Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Sejarah Islam bukanlah catatan hitam-putih yang kaku, tapi lautan hikmah yang bergelombang. Dalam sejarahnya, umat Islam pernah berselisih, bukan karena mereka benci atau saling membenci, tapi karena masing-masing ingin menjaga kebenaran sebagaimana mereka pahami.
Kita melihat bagaimana Umar bin Khattab berselisih pendapat dengan Khalid bin Walid. Kita juga menyaksikan Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Siti Aisyah dalam Perang Jamal, dan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Perang Shiffin. Namun, di balik konflik itu, terdapat akhlak mulia dan penghormatan yang luar biasa antara mereka. Inilah yang membedakan para sahabat dengan generasi sesudahnya. Mereka tetap saling memuliakan meski berbeda jalan.
---
Bentuk Penghormatan Ali kepada Siti Aisyah
1. Menghentikan Perang Begitu Tahu Aisyah Terlibat
Ali RA tidak pernah berniat memerangi Ummul Mukminin. Saat mengetahui bahwa Aisyah termasuk dalam rombongan yang datang ke Basrah, ia segera berupaya menghindari peperangan. Utusan demi utusan dikirim, dialog dibuka, kata-kata disampaikan dengan harapan damai bisa dicapai. Namun fitnah sudah menyelinap. Provokator menyusup dan menyalakan api di tengah kamp. Perang pun pecah.
Ali tidak pernah melihat Aisyah sebagai musuh. Dalam hatinya, beliau tetap istri Nabi, ibu orang-orang beriman.
> ⚠️ Perang terjadi bukan karena perintah dari Ali maupun Aisyah, tapi ulah kelompok pemberontak yang menyelinap untuk memperluas fitnah dalam tubuh umat Islam.
2. Mengawal Aisyah RA dengan Penghormatan Tinggi
Usai perang mereda, Ali mendatangi Aisyah dengan penuh penghormatan. Ia menenangkan Ummul Mukminin yang berada dalam tandu, dan memuliakan beliau sebagaimana seorang anak memuliakan ibunya.
Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abi Bakar, untuk mendampingi Aisyah kembali ke Madinah. Rombongan wanita-wanita mulia dari Basrah dikirim sebagai pengawal.
> Ibnu Katsir mencatat dalam Al-Bidāyah wan Nihāyah: “Ali memuliakan Aisyah dan mengirimkan rombongan perempuan Muslimah serta saudaranya untuk mengantarnya pulang ke Madinah dengan perlindungan penuh.”
3. Menjaga Nama Baik Aisyah di Hadapan Umat
Ali melarang pasukannya mencela Aisyah. Baginya, kehormatan istri Nabi ﷺ adalah kehormatan umat. Ia berkata:
> “Dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat. Namun, Allah menguji kita dengannya dan mengujinya dengan kita.”
(Sumber: Tarikh al-Tabari)
---
Bentuk Sikap Hormat Siti Aisyah kepada Ali bin Abi Thalib
1. Pengakuan atas Keutamaannya
Setelah kembali ke Madinah, Aisyah tak menutup mata terhadap keutamaan Ali. Ia berkata:
> “Tiada seorang pun yang lebih aku cintai untuk memerintah selain Ali.”
Pengakuan ini datang dari hati yang jujur dan bening. Dari seorang wanita agung yang tidak terhalang oleh ego dalam mengakui kebaikan lawan politiknya.
2. Penyesalan dan Refleksi
Aisyah menyesali keterlibatannya dalam perang. Ia pernah berkata:
> “Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi, niscaya aku akan diam di rumahku, sebagaimana Allah memerintahkanku.”
Ini bukan pengakuan lemah, tapi kekuatan batin seorang mukminah yang mampu menundukkan nafsunya demi kebenaran.
3. Tidak Menyebarkan Kebencian
Sepanjang hidupnya setelah peristiwa Jamal, Aisyah tidak pernah memprovokasi umat untuk memusuhi Ali. Ia menjaga lisannya, menahan amarahnya, dan menebarkan keteladanan. Ketika ada yang mencelanya, beliau tidak membalas.
---
Sikap Hormat Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan
1. Tidak Mengkafirkan atau Memvonis Fasiq
Meski berbeda tajam dalam politik, Ali tak pernah mengkafirkan Muawiyah. Ia memandang bahwa Muawiyah dan pengikutnya tengah melakukan ijtihad. Maka ia berkata:
> “Mereka adalah saudara kita yang memberontak terhadap kita.”
(Sumber: Ibnul Arabi, al-‘Awasim min al-Qawasim)
2. Dialog Sebelum Perang
Ali berkali-kali mengirim surat dan utusan untuk berdamai. Ia tahu bahwa darah Muslim adalah suci, dan perang bukan solusi pertama. Ia ingin Muawiyah kembali kepada jamaah kaum Muslimin. Tapi fitnah tetap berkobar.
3. Melarang Tentara Mencaci
Ketika para pengikut Ali mulai mencela Muawiyah, beliau menegur:
> “Aku tidak suka kalian menjadi orang-orang yang suka mencela.”
(Sumber: Nahjul Balaghah, Khutbah 206)
4. Menghormati Sebagai Lawan yang Mulia
Dalam surat-suratnya kepada Muawiyah, Ali tetap menggunakan bahasa yang sopan. Ia memisahkan antara kritik terhadap tindakan politik dan penghinaan pribadi. Bahkan ia mengakui kecerdasan Muawiyah dalam urusan pemerintahan.
5. Tidak Menyerang Pribadi
Ali membatasi kritiknya hanya pada masalah kebijakan. Ia tidak pernah menyerang pribadi Muawiyah. Baginya, kehormatan seorang Muslim tetap harus dijaga.
6. Menjaga Ukhuwah Setelah Perang
Setelah perang usai, Ali tidak memburu lawan-lawan politiknya. Thalhah dan Zubair tetap dishalatkan, didoakan, dan dikenang dengan hormat. Ia tidak menyimpan dendam kepada siapa pun.
---
Bentuk Penghormatan Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib
1. Mengakui Keutamaan Ali
Muawiyah tidak pernah mengingkari kemuliaan Ali. Saat sebagian sahabatnya hendak mencela Ali di mimbar, ia menolak. Ia berkata:
> “Demi Allah, aku tidak akan membiarkan Ali dicela di hadapanku. Aku tahu betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah.”
(Sumber: Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abi al-Hadid)
2. Menahan Diri dari Penghinaan Pribadi
Ketika ada yang mencela Ali di hadapannya, Muawiyah menjawab:
> “Jangan kalian menyebutkan keburukan Ali. Demi Allah, aku lebih takut kepada Ali daripada kepada siapa pun.”
Ini bukan ketakutan duniawi, tapi rasa hormat terhadap seseorang yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ.
3. Setelah Wafatnya Ali
Setelah Ali wafat, Muawiyah menghentikan kampanye celaan secara terbuka. Ia memahami bahwa Ali adalah simbol kebaikan dan kekuatan moral umat Islam.
4. Pengakuan Para Ulama
Para ulama besar seperti Imam al-Dzahabi dan Ibn Katsir mencatat bahwa Muawiyah tetap menjaga adab dan etika dalam menyebut nama Ali.
---
Hikmah dan Kaidah Ahlussunnah dalam Mempelajari Sejarah
Apa pelajaran dari semua ini? Bahwa para sahabat saling memuliakan, meski berbeda pandangan. Bahwa mereka tetap dalam lingkaran iman, dan tidak keluar dari Islam meski berselisih.
Ali memuliakan Aisyah. Aisyah mencintai Ali. Muawiyah menghormati Ali. Khalid bin Walid tunduk pada keputusan Umar. Mereka semua tunduk pada sabda Rasulullah ﷺ:
> “Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku.”
Dan sabda lainnya:
> “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”
Mereka adalah generasi yang dadanya bersih dari dendam. Perselisihan tidak membuat mereka saling menjatuhkan. Politik tidak menjadikan mereka saling menuduh. Hati mereka lembut—tidak seperti sebagian umat yang sekarang mudah mencela tanpa ilmu.
Ibnu Taimiyah berkata:
> “Apabila perselisihan itu dilakukan atas dasar ijtihad dan penakwilan, dan belum jelas baginya bahwa tindakannya termasuk pemberontakan—bahkan ia meyakini dirinya berada di atas kebenaran—maka apabila ia bersalah dalam ijtihadnya, maka hal ini tidak menyebabkan dosa.”
(Ucapan ini dinukil dalam berbagai karya Ahlussunnah wal Jamaah.)
---
Penutup: Kacamata yang Tepat
Mempelajari sejarah Islam bukan dengan kaca mata sekuler, tapi dengan panduan wahyu. Jangan menilai sahabat dengan standar dunia akademik yang kering dari cahaya iman. Lihatlah mereka dengan cermin Al-Qur’an dan hadits.
Para sahabat Nabi adalah pelita umat. Merekalah teladan. Dan kesalahan mereka—jika ada—adalah bagian dari ujian Allah untuk menampakkan siapa yang mengikuti petunjuk.
Sejarah bukan untuk membuka luka, tapi mengambil pelajaran. Agar kita menjadi umat yang bijak: menjaga ukhuwah, menjunjung adab, dan tidak mudah memvonis.
Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seluruh sahabat Rasulullah ﷺ dan mempersatukan hati kita sebagaimana Dia telah mempersatukan hati mereka dalam kebenaran.
0 komentar: