basmalah Pictures, Images and Photos
Juli 2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Tanda Kekalahan Intelektual Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pernahkah kita menyaksikan seseorang kalah dalam berdebat, lalu membalasn...

Tanda Kekalahan Intelektual

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pernahkah kita menyaksikan seseorang kalah dalam berdebat, lalu membalasnya dengan amarah? Atau ketika kata-kata tak lagi mampu menjawab, kekuasaan pun digunakan sebagai senjata? Inilah tanda paling nyata dari kekalahan intelektual.

Namrud kalah berargumentasi, maka Ibrahim dibakarnya.

> "Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya (karena) Allah telah memberinya kekuasaan (kerajaan)? Ketika Ibrahim berkata, 'Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.' Dia (Namrud) berkata, 'Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan.' Ibrahim berkata, 'Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.' Maka bingunglah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
(QS. Al-Baqarah: 258)



Ketika logika gagal menjawab, api dijadikan solusi. Kekuasaan menjadi alat untuk membungkam bukan untuk melayani kebenaran.

Begitu pula dengan pembesar Mesir. Saat tak mampu membantah Yusuf, mereka memilih memenjarakannya.

> "Kemudian setelah mereka melihat tanda-tanda (kebenaran), mereka memutuskan untuk memenjarakannya sampai waktu tertentu."
(QS. Yusuf: 35)



Penjara menjadi tempat bagi orang-orang yang terlalu benar, ketika lingkungan telah kehilangan nurani dan logikanya.

Fir’aun juga tak berbeda. Saat Musa menunjukkan mukjizat yang nyata, ia malah mengangkat dirinya sebagai tuhan.

> "Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi dia (Firaun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha (menantang). Lalu dia mengumpulkan (kaumnya) dan berseru (dengan sombong): ‘Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.’"
(QS. An-Nazi'at: 20–24)



Ketika dalil tak lagi sanggup dibantah, ego ditinggikan, dan rakyat dijadikan tameng. Siksaan menjadi bukti bahwa argumentasi telah mati.

Musyrikin Quraisy pun demikian. Ketika mereka tak mampu menandingi argumentasi Rasulullah ï·º, mereka menyiksanya. Fenomena ini terus berulang. Kekerasan, siksaan, dan penjara adalah tanda kekalahan intelektual yang paling telanjang dalam sejarah manusia.

Kekokohan Intelektual Berakar dari Akidah

Kekuatan intelektual sejati tidak terletak pada banyaknya gelar, tidak pula pada luasnya pengetahuan duniawi, melainkan pada kokohnya akidah.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menulis:

> "Islam tidak memusuhi akal, tetapi menetapkan bahwa pondasi akal adalah iman."



Akal tanpa iman akan tersesat. Ia bisa diseret oleh ego, uang, kekuasaan, atau gengsi. Maka, kekuatan akal yang sejati harus berdiri di atas pondasi tauhid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun menegaskan:

> “Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan wahyu yang sahih. Akan tetapi, mendahulukan akal di atas wahyu secara mutlak adalah menempatkan prasangka di atas keyakinan—dan itu kerusakan dalam akal dan agama.”
(Dar' Ta'arud al-‘Aql wa al-Naql)



Ilmu dan teknologi bukanlah puncak kekuatan intelektual. Ia hanyalah kendaraan, bukan arah. Ia hanyalah sarana, bukan tujuan. Ketika sains tidak lagi bertumpu pada nilai dan iman, maka ia dapat menjadi alat pembinasaan yang justru mematikan akal.

Kecerdasan yang Tergoda Dunia

Qarun menampilkan seluruh kekayaannya untuk menciptakan keterpesonaan. Ia mengecoh akal manusia agar tak lagi melihat pada hakikat kebenaran, melainkan pada gemerlap dunia.

> "Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dengan perhiasannya. Berkatalah orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia, 'Wahai, semoga kami mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.'"
(QS. Al-Qashash: 79)



Inilah strategi klasik: mengalihkan perhatian dari kebenaran kepada kesenangan. Dan akal yang tidak dibimbing wahyu akan mudah terpukau.

Haman, tangan kanan Fir‘aun, menggunakan teknologi sebagai dalih untuk meruntuhkan wahyu. Ia membangun menara pencakar langit agar dapat "melihat Tuhan Musa"—sebuah sinisme yang dikemas sebagai kemajuan.

> "Dan Fir‘aun berkata: 'Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa. Dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.' Demikianlah dijadikan Fir‘aun memandang baik perbuatan buruknya itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Dan tipu daya Fir‘aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian."
(QS. Al-Mu’min: 36–37)



Teknologi dijadikan standar kebenaran. Infrastruktur dan proyek megah dijadikan tolok ukur keberhasilan. Namun semua itu tak pernah bisa menggantikan kekuatan akal yang tercerahkan oleh wahyu.

Mayoritas Bukan Ukuran Kebenaran

Di zaman ini, banyak orang menilai benar dan salah berdasarkan jumlah pengikut. Yang viral dianggap paling bernilai. Yang disukai massa dianggap paling valid. Padahal mayoritas bukan ukuran kebenaran.

Al-Qur’an mengingatkan:

> "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah."
(QS. Al-An‘am: 116)



Akal harus berdiri di atas dalil, bukan tren. Kebenaran tetaplah benar walau hanya diikuti segelintir manusia.

Wahyu: Puncak Intelektualitas Manusia

Kekuatan intelektual tertinggi terletak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Di sanalah tersimpan argumentasi tertinggi, cahaya yang tak pernah padam, dan hujjah yang tak bisa dikalahkan.

Imam Syafi‘i menulis dalam syairnya:

> "Semua ilmu selain Al-Qur'an hanyalah kesibukan,
Dan ilmu selain hadits Nabi hanyalah sia-sia.
Jika engkau mencari ilmu untuk selain agama,
Maka demi Allah, tipuanlah yang kau pelajari."
(Diwan al-Imam al-Syafi‘i)



Imam Ibnul Qayyim berkata:

> “Ilmu itu adalah apa yang dibawa oleh Rasul ï·º. Selainnya hanya sekadar bisikan-bisikan pikiran.”
(Miftah Dar as-Sa‘adah, 1/85)



Al-Qur’an dan Sunnah adalah puncak kecerdasan, karena bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui. Wahyu adalah cahaya yang menunjukkan jalan ketika akal buntu.

Ketika manusia berpaling dari wahyu, ia mulai mengandalkan fatamorgana: hiburan, sensasi, teknologi, dan kekuasaan. Akal pun gelap. Intelektualitas menjadi alat tipu daya. Ilmu berubah menjadi ilusi.

Namun bagi mereka yang kembali pada wahyu, Al-Qur’an dan Sunnah menjadi mercusuar. Ia bukan hanya membimbing akal, tetapi juga membersihkan jiwa dan menegakkan keadilan. Ia menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah, dan intelektualitas sebagai bukti iman.

Inilah jalan para nabi. Inilah kekuatan sejati.

Bukan pada kekuasaan. Bukan pada senjata. Bukan pada kekayaan. Tetapi pada kebenaran yang bersandar pada wahyu.

Dan mereka yang menolak kebenaran karena kalah logika, tak punya jalan lain kecuali satu:

Membungkam, menindas, dan menyesatkan.

Itulah tanda kekalahan intelektual.

Al-Qur’an, Hukum Kepastian Oleh: Nasrulloh Baksolahar > “Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar suatu perkataan yang memisa...

Al-Qur’an, Hukum Kepastian

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

> “Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar suatu perkataan yang memisahkan (antara yang hak dan batil), dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.”
(QS. At-Thariq: 13–14)

Bukankah manusia ingin hidup yang pasti-pasti saja?


---

Hidup ini bukan teka-teki.
Ia bukan ruang gelap yang dipenuhi kebetulan. Segala sesuatu memiliki hukum, arah, dan akhir yang pasti. Allah tidak menciptakan semesta ini dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan manusia berjalan tanpa peta.

Maka ketika Al-Qur’an diturunkan, ia bukan hanya kitab bacaan—ia adalah qawl fasl, keputusan tegas dan final tentang segala perkara dalam hidup. Bukan opini, bukan narasi, dan bukan pula dongeng masa lalu. Ia adalah hukum dari langit. Ia adalah algoritma dari Sang Maha Mengetahui, yang telah menuliskannya jauh sebelum segalanya dimulai.


---

Rencana Allah Itu Teguh

Lihatlah sejarah. Semua bentuk kezaliman, sehebat apa pun tampaknya, selalu menuju kehancuran. Namrudz, Firaun, Qarun, para penentang nabi dan rasul—semuanya diberi waktu. Tapi waktu itu bukan untuk menang. Itu hanyalah masa tangguhan sebelum hukum Allah ditegakkan atas mereka.

> “Dan tidaklah Tuhanmu lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Hud: 123)



Mereka tidak lolos. Tidak pernah. Karena hukum Allah adalah hukum kepastian. Ia telah ditulis di Lauh Mahfuzh—tak dapat diganggu, ditawar, atau dibatalkan oleh siapa pun.


---

Al-Qur’an: Ringkasan Ketetapan Lauh Mahfuzh

Tahukah engkau, dari mana datangnya Al-Qur’an?

Dari Lauh Mahfuzh—papan catatan agung di mana seluruh takdir semesta telah tertulis. Maka Al-Qur’an bukan hanya petunjuk. Ia adalah penjabaran dari segala hukum yang telah Allah tetapkan. Ia adalah versi terbaca dari ketentuan abadi di sisi-Nya, untuk manusia pelajari dan ikuti.

> “Bahkan yang didustakan itu adalah Al-Qur’an yang mulia, (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.”
(QS. Al-Buruj: 21–22)



Di sana tertulis segala arah. Segala nasib. Segala hasil. Tapi manusia lebih sibuk mengikuti algoritma dunia maya—yang bisa diubah, dimanipulasi, dan dijual—daripada mengikuti algoritma kehidupan yang disusun langsung oleh Tuhan semesta alam.


---

Setiap Perjalanan Sudah Ditetapkan

Petani memahami tanah. Ia tahu kapan harus menanam, jenis bibit apa yang sesuai, kapan musim hujan akan datang. Bila ia menentang hukum alam, ia akan gagal panen.

Demikian pula kehidupan. Bila manusia berjalan di luar batas hukum Al-Qur’an, ia akan gagal. Bukan karena Allah murka seketika, tapi karena sistem kehidupan itu sendiri akan menghancurkan yang menentangnya. Sebab, semua telah dituliskan. Semua ada jalurnya.

> “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kebenaran dan keadilan. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.”
(QS. Al-An'am: 115)



Maka jangan bertanya, “Mengapa orang baik menderita?”
Tunggulah ujung kisahnya.

Jangan pula berkata, “Mengapa orang zalim tampak bahagia?”
Tunggulah ketika hukum itu ditegakkan.

Kita hidup dalam sistem kepastian, bukan kebetulan. Kita hanya diminta untuk bersabar dan percaya.


---

Hijrah: Bukan Sekadar Pindah, tapi Masuk ke Dalam Hukum Allah

Sebelum Rasulullah ï·º hijrah, Allah tidak membekalinya dengan tentara, senjata, atau dukungan dari kekuatan dunia. Yang Allah beri justru dua kisah:

1. Kisah Nabi Musa, dari kelahiran dalam ancaman hingga hijrah ke Madyan dan kembali sebagai pembebas.


2. Kisah Nabi Yusuf, dari pengkhianatan saudara hingga menjadi pemimpin negeri dan memeluk kembali keluarganya.



Mengapa hanya kisah?

Karena bagi Rasulullah ï·º, kisah itu bukan dongeng. Ia adalah petunjuk atas jalan yang akan beliau tempuh. Dan beliau tahu, yang mengisahkan adalah Allah. Maka semua yang tertulis di dalamnya, akan menjadi kenyataan.

Hijrah itu berat. Harta ditinggal. Sahabat dibunuh. Dikejar, diburu, dan dicaci. Tapi Al-Qur’an tidak membiarkan perjuangan itu kosong. Ia sudah memberi sinyal dari awal: “Lihatlah kisah Yusuf. Lihatlah kisah Musa. Engkau akan melaluinya. Tapi engkau akan menang.”

Itulah hukum kepastian.
Bagi siapa pun yang istiqamah, janji Allah adalah jaminan. Dan kisah-kisah itu adalah template sejarah bagi umat Muhammad ï·º.


---

Bagaimana Akhir dari Segala Hal?

Satu pertanyaan yang harus terus kita ajukan adalah:

> Bagaimana akhir dari sabar?

Bagaimana ujung dari tawakal?

Apa hasil dari menahan amarah, menolak suap, dan menjaga shalat?



Jawabannya telah ditulis. Tertata. Dijamin.

Sebagaimana akhir dari kekikiran, pengkhianatan, kerakusan, dan kezaliman juga telah tertulis. Semua akan sampai pada ujung yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.

Maka jika engkau sedang dizalimi, bersabarlah. Bukan karena diam itu enak. Tapi karena engkau tahu siapa yang sedang menuliskan takdirmu.


---

Qalam: Pena Pertama dan Awal Segalanya

Apa yang pertama kali Allah ciptakan?

Qalam. Pena.

Untuk apa? Untuk menulis.

Sebelum segala yang terlihat, ada yang dituliskan. Sebelum “Jadilah!”, ada yang dirancang.

Allah menulis dahulu. Baru berkata: “Kun, fa yakun.” Maka jadilah.

> “Yang mengajar manusia dengan pena.”
(QS. Al-‘Alaq: 4)



Itulah sistem. Itulah desain besar. Dan Al-Qur’an adalah jendela kecil yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengintip sebagian dari sistem-Nya.

Apakah setelah semua itu engkau masih merasa hidup ini tidak memiliki arah?


---

Al-Qur’an Tidak Membutuhkan Pembenaran Manusia

Ada orang yang bertanya: “Tapi mengapa hukum Allah terasa berat?”
Jawaban: Karena hawa nafsu sudah terbiasa dengan yang ringan dan sesat.

Ada yang bertanya: “Bagaimana bisa yakin, padahal belum melihat hasilnya?”
Jawaban: Karena iman bukan menunggu bukti, tapi yakin kepada Dzat yang memberi janji.

Al-Qur’an tidak menyesuaikan diri dengan dunia. Dunia inilah yang harus tunduk pada Al-Qur’an. Siapa yang menentangnya, pasti hancur.

Siapa yang mematuhinya, pasti menang.

> “Sesungguhnya hari keputusan (yaum al-fasl) itu adalah waktu yang telah ditetapkan.”
(QS. An-Naba': 17)



Hari itu akan datang. Tapi sebelum hari itu, hukum Allah telah berlaku dalam kehidupan sehari-hari.


---

Masihkah Engkau Ragu?

Coba renungkan…

Jika engkau masih ragu kepada janji Allah, lalu kepada siapa engkau akan percaya?

Kepada manusia yang diciptakan dari air yang hina? Kepada harta yang bisa hilang dalam semalam? Kepada kekuasaan yang bisa runtuh oleh satu penyakit?

Bukankah lebih layak engkau percaya pada Dzat yang menciptakan segalanya? Yang tidak pernah tidur, tidak pernah salah, dan tidak pernah lupa?

> “Inilah Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 2)




---

Kesimpulan: Jalan Satu-Satunya

Hidup ini sangat terang. Terang oleh cahaya Al-Qur’an dan cahaya Nabi ï·º. Jalan telah dibuka. Petunjuk telah diberikan. Tidak ada lagi alasan untuk bingung, khawatir, atau takut.

Satu-satunya jalan hidup yang benar dan penuh berkah adalah:

Mengikuti apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan.

Menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang.


Tidak lebih. Tidak kurang.

> “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
(QS. Al-Ahzab: 36)




---

Maka bila engkau pemimpin, bawa umatmu kepada hukum ini.
Bila engkau guru, ajarkan kurikulum langit ini.
Bila engkau ayah, bimbing keluargamu dengan cahaya ini.

Dan bila engkau sendiri, berjalanlah dengan Al-Qur’an sebagai teman. Karena di ujungnya, kemenangan telah dijanjikan.

Bukan karena kita kuat. Tapi karena hukum-Nya pasti.


---

Al-Qur’an, Kurikulum Kehidupan Para Pemimpin Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau pemimpin? Atau ingin menjadi pemimpin? Mak...

Al-Qur’an, Kurikulum Kehidupan Para Pemimpin

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apakah engkau pemimpin? Atau ingin menjadi pemimpin? Maka, bertanyalah: siapa gurumu? Dari mana engkau menimba ilham dan arah?

Karena sesungguhnya, pemimpin adalah orang pertama yang diuji dalam keyakinan. Ia berdiri paling depan, membawa visi saat orang lain masih tertunduk pada kenyataan. Ia harus melihat cahaya bahkan dalam malam pekat.

Dan Al-Qur’an… bukan sekadar bacaan. Ia adalah ujian. Ia bukan kitab hiburan, tapi panduan tempur jiwa. Ia tidak datang untuk menyenangkan, melainkan untuk menyaring: siapa yang benar-benar beriman, siapa yang hanya ikut angin. Ia datang sebagai furqan—pemisah—bukan kompromi.


---

Ujian Keyakinan

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan seperti orang-orang sebelum kamu?” (Q.S. Al-Baqarah: 214)

Begitulah suara Al-Qur’an. Tegas. Tak meninabobokan. Al-Qur’an tidak mengajarkan cara menjadi penguasa, tetapi cara menjadi pemimpin—pemikul amanah, bukan pengejar tahta.

Ia menguji: mana yang lebih kau yakini—janji Allah atau janji manusia? Kekuasaan Allah atau dominasi para adidaya? Simpanan di sisi Tuhan atau harta yang dikulum para taipan?

Padahal, yang di sisi manusia fana. Mudah dirampas. Sebaliknya, yang di sisi Allah adalah kebenaran yang tak lapuk oleh waktu.

Kau bisa membaca surat-surat itu, tapi pertanyaannya bukan seberapa sering kau membacanya. Pertanyaannya adalah: apakah engkau percaya padanya?


---

Keyakinan yang Diuji dalam Titik Genting

Mari bayangkan…

Andai engkau berada dalam kobaran api seperti Ibrahim, masihkah yakin kepada Allah?

Andai kau dan keluargamu terjepit di tepi laut, dengan pasukan Firaun datang mengejar, masihkah yakin akan datang pertolongan?

Andai usia telah renta dan istri mandul seperti Nabi Zakaria, masihkah yakin akan datang karunia?

Andai engkau seperti pemuda Ashabul Kahfi, bersembunyi dalam gua, dikepung kekuasaan tirani, masihkah yakin bahwa Allah akan menutup pandangan musuh?

Titik-titik genting itulah tempat iman diuji. Dan di situlah pemimpin lahir—dari api, bukan dari kenyamanan.


---

Janji Siapa yang Lebih Engkau Percaya?

Seorang pemimpin tak hanya bicara strategi dan data. Ia bicara iman. Ia membaca tanda-tanda langit saat semua orang terpaku pada logika bumi.

Abu Bakar pernah diuji. Ketika Romawi dikalahkan Persia, kaum Quraisy menertawakan janji Al-Qur’an bahwa Romawi akan bangkit kembali. Tapi Abu Bakar tidak ragu. Ia bertaruh dengan hartanya, meyakini bahwa kemenangan akan datang sebagaimana yang dijanjikan.

Dan benar, beberapa tahun kemudian, Romawi menang. Bukan karena kekuatan militer semata, tetapi karena janji Tuhan tidak pernah palsu bagi yang yakin.

Inilah karakter pemimpin: ia percaya sebelum kemenangan datang. Ia yakin bukan karena melihat, tapi karena tahu apa yang dilihatnya berasal dari cahaya.


---

"Believing is Seeing"

Rhenald Kasali menyebutkan bahwa pemimpin perubahan tidak menunggu bukti untuk bergerak. Ia bergerak karena visi. Ia melihat yang belum ada. Ia meraba arah saat orang lain hanya memelototi peta.

Inilah yang juga diajarkan Al-Qur’an. Pemimpin sejati adalah mereka yang meyakini sesuatu yang belum tampak. Karena “percaya dulu, baru melihat”—itulah jalan orang-orang beriman.

Sedangkan dunia modern terbalik: ingin bukti dulu baru percaya. Ingin laba dulu baru memberi. Ingin kemenangan dulu baru melangkah.

Maka tak heran jika dunia kehilangan pemimpin sejati. Yang tersisa hanya para manajer ambisi dan peracik opini.


---

Al-Qur’an: Kurikulum Pemimpin, Bukan Budak

Al-Qur’an tidak turun untuk mencetak pengikut. Ia diturunkan untuk membentuk pemimpin. Jiwa-jiwa yang sanggup menyerap kesakitan, memikul tugas berat, dan tetap berjalan meski sendirian.

Bukankah yang menerima wahyu adalah para nabi dan rasul—pemimpin umat manusia?

Bukankah yang menghafal, mengajarkan, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai imam adalah para ulama dan pejuang peradaban?

Mereka bukan sekadar membaca. Mereka menafsirkan dengan darah, memaknainya dengan perjalanan, menjadikannya pelita di tengah gelapnya zaman.

Mereka tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai hiasan, tetapi sebagai senjata dan pelindung. Sebagai fondasi peradaban dan penunjuk arah. Sebagai kompas ketika dunia kehilangan utara.


---

Teknologi, Peradaban, dan Keajaiban dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an bukan kitab yang mengabaikan kemajuan. Ia justru mengisahkan tentang teknologi langit yang dicapai para hamba-Nya:

Perahu Nabi Nuh, cikal bakal rekayasa transportasi laut.

Kekuasaan Nabi Sulaiman dan Daud, yang memerintah manusia, jin, angin, dan hewan. Sebuah kepemimpinan ekologis yang menyatu dengan semesta.

Transportasi supercepat: pengiriman singgasana Ratu Saba dalam sekejap mata. Logistik dan kecepatan dalam satu genggaman.

Kaum Saba, yang membangun irigasi dan sistem pertanian yang lestari.

Tsamud dan Aad, yang menciptakan arsitektur besar dan pemukiman megah.


Semua itu ada dalam Al-Qur’an. Tapi bukan sekadar sejarah. Ia adalah pelajaran bagi pemimpin hari ini: bahwa kemajuan bukanlah musuh iman, melainkan buah dari iman yang benar.


---

Pemimpin yang Dipandu Langit

Maka, mari kita renungi: siapa yang menjadi pemandumu? Apakah dunia? Opini? Popularitas? Ataukah wahyu dari langit?

Imam Al-Ghazali telah lama mengingatkan:

> “Penguasa yang tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai imam, akan membawa rakyat kepada kegelapan, bukan cahaya. Sebab cahaya kepemimpinan bersumber dari wahyu, bukan dari hawa nafsu.”
— Ihya’ Ulumuddin



Hasan Al-Banna menegaskan:

> “Al-Qur’an adalah undang-undang yang sempurna. Ia adalah dasar peradaban, asas keadilan, dan rambu-rambu bagi pemimpin yang ingin membawa umat kepada kemuliaan.”
— Risalah Ta’alim



Dan Sayyid Quthb, yang menulis tafsir dari balik jeruji, berkata:

> “Pemimpin dalam Islam tidak berjalan di atas opini manusia, tetapi di atas petunjuk dari langit: Al-Qur’an. Itulah sumber kekuatan, arah, dan legitimasi.”
— Fi Zhilal al-Qur’an




---

Al-Qur’an dan Kamu: Sebuah Pertanyaan Pribadi

Maka kini, mari kembali ke awal:

Engkau membaca Al-Qur’an, tapi apakah engkau memimpinnya?

Engkau mendengar ayat-ayatnya, tapi apakah engkau menggenggamnya saat badai datang?

Engkau mungkin khatam berkali-kali, tapi apakah ia telah mengubah arah hidupmu?

Karena Al-Qur’an tidak bekerja di tangan yang ragu. Ia tidak menyalakan cahaya bagi hati yang belum siap percaya. Ia bukan kitab motivasi, tapi medan ujian.


---

Penutup: Waktu untuk Memilih

Sekaranglah waktunya memilih:
Apakah engkau ingin menjadi pemimpin yang ditulis langit?
Ataukah hanya bayangan yang mengandalkan statistik dan rating?

Karena dunia akan selalu berubah. Tapi Al-Qur’an tidak. Dan barangsiapa yang berpegang padanya, tak akan hanyut oleh arus zaman.

Wahai para pemimpin, atau calon pemimpin…

Jadikanlah Al-Qur’an sebagai kurikulummu.
Bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk membentuk jiwa.
Bukan hanya untuk dikaji, tapi untuk diteladani.
Agar engkau memimpin bukan dengan suara, tetapi dengan cahaya.


---

> "Cahaya tidak butuh suara untuk didengar. Ia hanya perlu menyala."





---

Saat Akal Tak Tahu Jalan Keluar Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam tiga lapis kegelapan—malam yang pekat, kedalaman samudera yang ...

Saat Akal Tak Tahu Jalan Keluar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam tiga lapis kegelapan—malam yang pekat, kedalaman samudera yang menyesakkan, dan perut ikan paus yang gelap gulita—Nabi Yunus tetap optimis bahwa keselamatan akan datang. Padahal, akal tak memberi harapan. Tak ada peta, tak ada pengalaman, dan tak ada makhluk yang mampu menolongnya. Ini bukan sekadar ujian logika, tapi pelajaran keimanan. Akal tak tahu jalan keluar, tapi hatinya tahu ke mana harus berharap.

"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka ia pun menyeru dalam kegelapan: 'Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.'"
(QS. Al-Anbiya: 87): 

Nabi Yunus tak memohon peta atau pertolongan teknis. Ia hanya bersimpuh dalam keinsafan, merendahkan diri kepada Rabb-nya. Ia tahu, pertolongan sejati bukan datang dari luar, tapi dari langit yang mengawasi hamba-hamba-Nya.

Begitu juga Yusuf kecil. Dalam gelapnya sumur di padang pasir, tanpa suara manusia, tanpa harapan logika, ia ditinggalkan oleh saudara-saudaranya. Masih anak-anak, belum mengenal medan gurun, belum punya keterampilan bertahan hidup. Tapi tak ada teriakan atau ratapan. Yang ada hanyalah wahyu yang menguatkan hati:

"Maka ketika mereka membawanya (Yusuf) dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur, Kami (Allah) mewahyukan kepadanya: 'Sungguh, engkau akan menceritakan kepada mereka (perbuatan ini) kelak, sedang mereka tidak menyadari.'"
(QS. Yusuf: 15)

Allah tidak memberi tahu Yusuf cara keluar dari sumur, tapi memberi janji bahwa kisah ini akan selesai dengan pembelaan. Janji ini menjadi obor harapan di tengah gelapnya sumur dan sunyinya gurun.

Begitu juga Ibrahim. Dalam kepungan api yang menyala-nyala, tubuhnya diikat dan dilempar ke tengah kobaran. Dalam sejarah manusia, siapa yang pernah selamat dari api besar? Tapi Ibrahim tidak panik, tidak meronta. Ia yakin, bahwa jika seluruh dunia menjadi lawan, maka cukup Allah menjadi pembela.

"Dan mereka hendak melakukan tipu muslihat terhadap Ibrahim, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang paling merugi."
(QS. Al-Anbiya: 70) 

Apinya padam. Muslihatnya gagal. Karena yang diandalkan bukan kekuatan, tapi ketauhidan.

Begitu juga Musa. Di depannya laut luas, di belakangnya pasukan Firaun. Tak ada opsi. Tak ada perahu. Semua pengikutnya panik.

 "Maka ketika kedua kelompok itu saling melihat, para pengikut Musa berkata, 'Kita pasti akan tertangkap!'"

"(Musa) berkata: 'Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'"
(QS. Asy-Syu'ara: 61-62)

Inilah iman. Bukan tahu caranya, tapi yakin pada pemberi jalan. Bukan berharap pada pengalaman, tapi bersandar pada Zat yang tak terbatas.

Dan akhirnya, Rasulullah ï·º. Di Thaif, ia dilempar batu. Seluruh pelindungnya telah tiada. Diusir dari Makkah, ditolak di Thaif, dan kini kembali ke kota yang pernah mengusirnya. Zaid bin Haritsah bertanya: "Siapa yang akan melindungi kita di Makkah, ya Rasulullah?"

Namun beliau tetap melangkah. Karena pijakannya bukan di bumi, tapi di langit. Ia lalu berdoa:

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya daya upayaku, dan hinanya aku di hadapan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih. Engkau adalah Rabb orang-orang yang tertindas. Engkau adalah Tuhanku...

Selama Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli. Namun keselamatan dari-Mu jauh lebih luas bagiku. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan... Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu."

Dari mana datangnya keteguhan ini? Dari iman. Iman bukan teori. Iman adalah cahaya yang tetap menyala meski semua lampu padam.

Indonesia pun pernah tenggelam dalam kegelapan penjajahan. Para sultan melawan, gugur. Para panglima bangkit, syahid. Ulama dan santri turun ke medan laga. Tapi yang menang bukan karena senjata, melainkan karena kesatuan hati, karena keimanan pada keadilan Allah.

Ketika seluruh rakyat bersatu dengan doa, bambu runcing pun menjadi saksi kemenangan. Karena kemenangan sejati tak pernah datang dari jumlah atau kekuatan, melainkan dari pertolongan Allah.

Optimisme sejati tak lahir dari statistik atau kekayaan. Ia tumbuh dari iman yang mantap. Ia lahir dari jiwa yang bersandar pada Zat Yang Maha Kuat.

Jika seluruh dunia ingin menghancurkanmu, tapi Allah ingin menyelamatkanmu—maka siapa yang mampu mencelakakan?

Jika seluruh manusia ingin mengangkatmu, tapi Allah tidak merestui, maka siapa yang dapat menyelamatkan?

Karena semua urusan kembali kepada-Nya.

Di situlah, saat akal tak tahu jalan keluar, iman menemukan jalannya.

Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah,...

Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah, langkah pertamanya bukan mengatur kekuasaan atau menyusun strategi kekaisaran. Ia justru bertanya: "Apakah kekuasaanku ini sah secara syariat? Apakah ia legal menurut sunah Khulafa'ur Rasyidin?"

Lalu ia berdiri di hadapan rakyat:

> “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Demi Allah, aku tidak menginginkan jabatan ini, tidak memintanya, baik dalam doa tersembunyi maupun terang-terangan. Jika kalian memilihku tanpa musyawarah, aku tidak akan menerimanya. Namun jika kalian memilihku melalui syura, maka aku akan taat dan memimpin kalian sebagaimana yang mampu aku lakukan.”



Dengan syura, Umar bin Abdul Aziz meraih legitimasi bukan hanya di mata rakyat, tetapi juga di mata para ulama yang selama ini menjauh dari kekuasaan. Dan sejak saat itu, para ulama mendukung penuh langkah-langkah kebijakan sang khalifah.


---

Langkah Awal: Membersihkan Harta

Langkah selanjutnya: bukan mengangkat panglima, bukan mempersiapkan ekspansi. Tapi membersihkan harta.

Harta pribadi, harta keluarga, bahkan kas negara—semua ditelusuri. Apakah ada yang berasal dari kedzaliman? Dari kecurangan, dari pengkhianatan amanah, dari tamak dan tipu daya? Ia ingin semuanya kembali kepada syariat Allah.

> “Wahai manusia, sesungguhnya aku bukan hakim atas kalian, aku adalah pelayan kalian. Harta ini bukan milikku, bukan milik ayahku, bukan pula milik ibuku. Ini amanah umat. Aku hanya mengembalikannya kepada yang berhak.”



Kepada para gubernurnya, Umar bin Abdul Aziz menulis:

> “Siapa yang memiliki harta yang diambil secara zalim oleh keluargaku (Bani Umayyah), kembalikanlah kepada pemiliknya. Jika pemiliknya tidak dikenal, masukkanlah ke dalam baitul mal kaum Muslimin.”



Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: "Mana yang lebih utama: shalat malam atau mencari nafkah halal?" Beliau menjawab: "Nafkah halal." Karena kehalalan adalah fondasi segala ibadah.


---

Hidup Sederhana: Menyentuh Hati Langit

Setelah merombak sistem penerimaan negara, Umar memangkas pengeluaran. Perabot istana diganti. Pakaian disederhanakan. Makanan pun tak lebih mewah dari rakyat jelata. Dunia tak lagi menarik di matanya.

> “Aku tak butuh semua ini. Kendaraan yang biasa kupakai sudah cukup. Gantilah semua ini dengan yang sederhana, dan kembalikan sisanya ke baitul mal.”



Suatu hari, ia bertanya kepada seorang sahabat:

> “Bagaimana cara mendapat pertolongan Allah dalam mengelola negara?”



Sang sahabat balik bertanya:

> “Bagaimana sikapmu terhadap dunia?”



Umar menjawab:

> “Aku telah meninggalkannya.”



Maka sahabat itu berkata:

> “Itulah sebab Allah akan menolongmu.”




---

Kekuasaan Tak Menjamin Kemenangan

Umat Islam tidak akan bangkit hanya dengan mengandalkan kekuasaan, teknologi, kekayaan, atau strategi. Bila umat menggantungkan diri pada dunia, maka Allah mencabut kemenangan dari tangan mereka. Sejarah menjadi saksi.

> Dr. Raghib as-Sirjani menulis: “Andalusia bukan kalah oleh kekuatan musuh, tapi karena kehinaan diri sendiri dan hilangnya ruh jihad dalam jiwa umat.”



Banyak kekhalifahan dan kesultanan runtuh, bukan karena kekurangan sumber daya. Tapi karena mereka lupa pada tugas suci: menegakkan syariat, menunaikan jihad, dan membangun peradaban.

Pesan Muhammad Al-Fatih kepada anaknya saat akan wafat adalah bukti:

> “Pertama dan terpenting, jadilah pelindung agama Islam. Karena sesungguhnya itu adalah kewajiban terbesar bagi para khalifah dan raja. Jangan sekali-kali engkau mengangkat orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak menjauhi dosa besar ke dalam urusan negara.”




---

Mencari Pembantu yang Amanah

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz meminta sahabatnya mengirim salinan semua keputusan dan surat-surat Umar bin Khattab. Ia ingin menapak jejak Sang Al-Faruq.

Namun ia juga tahu, yang lebih sulit adalah menemukan orang-orang selevel dengan para pembantu Umar bin Khattab.

Ia berkata: “Dari mana aku akan dapatkan orang-orang seperti mereka?”

Sahabatnya menjawab:

> “Jika niatmu sungguh-sungguh untuk berjihad menegakkan kebaikan, maka Allah akan mengutus orang-orang terbaik untuk membantumu.”



Kebaikan menarik kebaikan. Keburukan menarik keburukan. Bila pemerintahan dikelilingi oleh koruptor dan pembohong, itulah cerminan isi hati sang pemimpin.


---

Bersandar pada Ulama, Bukan pada Dunia

Umar bin Abdul Aziz tak ragu meminta nasihat dari Hasan al-Bashri, ulama besar tabi’in. Ia ingin menjadikan para ulama sebagai cahaya, bukan sebagai musuh kekuasaan.

Hasan al-Bashri berkata kepadanya:

> “Wahai Amirul Mukminin, Allah mengangkat seorang pemimpin untuk memperbaiki yang rusak di antara manusia. Jika ia memperbaiki, maka rakyat ikut baik. Tapi jika ia rusak, maka rakyat ikut rusak. Dunia ini bukan tempat balasan, tapi tempat ujian. Jangan engkau jual akhiratmu demi dunia orang lain.”




---

Akhir yang Mulia

Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz hanya berlangsung dua tahun lebih. Tapi dalam waktu sesingkat itu, ia menorehkan jejak abadi. Keadilan merata. Pajak turun. Korupsi lenyap. Dan baitul mal penuh hingga tak ada lagi yang berhak menerima zakat.

Ia wafat dalam kondisi sederhana. Tak menyisakan harta, tak meninggalkan istana. Tapi meninggalkan satu warisan besar: teladan.

Teladan bahwa kekuasaan bukan untuk dibanggakan. Tapi untuk ditakuti—karena kelak dipertanggungjawabkan.

Teladan bahwa pemimpin sejati bukan mereka yang disanjung. Tapi yang diam-diam menangis di malam hari, karena takut akan murka Rabb-nya.

Inilah reformasi birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz. Bukan dimulai dari anggaran. Tapi dari hati. Bukan dengan audit, tapi dengan taubat. Bukan dengan kebijakan, tapi dengan keteladanan.

Gelora Diponegoro dari Balik Penjara Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa telah banyak tercat...

Gelora Diponegoro dari Balik Penjara
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Kiprah Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa telah banyak tercatat dan dikenang. Ia tampil sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan, seorang panglima perang yang membakar semangat jihad, dan tokoh sentral dalam sejarah kebangkitan bangsa. Tapi pertanyaan besar yang jarang kita gali: bagaimana kehidupan beliau setelah ditangkap? Apakah kisah perjuangannya berakhir di meja perundingan dan ruang tahanan?

Tidak. Justru di balik jeruji itulah, kualitas kepribadian sejati seorang pejuang diuji. Penjara bukan akhir perjuangan; bagi jiwa-jiwa besar, penjara adalah awal dari kelahiran ruhani yang lebih dalam.

Bayangkan Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Dilemparkan ke penjara atas fitnah, namun dari ruang gelap itulah beliau terus bergerak. Ia menasihati tahanan lain, menafsirkan mimpi, hingga kelak menjadi penasehat utama raja. Dalam surah Yusuf ayat 54–55, ia berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri ini; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”



Bahkan sebelum keluar dari penjara, Yusuf telah menyiapkan sistem ekonomi penyelamat rakyat dari bencana kelaparan. Maka penjara bukan ruang pasrah; ia adalah ruang ikhtiar yang sunyi.

Atau ingat sahabat Nabi ï·º yang bernama Khubaib bin Adi. Dalam tahanan, saat hendak dieksekusi oleh Quraisy, ia justru meminta untuk shalat dua rakaat terlebih dahulu. Dalam dekap jeruji dan ancaman maut, ia masih ingin menyambung ruhnya kepada langit. Bahkan ketika ia menggendong anak kecil, ia tetap memohon izin untuk bersujud. Sebuah pelajaran besar tentang ketenangan iman dalam puncak tekanan.

Begitu pula yang dilakukan para ulama sepanjang sejarah. Imam Ahmad bin Hanbal menolak kompromi meski disiksa. Ibnu Taimiyah menulis ratusan risalah dari penjara, termasuk karya terkenalnya dalam aqidah dan tafsir. Ia berkata:

> "Apa yang dapat diperbuat musuhku terhadapku? Surga ada dalam dadaku. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku bersama Allah. Bila aku dibunuh, maka itu adalah syahadah bagiku. Bila aku diusir, maka itu adalah hijrahku di jalan Allah.”



Begitu juga Sayyid Qutb. Ketika ditawarkan kebebasan dengan syarat mencabut pemikirannya, ia menolak dan berkata:

> "Jari jemariku ini tak akan menulis satu huruf pun untuk membenarkan kebatilan.”



Dan dari balik penjara, ia menulis Fi Zilalil Qur’an, sebuah tafsir yang menggema hingga kini. Tafsir itu kelak menjadi rujukan utama Buya Hamka dalam menulis Tafsir Al-Azhar. Buya Hamka sendiri menulis tafsir tersebut dari balik penjara rezim Orde Lama. Saat ditanya tentang penderitaannya di penjara, Hamka berkata:

> “Saya tidak dendam. Bahkan saya berterima kasih, sebab di penjara saya justru dapat menyelesaikan Tafsir Al-Azhar.”



Bila mereka semua melahirkan karya besar dari balik penjara, bagaimana dengan Pangeran Diponegoro? Apakah ia hanya termenung dalam kurungan, terputus dari cita-cita besar perjuangannya?

Untuk menjawab itu, kita harus menelusuri kembali akar kehidupannya. Diponegoro bukan sekadar bangsawan. Ia menolak hidup nyaman di keraton dan memilih hidup sederhana bersama rakyat. Ia berguru kepada para ulama, termasuk Kiai Taptojani, seorang mursyid besar dalam ilmu tasawuf. Ia tumbuh sebagai santri, menyatu dengan denyut kehidupan umat.

Jauh sebelum penjara, ia telah terbiasa menyepi di Goa Selarong. Dari tempat sunyi itu, lahirlah api jihad melawan penjajahan Belanda. Maka penjara bukanlah asing baginya; itu hanyalah ruang sunyi baru untuk menyusun kekuatan ruhani yang lebih dalam.

Tahun pertama pengasingannya (1831–1832), Diponegoro menulis sebuah karya monumental: Babad Diponegoro. Dalam naskah itu, ia tidak hanya mencatat sejarah perang, tetapi juga kegelisahan jiwa, refleksi ruhani, dan kritik terhadap kerusakan moral elit keraton. Ia menulis bukan dengan tinta dendam, melainkan dengan air mata cinta dan harap.

Menurut Peter Carey dalam karyanya Sisi Lain Diponegoro, naskah itu memuat keteladanan kepada Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, serta kepada Sultan Agung. Ia mengangkat gagasan tentang Ratu Adil—sebuah visi tentang pemimpin masa depan yang adil dan saleh. Ini menegaskan bahwa perjuangannya tidak lokal dan temporal semata, tapi bagian dari mata rantai dakwah besar:

Secara spiritual, ia terhubung dengan perjuangan para ulama di Timur Tengah dan utusan Kekhalifahan Utsmani.

Secara kultural, ia mewarisi semangat dakwah Walisongo yang meleburkan Islam dengan budaya Nusantara.


Kini, Babad Diponegoro telah diakui sebagai bagian dari Memory of the World oleh UNESCO. Sebuah pengakuan bahwa narasi sejati tak hanya lahir dari para pemenang perang, tapi justru dari mereka yang kalah di dunia, namun menang dalam sejarah.

Dalam sebuah lukisan yang tersimpan di Leiden, Pangeran Diponegoro digambarkan duduk bersama keluarganya di Penjara Benteng Rotterdam, tengah membaca kitab tasawuf. Ia tidak mengeluh. Tidak mengutuk. Ia mengisi waktunya dengan belajar. Raga boleh dibelenggu, tetapi jiwanya tetap menjulang tinggi.

Ada satu cita-cita yang tak kesampaian: berhaji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan dari Magelang ke Manado tahun 1830, ia menyampaikan kerinduan itu kepada opsir Belanda. Hingga akhir hayatnya, ia menyimpan harapan untuk mengunjungi Rumah Allah. Namun, Allah menakdirkan jalan lain.

Pangeran Diponegoro wafat dalam pengasingan di Makassar, tahun 1855. Tapi ia tak pernah benar-benar mati. Ia hidup dalam babadnya. Dalam napas jihadnya. Dalam setiap jejak yang ia torehkan di tanah air ini.

Penjara tidak mematikan suaranya. Justru dari sanalah ia berbicara kepada zaman.

Karena memang, pejuang sejati bukan mereka yang hanya gagah di medan laga, tapi yang tetap menyalakan cahaya, meski berada dalam gelapnya kurungan.

Dan mungkin, di situlah letak gelora sejati: bukan pada gemuruh senjata, tapi pada keteguhan ruh yang tak tunduk meski dunia merundukkan kepala.

Respon Alam Terhadap Kezaliman Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tegakkan amar makruf nahi munkar. Jika tidak, Allah akan menghancurkan...

Respon Alam Terhadap Kezaliman

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Tegakkan amar makruf nahi munkar. Jika tidak, Allah akan menghancurkan suatu kaum, dan bahkan doa orang-orang saleh pun tak lagi mampu membendung murka-Nya.

Lihatlah Bani Israel. Bangsa yang pernah menyaksikan mukjizat demi mukjizat. Laut terbelah, mata air memancar dari batu, dan langit menurunkan makanan surgawi. Namun mengapa mereka terlunta-lunta sepanjang sejarah? Mengapa mereka terusir dari satu negeri ke negeri lain? Bahkan setelah berhasil tinggal di tanah Palestina, mengapa hidup mereka tetap terus berselisih dan terusir?

Sebabnya satu: mereka meninggalkan amar makruf nahi munkar. Mereka melihat kemungkaran dan diam. Mereka menoleransi kezaliman demi stabilitas, menutup mata demi kenyamanan, dan akhirnya, kehilangan keberkahan.

"Mereka tidak saling mencegah dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sungguh buruk apa yang telah mereka lakukan itu." (QS. Al-Ma'idah: 79)


---

Amar makruf nahi munkar bukan sekadar urusan moral. Ia adalah tiang penyangga langit dan bumi. Ia adalah penyeimbang yang menyelaraskan gerak manusia dengan ritme kosmik yang diciptakan Allah. Tanpa amar makruf nahi munkar, tatanan kehidupan hancur. Bukan hanya hubungan antar manusia, tapi juga hubungan dengan alam semesta.

Sebab, alam pun bersujud kepada Allah. Pepohonan, bebatuan, hewan, hujan, angin, dan petir—semuanya tunduk. Lalu ketika manusia, satu-satunya makhluk yang diberi kehendak bebas, memberontak kepada hukum langit, maka terjadilah benturan besar. Sebuah disonansi dalam simfoni kehidupan.

Dan ketika frekuensi manusia tak lagi selaras dengan dzikir alam, maka alam pun bereaksi. Ia tidak diam.


---

Lihatlah Mesir di era Fir’aun. Tatkala kekuasaan disalahgunakan, anak-anak dibunuh, kaum tertindas direndahkan, dan kekufuran dilembagakan—maka Allah tidak hanya menurunkan azab ditenggelamkan. Sebelum itu, Allah mengirimkan peringatan lewat alam:

"Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak, dan darah sebagai tanda-tanda yang jelas, tetapi mereka menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa." (QS. Al-A'raf: 133)

Belalang melahap ladang mereka, katak menggenangi rumah-rumah, darah menggantikan air di sungai Nil. Semua itu bukan sekadar bencana ekologis. Itu adalah bahasa langit. Bahasa yang tak bisa ditolak, tak bisa dinegosiasikan. Bahasa yang hanya dimengerti oleh hati yang masih hidup.


---

Begitu pula dengan kaum Saba. Negeri makmur yang disebut Al-Qur'an sebagai surga dunia:

"Sungguh, bagi kaum Saba terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka: dua kebun di kanan dan kiri. (Kepada mereka dikatakan), 'Makanlah rezeki dari Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu adalah) negeri yang baik dan Tuhanmu Maha Pengampun.'" (QS. Saba: 15)

Namun ketika mereka ingkar, kufur nikmat, dan melupakan keadilan, maka datanglah banjir besar:

"Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirimkan kepada mereka banjir besar (yang merusak) dan Kami ganti kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi tumbuhan pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr." (QS. Saba: 16)

Hanya butuh satu banjir. Tidak ada perang. Tidak ada meteor. Hanya air—yang biasanya berkah—menjadi perusak. Itulah respon alam terhadap kezaliman.


---

Ada juga kisah pemilik kebun dalam surah Al-Qalam. Malam itu mereka tidur dengan niat mencabut hak kaum miskin. Mereka sepakat tidak akan membiarkan siapa pun dari kaum duafa mendapat bagian dari panen mereka esok pagi.

"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka pasti akan memetik (hasilnya) di pagi hari. Dan mereka tidak menyisakan (sedikit pun untuk orang miskin). Maka kebun itu dilanda bencana dari Tuhanmu ketika mereka tidur. Maka jadilah kebun itu seperti tanah yang tandus." (QS. Al-Qalam: 17-20)

Tanpa badai. Tanpa tsunami. Hanya satu tiupan malaikat malam itu. Kebun yang hijau mendadak menjadi debu. Semua karena niat zalim yang tak terlihat siapa pun kecuali Allah.


---

Dan Qarun. Seorang kaya raya yang membangkang. Harta dan teknologi tambangnya mengalahkan semua pengusaha masa kini. Namun kezaliman dan kesombongannya memuncak.

"Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada satu golongan pun yang dapat menolongnya dari azab Allah dan tidak pula dia termasuk orang-orang yang (dapat) membela (diri)." (QS. Al-Qashash: 81)

Bumi menelan. Tanah yang biasanya menopang, tiba-tiba menjadi jurang. Sekali lagi, alam tidak diam.


---

Bukan hanya dalam Al-Qur’an. Sejarah pun bersuara serupa. Tanah Nusantara pernah subur dan damai. Tapi lihatlah yang terjadi menjelang penjajahan Belanda. Raja-raja berseteru berebut tahta. Ulama dijauhkan dari istana. Amar makruf nahi munkar disingkirkan, diganti pesta pora dan perebutan kekuasaan. Maka datanglah bala tentara kafir dari negeri jauh.

Apa yang mendahului tragedi G30S/PKI? Perang ideologi, fitnah, pembunuhan ulama, dan perpecahan. Lalu bangsa ini jatuh ke jurang kegelapan.

Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang adil, keberkahan menyentuh seluruh alam. Sofyan Tsauri meriwayatkan bahwa kambing dan serigala hidup berdampingan. Tapi ketika ia melihat seekor serigala menerkam kambing, ia berkata:

"Pemimpin yang adil akan segera wafat."

Keesokan harinya, berita duka pun datang. Umar bin Abdul Aziz telah berpulang.

Alam mengenal keadilan. Alam pun berkabung saat keadilan gugur.


---

Maka jangan heran jika hari ini, banjir datang tiba-tiba. Angin kencang merobohkan rumah. Hujan tak turun berbulan-bulan. Panen gagal. Udara beracun. Anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang. Rakyat terpecah. Hati-hati. Itu bukan hanya bencana. Itu bahasa langit.

"Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka..." (QS. Al-Qashash: 4)

Ketika rakyat terpecah belah, ketika publik penuh perseteruan dan hiruk pikuk, itu adalah tanda: kezaliman sedang mengakar, dan amar makruf nahi munkar ditinggalkan.

Tapi jangan putus asa. Masih ada jalan pulang.

Ingat Nabi Yunus. Kaumnya semula menolak kebenaran. Tapi saat mereka sadar dan bertobat, Allah pun menahan azab.

"Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota pun yang beriman lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka beriman, Kami hilangkan dari mereka azab kehidupan dunia dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu yang tertentu." (QS. Yunus: 98)

Masih ada harapan. Masih ada strategi Yusuf. Ketika Mesir diambang krisis, Yusuf mengatur ketahanan pangan. Tapi bukan sekadar logistik—Yusuf menata ruh, menata moral, menata relasi antara manusia, alam, dan langit.

Jika negeri ini ingin selamat, maka bukan hanya jalan tol dan teknologi yang dibangun. Tapi amar makruf nahi munkar harus ditegakkan. Sebab ketika manusia kembali pada poros kebaikan, maka langit pun kembali tersenyum.

"Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (QS. Al-A’raf: 96)

Maka mari tegakkan amar makruf nahi munkar. Bukan sekadar ritual, tapi sistem hidup. Bukan sekadar individu, tapi gerakan kolektif. Bukan sekadar kata, tapi langkah nyata.

Karena jika tidak, bukan hanya negeri yang hancur. Tapi semesta pun akan ikut bersaksi atas kezaliman kita.

Kerinduan Bertemu Rasulullah saw dan Sahabatnya  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- “Kami tidak merindukan surga karena buah-buahann...

Kerinduan Bertemu Rasulullah saw dan Sahabatnya

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

“Kami tidak merindukan surga karena buah-buahannya, tapi karena ingin bertemu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada.”
– Imam Hasan Al-Banna

Ada cinta yang tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia melampaui kehidupan dunia dan akhirat, menghubungkan hati dengan para kekasih Allah yang telah lama tiada. Itulah cinta kepada Rasulullah ï·º dan sahabat-sahabatnya. Kerinduan yang tak sekadar tentang kenikmatan surga, melainkan tentang perjumpaan dengan jiwa-jiwa suci yang dirindukan langit.

Kerinduan ini adalah energi spiritual. Bahkan menjelang ajal, para kekasih Allah menyambut kematian dengan damai, karena mereka tahu: kematian adalah gerbang pertemuan.


---

Utsman bin Affan: Janji Berbuka di Surga

Menjelang akhir hayatnya, rumah Khalifah Utsman bin Affan dikepung oleh para pemberontak. Meskipun ancaman mengelilinginya, Utsman tetap tenang, berpuasa dan memperbanyak ibadah. Malam sebelum syahid, ia bermimpi bertemu Rasulullah ï·º, Abu Bakar, dan Umar. Rasulullah bersabda, “Engkau akan berbuka puasa bersama kami esok hari di surga.”

Pagi harinya, Utsman ditikam, dan darah terus mengalir dari tubuhnya. Para sahabat memintanya berbuka untuk memperkuat diri. Tapi Utsman menjawab, “Aku telah berjanji akan berbuka bersama Rasulullah ï·º.” Dan pada hari itu juga, Utsman wafat dalam keadaan berpuasa, syahid, dan memenuhi janji surgawi.


---

Umar bin Abdul Aziz: Wajah Berseri Menuju Kekasih

Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz tertidur dalam kelelahan. Ia baru saja menghabiskan malam dengan menulis surat kepada para gubernurnya, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan menunaikan amanat. Dalam tidurnya yang ringan, ia bermimpi.

Ia melihat sebuah rumah sederhana, bercahaya namun teduh. Di dalamnya, duduk Rasulullah ï·º, dikelilingi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz pun masuk dengan hati berdebar.

Rasulullah ï·º memandangnya dengan wajah penuh kasih. Lalu berkata:

"Ilaiya, ya Umar. Wahai Umar, kemarilah."

Ia mendekat, lalu Rasulullah ï·º berkata:

"Engkau akan datang kepada kami dalam waktu dekat. Dan engkau termasuk dari kami, wahai Umar."

Umar pun terbangun dengan tubuh gemetar. Malam itu juga ia menangis. Ia tahu, usianya akan segera berakhir. Tapi ia tidak takut, karena ia merasa telah berusaha memimpin dengan amanah dan takut kepada Allah.

Dan benar, hanya beberapa hari setelah mimpi itu, Umar bin Abdul Aziz wafat di usia 39 tahun. Ia meninggalkan dunia, namun namanya harum sepanjang zaman.


---

Imam Bukhari: Nama yang Dinanti

Ketika Imam Bukhari wafat, seorang ulama bermimpi melihat Rasulullah ï·º bersama para sahabat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dalam mimpi itu Rasulullah ï·º berkata, “Tunggulah, Muhammad bin Ismail (Bukhari) akan segera datang.”

Tak lama setelah mimpi itu, kabar wafatnya Imam Bukhari pun datang. Seakan mimpi itu menjadi isyarat bahwa para penghuni surga tengah menantinya. Bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena cintanya yang murni kepada Nabi dan para sahabat.


---

Cinta yang Menyatukan Dunia dan Akhirat

Rasulullah ï·º bersabda:

> "Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya." (HR. Bukhari-Muslim)



Ini bukan hanya janji, melainkan kunci. Cinta yang benar kepada Rasulullah ï·º akan membuahkan amal. Amal yang tulus akan membawa pada pertemuan di akhirat. Cinta itu tak cukup hanya dengan kata dan air mata, tapi harus dibuktikan dengan kesetiaan dan perjuangan.


---

Imam Hasan Al-Banna: Aku Ingin Bertemu Mereka

Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, adalah pecinta Rasulullah ï·º dan para sahabat sejati. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, beliau berkata:

> “Kami tidak menginginkan surga karena buah-buahannya, tapi karena ingin bertemu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada.”



Baginya, cinta kepada mereka adalah cinta yang menggerakkan, bukan sekadar nostalgia. Cinta yang melahirkan gerakan dakwah, membentuk ruh jihad, dan membangkitkan umat.


---

Mimpi Terakhir dan Kematian Syahid

Malam sebelum wafatnya, Hasan Al-Banna bermimpi bertemu Ali bin Abi Thalib. Dalam mimpi itu, Imam Ali berkata, “Wahai Hasan, urusanmu telah selesai. Engkau telah menyampaikan risalahmu. Allah telah menerimamu.”

Setelah terbangun, Hasan Al-Banna berkata, “Melihat Imam Ali dalam mimpi adalah tanda kematian syahid.” Dan benar. Pada 12 Februari 1949, beliau ditembak enam kali di depan kantor Ikhwanul Muslimin.

Meskipun terluka parah, beliau masih mengejar mobil penyerangnya dan menghafal nomor polisinya. Namun saat dilarikan ke rumah sakit, akses bantuan dihalangi. Beliau syahid dalam sunyi. Jenazahnya hanya diurus oleh ayah dan saudari perempuannya. Siapa pun yang ingin menyolatkannya ditangkap.


---

Pesan Terakhir: Jangan Lupakan Allah

Dalam pesan terakhirnya, Hasan Al-Banna berkata:

> “Aku tidak khawatir terhadap musuh-musuh kalian. Tapi aku khawatir jika kalian melupakan Allah dan hanya mengandalkan diri sendiri. Aku juga khawatir kalian melupakan ukhuwah.”



Itulah kerinduan yang tidak padam. Cinta yang menghidupkan ruh perjuangan bahkan setelah kematian.


---

Visi Masa Depan yang Terkabul

Pada tahun 1946, dalam wawancara dengan penulis Amerika Robert Jackson, Hasan Al-Banna berkata:

> “Aku sangat yakin bahwa Turki akan kembali kepada Islam. Dan tanda-tanda itu sudah mulai tampak.”

Empat tahun kemudian, Adnan Menderes terpilih sebagai perdana menteri melalui pemilu demokratis pada tahun 1950, mengalahkan Partai Rakyat Republik (CHP) yang didirikan oleh Mustafa Kemal Atatürk. Ia menjadi simbol kebangkitan politik rakyat, terutama umat Islam yang sebelumnya dibungkam oleh sekularisme radikal ala Kemalis.

Bagaimana dengan Turki sekarang? Partai sekuler runtuh sejak kemenangan partai Raffah 1998.


---

Menutup dengan Rindu

Kerinduan para kekasih Allah kepada Rasulullah ï·º dan para sahabat bukan sekadar kenangan sejarah. Itu adalah peta jalan spiritual yang menghubungkan dunia dan akhirat.

Hari ini, kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita juga merindukan Rasulullah? Apakah cinta kita padanya cukup kuat untuk membawa kita pada perjumpaan kelak?

Jika iya, maka buktikanlah dengan amal. Karena Rasulullah ï·º telah bersabda:

> “Engkau akan bersama orang yang kau cintai.”



Semoga Allah mempertemukan kita dengan Rasulullah ï·º, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada dalam surga-Nya. Amin.

Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Suatu hari, Rasulullah ï·º bersabda: > “Wahai Abdurrahman...

Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Suatu hari, Rasulullah ï·º bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sebab jika diberi karena permintaan, maka kamu akan dibiarkan sendiri. Tapi jika diberikan tanpa meminta, kamu akan diberi pertolongan.”



(HR. Bukhari dan Muslim)

Kepemimpinan, rupanya, bukanlah perkara ambisi. Ia bukan wilayah bagi mereka yang haus kekuasaan. Sabda Nabi itu adalah peringatan abadi: janganlah kepemimpinan diisi oleh orang-orang yang mengejarnya. Sebab kepemimpinan bukan kemuliaan, tapi ujian. Bukan panggung kemegahan, tapi jurang pertanggungjawaban.

Seleksi Kepemimpinan: Tradisi yang Dimulai Sejak Nabi ï·º

Perang Mu’tah mencatat satu pelajaran penting tentang seleksi kepemimpinan. Rasulullah ï·º sendiri menunjuk tiga panglima perang secara berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Bila satu gugur, maka yang lain menggantikannya. Ini bukan sekadar strategi militer. Ini adalah refleksi dari akurasi pandangan Nabi ï·º tentang siapa yang paling layak memimpin dalam kondisi genting.

Seleksi ini berlanjut bahkan setelah wafatnya Rasulullah ï·º. Ketika umat kebingungan pasca wafatnya sang Nabi, Umar bin Khattab tampil dengan kejernihan pikir dan keberanian jiwa. Ia menggenggam tangan Abu Bakar, lalu berkata:

> “Siapa yang lebih layak memimpin umat ini selain orang yang pernah menjadi imam salat kita ketika Nabi masih hidup?”



Logika Umar sederhana, tapi dalam: jika Abu Bakar diakui sebagai imam salat oleh Rasulullah ï·º, maka ia juga layak memimpin umat setelah kepergian sang Nabi. Maka dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Umar: Pemimpin yang Memilih dengan Hati dan Akal

Ketika giliran Umar bin Khattab memimpin, ia membawa standar seleksi kepemimpinan ke tingkat yang lebih mendalam. Baginya, memilih pemimpin bukan hanya soal popularitas, bukan pula karena hubungan pribadi atau kerajinan ibadah semata.

Ia melihat lebih dalam.

Ia mendengar lebih peka.

Ia menilai lebih jernih.

Bagi Umar, pemimpin adalah penentu arah zaman. Maka salah memilih berarti menghancurkan masa depan umat. Maka dari itu, ia menakar bukan hanya dari permukaan, tapi dari esensi karakter.

Menembus Kepalsuan: Ujian Makan, Safar, dan Uang

Umar punya tiga alat untuk menguji karakter seseorang. Ia sering berkata:

> “Jika kau ingin mengenal seseorang, makanlah bersamanya, lakukan perjalanan jauh dengannya, dan bertransaksilah dengannya.”



Saat makan, tampaklah kesederhanaan dan pengendalian diri. Saat safar, tampaklah kesabaran dan kepemimpinan. Saat bertransaksi, terbukalah kejujuran dan amanah. Ini bukan teori, tapi praktik. Umar melakukannya—salah satunya terhadap Ahnaf bin Qais, yang diuji lewat uang dan sikapnya terhadap masyarakat.

Pernah seseorang diberi uang oleh utusan Umar untuk diamati. Jika uang itu digunakan hanya untuk dirinya, ia dicoret dari daftar calon pejabat. Tapi bila uang itu dibagikan kepada orang miskin, maka namanya dinaikkan.

Huzaifah bin Al-Yaman: Barometer Kejujuran dan Kemunafikan

Umar tahu, wajah bisa menipu, ibadah bisa disandiwarakan. Maka ia meminta pendapat Huzaifah bin Al-Yaman—sahabat yang diberi amanah oleh Rasulullah ï·º untuk mengetahui nama-nama munafik.

“Apakah kau melihat tanda kemunafikan padanya?” tanya Umar.

Sebab Umar sadar, seorang munafik bisa jadi lebih sering ke masjid daripada orang jujur. Tapi mereka menyimpan racun dalam lisan dan kelicikan dalam janji. Maka Huzaifah menjadi semacam cermin batin yang membantu Umar menyaring tokoh-tokoh berwajah teduh tapi berhati gelap.

Belajar dari Penolakan Rasulullah kepada Abu Dzar

Kepemimpinan juga tentang kemampuan memikul beban. Umar mengambil pelajaran dari Rasulullah ï·º yang pernah menolak permintaan Abu Dzar al-Ghifari, meskipun ia seorang sahabat yang zuhud dan saleh.

Rasulullah ï·º bersabda:

> “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan kepemimpinan adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi yang menunaikannya dengan benar.”



(HR. Muslim)

Kepemimpinan bukan soal kesalehan pribadi semata, tapi keteguhan mental, kemampuan mengelola konflik, dan ketahanan terhadap godaan dunia. Umar paham itu.

Lihat Bagaimana Ia Memperlakukan Keluarganya

Umar punya standar yang mengejutkan: ia menilai calon pemimpin dari bagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya.

“Jika ia kasar kepada keluarganya,” kata Umar, “bagaimana mungkin ia akan lembut kepada rakyat?”

Sebab keluarga adalah tempat tanpa topeng. Di sanalah muncul watak asli. Jika seseorang tak bisa berlaku adil dan sabar terhadap yang paling dekat, bagaimana ia akan adil terhadap yang jauh?

Ilmu dan Waspada: Dua Pilar Seleksi

Bila ada dua orang sama-sama saleh, Umar akan memilih yang lebih berilmu. Sebab ilmu membuat seseorang bijak. Ia memahami realitas, bisa menimbang maslahat dan mafsadat, dan tidak mudah tertipu oleh godaan atau bisikan sesat.

Selain itu, Umar juga memilih mereka yang mampu mengenali keburukan. Ia berkata:

> “Manusia tidak akan selamat dari keburukan sampai ia mengenal keburukan itu sendiri.”



Pemimpin harus punya radar terhadap bahaya. Harus mampu mencium kebusukan dari jauh, dan tahu cara menghindarinya.

Kebijakan yang Menembus Zaman

Pilihan-pilihan Umar bukan hanya akurat, tapi tahan uji. Banyak pejabat yang ia angkat tetap bertahan hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ini bukti bahwa pilihan Umar bukan hasil kompromi politik, melainkan intuisi spiritual dan kecerdasan manajerial.

Menurut Umar, salah satu tanda bahwa Allah mencintai seorang pemimpin adalah dikelilinginya ia oleh orang-orang terbaik. Sebaliknya, pemimpin yang dikelilingi oleh penjilat dan penghasut adalah tanda bahwa ia sedang dibiarkan oleh Allah.

Wasiat Terakhir: Memilih Khalifah dengan Lembaga Syura

Menjelang wafat, Umar bin Khattab tidak menunjuk penerusnya secara langsung. Ia membentuk majelis syura beranggotakan enam sahabat mulia, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Umar ingin agar pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah, bukan warisan atau ambisi pribadi.

Ia berkata:

> “Jika ada dua yang berselisih, ikutilah pendapat mayoritas. Tapi jika tiga banding tiga, ikutilah pendapatnya Abdurrahman bin Auf.”



Dengan itu, Umar mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah hasil dari proses kolektif. Ia bukan warisan, bukan hadiah. Ia harus lahir dari keadilan dan akal sehat.

Untuk Nusantara: Kapan Kita Selektif Seperti Umar?

Negeri ini tak kekurangan orang yang pandai bicara, lihai bersilat kata, dan rajin memamerkan kesalehan. Tapi kita terlalu sering tertipu oleh tampilan luar. Kita lupa menilai seseorang di ruang-ruang kecil: saat ia lapar, saat ia marah, saat ia memegang uang.

Umar mengingatkan: seleksi pemimpin adalah akar dari semua perbaikan. Kesalahan pertama dalam kepemimpinan adalah membiarkan orang yang salah berada di lingkar kekuasaan. Maka perbaikan bangsa harus dimulai dari sini.

Bukan sekadar memilih siapa yang akan duduk di kursi tertinggi, tapi siapa yang akan duduk di sekelilingnya.

Kita butuh pemimpin yang tidak hanya rajin salat, tapi juga adil. Yang tidak hanya fasih bicara, tapi juga tabah diuji. Yang tidak hanya dermawan di depan kamera, tapi juga sabar dan tulus terhadap keluarganya.

Kita butuh pemimpin seperti yang dipilih Umar: kuat dan amanah, cerdas dan bersih, lembut dan berani.

Maka semoga dari lorong-lorong sunyi Nusantara ini, lahir kembali semangat Umar bin Khattab. Semangat untuk tidak silau pada wajah, tidak tunduk pada nama besar, dan tidak takut mengambil keputusan sulit demi kebaikan umat.

Semoga Allah melindungi bangsa ini dengan pemimpin yang benar.

Aamiin.

Berjiwa Kuantum atau Berjiwa Hancur? Oleh: Nasruloh Baksolahar --- Apa itu quantum? Dalam fisika, ia dikenal sebagai lompatan en...

Berjiwa Kuantum atau Berjiwa Hancur?

Oleh: Nasruloh Baksolahar


---

Apa itu quantum? Dalam fisika, ia dikenal sebagai lompatan energi, transisi tak terduga dari satu keadaan ke keadaan lain. Tapi bagaimana jika kita tarik ke ranah kejiwaan? Apakah mungkin jiwa juga mengalami lompatan seperti itu—melompat dari gelap ke terang, dari lalai ke sadar, dari beku ke hangatnya cinta Ilahi?

Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah jiwa kita melompat atau justru terjun bebas—menuju kehancuran?

Jangan berjiwa seperti Qorun dan Samiri. Mereka dulunya adalah pengikut Nabi Musa, bahkan bagian dari kelompok yang menyaksikan mukjizat agung. Tapi mereka terperangkap oleh kerakusan, ego, dan kepentingan dunia. Bahkan istri Nabi Nuh dan Luth, meskipun hidup di rumah para nabi, tidak terselamatkan.

Sebaliknya, lihatlah para ahli sihir Fir’aun yang justru bersujud kala kebenaran datang. Lihatlah istri Fir’aun, yang berdoa agar dibangunkan rumah di surga. Lihatlah pembesar istana yang menasihati Fir’aun dengan lembut dan penuh iman. Mereka adalah contoh jiwa-jiwa yang melompat. Jiwa yang mampu melawan arus, bahkan dari dalam sistem kekuasaan yang paling dzalim.

Mengapa jiwa kita tidak pernah melompat? Mengapa perjalanan jiwa kita seperti garis lurus, atau paling jauh hanya linier—datar, monoton, seolah tak bernyawa? Mengapa hari ini terasa sama seperti kemarin, atau bahkan lebih buruk? Kita tidak sedang diam, tapi juga tidak bergerak.

Padahal, modal manusia sama. Jiwa manusia memiliki struktur dan potensi yang serupa. Namun mengapa ada di antara kita yang mampu menempuh jalan para Waliyullah, sementara yang lain tenggelam dalam kelalaian?

Lihatlah Habib Al-Ajami. Dulunya rentenir, keras hati, jauh dari cahaya. Tapi ia berubah. Ia menempuh jalan panjang untuk membersihkan dirinya, hingga sejajar dengan Hasan Al-Bashri, sang ahli zuhud. Malik bin Dinar? Masa mudanya penuh dengan kegilaan dunia, musik, dan pesta malam. Tapi hatinya diguncang oleh kehilangan, oleh kerinduan, dan akhirnya oleh sebuah ayat suci.

Ayat itu adalah:

> "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?"
(QS. Al-Hadid: 16)



Ayat ini pula yang menyentuh Fudhail bin Iyad. Ia dulunya perampok yang ditakuti. Tapi suatu malam, saat hendak mencuri, ia mendengar orang membaca ayat yang sama. Ia terdiam. Jiwa yang keras itu retak. Lalu hancur. Lalu terlahir kembali.

> “Ya Allah, sungguh telah datang waktunya.” katanya dalam tangis yang panjang.



Lompatan itu tidak dimulai dari amal yang besar. Tapi dari kesadaran. Dari satu ayat. Dari satu titik hening yang membuka celah bagi cahaya.

Abu Hanifah? Awalnya hanya pedagang kain. Tapi pikirannya terusik oleh keinginan memahami hukum Allah. Ia belajar, mendalami, hingga menjadi salah satu imam terbesar dalam sejarah Islam.

Abdullah bin Mubarak? Ia dulunya pemuda yang larut dalam dunia dan wanita. Tapi hatinya terbalik. Mabuknya berubah—bukan karena dunia, melainkan karena cinta kepada Allah. Fudhail bin Iyad? Ia tinggalkan jalanan, menuju malam-malam sujud dan tangis. Mereka semua jatuh, tapi mereka juga bangkit. Mereka melompat. Sementara kita, apa yang kita lakukan dengan jatuh-jatuh kita?

Padahal, jiwa mereka sama dengan kita. Nafsu mereka tidak berbeda. Semua manusia diberi potensi dan bekal yang sama oleh Allah. Lalu, mengapa ada yang mencintai Allah dan Rasul-Nya setinggi langit, sedangkan kita tetap dingin dan hambar?

Mengapa sebagian orang menatap langit dan melihat Tuhan, sedang kita hanya melihat awan?

Muhammad bin Wasi pernah berkata:

> “Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah di dalamnya.”



Betapa tajam pandangannya, betapa bening hatinya. Kita? Kita melihat daun hanya daun, langit hanya biru, dan hidup hanya rutinitas.

Semua orang punya beban. Semua orang punya hutang. Tapi ketika Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail bin Iyad tentang hutangnya, ia menjawab:

> “Ya, hutang kepada Allah—yakni ketaatan kepada-Nya. Celakalah aku jika Allah memanggilku untuk mempertanggungjawabkan itu.”



Mengapa jawaban kita tak pernah seberat itu? Apakah karena kita terlalu ringan menjalani hidup ini?

Suatu ketika, Dzun Nun Al-Mishri melihat seorang nenek tua berjalan sendiri, membawa tongkat, mengenakan jubah dari bulu domba. Ia bertanya:

> “Dari mana dan hendak ke mana, Nek?”



Nenek itu menjawab:

> “Dari Allah dan menuju kepada Allah.”



Dzun Nun, sang sufi besar, terdiam. Tersentak oleh kalimat yang lebih dalam dari samudera. Sebab dalam jawaban itu terkandung seluruh makna perjalanan spiritual.

Lalu, kita? Dari mana dan hendak ke mana kita sebenarnya?

Setiap orang pernah bahagia dan sedih. Tapi apa yang menjadi sumber kebahagiaan dan kesedihan itu? Di situlah perbedaan kualitas jiwa terungkap.

Ahmad bin Masruq berkata:

> “Jika seseorang merasakan kegembiraan dari selain Allah, maka kegembiraan itu akan membuahkan kesusahan.”



Dan ia juga berkata:

> “Jika seseorang tidak akrab dengan pengabdian kepada Allah, maka keakrabannya akan membuahkan kesepian.”



Apakah definisi kita tentang bahagia dan sepi juga seperti itu?

Kita sering mengira bahwa jiwa tidak bisa melompat. Padahal jiwa bisa. Bukan dengan langkah kaki, tapi dengan kehendak yang bersih, hati yang jernih, dan kesadaran yang sadar penuh kepada Allah.

Lalu apa sebenarnya penghalangnya?

Ahmad bin Muhammad bin Sahl Al-Amuli menjawab:

> “Terlena dalam kebiasaan alamiah mencegah seseorang menjangkau derajat ruhani yang terpuji.”



Kebiasaan yang tak disaring. Kegiatan yang diulang tanpa makna. Makan, tidur, bekerja, berbicara—semua dijalani seperti robot. Maka ruh kita terpenjara dalam lingkaran itu. Kita tidak melompat. Kita hanya berputar di tempat.

Maka pertanyaannya: apakah kita berjiwa kuantum—yang meloncat, menembus batas, mendekat kepada Allah? Ataukah kita justru berjiwa hancur—yang terjun bebas, tapi bukan kepada ampunan, melainkan ke lembah kehampaan?

Lompatan itu tidak selalu indah. Kadang penuh luka. Tapi luka itulah yang membuka jendela.

Mungkin bukan karena kita tidak mampu melompat.

Tapi karena kita belum sungguh-sungguh ingin.

Memahami Kisah Kafirin dan Munafikin untuk Rekayasa Sosial Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengapa Allah mengisahkan orang-orang kafi...

Memahami Kisah Kafirin dan Munafikin untuk Rekayasa Sosial

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengapa Allah mengisahkan orang-orang kafir dan munafik dalam Al-Qur’an? Bukankah Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang bertakwa? Maka mengapa ia justru penuh dengan narasi penentang, durhaka, dan pengkhianat? Jawabannya sederhana namun dalam: karena pelajaran tidak hanya lahir dari ketaatan, tetapi juga dari kedurhakaan.

Lihatlah sejarah. Kita tidak hanya belajar dari sahabat yang setia, tetapi juga dari musuh yang licik. Kita belajar dari keikhlasan Abu Bakar, tapi juga dari makar Abu Lahab. Kita bercermin pada ketaatan para malaikat, namun juga mengambil ibrah dari kesombongan Iblis.

Belajar dari Kafir: Jejak Pemikiran dan Struktur Kekuatan

Dalam surah Al-Kahfi, Allah mengisahkan seorang yang kafir, yang diberi kekayaan melimpah. Kebunnya dirancang dengan harmonis: ladang terbuka, aliran sungai, dan berbagai jenis pohon yang tersusun rapi. Ini bukan sekadar gambaran kekayaan. Ia adalah pelajaran tentang berpikir sistematis dan saintifik—bagaimana struktur ekonomi dibangun dari keragaman produk dan ketepatan manajemen. Sebuah sistem yang bisa dikaji oleh ahli finansial modern.

Kemudian lihat Fir’aun. Ia berdiri di atas pilar kekuatan militer. Haman—sang arsitek politik—mengatur strategi dan teknologi kekuasaan. Qarun memainkan peran sebagai penyokong logistik ekonomi. Sedangkan para ahli sihir bertugas membentuk citra spiritual, membungkus kekuasaan dengan aura mistis. Mereka bukan sekadar tokoh dalam cerita, tetapi representasi nyata dari bangunan kekuatan dunia: militer, birokrasi, ekonomi, dan propaganda.

Dalam tafsir al-Qurthubi dan Ibn Katsir disebutkan:

> “Seandainya Nabi Shaleh bukan dari golongan mereka sendiri, niscaya mereka langsung membunuhnya di awal seruan.”



Fanatisme kelompok menjadi pelindung bagi nyawa seorang Nabi. Artinya, dalam logika kekuasaan, identitas bisa menjadi tameng meski kebenaran ditolak. Ibnu Khaldun menyebut, kekuasaan bertumpu pada fanatisme (ashabiyyah). Jiwa kolektif ini bisa dimanfaatkan untuk menopang kekuasaan—baik atau buruk. Di tangan orang beriman, ashabiyyah menjadi kekuatan ukhuwah. Tapi di tangan orang durhaka, ia bisa menjelma menjadi kediktatoran.

Kekafiran: Bangunan Besar yang Akan Runtuh

Namun, kisah kafirin mengajarkan satu hukum langit yang tak pernah berubah: sekuat apapun mereka bersatu, sebanyak apapun kekayaan yang mereka hamburkan, kekafiran akan hancur pada waktunya. Sebab bangunan yang tidak disertai keimanan, ibarat rumah di tepi jurang.

Allah berfirman dalam Surah Al-Anfal ayat 36:

> "Sesungguhnya orang-orang kafir itu menginfakkan harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Maka mereka akan menginfakkannya, kemudian itu akan menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan."



Kekafiran akan terus berjuang memadamkan cahaya kebenaran. Mereka membangun sistem, menebar kekuatan, dan menancapkan pengaruh. Tapi semua itu seperti kabut: pekat namun mudah lenyap saat matahari terbit.

Munafik: Racun Dalam Tubuh Umat

Jika kafirin menyerang dari luar, maka munafikin menggrogoti dari dalam. Mereka adalah racun tersembunyi dalam tubuh umat. Wajah mereka tak asing, lidah mereka lihai mengutip ayat, dan gerak-gerik mereka seolah membela Islam. Namun sejatinya, mereka adalah pembelah barisan.

Surah Al-Munafiqun (63): 1–3 mencatat:

> "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, 'Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasul Allah.' Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta."



Munafik hadir bukan sebagai penentang yang terbuka, tapi penyusup dalam diam. Mereka ikut berperang, namun niatnya melemahkan semangat. Mereka ikut berjamaah, tapi hatinya bersama musuh. Mereka menyebar keraguan, memecah visi dakwah, dan menanamkan konflik internal.

Namun Al-Qur’an tidak hanya mengungkap siapa mereka. Tapi juga memberi panduan bagaimana menghadapi mereka: jangan percaya begitu saja pada ucapan mereka; uji komitmen mereka; waspadai manuver mereka; dan jika mereka terbukti berbahaya, maka jangan beri mereka ruang untuk membesar.

Kisah: Bukan Dongeng, tapi Peta Strategi

Semua kisah ini bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah peta. Sebuah strategi langit untuk membimbing perjalanan di bumi. Karena itu, Allah menyampaikan begitu banyak kisah kafirin dan munafikin—bukan untuk ditiru, tapi untuk diwaspadai, dan dalam beberapa kondisi, diarahkan.

Menariknya, tidak sedikit dari kafirin yang pada akhirnya menjadi pembela dakwah. Rasulullah ï·º sangat memahami psikologi mereka. Saat dakwah ditolak di Thaif, seorang kafir melindungi beliau. Dalam boikot di Makkah, sebagian dari mereka membantu secara diam-diam. Bahkan, Rasulullah ï·º memilih seorang kafir sebagai penunjuk jalan dalam hijrah ke Madinah. Sebagian menjadi sahabat sejati setelah memeluk Islam.

Dalam skala lebih luas, sejarah mencatat bahwa Kristen Koptik di Mesir mendukung pasukan Amr bin Ash saat membuka Mesir pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Mereka lebih percaya pada keadilan Islam daripada tirani Romawi. Mengapa? Karena mereka memahami jiwa Islam: keadilan, toleransi, dan keteguhan pada prinsip.

Menjelma Menjadi Pembela

Kisah kafirin dan munafikin juga menunjukkan bahwa manusia bisa berubah. Bahkan seteru paling keras sekalipun, bila disentuh dengan bijak dan sabar, bisa berbalik menjadi penolong dakwah. Umar bin Khattab dulunya pembenci Islam, namun berbalik menjadi tiang agama. Khalid bin Walid pernah menjadi komandan musuh, namun menjadi “Pedang Allah” setelah masuk Islam.

Maka, kisah-kisah itu tak boleh dibaca dengan kebencian membabi buta. Tapi juga dengan harapan. Bahwa siapa pun bisa diberi hidayah. Bahwa sekalipun mereka membangun kekuatan hari ini, Allah tetap pemilik takdir dan pembolak-balik hati.

Dari Kisah ke Kesadaran

Dari semua ini, kita belajar bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab ibadah, tapi juga kitab strategi. Ia mendidik bukan hanya untuk shalat dan puasa, tapi juga untuk memahami realitas, membangun visi, dan mengelola konflik.

Allah tidak menyusun Al-Qur’an seperti kitab undang-undang, tapi seperti pelayaran. Ada ombak kisah, ada pelabuhan hikmah, dan ada arah kiblat yang menuntun ke tujuan. Kita diajak tidak sekadar menjadi penghafal ayat, tapi juga penafsir zaman.

Kisah kafirin dan munafikin dalam Al-Qur’an adalah cahaya yang menyoroti sisi gelap dunia. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memperkuat langkah. Bahwa musuh selalu ada. Tapi yang lebih penting, bagaimana kita tetap tegak berdiri, mengakar dalam iman, dan memetik hikmah bahkan dari duri sekalipun.

Karena itu, jangan hanya membaca kisah sebagai cerita. Bacalah sebagai peta. Sebagai peringatan. Sebagai cermin. Karena di dalamnya ada strategi langit, untuk membangun dunia yang lebih terang.

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro Oleh: Nasruloh Baksolahar Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogy...

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro

Oleh: Nasruloh Baksolahar

Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogyakarta, sempatkanlah singgah ke Istana Ratu Boko. Di sana, di atas sebuah bukit yang sunyi dan terbuka ke langit, berdiri reruntuhan istana yang menyimpan jejak sejarah spiritual yang lebih tua dari bayangan kita tentang kekuasaan. Bukan semata tentang tembok dan gerbang yang telah rapuh, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam—sebuah gua tersembunyi di jantung istana.

Mengapa ada gua dalam istana?

Gua itu bukan tempat pelarian, bukan pula ruang penyimpanan. Ia adalah altar keheningan. Tempat di mana seorang raja tidak lagi berbicara kepada rakyat, tetapi kepada Tuhannya. Tempat ia menggali kejernihan hati, menjernihkan tujuan, menata arah, dan menumbuhkan cahaya dalam kegelapan batin. Dari dalam gua itulah muncul kebijaksanaan yang menuntun kerajaan, bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan akal dan nurani.

Gua adalah ruang sunyi, tempat lahirnya wahyu dan strategi. Sebab, keheninganlah yang sering kali menjadi pintu paling jujur untuk menyentuh langit.

Sejarah Islam mencatat banyak gua sebagai saksi awal perubahan besar dunia. Gua Hira—tempat Nabi Muhammad ï·º menerima wahyu pertama, bukan sekadar ruang fisik, melainkan ruang penyucian hati dan pencarian makna yang panjang. Gua Tsur—tempat beliau bersembunyi bersama Abu Bakar saat hijrah, adalah bukti bahwa keselamatan jiwa lahir dari tempat tak terduga, dan pertolongan Allah lebih dekat dari yang dibayangkan. Bahkan dalam kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua demi mempertahankan iman, menjadi simbol kekuatan keimanan yang mengalahkan zaman.

Gua-gua itu tidak bersuara, tapi sejarah bergetar dari sana. Sunyi mereka melahirkan takdir.

Gua Secang, di Bukit Selarong, adalah salah satunya. Jika gua di Ratu Boko menjadi ruang perenungan para raja kuno Jawa, maka Gua Secang adalah titik awal letusan spiritual dan militer yang mengguncang Jawa dan bahkan Eropa. Pangeran Diponegoro tidak memulai perjuangannya dari medan perang, tetapi dari dasar gua. Ia tidak menyusun barisan tentara di halaman istana, tetapi menyusun keteguhan hati di ruang sempit yang hanya muat satu tubuh dan satu doa.

Di gua itulah, sang pangeran mendengar dentang sunyi yang menyingkap kebusukan penjajahan. Ia mendengarkan denyut rakyatnya yang terluka. Ia berbicara dengan Tuhannya, merumuskan makna jihad yang bukan tentang ambisi, melainkan amanah. Di gua itu, ia menyucikan niat. Menelanjangi pamrih. Dan dari gua itu, keputusan besar dilahirkan: melawan.

Pangeran Diponegoro tidak terlahir sebagai pemberontak. Ia lahir sebagai bangsawan keraton, dengan seluruh hak atas kenyamanan dan kedudukan. Namun yang tak banyak orang pahami adalah bahwa api perjuangan bukan hanya menyala karena ketidakadilan luar, tetapi juga karena kejujuran batin. Kejujuran itulah yang menuntunnya ke Gua Secang.

Ia bisa saja memilih kenyamanan istana. Tapi ia memilih keheningan gua. Ia bisa saja menyusun siasat dari keraton, tapi ia justru menyiapkan revolusi dari balik semak dan cadas. Inilah keindahan jalan sunyi: melahirkan kekuatan yang tak bisa dihitung oleh senjata atau jumlah pasukan.

Peter Carey, dalam karya monumentalnya tentang Diponegoro, mencatat bahwa Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perang politik, melainkan perang spiritual. Perang menegakkan Islam sebagai jalan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam teks Malangyuda yang dikutip GWJ Drewes, tujuan utama Diponegoro adalah mengusir kekuasaan yang tak mengakui kebenaran Islam, dan menegakkan tatanan baru yang adil, berlandaskan syariat.

Maka dari gua itu, perang sabil dimulai. Sebuah perang yang bukan dilandasi kebencian, tapi cinta yang dalam kepada rakyat dan Tuhan. Sebuah perang yang tidak didesain oleh para penasihat militer, melainkan oleh hati yang terasah dalam zikir dan tafakur. Dari gua itu, bukan hanya senjata yang diasah, tapi kesadaran sejarah dan misi kenabian.

Keputusan melawan Belanda bukan tindakan spontan. Itu adalah buah dari kontemplasi panjang—sebuah revolusi yang berakar pada keikhlasan, bukan pada ambisi. Diponegoro tahu bahwa kekuatan militer Belanda jauh di atasnya. Tapi yang ia miliki adalah sesuatu yang tak bisa diukur: kekuatan ruhani.

Setiap strategi yang ia keluarkan lahir dari gua, bukan dari ruang sidang. Setiap keputusan militer adalah hasil semedi yang panjang, bukan rapat politik yang bising. Inilah bedanya kekuasaan yang dibangun di atas doa, dibandingkan dengan kekuasaan yang lahir dari intrik dan tipu daya.

Seratus tahun kemudian, dari 1830 ke 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Banyak yang melihat ini sebagai rentang sejarah biasa. Tapi bagi orang yang membaca jejak sunyi, ini adalah gema dari Gua Secang yang menembus abad. Dari gua itulah awal kehancuran VOC dimulai, bahkan ketika kekuatan senjata mereka masih mendominasi. Karena sejarah tidak selalu bergerak dengan sorak-sorai. Ia juga bisa bergerak dari bisikan dan air mata yang jatuh di tengah doa.

Apakah Diponegoro termasuk para pembaharu yang dijanjikan Allah dalam setiap abad? Mungkin. Bukankah ia telah menyambung estafet perjuangan Islam dengan keyakinan dan pengorbanan yang tulus? Bukankah ia telah menghidupkan ruh jihad ketika banyak yang tertidur dalam pesona dunia? Dan bukankah ia lebih memilih gua daripada singgasana, seperti para nabi dan orang-orang pilihan?

Gua bukan tempat pelarian. Ia adalah ruang kelahiran kembali. Setiap pemimpin sejati, sebelum melangkah ke kancah dunia, harus lebih dulu masuk ke dalam dirinya sendiri. Harus lebih dulu menundukkan egonya. Harus lebih dulu merumuskan ulang untuk siapa ia hidup dan mati.

Pangeran Diponegoro mengajarkan itu. Ia menunjukkan bahwa kekuatan terbesar tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam. Bahwa kemenangan sejati tidak dimulai dari medan perang, tetapi dari pertarungan batin yang dimenangkan dalam sunyi.

Dan seperti gua-gua lainnya yang dicatat sejarah, Gua Secang menjadi saksi. Bukan hanya bagi suara takbir yang menggema, tapi bagi doa yang lirih. Bukan hanya bagi strategi militer, tapi bagi air mata pertobatan dan cinta. Di sanalah jiwa pemimpin ditempa. Di sanalah sejarah dilahirkan.

Kini, di antara reruntuhan Ratu Boko dan bukit Selarong, dua gua yang terpisah zaman tapi bersatu dalam pesan. Bahwa kekuasaan sejati adalah buah dari keheningan. Bahwa pemimpin besar tidak dibentuk oleh gemerlap dunia, tapi oleh kesanggupan menatap langit dari dasar bumi.

Gua-gua itu tetap sunyi. Tapi sejarah telah membuktikan: dari sunyi mereka, suara keadilan bergema hingga kini.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (575) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (237) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (154) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)