Dua Medan, Dua Zaman: Ketika Abu Jahal dan Netanyahu Menolak Mundur
Mekah, 624 M: Abu Jahal Memilih Perang
Pada tahun ke-2 Hijriah, Nabi Muhammad ï·º dan para sahabatnya bersiap menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Kafilah ini bukan sembarang rombongan; ia membawa harta besar—hasil dagang yang sebagian berasal dari rampasan terhadap kaum Muslimin yang dulu hijrah dari Mekah.
Abu Sufyan, seorang pedagang sekaligus politikus ulung, memilih jalur laut untuk menghindari bentrok. Ketika merasa aman, ia mengirim pesan ke Mekah: “Kafilah selamat, tak perlu perang.”
Namun pesan damai itu tidak diterima semua pihak.
Abu Jahal, pemimpin garis keras Quraisy, menolak usulan damai. Bagi dia, ini adalah kesempatan emas untuk menghabisi Nabi Muhammad ï·º dan menjadikan Badar panggung supremasi Quraisy di mata seluruh jazirah Arab.
“Kita ke Badar! Kita menyembelih unta, berpesta, main musik, dan membuat seluruh Arab tahu siapa kita!”
Seruan itu mengguncang kabilah. Bahkan suara-suara moderat seperti Utbah bin Rabi‘ah dan Abu Sufyan sendiri, ditenggelamkan oleh fanatisme dan ego klan. Maka pasukan Quraisy tetap bergerak. Dan sejarah mencatat, Perang Badar menjadi bencana bagi mereka. Abu Jahal tewas, Quraisy terpukul.
Tel Aviv, 2025: Netanyahu Kekuasaan Militer di Gaza
Hampir 1.400 tahun kemudian, panggung politik yang serupa terjadi. Bukan di gurun Badar, melainkan di kabinet Israel. Bukan Abu Jahal, tapi Benjamin Netanyahu. Bukan Abu Sufyan, tapi Kepala Staf IDF Letjen Eyal Zamir dan para jenderal profesional lainnya.
Dalam pertemuan kabinet pada awal Juli 2025, menjelang kunjungan Netanyahu ke Washington, sang perdana menteri mendesak:
“Evakuasi massal warga Gaza ke selatan harus segera dilakukan. Setelah itu, IDF akan ambil alih Gaza sepenuhnya.”
Zamir menentang. Ia memperingatkan kekacauan logistik, beban politik, dan ancaman pemberontakan massal dari dua juta warga yang lapar dan marah. Netanyahu tak bergeming. Ia bahkan menyampaikan ultimatum:
“Siapkan rencana evakuasi. Saya ingin melihatnya sepulang dari Amerika.”
Ketegangan ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Yoav Gallant, menteri pertahanan Israel, juga diberhentikan Netanyahu karena mendukung gencatan senjata dan menyuarakan strategi jangka panjang pasca-Gaza. Setelah Gallant, giliran Herzi Halevi (kepala IDF) dan kepala Shin Bet Ronen Bar yang menyerukan perlunya rencana politik yang realistis—semuanya ditolak.
Dua Kisah, Satu Pelajaran
Dalam dua peristiwa itu—Badar dan Gaza—terjadi ketegangan internal di antara barisan elit sendiri:
Abu Sufyan vs Abu Jahal
Eyal Zamir vs Netanyahu
Suara kehati-hatian vs suara dendam
Strategi jangka panjang vs serangan emosional sesaat
Abu Jahal memilih harga diri kesukuan daripada perhitungan strategis—dan kalah. Netanyahu memilih ilusi kemenangan total, dan pembentukan kekuasaan militer dalam menghadapi perlawanan di Gaza yang telah lama dijajah oleh penjajah Israel.
Ketika suara akal kalah oleh suara ego, perang menjadi kuburan politik, bukan medan kemenangan.
Kapan Suara Rasional Menang?
Sejarah memberi dua pelajaran:
1. Kemenangan sejati lahir dari pertimbangan akal, bukan amarah.
2. Suara minoritas yang rasional sering dikalahkan oleh ego mayoritas—namun waktu akan menguji mana yang bertahan.
Di Badar, kesombongan Abu Jahal membawa kehancuran. Di Gaza, apakah Netanyahu akan bernasib sama?
Waktu akan menjawab.
0 komentar: