basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Di pesisi...

Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Di pesisir barat Sulawesi Selatan, berdiri dua kekuatan maritim yang pernah menjadi poros dagang dan dakwah Islam di Nusantara: Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo. Keduanya bersatu dalam kekuasaan Islam yang tidak hanya membangun pelabuhan dan armada laut, tetapi juga menata ekonomi rakyat berdasarkan syariat dan keadilan.

Sultan-sultan mereka sadar betul: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus namun menghancurkan. Maka mereka memilih jalan sulit—melunasi utang rakyat, menolak ketergantungan, dan menjaga kehormatan.



1. Sultan Alauddin (Raja Gowa Pertama yang Masuk Islam): Awal Kebijakan Ekonomi Islam

Setelah memeluk Islam pada 1605, Sultan Alauddin mulai menata ulang sistem pemerintahan dan ekonomi. Ia mendirikan Baitul Mal lokal yang dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, serta hasil bumi.

 Tujuan utamanya:

Membantu petani dan nelayan yang terlilit utang kepada saudagar asing

Menebus hasil bumi yang disita karena gagal bayar

Menghapus bunga dalam transaksi perdagangan


Ia berkata kepada ulama dari Tallo:

“Jika rakyatku ditindas karena utang, maka aku yang menanggungnya. Sebab kemuliaan negeri ini bukan pada emasnya, tapi pada keadilan penguasanya.”



2. Sultan Malikussaid: Menolak Utang Dagang VOC

Sultan Malikussaid (putra Sultan Alauddin) menghadapi gempuran Belanda dengan cara halus: dengan "membantu" rakyat lewat kontrak dagang dan pinjaman barang.

Tapi sang sultan menolak keras. Ia membentuk lembaga keuangan maritim yang:

Memberi modal dagang bebas bunga

Membeli kembali kapal rakyat yang dijadikan jaminan utang

Melindungi pasar lokal dari utang berbunga saudagar Belanda dan Portugis


Ia berkata kepada utusan VOC:

 “Kami bukan negeri miskin yang menjual harga diri demi lada dan cengkih.”



3. Sultan Hasanuddin: Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Kolonial

Sultan Hasanuddin (memerintah 1653–1669), sang "Ayam Jantan dari Timur", terkenal karena perlawanan militernya terhadap VOC. Tapi yang kurang disorot adalah perjuangannya membebaskan rakyat Makassar dari jerat utang kolonial.

Dalam masa blokade dan perang ekonomi, ia:

Melunasi utang saudagar lokal kepada VOC dengan dana negara

Menghapus pajak darurat yang memaksa rakyat berutang

Memberi pinjaman dari kas kesultanan tanpa riba, berdasarkan syariat


Hasanuddin sadar, VOC tidak hanya menyerang dengan senjata, tapi juga dengan utang dagang dan monopoli.

Ia berseru kepada bangsawan dan kapitan:

“Utang kepada penjajah adalah tali yang menjerat leher bangsa.”



4. Sultan-Sultan Tallo: Membantu Melunasi Utang Rakyat di Pedalaman

Sebagai mitra Gowa, para sultan Tallo seperti Karaeng Matoaya juga membentuk lembaga wakaf dan zakat untuk melunasi utang petani, pengrajin, dan nelayan.

Dalam tradisi setempat, rakyat yang tidak sanggup membayar utang karena bencana atau gagal panen dapat mengajukan pembebasan melalui masjid dan dewan ulama.

Para pejabat istana diwajibkan menyisihkan harta untuk dana penebusan utang sebagai bagian dari pengabdian sosial.



5. Warisan dan Wasiat Para Sultan

Sebelum wafat, para sultan Makassar mewasiatkan agar negeri ini tidak diwariskan dalam kondisi terikat:

“Jangan biarkan rakyatmu hidup dari pinjaman yang mencekik. Lebih baik kita menanggung lapar bersama, daripada kenyang di bawah kendali penjajah.”



Penutup: Kedaulatan Itu Bukan Hanya Pedang, Tapi Bebas dari Utang

Para sultan Makassar paham betul, kedaulatan sejati adalah ketika rakyat tidak bergantung pada belas kasihan bangsa asing. Maka melunasi utang, menolak pinjaman berbunga, dan membela rakyat dari jerat finansial adalah jihad ekonomi yang tak kalah penting dari perang fisik.

“Utang yang memiskinkan rakyat adalah penjajahan dalam rupa baru. Dan seorang sultan tak boleh membiarkan itu terjadi.”
— Prinsip Sultan Hasanuddin

Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Di bal...

Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Di balik pegunungan dan lautan Nusa Tenggara Barat, berdiri kesultanan-kesultanan Islam yang teguh dalam menjaga kedaulatan spiritual dan ekonomi rakyatnya. Di antaranya, Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa telah mencatatkan sejarah bahwa utang bukan hanya soal angka, tapi soal kehormatan dan amanah.



1. Kesultanan Bima: Melunasi Utang Petani dan Nelayan

Pada abad ke-18 hingga ke-19, banyak rakyat Bima, terutama petani dan nelayan, yang terjerat utang akibat gagal panen, pajak kolonial, atau monopoli hasil bumi oleh pedagang luar.

Sultan Abdul Hamid (memerintah 1854–1881) dari Kesultanan Bima dikenal sebagai sultan yang adil dan sangat peduli pada utang rakyat. Ia membentuk badan semacam baitul mal lokal untuk:

Menebus utang rakyat kepada saudagar besar dan lintah darat

Memberi pinjaman tanpa bunga kepada petani yang kesulitan modal tanam

Melunasi utang nelayan yang perahunya disita oleh pedagang Belanda


 Dalam salah satu dokumen lokal, ia menyatakan:

 “Rakyatku tidak boleh kehilangan tanah atau perahu hanya karena utang. Jika mereka lemah, negara harus membantunya, bukan membiarkannya ditindas.”





2. Kesultanan Sumbawa: Melindungi Rakyat dari Jerat Utang Dagang Kolonial

Kesultanan Sumbawa, yang aktif berdagang hasil pertanian dan ternak dengan pedagang luar, sempat ditekan oleh perjanjian dagang Belanda. Rakyat diminta menyetor hasil bumi, tetapi harga dipaksa rendah. Akibatnya, banyak rakyat berutang demi bertahan hidup.

Sultan Muhammad Jalaluddin III (abad ke-19), dikenal sangat cermat dalam keuangan negara. Ia mengeluarkan kebijakan:

Membayar utang rakyat miskin dari kas negara

Menghapus sistem gadai tanah karena utang

Menebus kembali kebun dan ternak rakyat yang jatuh ke tangan pedagang asing


Ia mengingatkan pejabatnya:

“Utang yang menindas adalah bentuk penjajahan. Rakyat tidak boleh diperbudak oleh bunga atau oleh kongsi dagang asing.”





3. Utang dan Prinsip Islam dalam Kepemimpinan NTB

Sultan-sultan NTB sangat terpengaruh ajaran Islam dan tradisi dakwah para ulama lokal (tuan guru). Mereka memandang utang bukan sekadar kewajiban ekonomi, tapi tanggung jawab ruhani.

Mereka percaya pada sabda Nabi ï·º:

“Menunda pembayaran utang oleh orang mampu adalah kezaliman.” (HR. Bukhari-Muslim)



Maka mereka:

Menolak menggunakan utang negara untuk kemewahan istana

Tidak mewariskan utang pada rakyat di akhir kekuasaan

Melunasi utang rakyat sebagai bentuk ibadah sosial




4. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat

Beberapa wasiat sultan NTB yang tercatat dalam hikayat lokal menyebut:

 “Bila engkau memimpin negeri ini, jangan kau pinjam uang dari orang yang ingin membeli tanah rakyat. Bila rakyat lapar, beri mereka makan, tapi jangan biarkan mereka berutang kepada orang zalim.”





Penutup: Warisan Marwah Ekonomi Islam di Timur Nusantara

Dari Bima hingga Sumbawa, jejak para sultan menunjukkan bahwa melunasi utang bukan hanya perkara membayar, tapi menyelamatkan umat dari jerat ketergantungan dan kehilangan kehormatan.

“Lebih baik kas negara kosong, tapi rakyat berdiri tegak—daripada istana penuh emas, tapi rakyat hidup sebagai budak utang.”
— Prinsip Para Sultan NTB

Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Maluku, ...

Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Maluku, gugusan pulau penghasil cengkih dan pala, pernah menjadi pusat ekonomi dunia sejak abad ke-15. Kekayaan ini menarik bangsa Eropa—Portugis, Spanyol, Belanda—datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk menguasai dan menjajah lewat utang dan tipu daya.

Namun di tengah tekanan itu, muncul para sultan dari Kesultanan Ternate dan Tidore yang berdiri tegak, menolak dijadikan budak ekonomi, dan berani melunasi utang rakyat agar tidak menjadi alat kolonialisme.



1. Sultan Baabullah (Ternate): Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Portugis

Sultan Baabullah (memerintah 1570–1583), dijuluki “Raja dari 72 Pulau”, adalah tokoh besar Maluku yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Tapi perjuangannya bukan hanya di medan perang. Ia juga menghadapi perang ekonomi.

Sebagian rakyat Ternate dipaksa berutang oleh Portugis—baik dalam bentuk pajak rempah, barang dagang dengan harga manipulatif, maupun cicilan peralatan pertanian.

Setelah kemenangan militer, Sultan Baabullah memerintahkan:

Penghapusan seluruh utang rakyat kepada Portugis

Pembebasan sandera dan jaminan hutang

Pemulihan hak milik tanah dan rumah rakyat yang disita


Ia berkata kepada para ulama dan kapitan:

“Utang kepada penjajah bukanlah kewajiban, tapi belenggu. Kita lunasi dengan kemerdekaan.”



2. Sultan Saifuddin (Tidore): Membayar Utang Rakyat dengan Harta Pribadi

Pada awal abad ke-17, ketika VOC mulai menguasai jalur rempah dan menerapkan sistem monopoli paksa, banyak petani dan pedagang lokal terjerat utang karena:

Dipaksa menjual cengkih dengan harga rendah

Harus membeli barang VOC dengan harga tinggi

Dikenai denda jika gagal setor


 Sultan Tidore, Saifuddin (memerintah 1657–1687), menolak sistem ini. Ia bahkan menggunakan harta pribadi dan kekayaan istana untuk:

Menebus utang rakyat miskin kepada pedagang asing

Membeli kembali kebun cengkih rakyat yang disita

Membebaskan utang nelayan yang tidak mampu membayar pajak garam atau kapal


Ia juga mengirim utusan ke Batavia untuk menuntut penghapusan utang yang tidak adil.



3. Sultan Hairun dan Sultan Nuku: Utang adalah Perang Tanpa Darah

Sultan Hairun (Ternate) yang gugur dibunuh oleh Portugis pada 1570, pernah berkata kepada penasihatnya:

“Bangsa asing datang dengan emas, tapi ujungnya belenggu. Jika utang menjadi alat mereka mengikat rakyatku, maka aku akan menebusnya dengan darah.”

Penerus perjuangannya, Sultan Nuku (Tidore), tokoh anti-Belanda akhir abad ke-18, memimpin gerakan perlawanan dengan filosofi bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari pelunasan utang dan pembebasan tanah rakyat.

Nuku memerintahkan:

Setiap daerah yang dibebaskan dari VOC harus dibersihkan dari sistem utang paksa

Petani cengkih diberi hak penuh atas hasil panennya

Rakyat tidak boleh dijerat dalam utang oleh elit lokal



4. Utang dan Harga Diri dalam Islam di Maluku

Para sultan Maluku sangat memahami prinsip Islam tentang utang:

“Barang siapa mati dalam keadaan masih menanggung utang, maka jiwanya tergantung sampai utangnya dilunasi.” (HR. Tirmidzi)

Maka mereka meyakini: melunasi utang rakyat bukan hanya soal ekonomi, tapi soal penyelamatan jiwa dan kehormatan bangsa.



Penutup: Martabat Maluku, Bebas dari Utang dan Monopoli

Kisah para sultan di Maluku mengajarkan bahwa kedaulatan tak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tapi juga keberanian untuk membebaskan rakyat dari beban ekonomi yang menindas.

“Lebih baik miskin dan merdeka, daripada kaya tapi tergadai.”
— Prinsip Sultan Nuku



Di tengah dunia yang terus memutarkan roda utang sebagai alat dominasi, kisah para sultan Maluku tetap relevan: bahwa melunasi utang rakyat adalah bagian dari jihad menjaga martabat umat.

Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Sulta...

Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar dari Mataram Islam, bukan hanya dikenal karena keberaniannya menyerbu Batavia dan menantang hegemoni VOC, tetapi juga karena kebijakan fiskalnya yang bijak, nasionalistis, dan penuh kehormatan.

Meski istilah “utang” dalam konteks abad ke-17 di Jawa berbeda dengan definisi utang internasional modern, Sultan Agung telah menunjukkan sikap tegas terhadap semua bentuk ketergantungan finansial yang bisa melemahkan kemandirian rakyat dan negara.


---

1. Menolak Bantuan Keuangan dari VOC: "Utang adalah Awal dari Penjajahan"

Pada awal kekuasaannya, Sultan Agung ditawari “kerja sama ekonomi” oleh utusan VOC—yang intinya adalah pemberian bantuan logistik dan dana dalam bentuk barter dan pinjaman. Tapi sang Sultan menolaknya mentah-mentah.

Ia berkata kepada para patih dan penasihatnya:

> “Uang dari musuh adalah racun yang manis. Kita terima hari ini, tapi besok kita akan dijajah.”



Keputusan itu terbukti tepat. Banyak kerajaan pesisir lain yang menerima bantuan VOC, akhirnya kehilangan kedaulatan secara bertahap melalui utang dan perjanjian dagang yang timpang.


---

2. Melunasi Utang Pejabat dan Prajurit Rakyat

Sultan Agung tahu bahwa rakyat seringkali berutang kepada lintah darat untuk membayar pajak atau memenuhi kebutuhan perang. Ia membentuk Lembaga Keuangan Negara (semacam baitul mal) yang dananya diambil dari:

Pajak hasil bumi

Denda dari pelanggaran hukum istana

Perdagangan lada dan beras


Dana ini digunakan untuk:

Melunasi utang prajurit yang gugur dalam perang

Membebaskan tanah rakyat miskin dari sita

Memberi bantuan modal usaha tanpa bunga



---

3. Menolak Pajak Tak Adil, Menghapus Utang Hasil Pemerasan

Ketika terjadi keluhan dari rakyat pedalaman karena pemungutan pajak yang berlebihan oleh pejabat lokal, Sultan Agung segera mengutus penyelidik rahasia dan menghapus semua utang yang berasal dari pemerasan.

Ia menghukum beberapa pejabat tinggi yang memperkaya diri dengan cara menjerat rakyat dalam utang palsu.


---

4. Membangun Ekonomi Mandiri untuk Hindari Ketergantungan

Sultan Agung sadar bahwa utang tidak selalu dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk ketergantungan terhadap komoditas asing. Maka ia memerintahkan:

Swasembada pangan melalui pertanian intensif di daerah pedalaman

Produksi tekstil lokal untuk menandingi produk India

Reformasi pasar untuk melindungi pedagang kecil


Ini adalah strategi ekonomi jangka panjang agar negara tidak perlu “berutang” kepada asing dalam bentuk apa pun.


---

5. Wasiat Kepada Penerus: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat

Sebelum wafat pada tahun 1645, Sultan Agung berwasiat kepada putranya:

> “Janganlah kamu menjual tanah Mataram demi emas. Dan janganlah kamu berutang kepada bangsa yang datang membawa senjata dan senyum.”



Wasiat ini ditulis dalam serat-serat istana dan menjadi pedoman bagi generasi Mataram berikutnya (meski tak semua menerapkannya dengan setia).


---

Penutup: Utang Itu Beban, Kemerdekaan Itu Kehormatan

Sultan Agung tidak tercatat sebagai raja yang berutang besar kepada asing atau membebani rakyatnya dengan pajak demi kemewahan istana. Ia adalah simbol pemimpin yang berjuang membayar utang dalam arti luas:

Utang kepada rakyat yang harus dibayar dengan keadilan

Utang kepada sejarah yang dibayar dengan perjuangan

Utang kepada Tuhan yang dibayar dengan amanah kepemimpinan


> “Pemimpin yang sejati bukan yang meminta kepada rakyat, tetapi yang mengembalikan apa yang menjadi hak mereka.”
— Sultan Agung Hanyokrokusumo

Sultan Ageng Tirtayasa: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Kesultanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sultan Ageng Tirtayasa (1631–1692),...

Sultan Ageng Tirtayasa: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Kesultanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sultan Ageng Tirtayasa (1631–1692), pemimpin besar Kesultanan Banten, adalah sosok yang bukan hanya ahli strategi militer dan politik, tetapi juga seorang pemimpin yang tegas dalam urusan ekonomi, terutama dalam soal utang, kedaulatan, dan keadilan bagi rakyatnya.

Saat beliau memimpin (1651–1682), Banten menjadi salah satu pusat perdagangan Islam yang paling maju di Nusantara. Kapal-kapal dagang dari Arab, Persia, India, Cina, bahkan Eropa, bersandar di Pelabuhan Banten. Namun di balik kejayaannya, terdapat tantangan besar: penetrasi Belanda melalui utang dan monopoli.


---

1. Utang Rakyat kepada Pedagang Asing dan Rentenir Tionghoa

Seiring berkembangnya perdagangan, sebagian rakyat Banten—terutama pedagang kecil dan petani—mulai terjerat utang kepada pedagang besar, baik lokal maupun asing. Banyak dari mereka akhirnya kehilangan tanah atau kendali atas usahanya.

Sultan Ageng, yang dikenal dekat dengan ulama dan rakyat, tidak tinggal diam.

Ia memerintahkan agar:

Utang-utang rakyat miskin didata dan diteliti keadilannya

Tanah rakyat tidak boleh diambil hanya karena utang tanpa proses syar’i

Bila terbukti zalim, rentenir dipaksa membebaskan utang atau diganti dengan tebusan dari baitul mal



---

2. Melunasi Utang Negara Tanpa Menjual Kedaulatan

VOC (Belanda) berkali-kali menawarkan "bantuan pinjaman" untuk pembangunan pelabuhan dan militer. Namun Sultan Ageng selalu menolak dengan tegas:

> “Lebih baik kita miskin, tapi merdeka. Utang kepada penjajah adalah jalan menuju perbudakan.”



Sebaliknya, Sultan menjual sebagian harta milik pribadi dan keluarga istana untuk membayar biaya pembangunan pelabuhan, gudang, dan benteng. Ia juga:

Menarik zakat dan wakaf dari saudagar kaya

Mengurangi beban pajak rakyat miskin

Menghindari pinjaman luar negeri yang menjebak



---

3. Membentuk Dana Negara untuk Pelunasan Utang Umat

Sultan Ageng membentuk semacam baitul mal dari hasil:

Pajak perdagangan internasional

Pendapatan dari perkebunan lada

Sumbangan saudagar muslim


Dana ini digunakan untuk:

Membebaskan rakyat dari jeratan utang

Mendanai pendidikan pesantren

Menolong para petani dan nelayan yang terjerat rentenir


Ia pernah berkata kepada para ulama dan wazir:

> “Negara ini tidak berdiri untuk memperkaya bangsawan, tapi untuk menjaga kehormatan umat. Tidak boleh ada rakyat yang dipenjara karena utang.”




---

4. Wasiat Ekonomi: Jangan Wariskan Beban, Wariskan Kehormatan

Setelah ditangkap VOC karena konspirasi anak kandungnya sendiri (Sultan Haji), Sultan Ageng dipenjara dan wafat dalam tahanan. Namun sebelum itu, ia meninggalkan pesan ekonomi yang agung kepada pengikut setianya:

> “Jangan pernah menjual tanah Banten kepada penjajah, walau mereka datang membawa emas. Dan jangan biarkan rakyat kalian hidup dalam utang, karena utang itu menumbuhkan penindasan.”




---

Penutup: Utang Bukan Sekadar Angka, Tapi Ujian Marwah

Sultan Ageng Tirtayasa adalah contoh nyata bahwa pemimpin sejati tak hanya membangun dengan batu bata, tapi juga dengan kehormatan dan keberanian moral. Ia memilih melunasi utang rakyat daripada membangun istana emas. Ia memilih hidup sederhana dan merdeka, daripada kaya tapi terikat kepada penjajah.

> “Kemerdekaan adalah saat rakyat bebas dari rasa takut, dari lapar, dan dari tekanan utang.”
— Sultan Ageng Tirtayasa

Kisah Pangeran Diponegoro Melunasi Utang: Kehormatan, Bukan Kemewahan Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Pangera...

Kisah Pangeran Diponegoro Melunasi Utang: Kehormatan, Bukan Kemewahan

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Pangeran Diponegoro (1785–1855), tokoh utama dalam Perang Jawa (1825–1830), bukan hanya dikenal karena keberaniannya melawan penjajahan Belanda, tapi juga karena keteguhan moral dan integritasnya, termasuk dalam mengelola harta, menolak suap, dan melunasi utang.

Meskipun hidup sebagai bangsawan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro memilih hidup zuhud. Ia menolak warisan yang berasal dari kompromi dengan Belanda dan hidup di desa Tegalrejo dengan cara sederhana, bercocok tanam, dan berdakwah.


---

1. Menolak Suap, Tapi Melunasi Utang Sendiri

Ketika Belanda berusaha membeli loyalitasnya dengan jabatan dan tunjangan, Diponegoro menolak secara tegas. Bahkan ia pernah ditawari uang besar dan gelar politik, tapi ditolak dengan kata-kata:

> “Apakah kalian kira aku akan menjual tanah dan kehormatan hanya dengan emas kalian?”



Namun di saat yang sama, Diponegoro tetap berusaha memenuhi kewajiban keuangan pribadinya, termasuk utang kepada pedagang lokal atau rakyat biasa yang pernah membantunya dalam logistik atau keperluan perjuangan. Ia tidak membiarkan utangnya menumpuk atau membebani orang kecil.

Ketika dalam masa gerilya, ia bahkan pernah memerintahkan salah satu pembantunya untuk menjual barang pribadi milik keluarganya demi membayar kembali utang perlengkapan pasukan kepada pedagang muslim di pesisir selatan.


---

2. Mengganti Kerugian Rakyat Akibat Perang

Diponegoro memimpin perang besar yang menyebabkan kekacauan ekonomi di banyak daerah. Namun ketika melewati desa-desa yang rusak akibat konflik, ia berusaha mengirimkan bantuan pangan dan membayar kembali kerugian rakyat kecil dengan apa yang dimilikinya. Jika tak cukup, ia mencatat untuk dibayar kemudian.

Beberapa sumber lisan dan naskah babad menyebut, sebelum menyerahkan diri kepada Belanda (yang ternyata menjebaknya), Diponegoro sempat berkata kepada para pengikutnya:

> “Siapa yang masih menanggung utang karena membantu perjuangan ini, maka aku wajib membayarnya, bila perlu dengan tanah warisanku di Tegalrejo.”




---

3. Wasiat Saat Ditawan: Bebaskan Rakyat dari Beban

Saat diasingkan ke Manado dan kemudian ke Makassar, Diponegoro tetap berpegang teguh pada prinsip keuangan yang adil. Ia mewasiatkan kepada anak-anak dan pengikutnya agar:

Tidak meninggalkan utang tanpa pelunasan

Tidak menagih utang kepada rakyat miskin

Menggunakan harta untuk membebaskan, bukan menekan



---

4. Mengajarkan Zuhud dalam Kekuasaan

Dalam kitab catatannya yang kini dikenal sebagai “Babad Diponegoro”, ia menulis bahwa kekuasaan bukan tempat memperkaya diri, melainkan menjadi wakil Allah di bumi untuk menegakkan keadilan dan membela yang lemah.

Bagi Diponegoro, melunasi utang adalah bagian dari menjaga kehormatan sebagai Muslim dan sebagai pemimpin. Ia menolak gaya hidup boros dan mengajarkan bahwa utang harus dibayar walaupun musuh sedang mengepung.


---

Penutup: Pahlawan Tanpa Beban Dunia

Pangeran Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar, tanpa harta, tanpa istana, tanpa jabatan. Tapi ia wafat tanpa utang dan tanpa penyesalan. Kehormatannya tetap tinggi, bukan karena kekayaan, tapi karena kesucian prinsip dan konsistensi moral.

> “Utang bukan sekadar angka. Ia adalah ujian jiwa. Barang siapa meremehkannya, maka ia telah menggali jurang kehinaan.”
– Pangeran Diponegoro

Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT Dari abad ke-8 hingga ab...

Sultan-Sultan Muslim Maroko dan Amanah Melunasi Utang

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


Dari abad ke-8 hingga abad ke-20, Maroko telah diperintah oleh berbagai dinasti Islam: Idrisiyah, Murabitun, Muwahhidun, Marinid, Sa‘diyah, hingga ‘Alawiyah. Dalam setiap masa, selalu ada sultan-sultan yang tidak hanya berkuasa, tapi juga mengemban misi moral dan spiritual: melindungi rakyat dari kehinaan ekonomi, terutama dari jeratan utang.

Berikut adalah beberapa kisah penting dari para sultan Muslim Maroko yang menjadikan pelunasan utang sebagai jalan ibadah dan keadilan:



1. Sultan Yusuf bin Tasyfin (Murabitun): Menghapus Pajak Penindas dan Membayar Utang Rakyat

Yusuf bin Tasyfin (w. 1106 M), pendiri Dinasti Murabitun dan penyatu Maghrib (Barat Islam), dikenal bukan hanya karena kemenangannya atas pasukan Kristen dalam Perang Zallaqah (Spanyol), tapi juga karena kepeduliannya terhadap kondisi ekonomi rakyat.

 Ia menghapus pajak dzalim yang diwariskan penguasa sebelumnya, lalu mengembalikan harta hasil pungutan tidak sah kepada rakyat.

Ia mendirikan wakaf sosial untuk membayar utang petani dan buruh miskin yang terjerat lintah darat.

Ia memerintahkan para qadhi dan mufti mendata utang rakyat secara adil, lalu melunasinya dari kas negara.

Ia pernah berkata:

“Negeri yang damai bukanlah negeri yang kaya, tetapi negeri yang pemimpinnya tidak menyisakan air mata rakyat karena utang.”



2. Sultan Abu Yusuf Ya’qub Al-Manshur (Muwahhidun): Baitul Mal untuk Melunasi Hutang Ulama dan Fakir

Sultan Ya’qub Al-Manshur (memerintah 1184–1199 M) adalah penguasa besar Dinasti Muwahhidun yang pernah mengalahkan pasukan Salib dalam Perang Alarcos di Spanyol.

Namun, ia juga terkenal karena reformasi keuangan Islamnya.

Ia memerintahkan agar baitul mal digunakan bukan hanya untuk membangun benteng dan istana, tetapi juga untuk:

Membebaskan ulama yang dipenjara karena utang

Melunasi utang rakyat yang terjerat lintah darat Kristen

Menghapus utang yatim-piatu dan janda


 Ia juga menetapkan bahwa utang di bawah jumlah tertentu akan otomatis dihapus jika si pengutang tidak mampu bayar dan terbukti miskin.



3. Sultan Ahmad Al-Manshur (Sa‘diyah): Membayar Utang Negara Tanpa Menambah Beban Rakyat

Sultan Ahmad Al-Manshur (memerintah 1578–1603 M) adalah penguasa Dinasti Sa‘diyah yang berjuluk “Adh-Dhahabi” (Emas), karena kekayaannya luar biasa pasca kemenangan Perang Tondibi di Afrika.

Namun saat ia naik takhta, kas negara kosong dan utang besar tertinggal dari perang.

Ia menolak menambah pajak rakyat, dan justru:

Mengurangi gaji pejabat tinggi

Menjual sebagian harta pribadi sultan

Memotong belanja istana


Dalam waktu singkat, ia berhasil melunasi utang negara tanpa membuat rakyat menderita.

Ia juga menolak pinjaman dari pedagang Eropa karena khawatir menggadaikan kedaulatan.



4. Sultan Muhammad III (Dinasti ‘Alawiyah): Membayar Utang Rakyat, Menolak Utang Zionis

Sultan Muhammad bin Abdullah (memerintah 1757–1790 M), pendiri kota Essaouira, dikenal karena membangun hubungan internasional pertama dengan Amerika Serikat. Namun, yang jarang diketahui: ia sangat peduli pada beban utang rakyat.

 Ia memerintahkan pelunasan utang rakyat miskin kepada rentenir asing di wilayah pesisir dan pedalaman.

Ia mengeluarkan larangan keras terhadap praktik lintah darat dan memaksa para tuan tanah untuk menghapus utang rakyat yang terbukti dizalimi.

Ia juga membentuk dana zakat nasional khusus untuk pelunasan utang (garimîn), sesuai anjuran Al-Qur’an.

Ketika ada utusan Yahudi dari Eropa menawarkan investasi besar dengan imbalan akses tanah dan konsesi ekonomi, Sultan menolak tegas, seraya berkata:

“Kami akan menanggung penderitaan demi kehormatan. Kami tidak menjual tanah dan rakyat demi emas.”



5. Sultan Hasan I dan Muhammad V: Membela Rakyat dari Utang Kolonial

Menjelang masa kolonialisme, Maroko mulai dibebani utang luar negeri oleh bank-bank Eropa. Sultan Hasan I (w. 1894) dan cucunya Sultan Muhammad V (w. 1961) berupaya menolak pinjaman yang menjerat.

Sultan Hasan I membayar bunga utang dengan emas pribadi dan menyita properti bangsawan korup, agar rakyat tidak dipajaki lebih berat.

 Sultan Muhammad V, sang pemimpin kemerdekaan, menolak utang tambahan dari Prancis pada akhir masa penjajahan, karena ia tahu utang itu akan mengikat negeri secara politik.



Penutup: Kepemimpinan yang Membebaskan, Bukan Membebani

Para Sultan Muslim Maroko bukanlah penguasa yang membiarkan rakyat menderita demi proyek-proyek megah. Mereka memahami satu hal:

 “Utang adalah ujian. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang menjadi penebus, bukan penindas.”

Di tangan mereka, baitul mal bukan alat kekuasaan, tapi perisai kehormatan umat. Mereka menolak emas yang menjatuhkan harga diri rakyat, dan lebih memilih hidup sederhana demi mencegah air mata ummat.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (466) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (144) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)