basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Yahudi: Kecanggihan dan Kebrutalan Membunuhnya, Tak Pernah Mampu Membunuh Kebenaran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Membunuh: Antara ...


Yahudi: Kecanggihan dan Kebrutalan Membunuhnya, Tak Pernah Mampu Membunuh Kebenaran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Membunuh: Antara Strategi dan Ideologi

Dalam sejarah umat manusia, hanya sedikit bangsa yang diabadikan dalam kitab suci karena kebiasaan mereka membunuh utusan Tuhan. Bani Israil adalah salah satunya. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai kaum yang:

"Membunuh para nabi tanpa alasan yang benar."
(QS. Al-Baqarah: 61)

Tindakan ini bukan sekadar karena kebencian emosional, tetapi bagian dari strategi ideologis: memutus rantai wahyu, membungkam suara kebenaran, dan mempertahankan dominasi elit korup yang takut kehilangan legitimasi. Namun sejarah juga mencatat: setiap kali mereka membunuh seorang nabi, Allah SWT melahirkan pelita-pelita baru. Demikian pula hari ini: setiap tokoh perlawanan Palestina yang gugur, justru menyemai bara baru dalam dada umat.



1. Para Nabi yang Dibunuh, Difitnah, atau Dicoba Dibunuh oleh Bani Israil

Nabi Zakaria dan Nabi Yahya ‘alaihimassalam
Dibunuh oleh elit Bani Israil karena keberanian mereka mengecam moral rusak para pemuka agama dan penguasa.

Nabi Isa ‘alaihis salam
Difitnah sebagai anak zina, direncanakan untuk disalib oleh kolaborasi antara elite Yahudi dan kekaisaran Romawi. Allah menyelamatkannya, namun pembunuhan karakternya diwariskan hingga kini.

Nabi Musa ‘alaihis salam
Ditolak dan ditentang oleh kaumnya sendiri. Padahal Musa datang membawa syariat yang menumbangkan privilese status quo para pemuka Bani Israil.



2. Para Pemimpin Islam yang Dibunuh atau Dihancurkan Karakternya oleh Zionis

Sultan Abdul Hamid II
Satu-satunya penguasa Islam yang terang-terangan menolak proyek Zionisme dan menjawab tegas tawaran pembelian tanah Palestina. Ia digulingkan oleh jaringan Freemason dan difitnah sebagai diktator, padahal sejarah membuktikan keteguhan iman dan visinya menjaga tanah suci.

Salahuddin Al-Ayyubi
Meski wafat secara alami, selama hidupnya ia terus menjadi sasaran propaganda kaum Yahudi dan sekutu-sekutunya. Upayanya menyatukan umat dan membebaskan Al-Quds membuatnya menjadi simbol yang berusaha dihancurkan citranya oleh Barat.



 3. Pemimpin Negara Modern yang Jadi Target Mossad dan Zionisme

Yasser Arafat
Pemimpin Otoritas Palestina yang diracun dengan polonium radioaktif. Meski tak ada pengakuan resmi, investigasi ilmiah menguatkan dugaan keterlibatan Israel.

Mahmoud al-Mabhouh (Hamas)
Dibunuh oleh Mossad di Dubai dalam operasi intelijen yang menyalahgunakan paspor dari negara-negara Barat. Ia adalah penghubung penting logistik militer Hamas.



4. Para Pemimpin Perlawanan Palestina yang Dibunuh

Mereka bukan hanya komandan militer, tapi juga simbol kebangkitan:

Ahmad Yassin
Pendiri Hamas, lumpuh total, dibunuh dengan rudal saat keluar dari masjid.

Abdel Aziz al-Rantisi
Penerus Yassin, dibunuh hanya tiga minggu kemudian oleh rudal Israel.

Fathi Shaqaqi
Pendiri Jihad Islam Palestina, dibunuh Mossad di Malta.

Khalil al-Wazir (Abu Jihad)
Tangan kanan Arafat, dibunuh di Tunisia setelah berperan besar dalam Intifada.

Ghassan Kanafani
Penulis, juru bicara Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP), dibunuh dengan bom mobil karena kekuatan narasinya yang menggugah dunia.

Pembunuhan mereka bukan sekadar operasi militer, tapi usaha sistematis mematikan simbol, inspirasi, dan legitimasi.


5. Ilmuwan Palestina yang Dibunuh: Kecerdasan yang Ditakuti

Fadi al-Batsh (2018)
Insinyur elektro dan pakar drone, dibunuh di Malaysia. Ia mengembangkan teknologi UAV untuk perlawanan.

Dirar Abu Sisi
Ahli sistem persenjataan Hamas, diculik dari Ukraina dan dipenjara tanpa proses hukum.

Mohamed al-Zawahri (2016)
Pakar drone dan penerbangan, dibunuh di Tunisia. Terlibat dalam riset teknologi pertahanan untuk Gaza.

Israel tahu, peperangan modern tidak hanya ditentukan oleh senjata, tapi oleh teknologi dan otak.



6. Mengapa Sekarang Anak-Anak dan Bayi Pun Dibunuh?

Zionisme telah berkembang dari pembunuhan simbol ke trauma massal. Anak-anak Gaza dibunuh bukan karena kesalahan, tapi karena potensi.

Tujuan strategisnya:

1. Memutus regenerasi perlawanan.
2. Membuat ibu takut melahirkan pejuang.
3. Menciptakan ketakutan kolektif untuk mengubur keberanian.

Namun strategi ini justru melahirkan perlawanan global. Setiap nama anak syahid menjadi mural, puisi, dan doa dari seluruh penjuru dunia.



7. Strategi Zionisme: Membunuh untuk Menghentikan Sejarah

Mengapa mereka membunuh nabi? Karena nabi adalah pembawa perubahan.
Mengapa mereka membunuh ilmuwan? Karena ilmu melahirkan keunggulan.
Mengapa mereka membunuh pemimpin perlawanan? Karena satu tokoh bisa membangkitkan jutaan.

Membunuh adalah usaha membekukan sejarah. Tapi sejarah yang adil tak bisa dihentikan—karena ia dibimbing oleh kehendak Allah.



8. Mengapa Perlawanan Tak Pernah Mati?

“Setiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”
(QS. Al-Ma'idah: 64)

Setiap Ahmad Yassin yang gugur, lahir Sinwar dan Deif.
Setiap bayi yang dibunuh, lahir jutaan hati yang marah dan terjaga. Karena tubuh bisa hancur, tapi makna tak bisa ditembak rudal.



Mereka Bisa Membunuh Tubuh, Tapi Tidak Kebenaran

Mereka bisa merudal tubuh Ahmad Yassin, tapi tidak tauhid di dada anak Gaza. Membungkam Ghassan Kanafani, tapi tidak menghentikan pena-pena perlawanan. Melenyapkan wajah para pemimpin,
tapi tidak janji Allah:

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin serta menjadikan mereka pewaris (bumi).”
(QS. Al-Qashash: 5)

Mereka bisa membunuh manusia, tapi takkan pernah bisa membunuh sejarah yang ditulis oleh tangan para syuhada.

Dua Medan, Dua Zaman: Ketika Abu Jahal dan Netanyahu Menolak Mundur Mekah, 624 M: Abu Jahal Memilih Perang Pada tahun ke-2 Hijri...

Dua Medan, Dua Zaman: Ketika Abu Jahal dan Netanyahu Menolak Mundur



Mekah, 624 M: Abu Jahal Memilih Perang

Pada tahun ke-2 Hijriah, Nabi Muhammad ï·º dan para sahabatnya bersiap menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Kafilah ini bukan sembarang rombongan; ia membawa harta besar—hasil dagang yang sebagian berasal dari rampasan terhadap kaum Muslimin yang dulu hijrah dari Mekah.

Abu Sufyan, seorang pedagang sekaligus politikus ulung, memilih jalur laut untuk menghindari bentrok. Ketika merasa aman, ia mengirim pesan ke Mekah: “Kafilah selamat, tak perlu perang.”

Namun pesan damai itu tidak diterima semua pihak.

Abu Jahal, pemimpin garis keras Quraisy, menolak usulan damai. Bagi dia, ini adalah kesempatan emas untuk menghabisi Nabi Muhammad ï·º dan menjadikan Badar panggung supremasi Quraisy di mata seluruh jazirah Arab.

“Kita ke Badar! Kita menyembelih unta, berpesta, main musik, dan membuat seluruh Arab tahu siapa kita!”

Seruan itu mengguncang kabilah. Bahkan suara-suara moderat seperti Utbah bin Rabi‘ah dan Abu Sufyan sendiri, ditenggelamkan oleh fanatisme dan ego klan. Maka pasukan Quraisy tetap bergerak. Dan sejarah mencatat, Perang Badar menjadi bencana bagi mereka. Abu Jahal tewas, Quraisy terpukul.



Tel Aviv, 2025: Netanyahu Kekuasaan Militer di Gaza

Hampir 1.400 tahun kemudian, panggung politik yang serupa terjadi. Bukan di gurun Badar, melainkan di kabinet Israel. Bukan Abu Jahal, tapi Benjamin Netanyahu. Bukan Abu Sufyan, tapi Kepala Staf IDF Letjen Eyal Zamir dan para jenderal profesional lainnya.

Dalam pertemuan kabinet pada awal Juli 2025, menjelang kunjungan Netanyahu ke Washington, sang perdana menteri mendesak:

“Evakuasi massal warga Gaza ke selatan harus segera dilakukan. Setelah itu, IDF akan ambil alih Gaza sepenuhnya.”

Zamir menentang. Ia memperingatkan kekacauan logistik, beban politik, dan ancaman pemberontakan massal dari dua juta warga yang lapar dan marah. Netanyahu tak bergeming. Ia bahkan menyampaikan ultimatum:

“Siapkan rencana evakuasi. Saya ingin melihatnya sepulang dari Amerika.”

Ketegangan ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Yoav Gallant, menteri pertahanan Israel, juga diberhentikan Netanyahu karena mendukung gencatan senjata dan menyuarakan strategi jangka panjang pasca-Gaza. Setelah Gallant, giliran Herzi Halevi (kepala IDF) dan kepala Shin Bet Ronen Bar yang menyerukan perlunya rencana politik yang realistis—semuanya ditolak.



Dua Kisah, Satu Pelajaran

Dalam dua peristiwa itu—Badar dan Gaza—terjadi ketegangan internal di antara barisan elit sendiri:

Abu Sufyan vs Abu Jahal

Eyal Zamir vs Netanyahu

Suara kehati-hatian vs suara dendam

Strategi jangka panjang vs serangan emosional sesaat


Abu Jahal memilih harga diri kesukuan daripada perhitungan strategis—dan kalah. Netanyahu memilih ilusi kemenangan total, dan pembentukan kekuasaan militer dalam menghadapi perlawanan di Gaza yang telah lama dijajah oleh penjajah Israel. 

Ketika suara akal kalah oleh suara ego, perang menjadi kuburan politik, bukan medan kemenangan.



Kapan Suara Rasional Menang?

Sejarah memberi dua pelajaran:

1. Kemenangan sejati lahir dari pertimbangan akal, bukan amarah.

2. Suara minoritas yang rasional sering dikalahkan oleh ego mayoritas—namun waktu akan menguji mana yang bertahan.

Di Badar, kesombongan Abu Jahal membawa kehancuran. Di Gaza, apakah Netanyahu akan bernasib sama?

Waktu akan menjawab.

Dari Era Pra Hijrah ke Gaza: Warisan Generasi Progresif dalam Menolak Ketidakadilan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di lembah sempit ...

Dari Era Pra Hijrah ke Gaza: Warisan Generasi Progresif dalam Menolak Ketidakadilan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di lembah sempit Syi'b Abu Thalib, sejarah mencatat bagaimana dua kabilah besar Arab—Bani Hasyim dan Bani Muthalib—bertahan dalam kepungan ekonomi, isolasi sosial, dan tekanan kolektif, hanya karena satu hal: mereka melindungi Nabi Muhammad ï·º. Sebagian belum memeluk Islam, tetapi mereka menolak menyerahkan kebenaran hanya karena tekanan elite Quraisy. Mereka memilih bertahan, meski harus makan daun pohon dan menenangkan anak-anak yang menangis kelaparan di malam hari.

Hari ini, ribuan kilometer dari Mekah, suara yang sama menggema dari Gaza, dari kampus-kampus di New York dan London, dari jalan-jalan di Paris, Cape Town, Jakarta, dan Santiago. Dunia menyaksikan bagaimana generasi progresif global bangkit melawan kezaliman yang terus menimpa rakyat Palestina. Mereka, seperti para pelindung Rasul di awal Islam, bukan semua Muslim, bukan semua Arab, dan bukan semua tinggal di Palestina. Tapi mereka tahu, kebenaran tidak punya paspor.



Kebangkitan Nurani yang Berulang

Generasi progresif hari ini—terdiri dari anak-anak muda, mahasiswa, akademisi, aktivis, jurnalis, dan warga biasa dari berbagai latar belakang—bangkit bukan karena mereka dibayar, tapi karena mereka melihat luka yang dipertontonkan di layar ponsel mereka setiap hari. Mereka menyaksikan rumah dihancurkan, anak-anak dibunuh, masjid dibom, dan warga sipil diseret keluar dari sejarah.

Seperti Thufail bin Amr ad-Dausi, pemimpin dari Yaman yang datang ke Mekah dan memeluk Islam karena terpesona oleh Al-Qur’an, mereka juga masuk ke lorong kesadaran karena kebenaran itu menembus batas, dan nurani tak bisa diboikot.



Perjuangan Tanpa Batas

Generasi progresif hari ini tidak diam:

Mereka menggelar demonstrasi massal, menuntut pemerintah mereka menghentikan dukungan pada penjajahan Israel.

Mereka mendirikan kamp-kamp protes di universitas-universitas terkemuka seperti Harvard, Columbia, Oxford, dan Sorbonne.

Mereka mendorong gerakan BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi) untuk memutus aliran dana ke perusahaan yang mendukung pendudukan.

Mereka menulis, mengajar, berdonasi, bahkan menyusup kapal bantuan untuk menembus blokade Gaza.

Mereka juga melawan narasi palsu, membongkar propaganda, dan mengubah opini publik secara global.


Mereka bukan generasi yang pasrah atau apatis. Mereka generasi yang sadar bahwa diam adalah pengkhianatan, dan berpihak pada yang lemah adalah warisan para nabi.


Dari Madinah ke Palestina

Dulu, di Madinah, kaum Anshar menerima Nabi ï·º dengan tangan terbuka. Mereka belum banyak tahu tentang Islam, tapi mereka tahu siapa yang terzalimi. Mereka tahu siapa yang dikepung karena menyuarakan tauhid. Dan mereka tahu siapa yang harus dibela meski risikonya besar.

Hari ini, generasi progresif melakukan hal yang sama. Mereka menjadi Anshar zaman ini, membuka ruang, membuka suara, dan membuka hati mereka untuk perjuangan yang tak mereka mulai, tapi mereka pilih untuk lanjutkan.



Mengapa Ini Penting?

Karena di tengah gempuran militer, teknologi, dan media yang berat sebelah, kemenangan pertama Palestina bukan pada roket, tapi pada narasi. Ketika opini publik dunia mulai berubah, ketika dukungan pada penjajahan mulai retak dari dalam, maka pijakan politik global mulai goyah.

Generasi progresif bukan lagi kelompok pinggiran. Mereka adalah mayoritas sunyi yang mulai bersuara. Survei-survei di Amerika dan Eropa menunjukkan peningkatan signifikan dukungan terhadap Palestina, terutama di kalangan usia 18–35 tahun. Mereka lahir di era digital, tumbuh bersama informasi, dan tidak bisa ditipu oleh propaganda sepihak.



Jalan Ini Pernah Dilalui

Jalan yang ditempuh generasi progresif hari ini bukan jalan baru. Ia adalah jalan yang pernah dilalui oleh orang-orang seperti Abu Thalib, Suwaid bin Shamit, Iyas bin Mu'adz, dan Thufail bin Amr. Jalan orang-orang yang berdiri tegak walau sendirian, yang melindungi risalah walau belum beriman, dan yang berkata “cukup” ketika dunia membisu.

Dan seperti Syi'b Abu Thalib yang pernah gelap, kelaparan, dan sunyi, Gaza pun sedang melewati lembah yang sama. Tapi kita tahu, setelah boikot itu, datang hijrah. Setelah hijrah, datang kemenangan.

Generasi progresif hari ini sedang menulis bagian mereka dalam sejarah kemenangan itu.

Generasi Progresif dan Perjuangan Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik layar-layar ponsel yang menggenggam dunia, di te...

Generasi Progresif dan Perjuangan Palestina

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik layar-layar ponsel yang menggenggam dunia, di tengah riuh demonstrasi dan seruan di media sosial, lahir satu generasi yang tak lagi percaya pada janji-janji lama: generasi progresif.

Mereka tak dibentuk oleh propaganda, tapi oleh luka sejarah. Mereka menyaksikan, merekam, dan menggugat. Mereka bukan hanya mewarisi dunia yang retak, tapi berikhtiar menyatukannya kembali. Palestina, bagi mereka, bukan sekadar peta yang dicabik-cabik, tapi simbol kebenaran yang dipertahankan.



Siapakah Generasi Progresif?

Generasi progresif adalah anak-anak zaman yang lahir di tengah badai. Mereka lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an—Generasi Z dan sebagian Milenial muda. Mereka dibesarkan dalam dunia digital, di mana setiap bom di Gaza bisa dilihat real-time, dan setiap tangisan anak Palestina tak bisa disangkal.

Tapi progresif bukan hanya usia. Ia adalah kesadaran, bahwa dunia tidak netral, dan diam berarti berpihak pada penindas. Mereka membawa nilai-nilai: keadilan, kesetaraan, solidaritas, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Dan mereka tidak membatasi itu pada bangsanya saja.



Mengapa Generasi Ini Muncul?

Karena dunia yang mereka warisi bukan dunia yang mereka pilih. Mereka tumbuh di tengah:

1. Krisis iklim yang diabaikan elite.

2. Rasisme struktural yang membusuk diam-diam.

3. Penjajahan yang dibungkus diplomasi.

4. Ketimpangan ekonomi yang menumpuk kekayaan pada segelintir.

5. Mereka menyaksikan dunia menutup mata pada Gaza, tapi bersedih berlebihan pada jendela yang pecah di Tel Aviv. Mereka mulai bertanya: siapa sebenarnya yang layak disebut korban?



Apakah Mereka Bertumbuh?

Ya, dan dengan kecepatan yang menggelisahkan para elite lama. Survei demi survei mencatatnya:

1. Di Amerika Serikat, survei Quinnipiac (2023) menunjukkan 52% anak muda <35 tahun lebih bersimpati kepada Palestina, dibanding hanya 27% yang pro-Israel.

2. Di Inggris, YouGov (2024) mencatat mayoritas usia 18–24 menganggap pendudukan Israel atas Palestina sebagai bentuk apartheid.


Sementara pemerintah mereka—baik AS, Inggris, atau Eropa—masih mempertahankan hubungan militer dan diplomatik dengan Israel, generasi muda berbelok tajam. Mereka tidak melihat Palestina sebagai ancaman, tapi sebagai cermin nurani dunia.



Apa yang Mereka Lakukan?

Generasi progresif tak tinggal dalam retorika. Mereka turun ke jalan, masuk ke ruang-ruang kekuasaan, dan mengguncang status quo. Bentuk perjuangan mereka antara lain:

1. Demonstrasi massal: ribuan mahasiswa menduduki kampus-kampus di AS dan Eropa, menuntut universitas menarik dana dari perusahaan yang terlibat dalam pendudukan Israel.

2. Boikot (BDS): mendorong boikot produk, perusahaan, dan institusi yang terlibat dengan proyek kolonial Israel.

3. Penggalangan dana dan bantuan: menyumbangkan miliaran dolar untuk korban di Gaza lewat platform digital.

4. Advokasi hukum dan petisi: mendorong tuntutan ke Mahkamah Internasional, mendesak PBB dan negara-negara agar bertindak.

5. Media sosial dan edukasi digital: menciptakan konten edukatif, membongkar propaganda, dan menyebarluaskan sejarah Palestina.



Apa Dampaknya Bagi Palestina?

Pengaruh mereka belum sampai membebaskan Palestina secara fisik. Tapi dalam perang narasi, generasi progresif adalah pasukan terdepan.

Mereka membuat dukungan terhadap Israel menurun drastis di opini publik muda.

Mereka menekan perusahaan besar untuk menghentikan kerja sama dengan Israel.

Mereka membuat Palestina kembali hidup di ruang publik, tak lagi terpinggirkan sebagai isu “kompleks dan sensitif”.

Yang terpenting, mereka membawa harapan bagi rakyat Palestina bahwa dunia tidak seluruhnya tuli. Bahwa masih ada yang percaya, bahwa yang benar tetap benar, meski minoritas mempercayainya.



Sebuah Kebangkitan Nurani

Generasi progresif mungkin belum punya kekuasaan. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih kuat: keberanian untuk mengatakan tidak. Mereka berkata tidak pada penjajahan, pada penindasan, pada propaganda yang membungkus kekerasan dengan diplomasi.

Dan mungkin, bila sejarah nanti berbalik, bila Palestina suatu hari merdeka sepenuhnya, dunia akan mengingat bahwa kemerdekaan itu bukan sekadar hasil negosiasi elite—tapi juga hasil dari jutaan langkah kecil, yang dimulai oleh generasi yang menolak diam di hadapan kezaliman.

Generasi itu bernama: generasi progresif.

Kota di Eropa yang Menjadi Pelopor Pemutusan Hubungan dengan Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di saat Gaza terbakar oleh seran...

Kota di Eropa yang Menjadi Pelopor Pemutusan Hubungan dengan Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di saat Gaza terbakar oleh serangan tanpa henti, ketika rumah-rumah luluh lantak dan anak-anak kehilangan masa depan, suara solidaritas tidak hanya datang dari demonstrasi jalanan atau ruang kelas aktivis. Suara itu kini terdengar dari balai kota—dari ruang sidang yang biasanya membahas drainase, izin bangunan, atau anggaran taman kota.

Kini, beberapa kota di Eropa Barat memilih bersikap. Mereka memutus hubungan resmi dengan kota atau institusi di Israel, sebagai bentuk penolakan terhadap kekerasan yang terus berulang terhadap rakyat Palestina.

Yang mencengangkan, kota-kota ini bukan bagian dari dunia Muslim. Mereka justru berada di jantung negara-negara sekuler, liberal, dan demokratis. Tapi dari sanalah muncul suara: suara moral, suara warga biasa, suara yang menyatakan bahwa diam adalah bentuk lain dari kekejaman.



Apakah Kota-Kota Ini Mayoritas Muslim?

Tidak. Semua kota dan wilayah ini berada di negara-negara Eropa Barat yang mayoritas non-Muslim. Satu-satunya pengecualian adalah İzmir di Turki, tetapi İzmir sendiri merupakan kota sekuler dengan tradisi modern dan liberal. Solidaritas terhadap Palestina, di sini, lahir bukan dari semata identitas keagamaan—melainkan dari kesadaran nurani.



Kota Pelopor yang Memutuskan Hubungan:

1. Barcelona, Spanyol

Jenis kerja sama: Sister-city dengan Tel Aviv dan Gaza sejak 1998.

Tekanan masyarakat: Digalang oleh gerakan Pau i Justícia, didukung lebih dari 4.000 warga.

Bentuk tekanan: Petisi, aksi BDS, dan lobi langsung ke wali kota.

Proses keputusan:
  - Dihentikan oleh Wali Kota Ada Colau (Februari 2023),
  - sempat dipulihkan,
  - lalu diputus secara resmi oleh dewan kota pada 30 Mei 2025.

Catatan: Barcelona menjadi pelopor kota besar pertama di Eropa yang menyuarakan boikot terhadap Israel secara resmi.


2. Ixelles (Elsene), Brussels, Belgia

Jenis kerja sama: Hubungan sister-city dengan Megiddo, Israel utara.

Tekanan masyarakat: Aktivis HAM, komunitas Palestina lokal, akademisi.

Bentuk tekanan: Usulan formal dalam dewan kota, aksi solidaritas publik.

Waktu pemutusan: Juli 2024, ditangguhkan secara resmi.

Catatan: Meskipun hanya distrik kecil, Ixelles memberi contoh bahwa keputusan lokal bisa punya dampak simbolik besar.


3. İzmir, Turki

Jenis kerja sama: Persahabatan kota dengan Tel Aviv.

Tekanan masyarakat: Didorong parlemen kota dan opini publik, setelah serangan Israel di Gaza kian brutal.

Bentuk tekanan: Keputusan bulat seluruh fraksi dewan.

Pemutusan: 13 Agustus 2024, hubungan dihentikan secara resmi.

Catatan: İzmir menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Palestina bisa datang dari kekuatan sipil, bukan sekadar dari puncak negara.


4. Liège, Belgia

Jenis kerja sama: Hubungan simbolik dengan institusi Israel, serta sister-city dengan Ramallah.

Tekanan masyarakat: Petisi warga dan kelompok pro-Palestina.

Bentuk tekanan: Dialog langsung dan desakan ke dewan kota.

Pemutusan: 25 April 2023, seluruh hubungan dibekukan.

Catatan: Keputusan ini berani karena dilakukan di tengah meningkatnya tekanan untuk “netral”.


5. Oslo, Norwegia

Jenis kerja sama: Pengadaan publik dan proyek budaya dengan lembaga/lembaga di Israel.

Tekanan masyarakat: Gerakan BDS dan organisasi HAM lokal.

Bentuk tekanan: Kebijakan formal larangan pembelian dari wilayah pendudukan.

Pemutusan: Bertahap sejak 2019, diperluas pada 2022–2023.

Catatan: Oslo memulai tren etika pengadaan di tingkat kota yang kini diikuti kota-kota lain.


6. Emilia-Romagna & Puglia, Italia

Jenis kerja sama: Kemitraan regional dalam teknologi, pertanian, dan pendidikan dengan institusi Israel.

Tekanan masyarakat: Aksi buruh, mahasiswa, jaringan solidaritas Palestina.

Bentuk tekanan: Mosi parlemen daerah dan aksi demonstrasi.

Pemutusan: Mei–Juni 2025, kedua wilayah secara resmi menghentikan semua bentuk kerja sama.

Catatan: Di tengah stagnasi nasional, keputusan lokal ini membuka ruang baru perlawanan etis di tingkat daerah.



Apakah Ini Gelombang Baru? Mengapa Terjadi Sekarang?

Ya, ini adalah gelombang baru, yang terjadi pasca eskalasi kekerasan Israel terhadap Gaza sejak Oktober 2023, terutama setelah peristiwa Rafah, di mana ratusan warga Palestina terbunuh dalam waktu singkat.

Perubahan sikap ini disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Meningkatnya kesadaran publik: Gambar dan video kekejaman Israel tersebar luas melalui media sosial, memicu reaksi emosional dan moral.

2. Tekanan sipil yang terorganisir: Gerakan BDS, kampus, komunitas Muslim lokal, dan organisasi HAM bekerja sama secara sistematis.

3. Kebebasan politik lokal: Kota-kota memiliki otonomi yang cukup untuk membuat keputusan etis tanpa perlu restu dari pemerintah pusat.

4. Kekecewaan terhadap kebijakan nasional atau Uni Eropa: Banyak kota merasa pemerintah pusat mereka terlalu pasif atau terlalu berhati-hati dalam menanggapi kekejaman Israel.



Apa Dampaknya bagi Israel?

1. Simbolik tapi signifikan: Meski tidak berdampak langsung pada ekonomi atau militer Israel, keputusan kota-kota ini mencoreng legitimasi moral dan simbolik Israel di kancah internasional.

2. Dukungan terhadap BDS: Keputusan-keputusan ini memberi amunisi moral dan hukum bagi gerakan BDS internasional.

3. Mendorong isolasi bertahap: Jika semakin banyak kota atau wilayah menempuh langkah serupa, Israel akan menghadapi boikot terfragmentasi yang menyebar secara horizontal.

4. Mengguncang narasi “konsensus Barat”: Keputusan ini menunjukkan bahwa tidak semua orang Barat mendukung Israel—dan bahwa keberpihakan pada Palestina bukan monopoli dunia Islam.




Ketika Politik Lokal Menjadi Jalan Etika Global

Kisah kota-kota ini memberi pelajaran: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil. Ketika negara bungkam, kota berbicara. Ketika pemerintah nasional ragu, masyarakat lokal bertindak.

Inilah saat ketika politik lokal menjadi jalan etika global—dan ketika keputusan kecil dari balai kota menjadi bagian dari mozaik perlawanan terhadap ketidakadilan global.

Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara Di Inggris, isu Palestina...

Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara

Di Inggris, isu Palestina bukan lagi sekadar urusan diplomasi internasional yang jauh dari jangkauan rakyat biasa. Ia telah menjelma menjadi denyut politik lokal: terdengar di lorong balai kota, masjid-masjid, universitas, hingga pemukiman multikultural di Birmingham, Leicester, Bradford, dan Tower Hamlets. Dalam sunyi demokrasi lokal, gema Gaza menggema dan mulai mengubah peta elektoral Inggris dari bawah ke atas.

Selama beberapa dekade, sikap resmi Inggris cenderung netral terhadap konflik Israel-Palestina—meski kerap ditafsirkan sebagai condong ke Israel. Namun, sejak 2023 hingga 2025, perang di Gaza mengubah banyak hal. Gambar anak-anak Palestina bersimbah darah menyebar ke layar gawai warga dan menyentuh nurani banyak pemilih, khususnya komunitas Muslim dan kelompok progresif muda.

Ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah pusat, terutama atas kegagalan mengecam kebrutalan Israel, berubah menjadi bentuk perlawanan elektoral. Ia tidak membakar Downing Street, namun menjalar lewat pemilihan dewan kota, wali kota, dan anggota parlemen lokal.



Palestina sebagai Cermin Nurani Kota

Di Tower Hamlets—wilayah dengan populasi Muslim Bangladesh terbesar di Inggris—isu Palestina menjadi penentu kemenangan. Partai independen lokal yang tegas menyuarakan pembelaan terhadap Palestina berhasil merebut kursi dari Partai Buruh. Hal serupa terjadi di Birmingham dan Leicester, di mana kandidat yang mendukung hak rakyat Palestina mendapat sambutan luas. Bahkan Partai Buruh pun terdorong menyesuaikan retorikanya agar tidak kehilangan simpati dari komunitas Muslim dan pemuda progresif.

Isu Palestina menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, rasisme, dan ketidakadilan global. Ia menjadi refleksi nurani masyarakat kota.



Otonomi Kota dan Diplomasi Simbolik

Secara formal, kebijakan luar negeri Inggris berada di tangan Westminster. Namun, kota-kota memiliki otonomi moral dan kultural. Beberapa mulai memanfaatkan diplomasi kota (city diplomacy): mengeluarkan resolusi dewan yang mengecam tindakan Israel, menyerukan gencatan senjata, hingga memutus hubungan kota kembar (twinning) dengan kota-kota di Israel.

Contohnya, Dewan Kota Leicester pada 2024 mengeluarkan pernyataan resmi untuk menghentikan kerja sama dengan institusi tertentu di Israel. Meski tidak punya kekuatan hukum, tindakan ini menyampaikan pesan moral yang kuat.



Demografi Muslim dan Arah Elektoral Baru

Berdasarkan sensus 2021:

Populasi Muslim Inggris (England & Wales): 3,87 juta (6,5%) dari total 59,6 juta.

84,5% Muslim berusia di bawah 50 tahun.

Di London, 15% dari penduduknya adalah Muslim (~1,3 juta).

Kota-kota dengan konsentrasi Muslim tinggi: Tower Hamlets (39,9%), Birmingham (30%), Bradford, Newham, dan Manchester.

Proyeksi menunjukkan populasi Muslim bisa mencapai 10–17% pada 2050. Pengaruh elektoral mereka tumbuh, terutama di wilayah urban dengan kursi marginal.



Dampak Elektoral Isu Palestina

Suara Muslim mulai menjadi penentu di pemilu lokal dan nasional. Kandidat yang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina mampu menarik dukungan luas, tidak hanya dari Muslim, tetapi juga dari pemilih muda yang kritis dan peka terhadap isu global. Ini membuat partai-partai besar seperti Labour harus merevisi pendekatan mereka.

Kemenangan kandidat pro-Palestina di kota seperti Tower Hamlets dan dukungan atas inisiatif pro-divestasi di Sutton (London) menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Gaza bukan lagi suara pinggiran. Ia telah masuk ke ruang utama demokrasi lokal.



Isu Palestina Memasuki Gelandang Politik Lokal

Isu Palestina telah bergerak dari diplomasi diplomatik ke gelanggang politik lokal Inggris. Ia menjadi ujian moral bagi politisi—bagaimana menyeimbangkan solidaritas global dan loyalitas domestik.

Komunitas Muslim, dengan konsentrasi di kota-kota besar, telah menjadi engine politik pro‑Palestina.

Politik lokal tumbuh menjadi medan yang relevan untuk menyuarakan solidaritas, menunjukan bahwa politik kecil bisa punya efek besar di panggung global.

Dalam sistem demokrasi, suara nurani kini tak bisa diabaikan: suara untuk Gaza bukan tabu, tapi menuntut tempat di kantor wali kota, di dewan kota, bahkan dalam perdebatan parlemen.

Inggris menunjukkan bahwa zaman berubah: politik lokal bukan sekadar fasilitas layanan publik—ia bisa menjadi panggung suara etika dunia, yang membuktikan bahwa kota-kota pun bisa bicara kepada dunia.

Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina  Oleh: Nasrulloh Baksolahar New York City. Kota yang kon...

Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



New York City. Kota yang konon tak pernah tidur, tak pernah netral, dan tak pernah sepi dari suara-suara dunia. Di tengah gemuruh subway, hiruk-pikuk Fifth Avenue, dan denting gelas kopi yang tak kunjung dingin, satu isu menembus batas kampanye wali kota biasa: Palestina.

Di panggung pemilihan wali kota tahun ini, bukan soal sampah kota, infrastruktur, atau tunawisma yang menjadi sorotan utama. Yang menyala justru satu kata yang membelah dunia: intifadah. Di tengahnya berdiri Zohran Mamdani — seorang politisi muda, Muslim, progresif, dan anti-Zionis — yang kini bukan hanya menjadi kandidat, tetapi juga simbol perubahan, kontroversi, dan perlawanan nurani.



New York: Kota yang Menjadi Cermin Amerika dan Dunia

Mengapa New York? Karena New York adalah miniatur Amerika dan jendela dunia. Ini kota tempat lahirnya Wall Street, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan media-media yang menentukan narasi global. Siapa yang berkuasa di New York, bukan hanya memimpin kota — ia memimpin arah wacana.

Secara politik, New York sering menjadi penentu arah partai Demokrat secara nasional. Gagasan yang diterima dan diujicobakan di kota ini, sering menjadi materi kampanye nasional. Walikota-walikota New York sebelumnya seperti Michael Bloomberg atau Rudy Giuliani bahkan sempat masuk bursa capres.

Dan dalam dunia pasca-2023, di mana dukungan terhadap Israel mulai dipertanyakan secara moral pasca serangan terhadap Gaza, kemenangan calon anti-Zionis seperti Mamdani menjadi bukan hanya kasus lokal, tapi sinyal global — bahwa bahkan di pusat kekuasaan Yahudi terbesar di luar Israel, narasi bisa bergeser.



Struktur Sosial New York yang Pluralisme

New York bukan kota homogen. Ia rumah bagi sekitar 8,5 juta jiwa, dengan struktur demografis yang kompleks:

Komunitas Yahudi: Sekitar 13%, salah satu yang terbesar di dunia. Banyak dari mereka aktif secara politik dan finansial.

Komunitas Muslim: Sekitar 9%, sebagian besar berasal dari imigran Asia Selatan, Arab, dan Afrika.

Imigran asing: Sekitar 36% penduduk New York lahir di luar AS.

Hispanik dan Latin: Sekitar 29%.

Kulit Hitam/Afrika-Amerika: Sekitar 24%.

Asia-Amerika: Sekitar 14%.


Dalam struktur inilah, Mamdani tumbuh dan berkampanye. Ia tidak hanya membawa suara minoritas, tetapi mengikat nurani kolektif kota ini yang sedang lelah dengan politik lama. Ia bicara tentang Palestina, tapi sebenarnya ia bicara tentang keadilan — dan keadilan adalah bahasa yang dimengerti semua kelompok, dari Harlem hingga Queens.

Mamdani menyasar basis muda, multirasial, progresif — mereka yang sudah muak dengan politik kompromi. Survei American Pulse mencatat bahwa 46% pemilih muda (18–44 tahun) justru mendukungnya karena sikapnya terhadap Palestina dan intifadah. Di sinilah kekuatannya: bukan karena ia menang logistik, tapi karena ia menang hati.



Isu Palestina: Mengapa Jadi Sorotan di Tengah Masalah Kota?

Banyak yang bertanya: mengapa seorang calon wali kota New York bicara soal Palestina, bukan tentang metro rusak, harga sewa rumah, atau kriminalitas?

Jawabannya: karena Palestina adalah cermin nurani.

Palestina menjadi simbol moral dunia modern. Dalam konflik yang timpang, di mana satu pihak dibela penuh oleh kekuatan militer raksasa dan media global, muncul pertanyaan eksistensial: siapa kita sebagai manusia ketika menyaksikan penderitaan dan memilih diam?

Dan rakyat New York — dengan sejarah panjang sebagai pelabuhan para pengungsi, korban perang, dan pencari harapan — memahami narasi ini dengan dalam. Dari Yahudi yang lolos dari Holocaust, hingga imigran Latin yang kabur dari kekacauan Amerika Selatan, mereka tahu arti penindasan.

Ketika Mamdani berbicara soal “globalisasikan intifadah”, ia bukan sedang menyerukan kekerasan. Ia sedang menyerukan solidaritas lintas bangsa, perlawanan terhadap kolonialisme, dan keadilan yang bersifat universal.



Politik Pajak, Kesejahteraan, dan Luka Moral Amerika

Namun ada dimensi lain yang membuat isu Palestina semakin kuat menggema: politik pajak.

Rakyat Amerika — termasuk warga New York — mulai sadar bahwa miliaran dolar uang pajak mereka digunakan untuk membiayai senjata dan bom yang jatuh di Gaza. Mereka mulai membandingkan: ketika Israel dibom, bantuan militer langsung mengalir. Tapi ketika Los Angeles terbakar atau New York tenggelam oleh badai, respons pemerintah justru lamban dan pelit.

Pertanyaan pun muncul: apakah Amerika masih berfungsi untuk rakyatnya sendiri?

Di sinilah narasi Mamdani menyentuh saraf terdalam publik Amerika. Ia bukan hanya membela Palestina — ia menghadapkan kebijakan luar negeri pada realitas domestik yang sakit. Ia mengingatkan bahwa membela keadilan global tak boleh mengorbankan kesejahteraan lokal.


Pergulatan yang Akan Menentukan Arah Sejarah?

Zohran Mamdani bukan hanya seorang kandidat wali kota. Ia adalah cermin dari Amerika yang sedang bergulat dengan masa depannya. Antara dukungan terhadap status quo Israel, atau solidaritas terhadap rakyat Palestina. Antara politik lama yang kompromistis, atau politik baru yang berbasis nurani.

Kemenangannya akan memicu efek domino — dari ruang-ruang kota hingga Capitol Hill. Dan meski banyak yang menuduhnya sebagai antisemit, banyak pula yang melihatnya sebagai penjaga moralitas baru Amerika.

Dalam kontestasi ini, kita tidak hanya menyaksikan pertarungan politik. Kita menyaksikan pertarungan antara ketakutan dan keberanian, antara kenangan dan harapan, antara politik yang membungkam dan politik yang bersuara.

Dan New York, seperti biasa, kembali menjadi tempat sejarah menulis babak barunya.

“Jika saya menyuarakan keadilan untuk Palestina, apakah saya membenci Yahudi? Tidak. Saya menyuarakan kemanusiaan — bukan kebencian.” – Zohran Mamdani

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (488) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)