Tragedi Sejarah, Menghancurkan Umat Islam?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Malam itu, langit Uhud memerah. Pedang-pedang berkilat di bawah matahari yang belum jatuh sempurna. Darah mengalir bukan hanya dari tubuh, tapi juga dari hati. Rasulullah sendiri terluka. Sahabat-sahabat terbaik gugur satu per satu. Tapi benarkah kekalahan di Uhud adalah bencana? Atau justru jalan menuju kebangkitan?
Sayyid Qutb, dalam Fi Zhilalil Qur'an, mengajak kita merenung lebih dalam. Ia menolak menyebut Uhud sebagai tragedi kehancuran. Bagi Qutb, Uhud adalah madrasah—tempat Allah menempah ruh para pejuang.
> "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia..." (QS. Ali Imran: 140)
Kemenangan dan kekalahan, menurut Sayyid Qutb, adalah cara Allah menyaring keimanan. Agar tampak siapa yang benar-benar jujur dalam janji jihad, dan siapa yang goyah saat musibah datang. Bukankah sebagian pemanah yang turun dari bukit tergoda oleh dunia?
> "Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada umat yang belum selesai proses tarbiyahnya."
Begitulah. Umat Islam diajarkan untuk tidak sekadar bersemangat, tetapi harus lurus niat, disiplin, dan siap diuji.
Hasan al-Banna pun bersuara dalam nada yang seirama. Baginya, Uhud bukan sekadar sejarah kekalahan, melainkan refleksi ruhani. Ia berkata:
> "Perhatikanlah peristiwa Uhud! Mereka tidak kalah karena jumlah, tetapi karena pelanggaran disiplin yang kecil tetapi fatal."
Kekalahan, menurutnya, bukan akhir. Itu awal dari evaluasi, cermin untuk melihat ke dalam: sejauh mana niat kita lurus? Apakah ukhuwah terjaga? Apakah pemimpin ditaati?
> "Rasulullah sendiri terluka dalam Uhud, namun beliau tetap menjadi pusat keteguhan. Maka, pemimpin dakwah harus menjadi sumber ketenangan di tengah badai."
Sejarah Islam tak kekurangan tragedi. Tapi dari sana, bangkit tokoh-tokoh besar. Lihatlah Abdullah bin Zubair.
Ia bertahan di Mekkah, kota suci yang pada akhirnya dibombardir dengan manjanik oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Batu-batu besar menghantam Ka'bah, tempat yang selama ini menjadi arah sujud. Mekkah pun luka. Bangunan Ka'bah retak.
Namun tahukah kamu? Dari retakan itu, Rasulullah seakan berbicara kembali.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah:
> "Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, niscaya aku akan menghancurkan Ka'bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim."
Maka saat Ka'bah rusak akibat serangan, Abdullah bin Zubair membangunnya seperti yang diinginkan Rasulullah: dengan dua pintu, dan mengembalikan bagian Hijr Ismail ke dalam struktur. Tragedi melahirkan penyempurnaan.
Tapi sejarah belum selesai.
Abdullah dikhianati oleh salah satu jenderalnya, yang kemudian pergi ke Irak. Ironisnya, dari pengkhianatan itu lahirlah babak keadilan: ia menumpas para pembunuh Husein bin Ali, cucu Rasulullah, yang selama ini lolos dari hukuman. Tidak ada yang menyangka: pengkhianatan justru membuka jalan bagi qisas yang selama ini tertunda.
Sejarah Islam seperti itu. Penuh luka, tapi dari luka-luka itu tumbuh pohon keadilan.
Mari melompat lebih jauh.
Bangsa Tartar. Nama yang membuat jantung berdegup di abad pertengahan. Mereka membumihanguskan Baghdad, menenggelamkan buku-buku ulama dalam tinta yang menghitamkan Sungai Tigris. Peradaban runtuh. Kekhalifahan berakhir.
Tapi apakah ini akhir?
Yusuf al-Qaradawi menjawab tidak.
> "Bangsa Tartar yang selalu menang... akhirnya masuk Islam atas kehendak dan pilihan mereka sendiri. Mereka menjadi bangsa yang menang masuk agama bangsa yang kalah."
Betapa dahsyatnya dakwah Islam. Tanpa pedang. Tanpa paksaan. Tapi menembus hati bahkan bangsa yang paling brutal. Setelah itu, mereka mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Timurid, dan menjadi fondasi bagi kebangkitan Utsmani.
Dan lihatlah Utsman bin Ertugrul. Di tengah reruntuhan Abbasiyah, ia memulai dari suku kecil, melawan Tartar. Dari sana, berdirilah kekhalifahan Turki Utsmani yang bertahan lebih dari enam abad.
Tak cukup? Mari kita tengok Salib.
Perang Salib memporak-porandakan Syam dan Palestina. Tapi siapa yang muncul?
Shalahuddin al-Ayyubi. Seorang pemimpin yang bukan hanya menang, tetapi juga mengajarkan kepada Eropa arti akhlak mulia. Ia menang dengan cinta, bukan hanya pedang.
Dari tragedi, lahir tokoh. Dari runtuhan, tumbuh kekuatan.
Lalu, adakah semua tragedi itu menghancurkan umat Islam?
Jika kita menilai hanya dari darah dan reruntuhan, jawabannya bisa jadi iya. Tapi jika kita melihat dari kelahiran ruh baru, jawabannya adalah: tidak. Bahkan sebaliknya.
Tragedi adalah panggilan. Panggilan untuk bangkit. Untuk membersihkan barisan. Untuk menyaring niat. Untuk memperbaiki jalan dakwah.
> "Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki." (QS. Ali Imran: 169)
Sejarah bukan kuburan. Ia adalah nadi. Tragedi bukan akhir. Ia adalah permulaan. Seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—menyakitkan di awal, tapi membawa kehidupan.
Uhud bukan akhir. Karbala bukan penutup. Baghdad bukan kehancuran total. Setiap tragedi adalah batu loncatan. Tinggal kita, apakah hanya menangisi masa lalu, atau menumbuhkan benih harapan dari tanah yang basah oleh darah syuhada?
Di sanalah letak kebangkitan. Di antara reruntuhan dan keheningan.
Wallahu a'lam.
0 komentar: