basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-c...

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-celah bukit, menyentuh rumah-rumah mungil yang bersandar pada sunyi. Di salah satu desa terpencil wilayah kerajaan itu, ada satu rumah kecil berdinding tanah dan beratap jerami, berdiri tenang namun rapuh seperti penghuninya.

Malam itu, di dalam rumah, seorang perempuan muda duduk memeluk lutut di dekat tungku yang mulai padam. Ia tidak tidur. Tatapannya kosong. Matanya menyimpan gelisah. Suara pengumuman siang tadi masih bergema di telinganya:

“Barang siapa bersedekah, akan kupotong tangannya.”

Ia menggenggam kedua tangannya. Tangan yang selama ini tak pernah enggan memberi. Tangan yang terbiasa menjulurkan roti kepada yang lapar, menaruh koin di tangan anak yatim. Tapi malam ini... tangan-tangan itu terasa berat. Ada ancaman menggantung di langit-langit rumahnya.

"Apakah kini kebaikan harus dibayar dengan kehilangan?" bisiknya lirih.

Matanya basah. Ia rebahkan diri, tapi hatinya tak bisa diam. Jiwa yang selama ini damai karena berbagi, kini berperang dengan rasa takut.



Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya naik. Udara masih lembab. Saat perempuan itu membuka pintu rumahnya, ia terpaku.

Di depan pintu, berdiri seorang lelaki tua renta. Tubuhnya kurus, bajunya lusuh, dan wajahnya seperti pecahan musim kemarau. Ia tidak bicara banyak. Hanya mengangkat tangannya yang bergetar:

“Wahai putri… tolong beri aku sedekah… demi Allah... aku belum makan sejak dua hari lalu…”

Perempuan itu menatapnya lama. Suasana batin keduanya mendidih dalam diam. Ia tahu, memberi berarti kehilangan. Tapi di hadapannya berdiri seseorang yang mungkin akan kehilangan nyawa tanpa secuil roti.

Dengan suara pelan dan gemetar, ia menjawab:

“Bagaimana aku bisa memberimu… sedang raja mengancam akan memotong tanganku jika aku bersedekah?”

Pengemis itu menunduk, tapi kemudian berkata lagi dengan mata berkaca:

“Aku tidak meminta tanganmu... hanya roti... demi Allah…”

Perempuan itu memalingkan wajah, lalu menatap ke dalam dapurnya. Hanya dua potong roti tersisa. Satu untuk hari ini, satu untuk besok. Tapi hatinya mengingat suara lain—bukan suara raja, melainkan suara nurani:

“Apa gunanya tangan yang utuh, jika hati menjadi beku?”

Ia mengambil dua roti itu, kembali ke pintu, dan meletakkannya di tangan pengemis dengan lirih:

“Ambillah… semoga Allah memberiku kekuatan jika tangan ini harus hilang…”



Hari berganti. Tapi berita tak pernah berhenti. Di istana, telinga sang raja mendengar kabar perempuan yang berani menantang titahnya. Maka tanpa banyak bicara, ia mengirim pasukan.

“Potong tangannya. Biar jadi pelajaran.”

Dan perempuan itu pun kehilangan kedua tangannya. Ia tak menangis. Ia tak melawan. Ia hanya menatap langit, seolah berkata:

“Ya Allah, jika ini harga dari memberi, maka jangan biarkan aku menyesal.”



Tahun berlalu.

Di istana, raja muda itu duduk termenung di kursi takhtanya. Hari-harinya penuh pesta dan pujian, tapi hatinya kosong. Ia berkata kepada ibunya,

“Wahai ibu, aku ingin menikah. Tapi bukan dengan siapa pun. Aku ingin perempuan yang wajahnya bersih… yang hatinya bening… yang jika kupandang, jiwaku tenang.”

Ibunya tersenyum tipis.

“Ada seorang perempuan seperti itu, Nak. Wajahnya sejuk. Tatapannya dalam. Tapi… ia memiliki cacat yang parah.”

“Cacat seperti apa?” tanya sang raja.

“Kedua tangannya buntung.”

Sang raja terdiam. Tapi hatinya justru penasaran.

“Datangkan dia ke istana.”



Ketika perempuan itu hadir di istana, ia datang dengan sederhana. Jubahnya biasa. Tapi langkahnya teguh. Ia tidak membawa kemewahan, tapi membawa ketenangan.

Sang raja menatapnya. Dan dalam hatinya bergema satu bisikan:

“Ada luka yang justru menjadikan seseorang bercahaya.”

Dengan suara mantap, ia berkata:

“Maukah engkau menjadi istriku?”

Perempuan itu menjawab dengan kepala tertunduk:

“Jika engkau menghendaki, aku bersedia…”

Raja pun menikahinya.



Setelah pernikahan itu, raja bertanya dengan hati yang mulai ingin tahu:

“Katakan padaku… mengapa tanganmu tiada?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ia tidak ragu. Tidak pula menyimpan marah.

“Tangan ini hilang… karena aku memberikan dua potong roti… kepada orang yang lapar… ketika seluruh negeri takut memberi…”

Sang raja terdiam. Seolah petir menyambar batinnya. Ia sadar.

“Perempuan yang kini menjadi istriku… adalah perempuan yang dahulu kuhukum…”

Dan air matanya mengalir. Bukan karena penyesalan semata, tetapi karena ia melihat di hadapannya bukan perempuan cacat, melainkan perempuan yang tangannya mungkin hilang… tapi hatinya lebih utuh dari seluruh kerajaan.



Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita, agar kita melihat dengan cara yang tak bisa dijangkau oleh tangan.

Terkadang, satu potong roti… lebih berat dari seluruh emas di istana.


Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin petang menyapa lembut ketika pasukan R...

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin petang menyapa lembut ketika pasukan Raja Dzulkarnain memasuki sebuah kota. Gema takbir kemenangan menyertai langkah-langkah para prajuritnya. Penduduk kota, tua muda, lelaki dan perempuan, berhamburan ke jalanan. Mereka ingin menyaksikan sang penguasa dunia yang namanya menggetarkan timur dan barat.

Namun, di tengah kerumunan yang riuh itu, ada seorang lelaki tua yang tampak sibuk menggali tanah. Kedua tangannya kotor oleh debu dan lumpur. Ia sama sekali tak menoleh, bahkan ketika iring-iringan kaisar lewat di hadapannya. Wajahnya tenang, seperti tak terganggu oleh sorak-sorai atau denting pedang para prajurit.

Dzulkarnain memperhatikannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya mendekat dan memanggil sang pria.

"Wahai lelaki, mengapa engkau tidak ikut menyambut kedatanganku? Sedangkan semua penduduk kota ini meninggalkan pekerjaannya dan bersuka cita melihat pasukanku?" tanya Dzulkarnain dengan lembut namun tegas.

Lelaki itu berdiri. Wajahnya penuh wibawa. Ia menatap Dzulkarnain tanpa gentar, lalu menjawab:

"Wahai Raja, saya sedang sibuk mengurusi kematian. Maka saya tak punya waktu untuk menyambut kehidupan dunia yang fana. Lagi pula, saya sudah belajar bahwa kekuasaan dan kehormatan dunia bukan sesuatu yang patut dikagumi."

Dzulkarnain mengernyit. "Apa maksudmu?"

Lelaki itu pun mulai berkisah, suaranya dalam dan tenang:

"Beberapa tahun silam, ada dua orang wafat di kota ini. Yang satu seorang raja, yang satu lagi rakyat jelata yang miskin. Sesuai adat kami, keduanya dimakamkan di tempat yang sama—tak ada istimewa, tak ada perbedaan."

Suasana mendadak hening. Dzulkarnain menatapnya penuh perhatian, mulai tergetar oleh arah kisah ini.

"Beberapa hari kemudian, saya datang menengok kuburan mereka. Kain kafan mereka sudah mulai berubah warna—sama-sama dimakan tanah. Tidak ada yang istimewa pada jasad sang raja dibanding si miskin."

Dzulkarnain mulai menunduk, seolah bayang-bayang kematian mengingatkannya akan sesuatu yang sering dilupakan para penguasa.

"Beberapa waktu kemudian, saya kembali datang. Daging keduanya sudah mulai hancur. Tak tersisa keelokan wajah, apalagi mahkota atau tanda kebesaran."

Mata Dzulkarnain mulai berkaca-kaca. Keangkuhan dunia seolah retak perlahan di hadapan kebenaran yang dibawa lelaki ini.

"Dan akhirnya, saya menengok lagi setelah waktu berlalu lebih lama. Yang tersisa hanyalah tulang belulang. Dan sungguh, saya tak mampu membedakan tulang raja dengan tulang si miskin. Sama-sama rapuh, sama-sama diam."

Lelaki itu menatap lurus ke arah Dzulkarnain.

"Maka sejak saat itu, saya tak lagi mengagumi pangkat, takjub pada gelar, atau terpesona oleh barisan pasukan. Semuanya akan menuju liang yang sama."

Hening. Hanya desir angin dan detak hati yang masih terasa.

Dzulkarnain diam sejenak. Lalu ia mendekat, menggenggam tangan lelaki itu.

"Engkau telah mengajariku sesuatu yang tak diajarkan oleh para menteri dan jenderalku."
Kemudian, dengan suara tegas namun penuh hormat, Dzulkarnain mengangkat lelaki itu sebagai wakilnya untuk memimpin kota tersebut.

"Orang yang pantas memimpin adalah yang tak mencintai kekuasaan. Sebab dia akan menjaga amanah, bukan menikmati kehormatan."



Refleksi:

Mengapa kekuasaan diberikan kepada mereka yang tak menginginkannya?

Karena orang yang mencintai kekuasaan akan memanfaatkannya, sedang orang yang takut pada kekuasaan akan menjaganya seperti menjaga bara api.

Rasulullah ï·º bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi tanpa memintanya, kamu akan dibantu (oleh Allah), tetapi jika kamu diberi karena memintanya, kamu akan dibebani.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Sumber:
Ibnu al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar.

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bas...

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bashri. Seorang lelaki datang dengan wajah letih, duduk di antara para hadirin. Nafasnya terengah, seakan membawa kabar yang berat dari perjalanan jiwa.

“Wahai Hasan,” katanya lirih. “Baru saja kami menjenguk Abdullah bin al-Ahtam.”

Hasan menoleh dengan tenang. Para hadirin pun diam. Lelaki itu melanjutkan,

“Keadaannya… sangat lemah. Tubuhnya lunglai di atas ranjang. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Kami kira ajal sudah dekat.”

Hasan menyimak tanpa menyela.

Lelaki itu menceritakan kembali percakapannya, “Kami bertanya padanya, ‘Wahai Abu Ma’mar, bagaimana keadaanmu?’”

Ia menjawab lemah, “Demi Allah… aku sakit…”

Namun tiba-tiba, ia menunjuk ke arah peti di sudut rumahnya. “Di situ ada seratus ribu dinar. Belum aku keluarkan zakatnya… Belum juga kugunakan untuk sanak kerabatku…”

Hening.

“Wahai Abu Ma’mar,” kami bertanya, “untuk apa engkau mengumpulkan semua itu?”

Dengan suara berat, ia menjawab, “Aku kumpulkan sebagai antisipasi… untuk menghadapi zaman yang penuh bencana. Untuk menjaga diri dari kesewenangan penguasa… dan, ya… untuk kebanggaan diri…”


Mendengar cerita itu, Hasan Al-Bashri menarik nafas dalam. Pandangannya tajam namun getir.

"Celaka..." bisiknya lirih, lalu suaranya meninggi pelan-pelan, "Celaka orang yang diperdaya oleh setan—dengan ketakutan palsu tentang masa depan. Ketakutan akan lapar, akan penguasa, akan kehilangan… Hingga lupa pada amanah Allah dan kesempatan hidup yang telah diberikan padanya."

Hasan menunduk. Suasana jadi sendu. Lalu ia berkata lagi dengan suara bergetar:

“Sungguh… ia pergi dari dunia ini sebagai orang yang terampas. Pergi dengan hati yang gundah, hina, dan penuh cela.”


Kemudian, dengan tatapan tajam kepada para muridnya, ia berseru,

“Wahai para pewaris! Jangan tertipu sebagaimana sahabat kalian tertipu!”

Beberapa kepala menunduk. Ada yang memejamkan mata. Kata-kata Hasan menusuk ke dalam dada.

“Harta datang kepadamu secara halal. Maka jangan sampai ia berubah menjadi malapetaka.”

Hasan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti, seolah menimbang sesuatu di dadanya. Kemudian ia melanjutkan:

“Lihatlah orang yang mengumpulkannya! Ia kerja keras siang dan malam, menempuh gurun dan rimba, melewati dataran tandus dan tanah asing… Ia genggam hartanya erat-erat, mengikatnya rapat dalam peti. Tapi ia lupa—lupa pada zakat, lupa pada fakir miskin, lupa pada kerabatnya sendiri.”


Lalu Hasan terdiam.

Diam yang menggantung di langit-langit ruangan. Para muridnya menahan nafas, menunggu kata selanjutnya.

Dengan suara pelan, nyaris berbisik, Hasan berkata:

“Sesungguhnya… hari kiamat adalah hari penyesalan. Dan penyesalan yang paling besar… adalah ketika seseorang melihat hartanya berada di timbangan amal orang lain…”

Seseorang terperanjat. Yang lain menoleh penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin?

Hasan menjelaskan,

“Ya… dia diberi harta oleh Allah. Disuruh menginfakkan, tapi ia kikir. Takut miskin. Maka harta itu jatuh ke tangan ahli warisnya. Lalu ahli warisnya gunakan… dan amalnya tercatat di timbangan orang lain…”

Ia menatap satu per satu wajah di sekelilingnya. Kemudian ia menutup:

“Sebuah kesalahan yang tak termaafkan… dan pertaubatan yang tidak teraih.”


Malam pun turun pelan. Tapi kata-kata Hasan tak tenggelam. Ia menetap seperti api yang membakar kesadaran:
Bahwa harta bisa menjadi ujian paling halus yang meninabobokan iman,
dan peti dinar yang tidak terbuka di dunia,
bisa menjadi belenggu di akhirat.

"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih."
(QS. At-Taubah: 34)

"Kita bukan pemilik harta, hanya pemikul amanah yang akan ditanya satu per satu."



Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin  Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Kualitas Teknologi Kapal Nabi Nuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Hari ini, dunia dihantui oleh perubahan iklim, banjir besar, gempa ...


Kualitas Teknologi Kapal Nabi Nuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Hari ini, dunia dihantui oleh perubahan iklim, banjir besar, gempa bumi, dan badai ekstrem yang muncul bersamaan. Para ilmuwan sibuk merancang sistem pertahanan—dari bendungan canggih, bangunan anti gempa, hingga kapal selam penyelamat. Namun, di tengah semua itu, sejarah pernah mencatat satu-satunya kapal yang bisa bertahan dari kehancuran total: bahtera Nabi Nuh.

Kapal ini bukan sekadar cerita kitab suci. Ia adalah teknologi penyelamat yang dibangun bukan dengan software komputer atau alat ukur canggih, tapi dengan petunjuk langsung dari langit. Jika hari ini manusia mengandalkan kecerdasan buatan, Nuh mengandalkan wahyu. Bila sekarang kita bicara tentang rekayasa tahan bencana, maka bahtera ini adalah purwarupa sistem bertahan hidup lintas zaman.




1. Dibangun di Darat, Tanpa Peta, Tanpa Pelabuhan

> “Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu Kami...”
(QS Al-Mu’minun: 27)



Bayangkan: sebuah kapal raksasa dibangun di atas tanah kering, jauh dari laut, tanpa alat ukur, tanpa teknologi modern. Dalam dunia teknik, ini jelas "kesalahan fatal". Tapi Nuh melakukannya. Dan bukan asal bangun—kapal itu kokoh, tahan banting, dan muat berbagai makhluk hidup.

Kapal itu dibuat dari papan kayu dan pasak, mirip seperti cara tukang kayu Jepang menyusun rumah tahan gempa, atau seperti bangunan kayu modern yang bisa bertahan dari guncangan. Tanpa sekrup, tanpa paku, tapi justru lebih kuat dan lebih lentur saat menghadapi tekanan.

Dua keunggulannya:

1. Kalau satu bagian rusak, yang lain tetap bisa menopang.
2. Struktur kayunya bisa sedikit bergerak—ini justru membuatnya tidak mudah retak saat ada tekanan dari berbagai arah.



2. Banjirnya Bukan Lokal, Tapi Skala Dunia

> “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air tercurah, dan Kami pancarkan bumi dengan mata air…”
(QS Al-Qamar: 11–12)



Banjir Nabi Nuh bukan sekadar hujan deras. Itu adalah bencana ganda: air memancar dari bumi, dan langit mencurahkan hujan tak henti-henti. Kalau kita gambarkan sekarang, ini seperti:

1. Letusan lumpur panas dari bawah tanah
2. Hujan besar tanpa henti selama berbulan-bulan
3. Tanah retak, gunung bergeser, sungai berubah arah


Bahkan kapal perang modern bisa tenggelam dalam tekanan bencana seperti ini. Tapi kapal Nuh bertahan. Artinya, bentuk dan bahan kapalnya sangat cocok menghadapi tekanan dari atas, bawah, dan samping secara bersamaan.

Bayangkan: ini seperti kapsul penyelamat seluruh isi bumi—bukan sekadar perahu biasa.



3. Melayar di Gelombang Sebesar Gunung

> “Dan kapal itu berlayar membawa mereka dalam gelombang seperti gunung…”
(QS Hud: 42)



Kalimat ini bukan cuma ungkapan. Ilmu kelautan menyebut fenomena seperti ini sebagai rogue waves—ombak besar yang muncul tiba-tiba, bisa setinggi 30 meter, dan sering menenggelamkan kapal modern.

Tapi desain kapal Nabi Nuh justru sangat stabil. Tahun 2004, para ilmuwan di Korea Selatan menguji rasio ukuran kapalnya (panjang:lebar:tinggi = 6:1:0.6). Ternyata, dibanding 13 desain kapal modern yang diuji, desain bahtera Nuh adalah yang paling stabil.

Ia tidak mudah terguling, bisa menahan tekanan air, dan tetap seimbang saat mengangkut muatan besar. Mirip seperti sayap pesawat jet yang tetap tenang di tengah badai udara.



4. Kayu yang Lebih Tahan dari Baja

Zaman sekarang, kapal dibuat dari baja, titanium, bahkan serat karbon. Tapi semua itu bisa berkarat, retak, atau rusak jika terlalu lama dipakai. Kapal Nabi Nuh justru dibuat dari kayu alami—tapi bukan sembarang kayu.

Kayu itu memiliki kekuatan khusus:

1. Lentur, jadi tidak gampang patah saat terkena tekanan arus
2. Tahan panas dan dingin, cocok untuk perubahan suhu ekstrem
3. Ringan tapi kuat, mirip struktur tulang manusia


Desain seperti ini kini ditiru dalam bangunan hijau dan arsitektur yang ramah lingkungan.



5. Tanpa Kompas, Tapi Selamat Sampai Tujuan

> “Berlayarlah dengan nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya…”
(QS Hud: 41)



Hari ini, kapal dikendalikan dengan GPS, radar, dan komputer otomatis. Tapi bahtera Nuh tidak memiliki satu pun alat navigasi modern. Ia sepenuhnya berjalan otomatis, tapi bukan karena program komputer—melainkan karena bimbingan langsung dari Allah.

Istilah sekarangnya: divine automation—kendali otomatis dari langit.

Ini mirip dengan kapsul luar angkasa yang membawa manusia melintasi atmosfer tanpa pilot. Bedanya, ini membawa peradaban baru di tengah gelombang kehancuran lama.



Kapal Masa Lalu, Pelajaran Masa Depan

Mengapa teknologi dan riset manusia hari ini belum bisa meniru bahtera Nabi Nuh?

Karena kapal ini bukan sekadar transportasi. Ia adalah jembatan antara dua dunia: dunia yang dihancurkan, dan dunia yang akan dibangun kembali. Ia menyelamatkan kehidupan, bukan sekadar mengangkut barang. Ia dibangun bukan dengan kecerdasan buatan, tapi dengan kecerdasan iman.

Dalam era yang penuh bencana seperti sekarang, dunia butuh lebih dari sekadar teknologi canggih. Kita perlu arah yang benar, niat yang bersih, dan ketundukan kepada kehendak langit. Mungkin, inilah saatnya manusia belajar kembali dari teknologi yang lahir dari wahyu, bukan dari laboratorium.

Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu seja...


Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu sejarah, menyentuh reruntuhan kota yang dulu megah namun kini dililit kekacauan dan kehilangan arah. Di antara reruntuhan itu, muncullah sosok pemimpin yang tidak datang membawa bala tentara, tetapi membawa cahaya ilmu dan keteguhan iman: Umar bin Abdul Aziz.

Ia tidak menatap kota-kota yang rusak dengan amarah, melainkan dengan air mata dan hati yang penuh doa. Ia tidak membawa cambuk di tangannya, tetapi membawa adab dan keadilan di setiap keputusan. Di balik diamnya, bersembunyi kebijaksanaan yang menumbuhkan harapan.




Ketika Kota Dipenuhi Pencuri dan Perampok

Seorang hakim, ditugaskan ke Mosul. Kota itu bagai luka menganga—penuh pencurian, perampokan, dan kekacauan. Sang hakim, cucu dari Ibrahim bin Hisyam, menulis surat kepada sang khalifah.

"Wahai Amirul Mukminin, Mosul adalah kota yang rusak. Kejahatan ada di setiap sudutnya. Apakah aku harus menyelidiki, mencari bukti, dan menyelesaikannya dengan tradisi mereka?"

Surat itu terbang menembus gurun, dan sampai di tangan Umar bin Abdul Aziz. Ia membalas dengan lembut, tapi tajam:

"Selesaikanlah dengan sunnah Nabi. Jika mereka menolak kebenaran, maka jangan berharap Allah akan memberikan kebaikan kepada mereka."

Sang hakim menggigit bibirnya. Ia patuh. Ia kembali ke Mosul bukan dengan pedang, tapi dengan sunnah. Bukan dengan teriakan, tapi dengan keteladanan.

Tahun-tahun berlalu. Ketika ia pergi dari Mosul, ia mendapati kota itu berubah. Yang dahulu sarang pencuri, kini menjadi tempat paling aman. Yang dulu diselimuti gelap, kini bersinar dalam naungan keadilan.



Apakah Kota Hanya Bisa Dibangun dengan Pedang?

Di Khurasan, gubernur Al-Jarrah bin Abdullah menulis dengan nada putus asa:

"Penduduk Khurasan ini keras kepala, rusak, liar. Mereka hanya bisa diluruskan dengan pedang dan cambukan. Jika engkau izinkan, aku akan melakukannya."

Surat itu sampai di tangan sang khalifah. Umar menarik napas panjang. Ia tahu, saat pemimpin mengandalkan cambuk, itu tanda rapuhnya jiwa.

Ia balas:

"Wahai Al-Jarrah, engkau telah berdusta. Mereka bukan diluruskan dengan cambuk, tapi dengan keadilan dan kebenaran. Maka tegakkanlah keadilan. Itu cukup. Wassalam."



Apakah Kota Harus Dibangun dengan Dana yang Melimpah?

Seorang gubernur lain mengeluh dalam suratnya:

"Kota kami hancur. Jika engkau berkenan, kirimkan dana untuk membangunnya kembali."

Umar menatap langit, dan menuliskan jawabannya:

"Kamu tidak mengatakan bahwa kotamu telah roboh. Tapi kamu tahu jalan membangunnya: tegakkan keadilan. Bersihkan jalan-jalan dari kezaliman. Jika engkau melakukannya, niscaya kotamu akan bangkit dengan sendirinya."




Refleksi dari Sejarah

Beginilah Umar memandang kota. Ia tidak bicara tentang semen dan batu bata. Ia bicara tentang nilai, tentang sunnah, tentang keadilan.

Baginya, kota rusak bukan karena dindingnya runtuh, tapi karena jiwanya mati. Masyarakat yang tak lagi takut kepada Allah, itulah reruntuhan yang sebenarnya. Maka, solusi Umar bukan membangun tembok, tapi membangunkan hati.

Ketika umat kehilangan adab, hukum menjadi tumpul. Ketika pemimpin kehilangan rasa takut kepada Tuhan, maka seluruh kota kehilangan cahaya.

Umar mengajarkan bahwa membangun kota bukan perkara uang atau senjata, tetapi perkara akhlak dan keberanian menegakkan kebenaran—meski sunyi, meski sendiri.

Dan kini, saat kota-kota kita kembali berlumur keluhan dan kehancuran, barangkali sudah saatnya kita mengingat satu kalimat dari Umar:

"Tegakkan keadilan. Itu cukup."

Sumber:
Mahmud Musthafa Sa'ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar

Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung...

Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung-burung tetap pulang ke sarangnya. Angin masih bertiup membawa debu dari padang. Namun di dalam istana yang megah, seorang khalifah termenung.

Ia bernama Abu Ja’far Al-Manshur, lelaki yang tak banyak tertawa, tak banyak bicara, namun pikirannya menembus jauh ke dalam kedalaman sejarah. Di antara malam-malam tafakurnya, ia berkata pelan namun lantang:

“Betapa aku mencintai empat orang yang berdiri di pintu istanaku.”

Orang-orang menoleh, bingung. Siapakah mereka? Wazir-wazirkah? Panglima-panglima? Ataukah keluarga dekatnya?

Ia lalu menjawab,

“Merekalah sendi-sendi kerajaanku. Seperti dipan tak akan tegak tanpa empat tiangnya, begitu pula kekuasaan tak akan lurus tanpa mereka.”

Satu per satu ia sebutkan.

Pertama, sang qadhi.
Hakim yang tak gentar pada hujatan, karena takutnya hanya pada Tuhan. Ia menegakkan hukum seperti menegakkan tiang dalam badai—tak goyah oleh suara-suara sumbang.

Kedua, sang syurthah.
Polisi yang berdiri bagi yang tak berdaya. Ia bukan tameng para penguasa, tapi perisai bagi rakyat yang tertindas.

Ketiga, sang jabi.
Petugas pajak yang tak menumpuk kekayaan di pundaknya. Ia pungut hak negara, tapi tak ambil milik si miskin.

Dan ketika tiba pada yang keempat, Abu Ja’far terdiam.
Ia menggigit jarinya, tiga kali.
Suaranya tertahan, lalu pelan berkata:

 “Aah... aah...”

Orang-orang menunggu, sunyi menebal di ruangan.

“Yang keempat adalah: penulis berita… wartawan… yang menuliskan tentang tiga sendi lainnya—dengan jujur, apa adanya, tanpa menjual kebenaran untuk pujian atau kekuasaan.”

Betapa agung kalimat itu.
Betapa sunyi maknanya.
Wartawan… bukan sekadar penyampai kabar.
Ia adalah cermin—yang memantulkan wajah kekuasaan tanpa bias.
Ia adalah lentera—yang menyinari ruang-ruang gelap kekeliruan.
Ia adalah saksi sejarah—yang diam-diam menulis masa depan.

Di zamannya, wartawan bukan penyair istana. Bukan peniup seruling bagi penguasa. Ia adalah pengingat. Penjaga. Pemikul amanah.

Maka tak heran jika Al-Manshur mengaduh.
Mungkin karena pernah kehilangan satu di antara mereka.
Atau mungkin karena tahu:
Wartawan yang jujur lebih langka dari panglima yang berani.



Mari kita berjalan ke barat.
Ke Andalusia yang bersinar dalam sejarah.
Di sana, Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil juga menjadikan kebenaran sebagai pilar kerajaannya.

Ia tidak duduk menunggu laporan resmi.
Ia mengutus orang-orang terpercaya ke kota Kuur.
Tugas mereka sederhana tapi berat:
Membawa pulang berita kebenaran.
Tentang siapa yang menunaikan tugas, dan siapa yang menyalahgunakannya.

Dan ketika mereka kembali, membawa berita yang jujur, Hisyam tidak tinggal diam.

Ia panggil para pejabat.
Ia dengarkan keluhan rakyat.
Ia bersumpah bersama pelapor.
“Jika ia menamparmu, balaslah tamparannya!”
“Jika ia membuka aibmu, bukalah aibnya juga!”
“Jika ia merampas hakmu, ambillah kembali hartamu!”
“Tapi jika ia melanggar hukum Allah… aku sendiri yang akan menghukumnya!”

Satu persatu, pejabat yang zalim ditindak.
Bukan karena desas-desus,
tapi karena berita yang benar.



Apa yang bisa dilakukan sebuah berita?

Ia mungkin tak punya tentara.
Ia tak membawa pedang.
Tapi ia bisa menggetarkan tahta yang licin.
Ia bisa menggugah hati pemimpin yang lalai.
Ia bisa menahan tangan penguasa sebelum menzalimi.

Berita yang jujur adalah penjaga sunyi kekuasaan.
Ia seperti air yang jernih—menampakkan kotoran yang tersembunyi.
Ia seperti embun—dingin tapi menghidupkan.

Dan jika tidak ada lagi wartawan yang jujur,
jika semua pena telah dijual pada kuasa dan harta,
maka istana akan tegak di atas pasir,
dan kekuasaan akan tumbang…
oleh diam yang mematikan.



Kini zaman telah berubah.
Namun apakah sendi-sendi itu masih utuh?

Hakim yang jujur—masih adakah?
Polisi yang melindungi lemah—masih adakah?
Petugas pajak yang adil—masih adakah?
Dan… wartawan yang menulis demi Allah, bukan demi penguasa—masihkah kau di sana?

Jika kau masih ada,
maka teruslah menulis.
Karena setiap hurufmu bisa menjadi penopang terakhir sebelum tahta runtuh oleh kezaliman.

“Dan katakanlah yang benar, walau itu pahit.”
(Hadits Nabi ï·º)

Karena kekuasaan bisa bertahan tanpa emas, tapi tidak akan bertahan tanpa kebenaran.


Sumber: Mahmud Musafa Sa’ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar.

Ragam Titik Kritis Manusia dalam Kisah di Al-Qur’an Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Di titik itulah manusia teruji: saat nikmat dige...

Ragam Titik Kritis Manusia dalam Kisah di Al-Qur’an

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Di titik itulah manusia teruji: saat nikmat digenggam, saat kebenaran datang, saat kuasa merasuk. Sebagian naik, sebagian tumbang. Dan Al-Qur’an mengabadikannya dalam kisah-kisah yang menyentak jiwa.”

Apa itu titik kritis dalam hidup manusia? Dalam psikologi eksistensial, momen itu disebut decisive point—persimpangan nasib di mana keputusan menentukan arah: taat atau durhaka, bangkit atau terjerembab, surga atau neraka. Viktor Frankl menyebutnya sebagai “momen makna”—saat hidup bertanya, dan jiwa harus menjawab.

Dalam logika Al-Qur’an, titik kritis bukanlah ketika seseorang baru memulai, melainkan ketika ia telah menggenggam. Bukan saat kekurangan, tetapi saat limpahan nikmat datang: panen tiba, harta menumpuk, kuasa memuncak, atau wahyu diturunkan.

Mari kita telaah bagaimana Al-Qur’an memotret titik-titik krusial itu.



1. Ketika Panen Tiba: Kisah Pemilik Kebun

Al-Qur’an menampilkan dua kisah pemilik kebun yang tampaknya biasa, namun menyimpan kedalaman spiritual yang mengguncang. Pertama, dalam Surah Al-Kahfi ayat 32–44, Allah mengisahkan dua sahabat. Salah satunya diberi dua kebun anggur, sungai mengalir, dan panen melimpah. Namun saat memanen, ia berkata pongah:

"Aku lebih banyak harta dan lebih kuat pengaruhnya." (QS. Al-Kahfi: 34)

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menegaskan bahwa nikmat dunia yang dikira berkah bisa menjadi jebakan, saat hati mulai bergantung padanya dan lalai pada akhirat.

Kisah kedua terdapat dalam Surah Al-Qalam ayat 17–33, tentang pemilik kebun yang bersepakat tidak ingin memberi sedekah dari hasil panennya. Mereka berangkat pagi-pagi secara diam-diam, namun kebunnya sudah hangus dilalap api.

"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami menguji pemilik kebun." (QS. Al-Qalam: 17)

Mengapa saat panen menjadi titik kritis? Karena itulah saat manusia merasa berjasa. Psikolog dan motivator Barat seperti Tony Robbins mengatakan: “Krisis terbesar manusia terjadi bukan saat gagal, tapi saat berhasil. Di sanalah ego dan kesombongan mengintai.”



2. Qarun: Ketika Harta Menjadi Tuhan Baru

Al-Qur’an tidak mengisahkan Qarun saat ia miskin. Langsung dimunculkan sebagai tokoh superkaya.

"Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku zalim kepada mereka. Kami berikan kepadanya harta yang kunci-kuncinya berat dipikul oleh orang kuat." (QS. Al-Qashash: 76)

Puncak tragedinya adalah ketika ia berkata:

"Aku diberi semua ini karena ilmu yang ada padaku." (QS. Al-Qashash: 78)

Sayyid Qutb menafsirkan bahwa Qarun adalah lambang keangkuhan materialistik—orang yang menganggap kekayaan sebagai hasil usaha pribadi tanpa keterlibatan Tuhan. Maka Allah tenggelamkan dia beserta hartanya.

Motivator Barat, Stephen Covey, menyatakan: “Character is revealed in prosperity, not adversity.” Artinya, keberhasilan seringkali memperlihatkan sifat asli manusia. Inilah yang dialami Qarun. Kekayaan menjadi ujian yang menelanjangi jiwanya.



3. Fir’aun dan Namrud: Ketika Kekuasaan Menggoda Ketuhanan

Lihatlah bagaimana Al-Qur’an memotret penguasa durjana seperti Fir’aun dan Namrud. Tidak ada cerita tentang masa kecil mereka, proses politik, atau intrik istana. Al-Qur’an langsung menggambarkan mereka di puncak kekuasaan, saat mereka mulai menuhankan diri:

"Aku adalah tuhanmu yang paling tinggi." (QS. An-Nazi'at: 24)

"Siapakah Tuhanmu, wahai Musa?" (QS. Asy-Syu'ara: 23)

Menurut Sayyid Qutb, kekuasaan memiliki daya hipnosis spiritual—membuat manusia lupa bahwa dirinya hamba. Kuasa tanpa iman menjelma menjadi kezaliman yang meyakini dirinya sebagai pusat segalanya.

Dalam teori politik Barat, Lord Acton mengatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Al-Qur’an tidak hanya menegaskan itu, tapi memperlihatkan betapa mutlaknya kehancuran saat kekuasaan mematikan kesadaran ilahiyah.



4. Saat Wahyu Diturunkan: Titik Kritis Sebuah Kaum

Salah satu titik kritis terbesar dalam sejarah umat manusia adalah saat diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab suci. Al-Qur’an mencatat bahwa mayoritas kaum justru menolak di titik ini.

"Dan tidaklah datang kepada mereka seorang rasul melainkan mereka memperolok-olokkannya." (QS. Yasin: 30)

Kaum Yahudi dan Nasrani pun mengalami titik kritis ini ketika Rasulullah ï·º diutus:

"Tatkala datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui (dalam Taurat), mereka mengingkarinya." (QS. Al-Baqarah: 89)

Mengapa momen datangnya wahyu menjadi titik kritis? Karena ia membawa cahaya yang memaksa jiwa untuk jujur: apakah ia akan tunduk atau melawan?

Sayyid Qutb menegaskan bahwa wahyu adalah pernyataan perang terhadap hawa nafsu. Ia mengganggu zona nyaman dan struktur kuasa lama. Maka responsnya adalah dua: iman atau permusuhan.



5. Titik Kritis: Ketika Manusia Diuji oleh Perasaan

Titik kritis bukan hanya soal harta, kuasa, dan wahyu. Kadang datang dalam bentuk emosi yang meletup: sombong, risau, takut, merasa tertindas, atau merasa aman berlebihan. Ketika Nabi Musa dihina kaumnya, ketika Nabi Yunus pergi dalam amarah, ketika para sahabat gentar di Uhud—semuanya ujian batin.

Jordan Peterson, psikolog klinis kontemporer, menyatakan bahwa “Crisis strips away illusion.” Krisis membuka tabir kepribadian. Di titik kritis, manusia berdiri sendiri di hadapan Tuhan dan dirinya sendiri.



Di Persimpangan Jalan Takdir

Titik kritis adalah persimpangan takdir. Di sanalah manusia membuat keputusan yang mengubah segalanya. Itulah saat yang tidak diceritakan panjang lebar, tapi justru menentukan nasib akhir.

"Dan adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, dia berkata: 'Tuhanku memuliakanku.' Tapi apabila Dia mengujinya dan membatasi rezekinya, dia berkata: 'Tuhanku menghinakanku.'" (QS. Al-Fajr: 15–16)

Titik kritis tak dapat dihindari. Tapi bisa disikapi. Siapa yang sadar dan kembali kepada Allah, akan bangkit. Siapa yang sombong dan tertipu oleh kejayaan dunia, akan tergelincir.

Dan pada akhirnya, bukan awal hidup yang menentukan, tapi sikap di titik-titik kritis itulah yang membentuk sejarah manusia.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)