Hegemoni Quraisy: Ketika Agama dan Kekuasaan Saling Menyapa
> “Kekuasaan tidak pernah netral. Bahkan dalam agama, ia selalu memilih siapa yang berhak menafsirkan kebenaran.” — Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy (LKIS, 2002)
---
1. Pendahuluan: Ketika Agama Bertemu Kekuasaan
Setiap zaman melahirkan bentuk baru dari pertarungan lama: antara kebenaran dan kepentingan.
Di balik kisah agung tentang kebangkitan Islam, selalu ada narasi kecil yang luput dari wacana resmi: pergulatan antara idealisme wahyu dan naluri kekuasaan manusia. Di titik inilah, suku Quraisy — suku asal Nabi Muhammad ﷺ — memainkan peran yang rumit: sebagai pembawa risalah sekaligus pengelola kekuasaan setelah risalah itu tersebar.
Khalil Abdul Karim, seorang pemikir dan sejarawan Mesir yang berani menabrak arus, menulis buku Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan (Penerbit LKIS, 2002) bukan untuk menjatuhkan sejarah Islam, tetapi untuk mengajukan pertanyaan yang kerap dihindari:
Apakah kekuasaan Quraisy setelah Nabi benar-benar mencerminkan ajaran Islam?
Ataukah ia menyimpan sisa-sisa kebanggaan suku yang belum sepenuhnya luruh di hadapan keadilan wahyu?
Khalil tidak menulis dengan emosi, tetapi dengan pisau sejarah dan sosiologi. Ia menelusuri lapisan sosial di balik teks, membaca relasi antara agama dan kekuasaan sebagaimana membaca nadi sejarah: berdenyut, kompleks, dan tak selalu suci.
Dan di sanalah daya gugah buku ini: ia tidak menistakan agama, tapi mengajak kita mengujinya — agar Islam tidak terjebak menjadi sekadar struktur kuasa yang berbalut simbol ilahi.
---
2. Akar Sejarah: Quraisy Sebelum Islam
Jauh sebelum wahyu turun, Makkah telah menjadi jantung ekonomi dan spiritual Jazirah Arab. Ka‘bah, rumah tua peninggalan Nabi Ibrahim, menjadi magnet bagi kafilah dan peziarah dari berbagai suku. Quraisy — penjaga Ka‘bah — menjadi elite yang menguasai dua hal sekaligus: agama dan perdagangan.
Mereka adalah aristokrasi padang pasir. Dalam istilah sosiologi, mereka memiliki capital simbolik: kehormatan suci yang disegani oleh suku-suku lain. Tapi mereka juga memiliki capital ekonomi: jalur perdagangan yang menghubungkan Yaman, Syam, dan wilayah Hijaz. Mereka bukan sekadar penyembah berhala, tapi juga pengelola sistem sosial yang mapan — dengan kontrak, perjanjian, dan jaringan internasional yang canggih untuk ukuran abad ke-6 Masehi.
Khalil menyebutnya sebagai kelas hegemonik: kelompok yang berkuasa bukan hanya karena pedang, tetapi karena mampu mendefinisikan makna suci. Ritual agama dijadikan sumber legitimasi, dan Ka‘bah menjadi pusat ekonomi-politik.
Maka, ketika Islam datang dengan pesan kesetaraan dan tauhid, yang terguncang bukan hanya keyakinan, melainkan seluruh tatanan sosial dan ekonomi.
---
3. Nabi Muhammad ﷺ dan Revolusi Sosial
Nabi Muhammad ﷺ datang bukan untuk menambah daftar dewa, tetapi untuk meniadakannya.
Tauhid, bagi masyarakat Quraisy, bukan hanya perubahan teologis — ia adalah ledakan sosial. Ia meruntuhkan hierarki antara tuan dan budak, antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
“Tidak ada keistimewaan bagi Arab atas non-Arab kecuali dengan takwa,” sabda beliau.
Kata-kata ini, dalam konteks sosiologis, adalah revolusi. Ia menghantam jantung hegemoni Quraisy yang selama ini hidup dari status sosial dan garis keturunan.
Dalam pandangan Khalil Abdul Karim, ajaran Islam awal adalah gerakan moral sekaligus sosial: menantang struktur ekonomi Quraisy yang bertumpu pada riba, eksploitasi, dan kesetiaan pada klan. Nabi mengajarkan solidaritas lintas suku, zakat sebagai mekanisme keadilan sosial, dan persaudaraan Muhajirin–Anshar sebagai model masyarakat baru.
Namun, setelah kemenangan Islam di Makkah, muncul paradoks sejarah.
Orang-orang Quraisy yang dulu menjadi musuh, kini bergabung ke dalam Islam — bukan hanya sebagai pemeluk, tetapi sebagai penguasa.
Sejarah seolah berputar: mereka yang dahulu menentang Nabi atas nama kekuasaan kini justru menjadi pewaris kekuasaan atas nama Nabi.
---
4. Dari Madinah ke Kekaisaran Quraisy
Sejarah tidak pernah berhenti di kemenangan. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, umat Islam memasuki fase kepemimpinan manusia — dan di sinilah problem klasik muncul: bagaimana menjaga kemurnian wahyu di tengah realitas politik.
Pada masa Abu Bakar dan Umar, semangat egaliter dan keadilan sosial masih terjaga. Namun sejak masa Khalifah Utsman bin Affan — seorang bangsawan Quraisy dari klan Umayyah — jaringan kekerabatan mulai kembali menguat. Jabatan penting banyak diisi oleh keluarga dan sekutu suku.
Bagi Khalil, inilah awal “kembalinya hegemoni Quraisy”.
Hegemoni itu mencapai puncaknya di masa Bani Umayyah, ketika kekhalifahan berubah menjadi monarki dinastik. Kekuasaan diwariskan seperti kerajaan, bukan dipilih berdasarkan amanah. Bahasa Arab dijadikan simbol keunggulan, sementara bangsa-bangsa non-Arab (mawālī) sering diperlakukan sebagai warga kelas dua.
Namun, apakah ini sekadar kesalahan Quraisy?
Di sinilah letak refleksi penting.
Menurut sejarawan Azyumardi Azra, dalam setiap fase sejarah Islam, selalu ada ketegangan antara “agama normatif” dan “agama historis.” Agama normatif mengajarkan keadilan dan kesetaraan, sementara agama historis adalah hasil tafsir manusia yang sering kali tunduk pada kepentingan kekuasaan.
Artinya, yang mendominasi bukan Islam-nya, tapi penafsirnya.
Khalil menegaskan: ketika Islam menjadi kekaisaran, kekuasaan bukan lagi sekadar amanah — ia menjadi institusi ideologis. Kekuasaan yang dulu melindungi wahyu, kini mulai menggunakan wahyu untuk melindungi kekuasaan.
---
5. Agama Sebagai Legitimasi Kekuasaan
Salah satu bab paling tajam dalam buku Hegemoni Quraisy adalah analisis tentang bagaimana legitimasi agama digunakan untuk memperkuat posisi elite Quraisy. Khalil menunjukkan, beberapa teks hadis seperti “para pemimpin harus dari Quraisy” muncul dalam konteks politik pasca-Nabi, bukan dalam konteks pewahyuan.
Bagi Khalil, ini bukan tuduhan sembarangan. Ia menempatkan hadis-hadis itu dalam bingkai sejarah sosial: ketika para elite Quraisy merasa perlu membangun narasi teologis untuk membenarkan monopoli kekuasaan.
Maka, terbentuklah struktur hegemonik baru: kekuasaan yang disakralkan.
Namun para pakar Islam kontemporer tidak semuanya sepakat.
Azyumardi Azra mengingatkan, banyak hadis sahih tentang kepemimpinan Quraisy memang mencerminkan konteks stabilitas sosial Arab kala itu — bukan untuk menetapkan kasta politik.
Sedangkan Mansur Suryanegara menegaskan bahwa kekuasaan Islam yang bertahan lama, justru karena basisnya adalah sistem keadilan yang bersumber dari wahyu, bukan dari garis keturunan.
Ia menulis, “Kekuasaan Islam tidak bisa bertahan 13 abad hanya dengan loyalitas suku. Ia bertahan karena sistem nilai yang adil.”
Artinya, jika memang ada hegemoni Quraisy secara politik, maka itu hanyalah satu fase dari pergulatan sejarah yang lebih besar: perjuangan antara kekuasaan manusia dan keadilan ilahi.
---
6. Dari Bani Umayyah ke Mamluk: Apakah Hegemoni Itu Bertahan?
Pertanyaan penting kemudian muncul:
Apakah hegemoni Quraisy secara kesukuan benar-benar bertahan hingga berabad-abad kemudian?
Secara faktual, tidak.
Sejak runtuhnya Bani Umayyah, kekuasaan Islam berpindah ke tangan berbagai bangsa: Abbasiyah (Arab dan Persia), Ayyubiyah (Kurdi), Mamluk (Turki), hingga Utsmani (Turki). Tidak satu pun dari mereka berasal dari Quraisy.
Jika hegemoni Quraisy dipahami sebagai dominasi suku, maka sejarah justru menunjukkan sebaliknya. Tapi jika dipahami sebagai simbol — bahwa kekuasaan agama cenderung dimonopoli oleh kelas elite — maka pola itu memang terus berulang.
Sejarawan Mesir, Khalil Abdul Karim, menggunakan istilah “hegemoni simbolik”: kekuasaan yang mengatur tafsir, bukan sekadar wilayah.
Sementara Azyumardi Azra memaknainya sebagai “institusionalisasi otoritas keagamaan” — di mana tafsir wahyu dipegang oleh segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi penerima.
Maka benar, kekuasaan Islam dari era Nabi hingga Mamluk tidak bertahan karena loyalitas kesukuan, tetapi karena daya hidup sistem keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an.
Namun di saat yang sama, sejarah juga menunjukkan betapa sering tafsir agama dikendalikan oleh struktur politik — itulah bentuk “hegemoni Quraisy” yang lebih dalam dari sekadar darah atau suku.
---
7. Ulama: Pelurus Hegemoni
Setiap kali kekuasaan tergelincir, muncul para ulama yang meluruskan arah sejarah.
Imam Abu Hanifah menolak hadiah dari khalifah yang zalim. Imam Malik dipenjara karena fatwanya tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Imam Ahmad disiksa karena menolak doktrin resmi tentang Al-Qur’an.
Mereka adalah simbol bahwa “hegemoni Quraisy” tidak pernah total — selalu ada suara wahyu yang menolak tunduk pada kekuasaan.
Dalam sejarah panjang Islam, para ulama adalah benteng moral melawan dominasi politik. Mereka tidak membawa pedang, tapi pena dan keberanian.
Maka, jika benar ada hegemoni Quraisy, para ulama-lah yang menjadi antitesisnya.
Azyumardi Azra melihat dinamika ini juga terjadi di dunia Melayu-Indonesia.
Menurutnya, ulama Nusantara tidak sekadar mengajarkan fikih, tetapi juga memelihara keseimbangan antara agama dan kekuasaan. Ketika raja lalim, ulama menegurnya; ketika rakyat melenceng, ulama menasihati.
Itulah mengapa Islam di Nusantara tidak berkembang melalui penaklukan politik, melainkan melalui otoritas moral — bukan hegemoni.
---
8. Membaca Ulang Hegemoni di Zaman Modern
Apa makna Hegemoni Quraisy bagi umat Islam masa kini?
Mungkin bukan tentang suku, tapi tentang kecenderungan manusia untuk memonopoli kebenaran.
Ketika agama dijadikan alat politik, ketika fatwa menjadi senjata, dan ketika otoritas agama diprivatisasi oleh segelintir kelompok — di situlah “hegemoni Quraisy” menemukan wajah barunya.
Khalil Abdul Karim tidak sedang menyerang Islam. Ia mengingatkan bahwa setiap struktur kekuasaan, bahkan yang berbaju agama, berpotensi menyimpang jika tidak diawasi oleh kesadaran moral.
Dan inilah pelajaran reflektifnya:
Islam tidak butuh hegemoni Quraisy baru. Islam butuh keadilan, ilmu, dan keberanian berpikir.
Ia tidak lahir untuk melayani suku, partai, atau kekuasaan — ia lahir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali kepada Allah.
---
9. Penutup: Di Mana Quraisy dalam Diri Kita?
Khalil Abdul Karim wafat tahun 2002, meninggalkan jejak intelektual yang mengguncang banyak kalangan. Ia dipuji karena keberaniannya, tapi juga dikritik karena metodenya yang “terlalu sosiologis.” Namun satu hal tak bisa disangkal: ia memaksa kita bercermin.
Karena mungkin, Quraisy itu bukan lagi suku di padang pasir.
Quraisy itu ada dalam diri kita — dalam keinginan untuk merasa paling benar, paling suci, dan paling berhak menafsirkan agama.
Ketika agama berubah menjadi alat status,
ketika ilmu digunakan untuk membenarkan kekuasaan,
ketika simbol menggantikan keadilan —
di situlah hegemoni Quraisy hidup kembali, bukan di istana, tapi di hati manusia.
Dan di sinilah tugas umat Islam sejati: bukan menghancurkan sejarah, tetapi menyucikannya kembali.
Bukan menolak kekuasaan, tetapi menundukkannya di bawah keadilan ilahi.
Bukan menolak Quraisy, tetapi mengembalikannya menjadi seperti Nabi Muhammad ﷺ: manusia Quraisy yang menghapus hegemoni, bukan menghidupkannya.
---
Kesimpulan Reflektif:
> Hegemoni Quraisy, dalam bacaan Khalil Abdul Karim, bukanlah peristiwa suku, tetapi peringatan moral: bahwa setiap kali agama disatukan dengan kekuasaan tanpa kontrol spiritual, maka ia akan berubah menjadi alat dominasi.
Azyumardi Azra menambahkan:
> “Agama harus tetap menjadi sumber nilai, bukan sumber legitimasi kekuasaan.”
Dan Mansur Suryanegara menutupnya dengan bijak:
> “Kekuasaan Islam bertahan bukan karena darah Quraisy, tetapi karena nurani keadilan yang diwariskan Nabi.”
Maka pertanyaannya bukan lagi: di mana hegemoni Quraisy?
Melainkan: apakah kita sedang melanjutkannya — atau meluruskannya?
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif