat, bukan kau dengar."



Pasukannya menghantam jantung Bizantium. Kaisar tunduk dan membayar upeti. Namun dua kekhalifahan yang telah berdiri tidak juga membebaskan Konstantinopel, siapakah yang akan melanjutkan?

Muhammad Al-Fatih: Menggenapi Penaklukan

Saat Abbasiyah runtuh, Khilafah Utsmaniyah muncul. Muhammad Al-Fatih menuntaskan nubuwah Rasulullah ﷺ:

> "Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya."
(HR. Ahmad)



Konstantinopel jatuh. Tapi Al-Fatih belum puas. Ia siapkan pasukan ke Italia untuk membebaskan Roma. Namun di tengah perjalanan:

> Sejarah mencatat: Muhammad Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Dalam perjalanan menuju Italia, beliau wafat sebelum mencapai Roma.



Mengapa Al-Fatih tak berhasil menaklukkan Roma? Karena Allah masih menyisakan tugas untuk generasi selanjutnya.

Sejarah Tak Pernah Selesai

Seakan-akan, Allah menulis sejarah ini secara bersambung. Agar setiap generasi punya bagian. Agar kita tidak hanya menjadi pembaca sejarah, tapi pelanjut.

Hari ini, nubuwah Rasul belum tuntas:

Roma belum dibebaskan.

Sistem keadilan ekonomi belum ditegakkan.

Dunia masih dikuasai oleh 1% elite ekonomi.


Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Akan datang suatu masa di mana seorang manusia berkeliling membawa zakat, namun tidak seorang pun yang membutuhkan."
(HR. Ahmad dan al-Hakim)



Maka ini bukan nostalgia. Ini kewajiban. Para sahabat gelisah bila nubuwah belum terwujud. Mereka merasa bersalah jika belum menuntaskan tugas Rasul.

Apakah kita memiliki kegelisahan yang sama?

Sekarang Giliran Kita

Kita tidak hidup di zaman penaklukan kota, tapi kita masih memikul penaklukan ide. Penaklukan ketimpangan. Penaklukan kemiskinan. Penaklukan kebodohan.

Kita tidak mengangkat pedang, tapi kita membawa pena, ilmu, teknologi, dan kekuatan moral.

Mari naikkan level kegelisahan kita. Bukan dalam skala pribadi. Tapi dalam skala umat.

Karena sejarah belum selesai. Dan tugas menyelesaikannya adalah tanggung jawab generasi ini.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (575) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (237) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (154) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)