Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.
Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."
Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."
Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."
Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.
---
Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.
Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.
Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.
"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."
Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.
---
Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.
Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.
Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:
"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."
Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:
"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."
Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.
Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.
"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."
---
Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.
Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.
Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"
Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.
Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.
Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.
Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.
---
Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.
Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.
Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.
Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.
Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: