Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pernahkah kita membayangkan, bahwa kekayaan yang luar biasa ternyata juga dimiliki oleh para Nabi dan Sahabat? Namun, yang menjadi titik sorot bukanlah banyaknya angka, melainkan bagaimana mereka memandang dan memperlakukan harta itu sendiri. Al-Qur'an dengan jernih menampilkan dua potret: si pemilik kebun yang sombong, dan Qarun yang ditelan bumi. Keduanya bukan dihukum karena harta, melainkan karena kesombongan dan ketamakan yang menyertai harta mereka.
Lalu bagaimana dengan para Nabi? Bukankah mereka para penjelajah lintas benua? Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan tentu Nabi Muhammad saw, semuanya melakukan perjalanan jauh sebagai bagian dari dakwah mereka. Dalam dunia kini, bepergian ke luar negeri kerap dianggap simbol kemapanan. Apakah itu berarti para Nabi juga orang kaya? Jawabannya bisa jadi: iya, jika kita ukur dari sumber daya yang mereka kelola dan pengaruh yang mereka miliki.
Lihatlah Nabi Sulaiman as. Beliau bahkan berdoa, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku." (QS. Shad: 35). Kekayaan Nabi Sulaiman bukan hanya berupa materi, tapi juga kekuasaan yang mencakup manusia, jin, hingga binatang.
Nabi Ayyub as pun pernah hidup dalam limpahan kekayaan sebelum diuji dengan kehilangan segalanya. Dan Nabi Syuaib as berdakwah kepada masyarakat Mad-yan yang dipenuhi para pedagang dan pengusaha, menegur mereka agar menimbang dengan adil dan tidak menipu dalam transaksi.
Dalam Islam, harta bukanlah musuh. Rasulullah saw pernah bersabda, "Sungguh apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik bagimu dibandingkan meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta." (HR. Bukhari dan Muslim)
Harta, jika berada di tangan orang baik, justru menjadi wasilah menuju kebaikan. Kepada Amr bin Ash, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baiknya harta yang baik adalah untuk orang yang baik." (HR. Ahmad)
Mari kita tengok jejak kekayaan para sahabat Rasulullah:
Abu Bakar Ash-Shiddiq disebut oleh Urwah bin Az-Zubair memiliki kekayaan sebanyak 40.000 dinar saat pertama kali masuk Islam. Sebagian besar hartanya habis dalam perjuangan dakwah.
Utsman bin Affan saat wafat memiliki simpanan 30 juta keping perak dan 150 ribu keping emas. Ia juga meninggalkan 1.000 unta dan 200.000 dinar zakat. Tapi ingat, ini sahabat yang membiayai perluasan Masjid Nabawi dan melengkapi pasukan perang Tabuk.
Thalhah bin Ubaidillah mewariskan total kekayaan sekitar 30 juta keping perak. Ibnu Jauzi menyebut, ia meninggalkan emas sebanyak 300 angkutan, dengan satu angkutan kira-kira seberat 3 kwintal.
Abdurrahman bin Auf terkenal sebagai saudagar besar. Ia bersedekah 4.000 keping perak pada awal dakwah, lalu 40.000 keping emas, 500 ekor kuda, dan mewariskan ribuan unta dan kambing.
Zubair bin Awwam memiliki harta tak bergerak sebesar 100 juta keping perak. Hartanya dibagikan kepada 40 juta orang. Sebuah angka yang mengejutkan, tapi juga menunjukkan betapa luas usahanya.
Mush’ab bin Zubair bahkan mendapatkan hadiah berupa pohon kurma dari emas dengan tangkai dari permata, ditaksir mencapai 2 miliar keping emas.
Abdullah bin Mas’ud, seorang ahli ilmu, tetap mampu mewariskan 90 ribu dinar saat wafat.
Kekayaan ini bukan hasil warisan, tetapi hasil kerja, kejujuran, dan kepercayaan masyarakat. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana para sahabat mengelola hartanya.
Mari kita ambil pelajaran dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beberapa riwayat, disebutkan ia membagi hasil kebun kurmanya menjadi tiga bagian:
1. Sepertiga untuk konsumsi keluarga,
2. Sepertiga untuk ditanam kembali (investasi),
3. Sepertiga untuk disedekahkan.
Salman berkata, "Kami diberi rezeki oleh Allah, maka kami tidak menyimpannya seluruhnya untuk diri sendiri, dan kami tidak juga menghamburkannya seluruhnya. Kami ambil sepertiga untuk makan, sepertiga untuk berdagang, dan sepertiga untuk orang-orang miskin."
Inilah filosofi pengelolaan harta yang adil dan penuh berkah. Seperti buah: bijinya ditanam kembali (investasi), dagingnya dimakan (konsumsi), dan kulitnya dibuang ke tanah untuk menjadi pupuk (sedekah). Tidak ada yang sia-sia, semuanya kembali ke tanah, kembali kepada Sang Pencipta.
Maka pertanyaannya bukanlah berapa harta yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memperlakukan harta itu. Apakah ia jadi jalan menuju kesombongan seperti Qarun, atau jadi titian menuju surga seperti Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf?
Di dunia yang makin materialistik ini, semangat para sahabat adalah cahaya penuntun. Mereka tidak takut kaya, karena mereka tahu untuk apa dan untuk siapa kekayaan itu digunakan.
Semoga kita bisa menjadi seperti mereka: mencintai harta bukan untuk disembah, tapi untuk dikelola, dibagi, dan diberkahi.
Wallahu a'lam.
Sumber:
Abdul Fattah As-Samman, Harta Nabi, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: