basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Waspadai! Dongeng Palsu dan Israiliyat dalam Sejarah Penciptaan Langit dan Bumi Kisah Israiliyat tentang Ikan Lutsa  Sebagian be...


Waspadai! Dongeng Palsu dan Israiliyat dalam Sejarah Penciptaan Langit dan Bumi



Kisah Israiliyat tentang Ikan Lutsa 

Sebagian besar kalangan ahli tafsir bil ma'tsur, termasuk juga para ahli tafsir birra'yi meriwayatkan cerita aneh dalam kisah penciptaan langit dan bumi. Di antaranya, diriwayatkan Ath-Thabari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Makhluk pertama yang diciptakan Allah swt adalah pena, Allah swt berfirman, "Tulislah!" Pena bertanya, "Apa yang aku tulis?" Allah swt berfirman, "Tulislah takdir!" Pena kemudian menulis apa yang akan terjadi sejak hari itu hingga hari kiamat terjadi.

Setelah itu, Allah swt menciptakan ikan, mengangkat air, lalu darinya Allah swt menciptakan langit. Bumi kemudian dibentangkan di atas punggung ikan. Ikan kemudian bergerak-gerak, lalu bumi membentang luas. Bumi kemudian dikuatkan dengan gunung-gunung, dan gunung membanggakan dirinya terhadap bumi."

Mujahid menafsirkan "nun" sebagai ikan yang ada dibawah bumi seperti disebutkan dalam riwayat di atas.

Ka'ab berkata, "Nama ikan itu adalah Lutsutsa." Dia juga menyebut Balhmutsa."

Dari Murrah al-Handani, dari Ibnu   Mas'ud dan sejumlah sahabat Rasulullah saw terkait firman Allah swt, "Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit." (Al-Baqarah: 29)

Ibnu Abbas berkata, "Arasy Allah berada di atas air. Allah tidak menciptakan apa pun selain yang Dia ciptakan sebelum menciptakan air, lalu asap membumbumg di atas air hingga tinggi, sehingga Allah menyebutnya langit. Setelah itu air mengering, lalu Allah menjadikannya satu bumi. Setelah itu, Allah swt memisahkannya, lalu menjadikannya tujuh bumi dalam dua hari, hari ahad dan senin.

Allah swt kemudian menciptakan bumi di atas ikan. Ikan inilah yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an: "Nun, Demi pena." 

Ikan berada di air. Air berada di atas batu. Batu berada di punggung malaikat. Malaikat berada di atas bongkahan batu besar berada di angin. Inilah batu yang disebutkan oleh Luqman, batu tersebut tidak berada di langit dan tidak pula berada di bumi.

Ikan kemudian bergerak-gerak hingga mengguncang bumi. Allah swt kemudian memperkokoh bumi di atasnya dengan gunung-gunung, hingga bumi menjadi tenang. Lalu, gunung-gunung membanggakan dirinya atas bumi. Itulah Allah swt berfirman, "Dan Kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia tidak guncang bersama mereka." (Al-Anbiya: 31)

Allah swt kemudian menciptakan gunung-gunung di bumi, menciptakan makanan untuk para penghuni bumi, menciptakan pepohonan bumi, dan apa saja yang patut untuk bumi dalam waktu dua hari, Selasa dan Rabu.

Itulah firman-Nya, 
Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(Fuṣṣilat [41]:9)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
(Fuṣṣilat [41]:10)

Asap itu muncul dari nafas air, saat mengeluarkan nafas. Setelah itu Allah menjadikan asap itu menjadi satu langit. Lalu Allah swt memisahkannya, kemudian menjadinya tujuh langit dalam waktu dua hari, Kamis dan Jumat.

Disebutkan Jumat, karena pada hari itu Allah swt menyatukan penciptaan langit dan bumi, "Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan).669) Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."
(Fuṣṣilat [41]:12)

Ibnu Abbas berkata, "Allah swt menciptakan para malaikat di setiap langit, dan menciptakan makhluk yang ada di dalamnya, seperti lautan, gunung, suhu dingin, dan makhluk lainnya yang tidak Dia beritahukan kepada siapapun.

Setelah itu Allah swt menghiasi langit paling rendah dengan bintang-bintang, lalu menjadikannya hiasan dan penjaga yang melindunginya dari setan. Setelah usai menciptakan, Allah swt bersemayam di atas Arasy. 

Itulah ketika Dia berfirman, "
Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha Berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam.
(Al-A‘rāf [7]:54)

Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih pada waktu malam dan siang dengan tidak henti-hentinya.
(Al-Anbiyā' [21]:20)

Namun, uniknya terkait riwayat ini, kitab-kitab tafsir metode bil ma'tsur menyebutkan riwayat ini hingga tidak ada satu pun di antara mereka yang ketinggalan.  Ini menunjukkan betapa berbahayanya kisah Israiliyat dan riwayat yang maudhu.

Beberapa catatan terkait dongeng ini:

1. Riwayat ini mirip sekali dengan kisah yang disebutkan dalam Kitab Kejadian (II/1-2). Kitab ini adalah salah satu kitab Taurat. 

2. Ibnu Abbas tidak ada sangkut pautnya dengan riwayat ini, karena rangkaian sanad riwayat ini adalah rangkaian sanad palsu oleh As-Suddi dan Abu Shalih.

3. Ibnu Mas'ud juga tidak ada sangkut pautnya dengan riwayat ini, karena perwayatannya dusta.

4. Dongeng dusta ini sebagaimana yang sama-sama kita ketahui, berseberangan dengan nash syariat, karena Allah swt berfirman,
"Sesungguhnya Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."
(Fāṭir [35]:41)

5. Terkait ikan bernama Lutsa, ikan ini sendiri merupakan kebohongan yang sama sekali tidak disebutkan dalam satu nash pun, tidak dinyatakan seorang sahabat pun, tidak dibuktikan oleh ilmu. Kuat dugaan ini, segaja ditambahkan oleh kaum Zindiq untuk menyita perhatian agar menjauhkan muslimin dari aqidah dan pemahaman yang benar.


2. Ragam Dongeng  Dusta Lainnya

Abu Nu'aim meriwayatkan dari Kaab Al-Ahbar, bahwa Iblis masuk ke dalam tubuh ikan yang bumi berada dipunggungnya. Iblis kemudian berbisik ke dalam  hati ikan. Iblis berkata, "Tahukah kamu, wahai Lutsa (Ikan), aia saja umat, pepohonan, hewan, manusia, dan gunung yang ada di atas punggungmu? Andai kamu mengibaskan mereka, tentu kamu membuat mereka semua terlempar dari punggungmu."

Lutsa bermaksud melakukan hal itu. Allah swt kemudian mengirim hewan lalu masuk ke dalam hidungnya. Kemudian ikan berusaha menghalau hewan  tersebut dengan doa, hingga akhirnya hewan itu keluar.

Kaab berkata, "Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, ikan melihat hewan itu dan hewan itu juga menatap ikan. Jika si ikan berniat mengibaskan bumi, hewan itu kembali masuk ke dalam hidungnya."

Wahab bin Munabih berkata, "Ketika Allah menciptakan bumi, bumi membentang di atas permukaan air. Allah swt kemudian berfirman kepada Jibril, "Kokohkan bumi ini wahai Jibril." Jibril pun kemudian turun lalu memegang bumi. Jibril tidak kuasa diterpa angin kencang, lalu ia berkata, "Ya Rabb! Engkau tahu, aku tidak kuasa." Allah swt kemudian meneguhkan bumi dengan gunung-gunung.

As-Suyuthi menyebutkan dalam Ad-Durr Al-Mantsur, dari Abusy Syaikh dari Salman Al-Farisi, ia berkata, "Langit paling rendah berupa zamrud hijau namanya Ruqaia. Langit kedua terbuat dari perak putih bernama Aqlun. Langit ketiga terbuat dari yaqut merah bernama Qaidun. Langit keempat terbuat dari mutiara putih bernama Ma'una. Langit kelima terbuat dari emas merah bernama Raiqa. Langit keenam terbuat dari yaqut kuning bernama Dafna. Dan langit ketujuh terbuat dari cahaya bernama Arabia."

Ath-Thabari meriwayatkan dari Rabi bin Anas, bahwa ia berkata, "Langit pertama berupa gelombang yang tertahan, langit kedua berupa bongkahan batu, langit ketiga berupa besi, langit keempat berupa perunggu, langit ke lima berupa perak, langit ke enam berupa emas, langit ke tujuh berupa yaqut."

Qatadah berkata, "Empat malaikat bertemu di ruang antara langit dan bumi, lalu mereka saling berbincang, "Darimana engkau datang?" Seorang malaikat berkata, "Rabbku mengutusku dari langit ketujuh dan aku meninggalkan-Nya disana." Yang lain menjawab, "Rabbku mengutusku dari barat dan aku meninggalkan-Nya di sana."

Seperti itulah keterangan palsu tentang ruang dan waktu bagi langit dan bumi. 

Tetapi, semuanya tidak ditemukan satu pun landasan dalilnya, baik dari Al-Qur’an atau pun As-Sunnah. Juga, tidak ditemukan teks yang menguatkan keterangan ini dalam warisan kisah Israiliyat.

Teks sahih terhadap peristiwa-peristiwa tersebut adalah firman Allah swt sebagai berikut,

Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(Fuṣṣilat [41]:9)

Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
(Fuṣṣilat [41]:10)

Dia kemudian menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap. Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Tunduklah kepada-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami tunduk dengan patuh.”
(Fuṣṣilat [41]:11)

Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
(Fuṣṣilat [41]:12)

Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan
(An-Naba' [78]:6)

dan gunung-gunung sebagai pasak?
(An-Naba' [78]:7)

Kami membangun tujuh (langit) yang kukuh di atasmu.
(An-Naba' [78]:12)

Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari).
(An-Naba' [78]:13)


Ini menunjukkan -seperti yang disebutkan Al-Bukhari dan Ibnu Abbas- bahwa bumi diciptakan Allah dalam dua hari, kemudian setelah itu Allah swt menciptakan langit, setelah itu Allah swt menuju ke langit lalu menyempurnakannya dalam dua  hari lainnya, setelah itu Allah swt menghamparkan bumi, mengeluarkan air dan rerumputan darinya, menciptakan gunung-gunung, perbukitan dan apa saja yang ada di antara keduanya dalam dua hari lainnya. Itulah firman Allah swt,

Setelah itu, bumi Dia hamparkan (untuk dihuni).
(An-Nāzi‘āt [79]:30)

Langit diciptakan setelah bumi, seperti itu yang dinyatakan Ibnu Katsir, dia berkata, "Seperti itulah jawaban sejumlah ulama tafsir dulu dan sekarang."


Cerita yang Menakjubkan, Bermanfaatkah?

Riwayat-riwayat klasik tersebut tersebar dalam kitab tafsir, ada kisah yang kerap memancing rasa takjub dan sekaligus tanda tanya: bumi disebut berdiri di atas seekor ikan raksasa bernama Lutsa (atau Balhmutsa), yang berenang di lautan purba di bawah Arasy Allah. Cerita ini muncul dalam sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur seperti karya Ath-Thabari dan As-Suyuthi, bahkan juga disinggung oleh sebagian ahli tafsir bir-ra’yi. Namun, para ulama belakangan menegaskan, kisah itu lebih dekat pada dongeng Israiliyat daripada kebenaran wahyu.

Awal Riwayat: Dari Pena ke Ikan Lutsa

Ath-Thabari meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah pena. Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” dan pena pun menulis takdir hingga Hari Kiamat. Setelah itu, disebutkan bahwa Allah menciptakan air, lalu ikan, dan menjadikan bumi di atas punggung ikan itu. Ketika ikan bergerak, bumi berguncang, hingga Allah meneguhkannya dengan gunung-gunung. Mujahid bahkan menafsirkan kata “Nun” dalam surah Al-Qalam sebagai nama ikan tersebut.

Riwayat ini kemudian berkembang melalui periwayatan Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih—dua tokoh yang dikenal sebagai perantara kisah-kisah Bani Israil yang masuk ke dalam literatur Islam awal. Di sinilah nama ikan Lutsa muncul pertama kali, diikuti deskripsi fantastis: di bawah ikan ada air, di bawah air ada batu, di bawah batu ada malaikat, dan di bawah malaikat ada tiupan angin besar yang menahan semuanya.

Jejak Kitab Kejadian dan Bayang-bayang Israiliyat

Para peneliti tafsir modern menemukan kesamaan mencolok antara kisah ini dan narasi dalam Kitab Kejadian (Genesis) dalam Taurat. Dalam kitab itu, bumi juga digambarkan mengapung di atas air, sedangkan langit diciptakan dari “asap” yang naik dari samudra purba. Kesamaan ini membuat para ulama menilai, riwayat tentang ikan Lutsa kemungkinan besar merupakan pengaruh dari tradisi Yahudi kuno yang kemudian disisipkan dalam riwayat-riwayat tafsir awal.

Imam Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menolak kisah tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil sahih dari Rasulullah ﷺ maupun sahabat yang menjelaskan bentuk penciptaan semacam itu. Ia menulis, “Allah telah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan tidak ada seorang pun selain-Nya yang mampu menahannya.” (merujuk pada QS. Fathir: 41).

Begitu pula, Ibnu Taimiyah menilai riwayat semacam ini sebagai bentuk tadakhul Israiliyat — penyusupan kisah non-syar’i yang masuk melalui perawi dari kalangan ahli kitab yang telah masuk Islam.

Rangkaian Dongeng Lain yang Mewarnai Tafsir

Kisah ikan Lutsa hanyalah satu dari banyak riwayat aneh dalam tafsir klasik. Ada pula versi lain yang diriwayatkan Abu Nu’aim dari Ka’ab al-Ahbar: bahwa iblis masuk ke dalam tubuh ikan itu dan berbisik agar ikan mengguncang bumi untuk menumpahkan makhluk di atasnya. Ketika ikan hendak melakukannya, Allah mengirim hewan kecil yang masuk ke hidungnya hingga ia berhenti. Cerita-cerita semacam ini menampilkan drama kosmis yang menarik, namun tak memiliki pijakan dalam wahyu.

As-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur bahkan menyebut rincian langit tujuh lapis dengan bahan yang berbeda-beda — dari zamrud, perak, hingga cahaya — yang jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Begitu pula dengan riwayat tentang malaikat yang berpindah tempat dari barat ke langit ketujuh dan menemukan “Rabb di sana”, yang ditolak keras oleh para ahli aqidah karena mengandung pemahaman tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Koreksi Para Mufassir dan Ulama Akidah

Ulama besar seperti Al-Bukhari, Ibnu Katsir, As-Sa’di, dan Sayyid Qutb bersepakat bahwa Al-Qur’an hanya menjelaskan penciptaan langit dan bumi dalam kerangka waktu enam masa, tanpa menyinggung unsur fantastik apa pun. Mereka mengutip ayat-ayat seperti QS. Fushshilat (9–12) dan QS. An-Nazi’at (27–33), yang menegaskan bahwa bumi diciptakan dalam dua masa, langit dalam dua masa, dan penyempurnaannya dalam dua masa berikutnya — total enam masa.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an menulis,

“Hari-hari itu adalah di antara hari-hari Allah yang hanya Dia yang mengetahui panjang dan hakikatnya. Tidak layak bagi manusia menafsirkan dengan ukuran waktu dunia.”

Pernyataan ini menjadi dasar pandangan modern bahwa urutan penciptaan tidak harus dimaknai secara materialistik, melainkan dalam dimensi kehendak dan ketetapan ilahi yang melampaui ruang dan waktu.

Dari Kisah ke Akidah: Pelajaran Penting

Banyak mufassir modern mengingatkan, bahaya terbesar dari kisah Israiliyat bukanlah pada bentuk ceritanya, melainkan pada pengaruhnya terhadap akidah. Jika umat menerima dongeng-dongeng itu sebagai kebenaran wahyu, maka pemahaman tauhid menjadi kabur, dan keagungan Allah bisa tereduksi oleh imajinasi makhluk.

Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an:

 “Sesungguhnya Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia.” (QS. Fathir: 41)

Ayat ini menutup seluruh perdebatan — bahwa kekuasaan Allah atas alam semesta tidak bertumpu pada ikan, gunung, atau makhluk apa pun. Langit dan bumi tegak bukan karena struktur fisik, melainkan karena kehendak dan ketetapan-Nya.


---

Refleksi: Menyaring Antara Wahyu dan Dongeng

Riwayat Israiliyat memang bagian dari sejarah penulisan tafsir Islam, terutama di masa awal ketika banyak mualaf dari kalangan Yahudi masuk Islam. Mereka membawa pengetahuan kitab terdahulu dan kadang menyampaikannya dengan semangat berbagi. Namun, tidak semua yang dibawa mereka dapat diterima sebagai kebenaran syar’i.

Karena itu, kewaspadaan terhadap kisah-kisah palsu dalam tafsir bukanlah bentuk menolak tradisi klasik, melainkan upaya menjaga kemurnian wahyu. Sebab, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Cukup seseorang berdusta jika ia menceritakan setiap hal yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Dan di tengah banjir informasi religius hari ini, peringatan itu menjadi semakin relevan. Karena di antara kebenaran wahyu dan daya tarik kisah, manusia sering kali lebih terpikat pada dongeng yang menawan daripada pada kebenaran yang menegakkan iman.


--------


Evolusi Penafsiran Penciptaan Langit dan Bumi dalam Tradisi Tafsir Islam

Sejarah tafsir Islam tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh di tengah arus pengetahuan, perjumpaan peradaban, dan gelombang pemikiran teologis yang berbeda-beda. Dalam isu penciptaan langit dan bumi, jejak itu terlihat jelas: dari tafsir klasik yang kental dengan riwayat Israiliyat, hingga tafsir modern yang menempatkan wahyu dalam horizon ilmiah dan spiritual.

Ath-Thabari dan Era Riwayat yang Melimpah

Abad ke-3 Hijriah menandai masa penyusunan besar-besaran tafsir berbasis riwayat (tafsir bil ma’tsur). Tokohnya yang paling monumental adalah Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), penulis Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an.

Ath-Thabari dikenal sangat teliti dalam menyusun sanad riwayat, tetapi ia tidak selalu menyaring validitas isinya. Ia mencatat semua versi penjelasan ayat, baik yang kuat maupun yang lemah, lalu menyerahkan penilaian akhir kepada pembaca dan ulama sesudahnya.

Dalam tafsir surah Al-Qalam (68): 1 — “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis” — beliau mencantumkan kisah ikan raksasa yang memikul bumi, tanpa memberikan keputusan akhir apakah kisah itu sahih atau tidak. Inilah cermin dari semangat ilmiah pada zamannya: menghimpun sebanyak mungkin sumber, meski sebagian berakar pada tradisi Yahudi-Kristen.

Namun di balik itu, tafsir Ath-Thabari tetap menjadi tonggak metodologis, karena ia memisahkan antara riwayat dari Nabi ﷺ, sahabat, tabi’in, dan pendapat pribadinya. Dengan cara itu, Ath-Thabari sebenarnya sedang membangun fondasi kritik tafsir, meski bentuknya belum seperti kritik sanad dalam ilmu hadits.

Ibn Katsir dan Upaya Penjernihan Aqidah

Tiga abad kemudian, muncul seorang ulama besar dari Syam: Ismail bin Umar Ibn Katsir (w. 774 H). Melalui karyanya Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, ia menata ulang pendekatan tafsir dengan semangat tashfiyah (pemurnian).

Ibn Katsir menolak kisah-kisah yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, termasuk cerita penciptaan bumi di atas ikan. Ia menegaskan bahwa “Israiliyat hanya boleh diriwayatkan untuk diketahui, bukan untuk diyakini.”

Menurutnya, Al-Qur’an sudah cukup menjelaskan secara tegas proses penciptaan langit dan bumi:

“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (QS. Al-A’raf [7]:54)

Bagi Ibn Katsir, enam masa tersebut bukan hitungan hari dunia, tetapi fase-fase kehendak Allah dalam mencipta, mengatur, dan menyempurnakan makhluk. Tidak ada ruang bagi kisah-kisah mitologis di dalamnya.

Al-Suyuthi dan Tradisi Kompilasi Ulama Mesir

Memasuki abad ke-9 H, Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) menulis Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur. Ia berusaha mengumpulkan seluruh riwayat tafsir dari berbagai sumber, termasuk Israiliyat.

Meskipun dikritik karena memuat kisah-kisah fantastik seperti tujuh langit yang tersusun dari logam mulia dan batu permata, niat As-Suyuthi sebenarnya adalah dokumentatif. Ia ingin menyelamatkan warisan tafsir klasik dari kepunahan, bukan meneguhkan kebenarannya. Dalam pengantar kitabnya, ia menulis, “Aku kumpulkan semua riwayat agar ulama setelahku bisa menimbangnya.”

Namun, di masa-masa inilah tafsir Islam mulai berinteraksi dengan logika kosmologi Yunani dan doktrin Neoplatonis. Alam semesta mulai dibahas dengan bahasa “lapisan-lapisan” dan “unsur-unsur”, bukan semata wahyu. Di sinilah garis antara tafsir dan filsafat mulai kabur.

Era Modern: Sayyid Qutb dan Tafsir Saintifik-Spiritual

Lompatan besar terjadi di abad ke-20, ketika Sayyid Qutb (w. 1966 M) menulis Fi Zhilal al-Qur’an. Dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan, Qutb tidak lagi berbicara tentang bentuk atau susunan langit dan bumi, melainkan tentang makna keberadaan.

Baginya, proses penciptaan adalah simbol kehendak Allah yang terus berlangsung. Alam bukanlah sekadar ciptaan yang selesai, tetapi tajalli (manifestasi terus-menerus) dari sifat Al-Khaliq (Sang Pencipta). Ia menulis:

“Hari-hari penciptaan adalah hari-hari Allah. Panjangnya tidak diketahui manusia. Namun, ia menunjukkan kesinambungan kehendak Allah dalam menata kosmos dan kehidupan.”

Pemikiran Qutb membuka jalan bagi generasi tafsir modern yang lebih ilmiah dan spiritual. Di masa kini, mufassir seperti Syaikh Sa’id Hawwa, Fakhruddin ar-Razi, hingga Wahbah az-Zuhaili menggabungkan pendekatan tafsir klasik dengan pengetahuan astronomi modern — tanpa menabrak makna nash.

Mereka melihat bahwa langit dan bumi bukan benda statis, melainkan sistem yang tunduk pada hukum ilahi yang disebut sunnatullah. Dan di sinilah Al-Qur’an tampil sebagai kitab yang hidup: tidak menjelaskan rincian teknis penciptaan, tetapi mengajak manusia berpikir tentang hikmah di baliknya.

Dari Mitos ke Makna

Kini, di tengah kebangkitan spiritual dan sains, umat Islam dihadapkan pada pilihan: apakah hendak mempertahankan kisah dongeng yang mengundang decak kagum tapi melemahkan akidah, atau kembali kepada keindahan tauhid yang diajarkan Al-Qur’an?

Para ulama sepakat, tugas umat bukan membongkar rahasia penciptaan secara fisik, melainkan memahami pesan moralnya: bahwa semua yang ada tunduk kepada kehendak Allah, dan manusia hanyalah khalifah yang dititipi bumi untuk dijaga.

Syaikh As-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman menulis:

 “Allah menciptakan langit dan bumi bukan main-main. Ia ciptakan dengan hikmah, agar manusia mengenal-Nya melalui ciptaan-Nya.”


---

Penutup: Menyaring dengan Hati yang Beriman

Dari Ath-Thabari hingga Sayyid Qutb, dari riwayat Lutsa hingga makna tajalli, perjalanan tafsir Islam menunjukkan evolusi pemahaman dari bentuk menuju makna, dari kisah menuju kesadaran tauhid.

Dan mungkin, inilah pelajaran paling berharga: bahwa setiap zaman memiliki caranya sendiri dalam membaca wahyu. Namun, yang harus tetap sama adalah rasa tunduk dan hormat kepada Sang Pencipta.

 “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan kebenaran dan waktu yang telah ditentukan.”
(QS. Al-Ahqaf [46]: 3)

Tidak Miskin dengan Prinsip Keuangan Ini? Jalan Keuangan yang Tidak Mati Hidup manusia sering terjebak antara dua kutub: mengeja...


Tidak Miskin dengan Prinsip Keuangan Ini?



Jalan Keuangan yang Tidak Mati

Hidup manusia sering terjebak antara dua kutub: mengejar dunia sampai lupa akhirat, atau meninggalkan dunia dengan dalih memburu akhirat. Padahal, Sayyid Qutb mengingatkan bahwa Islam bukanlah agama yang memutuskan dunia dari langit, melainkan menenun keduanya menjadi satu kesatuan. Maka, dalam setiap nafas ibadah, dalam setiap rupiah yang keluar dan masuk, ada ruh ketuhanan yang mengikatnya.

Pertanyaan kita: Bisakah seorang Muslim mengelola uangnya tanpa miskin—bukan sekadar kaya materi, tapi kaya makna? Jawabannya ada dalam tujuh karakter ajaran Islam yang ditawarkan Sayyid Qutb. Mari kita lihat satu per satu, sambil menimbang bagaimana prinsip ini bekerja dalam keuangan rumah tangga, bisnis, hingga masyarakat.


---

1. Rabbaniyah – Semua Berawal dari Allah

Islam adalah agama yang rabbaniyah, bersumber langsung dari Allah, bukan dari rekayasa manusia. Karena itu, harta yang kita miliki hakikatnya bukan milik kita, melainkan titipan-Nya.

> “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS. Al-Hadid: 7)



Prinsip ini memengaruhi cara kita memandang uang. Ia bukan sekadar angka dalam rekening, tapi amanah ilahi. Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq pernah memberikan seluruh hartanya untuk dakwah, sementara Umar bin Khattab memberikan setengah dari hartanya. Bagi mereka, harta adalah alat menuju Allah, bukan tujuan akhir.

Rabi’ah al-Adawiyah menolak hadiah emas yang ditawarkan seorang dermawan. Katanya, “Aku malu menerima perhiasan dunia dari selain Dia, padahal Dia-lah Pemiliknya.” Inilah ruh rabbaniyah—tidak meletakkan harta di hati, melainkan di genggaman.

Dalam keuangan kontemporer, prinsip ini setara dengan value-based finance: mengelola uang berdasarkan nilai spiritual, bukan sekadar rasionalitas angka. Banyak konsultan keuangan menekankan bahwa “mindset” adalah fondasi cash flow yang sehat. Mindset rabbaniyah membuat kita sadar bahwa setiap pengeluaran dan pemasukan harus punya arah: mendekatkan diri kepada Allah.


---

2. Insaniyah – Untuk Kemanusiaan

Islam tidak diturunkan untuk malaikat, tetapi untuk manusia. Karena itu ajarannya insaniyah—memuliakan manusia, menolak penindasan, dan menjaga keseimbangan hidup.

> “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (QS. Al-Isra’: 70)



Dalam praktik keuangan, prinsip insaniyah melarang eksploitasi, riba, dan monopoli. Umar bin Khattab melarang pedagang menimbun barang untuk menaikkan harga. Abdurrahman bin Auf—sahabat yang dikenal kaya raya—membagikan keuntungan dagangnya untuk membebaskan budak dan membantu fakir miskin.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menolak warisan yang diperoleh dari sumber haram. Ia lebih memilih hidup sederhana ketimbang membiayai hidupnya dengan uang yang menzalimi orang lain.

Konsep ini sejalan dengan social finance atau keuangan inklusif—bagaimana uang dikelola bukan hanya untuk profit, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat. Prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) dalam bisnis global sejatinya adalah gema dari nilai insaniyah yang telah lebih dahulu diajarkan Islam.


---

3. Syumuliyah – Menyeluruh, Tidak Terpisah

Islam adalah sistem yang syumuliyah: mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada sekat antara ibadah dan ekonomi, antara masjid dan pasar.

> “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)…” (QS. Al-Baqarah: 208)



Para sahabat Nabi tidak hanya ahli ibadah, tetapi juga pedagang, pemimpin, dan pengatur keuangan. Utsman bin Affan dikenal sebagai dermawan yang membiayai ekspansi Islam dengan kapal-kapal dagangnya.

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa mencari nafkah halal dengan niat memberi nafkah keluarga sama pahalanya dengan jihad. Inilah gambaran syumuliyah: aktivitas ekonomi adalah ibadah.

Dalam manajemen keuangan pribadi, prinsip syumuliyah menuntut integrasi. Anggaran keluarga bukan hanya mencatat biaya makan atau sekolah, tetapi juga zakat, infak, dan dana sosial. Dalam dunia bisnis, ini berarti tidak memisahkan corporate governance dari etika spiritual.


---

4. Wasathiyah – Keseimbangan

Islam mengajarkan wasathiyah: tidak boros, tidak kikir, tidak materialistis, tapi juga tidak asketis berlebihan.

> “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)



Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Harta itu laksana ular: lembut disentuh, tapi beracun di dalam. Gunakan dengan hati-hati.” Ia mencontohkan keseimbangan: hidup sederhana, tapi tidak miskin karena menolak dunia.

Hasan al-Bashri menasihati muridnya agar tidak memusuhi dunia secara mutlak. Dunia adalah ladang akhirat; yang salah adalah keterikatan hati yang berlebihan.

Konsep ini serupa dengan financial balance—menyeimbangkan konsumsi, tabungan, investasi, dan sedekah. Konsultan keuangan seperti Dave Ramsey menyarankan 50-30-20 rule (50% kebutuhan, 30% keinginan, 20% tabungan/investasi). Prinsip ini sudah diajarkan Al-Qur’an sejak 14 abad lalu.


---

5. Waqi’iyah – Realistis dan Praktis

Islam bukan utopia, melainkan waqi’iyah—realistis. Ia memperhitungkan kelemahan manusia. Tidak semua orang wajib sedekah besar; yang penting sesuai kemampuan.

> “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)



Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepraktisan ini. Saat seorang sahabat ingin menyedekahkan seluruh hartanya, beliau melarang: “Tinggalkanlah ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta.”

Imam Malik menolak gaya zuhud ekstrem yang mengabaikan kebutuhan keluarga. Menurutnya, keadilan terhadap keluarga juga bagian dari ibadah.

Prinsip ini sejalan dengan cash flow management: membuat anggaran sesuai realitas, bukan fantasi. Banyak keluarga bangkrut bukan karena miskin, tapi karena pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Waqi’iyah mengingatkan: realistis itu kunci.


---

6. Istiqamah wa al-Tsabat – Konsisten dan Teguh

Islam menuntut konsistensi: istiqamah dalam prinsip, meski dunia berubah.

> “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Ahqaf: 13)



Abu Bakar tetap istiqamah menjaga amanah umat, meski ditentang ketika memerangi kaum murtad yang enggan membayar zakat. Ia tidak kompromi dengan sistem batil.

Jalaluddin Rumi menulis, “Istiqamah lebih mulia daripada seribu karamah.” Konsistensi dalam hal-hal sederhana—seperti menahan diri dari boros—lebih berharga daripada kejadian luar biasa.

Dalam keuangan, istiqamah berarti disiplin. Orang kaya bukan yang berpenghasilan besar, melainkan yang konsisten menabung, berinvestasi, dan bersedekah. Warren Buffett menyebut kunci kekayaan adalah consistency over intensity: konsisten dalam jangka panjang lebih kuat daripada usaha sesaat.


---

7. Harakah – Dinamis dan Revolusioner

Islam adalah agama harakah—bergerak, dinamis, dan mendorong perubahan sosial.

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)



Rasulullah ﷺ tidak hanya berdakwah di masjid, tetapi juga membangun pasar Madinah untuk membebaskan umat dari monopoli Yahudi. Pasar ini bukan hanya ruang dagang, tapi simbol revolusi ekonomi Islam.

Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah tanpa harta, tapi ia bangkit dengan kerja keras, jujur, dan profesional. Dalam waktu singkat, ia menjadi konglomerat tanpa meninggalkan keshalihan.

Prinsip ini sejalan dengan financial growth mindset: melihat uang sebagai sarana berkembang, bukan hanya bertahan hidup. Dinamika ekonomi digital, investasi halal, hingga wirausaha sosial adalah bentuk harakah dalam keuangan modern.


---

Kaya Tanpa Takut Miskin

Sayyid Qutb mengajarkan bahwa Islam bukan teori di atas kertas, melainkan jalan hidup. Rabbaniyah, insaniyah, syumuliyah, wasathiyah, waqi’iyah, istiqamah, dan harakah—tujuh karakter ini bukan sekadar konsep, melainkan peta jalan untuk hidup kaya secara makna.

Kaya bukan berarti tidak pernah kekurangan, tetapi hidup dengan prinsip yang membuat harta tidak menjadi tuan atas diri kita. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib: “Kekayaan sejati adalah hati yang qana’ah.”

Maka, pertanyaan “Tidak miskin dengan prinsip keuangan ini?” bukanlah janji kekayaan instan, melainkan ajakan untuk menapaki jalan Islam secara kaffah. Sebab, siapa yang berjalan bersama nilai ilahi, ia tidak akan miskin—baik di dunia, apalagi di akhirat.

Mengelola Cash Flow agar Kaya dengan Prinsip Hukum Taklîf Fiqh Ketika Uang Menjadi Pertanyaan Iman Pernahkah kita merasa uang da...

Mengelola Cash Flow agar Kaya dengan Prinsip Hukum Taklîf Fiqh

Ketika Uang Menjadi Pertanyaan Iman

Pernahkah kita merasa uang datang dan pergi seperti bayangan? Hari ini gaji masuk, esok lusa entah ke mana ia mengalir. Kita pun duduk merenung, bertanya dalam hati: apakah aku sedang mengelola rezeki ataukah justru rezeki yang sedang mempermainkanku?

Pertanyaan ini bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan persoalan iman. Sebab dalam Islam, harta bukan hanya angka dalam rekening, melainkan amanah dari Allah. Dan setiap amanah selalu menyertakan pertanggungjawaban.

Dalam ushul fiqh, konsep yang mengatur hubungan manusia dengan kewajiban dan larangan Allah disebut hukum taklîf. Jika biasanya hukum taklîf dibahas dalam bab ibadah, sesungguhnya ia juga dapat menjadi peta pengelolaan keuangan, baik di rumah tangga, di pasar, maupun dalam bisnis besar.


---

Apa Itu Hukum Taklîf?

Para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum taklîf sebagai:

> “Khithâbullâh al-muta‘alliq bi af‘âl al-mukallafîn bi thalab aw takhyîr aw wadh‘.”
(Firman Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba, berupa tuntutan, larangan, atau pilihan).



Imam Al-Amidi dalam Al-Ihkam menekankan bahwa taklîf adalah beban syariat yang diberikan kepada mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal). Imam Al-Juwayni dalam Al-Burhan menambahkan, taklîf adalah wujud kasih sayang Allah, sebab Allah tidak membebani kecuali dalam batas kemampuan.

Artinya, seluruh aktivitas manusia, termasuk menerima penghasilan dan mengeluarkan belanja, masuk dalam kerangka taklîf. Uang yang kita terima bisa halal atau haram; pengeluaran yang kita lakukan bisa wajib, sunnah, makruh, atau mubah. Dengan demikian, cash flow kita sehari-hari bukan sekadar catatan akuntansi, tetapi dokumen spiritual.


---

Rukun: Menyadari Bahwa Harta Milik Allah

Peta cash flow Islami dimulai dari rukun paling dasar: keyakinan bahwa harta adalah milik Allah, sementara manusia hanya pengelola.

Allah berfirman:

> “Berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.” (QS. An-Nur: 33)



Ayat ini menegaskan: harta yang ada di genggaman kita bukan benar-benar milik kita. Ia milik Allah, dan kita hanya penerima amanah. Kesadaran ini adalah fondasi spiritual dalam setiap keputusan keuangan.

Sahabat Abdurrahman bin Auf memberi teladan. Ketika hijrah ke Madinah, ia datang tanpa harta. Namun ia tahu rezeki datang dari Allah, maka ia berkata: “Tunjukkan aku di mana pasar.” Dari sinilah ia memulai, hingga menjadi saudagar besar, namun tetap dermawan. Ia tidak lupa bahwa hartanya adalah titipan, bukan kepemilikan absolut.

Tanpa rukun ini, cash flow hanya menjadi arus dingin angka-angka. Dengan rukun ini, setiap rupiah menjadi aliran ibadah.


---

Halal: Pintu Pertama Penerimaan

Dalam dunia modern, orang sering bertanya: “Berapa gajimu?” Padahal pertanyaan yang lebih penting adalah: “Halalkah gajimu?”

Allah berfirman:

> “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” (QS. Al-Baqarah: 168)



Halal adalah pintu masuk cash flow. Gaji, laba usaha, atau hadiah—semua harus melalui pintu ini. Jika pintu halal dilanggar, seluruh arus berikutnya tercemar.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad).

Maka seorang muslim wajib memastikan sumber pendapatannya bersih: tidak dari riba, suap, atau korupsi. Sahabat Umar bin Khattab bahkan pernah mengembalikan hadiah manis yang diberikan pejabat, karena ia takut itu termasuk gratifikasi.


---

Wajib: Menunaikan Hak-Hak Harta

Dalam cash flow, ada pengeluaran yang statusnya wajib:

1. Zakat
Allah berfirman:

> “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)



Zakat adalah saluran wajib agar harta tetap bersih dan arus rezeki tidak tersumbat.


2. Nafkah keluarga
Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Dinar yang paling besar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)



Nafkah bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan ibadah dengan pahala terbesar.


3. Pelunasan hutang
Rasulullah ﷺ sangat menekankan pelunasan hutang, bahkan pernah menolak menyolatkan jenazah yang masih berhutang, sampai hutangnya dilunasi.



Cash flow wajib ini ibarat pilar rumah. Tanpa menunaikan pilar ini, seluruh bangunan keuangan runtuh.


---

Sunnah: Mengalirkan Kebaikan Lebih Luas

Setelah kewajiban, cash flow sunnah membuka ruang pahala lebih besar.

Sedekah
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah itu tidak mengurangi harta.” (HR. Muslim)

Sahabat Utsman bin Affan pernah membeli sumur dan mewakafkannya untuk penduduk Madinah. Inilah cash flow sunnah yang menyejukkan banyak orang.

Infak sosial
Membantu pembangunan masjid, sekolah, atau membantu tetangga adalah arus sunnah yang memperluas keberkahan.


Cash flow sunnah ini adalah rahasia kelapangan rezeki. Semakin banyak mengalir keluar, semakin deras pula aliran masuk dari jalan yang tak disangka.


---

Haram: Kanal Gelap yang Menutup Keberkahan

Haram adalah kanal yang harus ditutup rapat dalam cash flow.

Riba
Allah berfirman:

> “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)



Korupsi dan suap
Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Ahmad).

Mubazir untuk maksiat
Allah berfirman:

> “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 27)




Jika cash flow kita dialirkan ke haram, maka ia ibarat sungai yang tercemar racun. Mengalir, tapi merusak kehidupan.


---

Makruh: Pengeluaran yang Melemahkan Jiwa

Ada pengeluaran yang tidak sampai haram, tapi dibenci (makruh).

Belanja berlebihan untuk kemewahan tak perlu.

Mengutamakan gaya hidup di atas kebutuhan riil.


Umar bin Khattab pernah menegur anaknya yang membeli daging dua hari berturut-turut. Katanya: “Apakah jika engkau ingin, engkau harus selalu membeli?” Baginya, makruh adalah celah menuju boros.

Dalam cash flow, makruh ibarat kebocoran kecil. Ia tidak merusak seketika, tapi perlahan mengikis kekuatan finansial.


---

Mubah: Ruang Kreativitas dan Kehidupan

Banyak bagian cash flow bersifat mubah: pilihan hidup sehari-hari. Makan yang halal, pakaian yang pantas, hiburan yang sehat, semua termasuk mubah.

Di sinilah ruang kreativitas bisnis modern. Asalkan bebas dari riba dan maksiat, inovasi keuangan termasuk mubah yang bernilai positif.

Robert Kiyosaki dengan cash flow quadrant-nya mengajarkan pentingnya mengalihkan penghasilan ke investasi. Dalam Islam, ini sejalan selama jalurnya halal dan adil.


---

Cash Flow Sahabat: Teladan Nyata

Abdurrahman bin Auf: mengelola bisnis halal, zakat besar, sedekah luas.

Utsman bin Affan: cash flow sunnah dengan wakaf sumur.

Umar bin Khattab: disiplin menghindari makruh.

Abu Bakar Ash-Shiddiq: seluruh hartanya dialirkan untuk perjuangan Nabi ﷺ.


Cash flow para sahabat adalah bukti bahwa kekayaan sejati bukan pada jumlah, tapi pada aliran yang sesuai syariat.


---

Perspektif Pakar Keuangan Modern

Peter Drucker: “What gets measured, gets managed.” Islam sudah lebih dulu mengajarkan pencatatan keuangan. Sahabat Rasul menulis kitabah (catatan hutang) sebagaimana QS. Al-Baqarah: 282.

Robert Kiyosaki: kaya bukan soal pendapatan tinggi, melainkan pengelolaan arus kas. Ini sejalan dengan prinsip taklîf: aliran harus dijaga dari haram, wajib disalurkan, sunnah diperluas.

Dave Ramsey: menekankan hidup tanpa hutang. Rasulullah ﷺ pun menekankan pelunasan hutang sebagai prioritas wajib.



---

Penutup: Kaya dengan Cash Flow Taklîf

Cash flow sejati bukan sekadar pemasukan lebih besar daripada pengeluaran. Kaya sejati adalah ketika aliran uang kita sejalan dengan peta taklîf:

Halal dalam penerimaan.

Wajib tertunaikan.

Sunnah diperbanyak.

Haram dihindari.

Makruh dijauhi.

Mubah dimanfaatkan bijak.


Dengan begitu, cash flow bukan hanya membawa kita ke kekayaan dunia, tapi juga mengantarkan pada kekayaan akhirat.

> Seorang mukmin yang bijak akan melihat setiap rupiah bukan sekadar uang, tetapi sebagai ayat ujian. Dan cash flow yang dikelola dengan hukum taklîf adalah sungai jernih yang mengalirkan kita menuju ridha Allah SWT.

Model Sayap Burung dalam Mencari Rezeki dan Mengelola Bisnis --- Prolog: Burung, Guru yang Terlupakan Pernahkah kita menatap see...


Model Sayap Burung dalam Mencari Rezeki dan Mengelola Bisnis


---

Prolog: Burung, Guru yang Terlupakan

Pernahkah kita menatap seekor burung yang hinggap di jendela pada pagi hari? Ia tampak sederhana: bulu-bulunya kecil, tubuhnya ringan, dan hidupnya hanya berputar antara terbang, mencari makan, lalu kembali ke sarang. Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan sebuah rahasia yang diajarkan Allah kepada manusia.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

> “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)



Hadis ini tidak hanya menggambarkan cara burung mencari rezeki, tetapi juga menyingkap sebuah prinsip kehidupan: rezeki datang bukan hanya karena usaha, melainkan juga karena tawakal, keberanian, dan ikhlas. Burung menjadi guru kehidupan, bahkan guru bisnis, jika kita mau membaca gerak sayapnya.


---

1. Sarang: Titik Awal Kehidupan

Di dalam sarang, seekor anak burung menetas. Matanya tertutup, tubuhnya rapuh, bulunya tipis. Ia hanya tahu lapar dan dingin. Pada fase ini, induknya menjadi segalanya: memberi makan, menjaga kehangatan, melindungi dari predator.

Bagi manusia, sarang adalah simbol zona nyaman: rumah keluarga, tempat belajar, atau bahkan modal awal bisnis. Sarang adalah ruang penuh kasih, tetapi tidak selamanya kita bisa tinggal di dalamnya. Jika terlalu lama, sarang berubah menjadi penjara.

Seperti anak burung yang suatu hari harus keluar, kita pun dipanggil untuk meninggalkan kenyamanan. Dalam bisnis, inilah titik di mana seorang pemula berhadapan dengan dilema: tetap aman dalam pekerjaan rutin, atau berani mencoba membuka usaha sendiri.


---

2. Masa Latihan Sayap: Antara Takut dan Harap

Anak burung tidak langsung terbang. Ia mulai dengan mengibas-ngibaskan sayapnya di dalam sarang. Otot-otot dada dilatih, keberanian diuji. Kadang ia berdiri di tepi sarang, menatap kosong ke luar. Ada angin, ada cahaya, ada kebebasan. Tetapi ada juga jurang, ada risiko jatuh.

Di sinilah hadir dua sayap batin manusia: khauf (takut) dan raja’ (harap).

Khauf: rasa takut gagal, takut jatuh, takut tidak bisa bangkit. Dalam bisnis, ini bisa berarti takut kehilangan modal, takut ditolak pasar, atau takut bersaing.

Raja’: harapan pada pertolongan Allah, harapan akan hasil yang lebih baik, harapan bahwa di luar sana ada rezeki yang menunggu.


Seorang sufi berkata: “Orang yang berjalan kepada Allah bagaikan burung yang terbang dengan dua sayap: khauf dan raja’. Jika salah satunya patah, ia tidak akan sampai.”

Begitu pula seorang pengusaha. Jika hanya berani tanpa takut, ia akan gegabah. Jika hanya takut tanpa harap, ia tidak akan pernah melangkah.


---

3. Lompatan Pertama: Melawan Hukum Gravitasi

Tibalah hari itu. Anak burung melompat keluar dari sarangnya. Terbang pertamanya tidak sempurna: ada yang jatuh ke tanah, ada yang mendarat canggung, ada yang kembali tergopoh-gopoh. Tetapi setiap jatuh melahirkan otot baru, setiap kegagalan menumbuhkan keterampilan.

Demikian pula dalam dunia bisnis. Lompatan pertama sering kali menyakitkan. Sebuah usaha bisa gagal, dagangan bisa tidak laku, pelanggan bisa kecewa. Namun seperti burung, manusia belajar dari jatuhnya. Kegagalan bukan tanda akhir, melainkan sayap yang sedang dikeraskan.

Psikolog Angela Duckworth menyebut ini sebagai grit: kegigihan dan ketekunan yang lebih menentukan kesuksesan dibanding kecerdasan semata.


---

4. Sayap dan Mekanisme Terbang

Burung tidak hanya mengandalkan keberanian. Ia memiliki sistem yang dirancang Allah dengan sangat presisi:

Downstroke: kepakan ke bawah, menghasilkan tenaga utama.

Upstroke: kepakan ke atas, hemat energi, meminimalkan hambatan.

Rotasi sayap: membuat gerakan lebih efisien.

Pola kepakan: berbeda antara burung besar (elang) yang melayang dengan elegan dan burung kecil (pipit, kolibri) yang cepat dan lincah.


Inilah simbol strategi bisnis:

Ada saatnya kita mendorong dengan keras (downstroke): promosi, ekspansi, kerja ekstra.

Ada saatnya kita hemat energi (upstroke): evaluasi, konsolidasi, menyederhanakan.

Ada kalanya kita butuh fleksibilitas (rotasi sayap): menyesuaikan dengan pasar, mencari celah baru.

Dan ada berbagai pola kepakan: bisnis besar berbeda strateginya dengan bisnis kecil.


Burung mengajarkan: yang penting bukan hanya keluar dari sarang, tetapi menguasai seni mengepak sayap.


---

5. Tawakal: Pergi Lapar, Pulang Kenyang

Rasulullah ﷺ melukiskan satu hal penting: burung keluar di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.

Burung tidak membawa bekal dari sarangnya. Ia tidak tahu di pohon mana ada ulat, di ladang mana ada biji. Ia hanya keluar, mengepak sayap, lalu Allah tunjukkan jalannya.

Inilah tawakal. Ia bukan pasrah tanpa usaha, tetapi usaha yang penuh percaya. Imam Ahmad berkata: “Tawakal adalah memantapkan hati pada Allah, sekalipun tanganmu sedang bekerja.”

Dalam bisnis, tawakal berarti berani melangkah dengan perhitungan, tetapi tidak terikat pada hasil. Kita bekerja, berusaha, berstrategi. Namun hati tidak terikat pada angka, melainkan pada Allah yang Maha Pemberi Rezeki.


---

6. Ikhlas: Terbang Tanpa Beban

Burung tidak pernah terbang dengan membawa sarangnya. Ia terbang ringan, hanya dengan sayapnya. Inilah pelajaran tentang ikhlas: bekerja tanpa beban ambisi berlebihan, tanpa terikat oleh pandangan manusia.

Dalam tasawuf, ikhlas adalah ketika amal tidak digerakkan oleh pamrih duniawi, melainkan hanya karena Allah. Dalam bisnis, ikhlas berarti tidak sekadar mencari keuntungan pribadi, melainkan memberi manfaat: menyediakan kebutuhan masyarakat, membuka lapangan kerja, menolong orang lain.

Seorang pakar bisnis, Simon Sinek, menyebutnya sebagai start with why: bisnis yang berkelanjutan selalu lahir dari niat memberi manfaat, bukan hanya mengejar uang.


---

7. Siklus Pulang: Rumah sebagai Titik Tengah

Setelah berkelana, burung selalu kembali ke sarangnya. Di sanalah ia istirahat, memberi makan anak-anaknya, dan mendapatkan ketenangan.

Bagi manusia, sarang adalah simbol keseimbangan hidup: keluarga, iman, dan batin. Bisnis yang sukses tetapi kehilangan rumah akan melahirkan kehampaan.

Seorang sufi berkata: “Orang yang mencari dunia tanpa pulang ke Allah, sama seperti burung yang terbang tanpa sarang.”


---

8. Bisnis sebagai Seni Terbang

Jika kita gabungkan semua pelajaran burung, muncullah model sederhana namun dalam:

1. Sarang: modal awal dan zona nyaman.


2. Latihan sayap: membangun keberanian dengan khauf dan raja.


3. Lompatan pertama: menerima risiko jatuh sebagai bagian dari belajar.


4. Sayap terlatih: strategi, efisiensi, fleksibilitas.


5. Tawakal: yakin rezeki ada, meski berangkat lapar.


6. Ikhlas: bekerja ringan tanpa membawa beban ambisi.


7. Sarang kembali: menyeimbangkan dunia dan akhirat.



Inilah yang dalam psikologi disebut resilience — kemampuan untuk bangkit, beradaptasi, dan tetap terarah meski menghadapi badai.


---

Epilog: Belajar Mengepak Sayap Batin

Burung mengajarkan kita bahwa rezeki itu bukan sekadar soal kepandaian, melainkan soal seni mengepak sayap batin. Dalam khauf dan raja, kita menemukan keseimbangan. Dalam tawakal dan ikhlas, kita menemukan ketenangan.

Jika burung saja, yang kecil dan rapuh, mampu keluar dari sarangnya, mengatasi angin, dan kembali dengan perut kenyang, mengapa manusia—makhluk yang dimuliakan Allah—tak berani belajar terbang?

Barangkali kita terlalu lama berdiam di sarang, menunggu rezeki datang tanpa mengepakkan sayap. Padahal dunia luas, langit tinggi, dan Allah sudah menjanjikan:

> “Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.”
(QS. Adz-Dzariyat: 22)



Maka, belajarlah dari burung. Berangkatlah dengan perut lapar, dengan hati penuh harap, dengan langkah ringan. Kepakkan sayapmu, dan yakinlah: Allah akan menuntunmu pulang dalam keadaan kenyang, baik dalam bisnis, maupun dalam perjalanan hidup menuju-Nya.

Dari Good to Great ke Good to Eternal: Bisnis Rasulullah ﷺ dan Para Sahabat --- Prolog: Jejak Bisnis yang Menjadi Peradaban Jim ...


Dari Good to Great ke Good to Eternal: Bisnis Rasulullah ﷺ dan Para Sahabat


---

Prolog: Jejak Bisnis yang Menjadi Peradaban

Jim Collins dalam Good to Great (2001) menyebut bahwa tidak semua perusahaan mampu “meloncat” dari sekadar baik menuju hebat. Ada prinsip-prinsip mendasar yang membedakan mereka yang bertahan jangka panjang dengan mereka yang cepat jatuh. Konsep ini dirayakan sebagai pedoman korporasi modern.

Namun, jauh sebelum buku ini ditulis, dunia Islam sudah memiliki kisah nyata: Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Mereka bukan hanya great secara bisnis, melainkan juga eternal dalam warisan nilai. Jika perusahaan modern berfokus pada laba dan umur panjang, Islam membangun bisnis yang melahirkan keberkahan, membentuk peradaban, dan membawa cahaya spiritual hingga hari ini.

> Allah berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-Qashash: 77)



Ayat ini menjadi fondasi: bisnis bukan sekadar duniawi, tapi jembatan menuju akhirat.


---

1. Level 5 Leadership: Kerendahan Hati dan Tekad Besar

Collins menyebut “Level 5 Leader” sebagai pemimpin yang rendah hati sekaligus bertekad kuat.

Rasulullah ﷺ: dikenal dengan julukan al-Amîn (yang terpercaya). Bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau sudah membangun reputasi yang tidak ternilai dalam perdagangan. Saat Khadijah ra. mempercayakan kafilah dagangnya, keuntungan yang didapat berlipat karena kejujurannya.

Abu Bakar ra.: meski seorang pedagang kaya, beliau tetap sederhana. Saat menjadi khalifah, ia tetap berdagang di pasar sampai para sahabat memintanya fokus memimpin.

Utsman bin Affan ra.: pebisnis ulung, namun rendah hati. Ia membeli sumur Raumah dengan harga tinggi, lalu mewakafkannya untuk umat.

Abdurrahman bin Auf ra.: ketika hijrah ke Madinah tanpa harta, ia berkata pada sahabat Anshar yang menawarkan bantuan: “Tunjukkan aku di mana pasar.” Inilah tekad dan kemandirian seorang “Level 5 Leader”.


> Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi)



Refleksi modern: John C. Maxwell menyebut dalam The 21 Irrefutable Laws of Leadership bahwa pemimpin besar bukan yang memperkaya dirinya, tetapi yang meninggalkan warisan. Inilah yang dilakukan Rasulullah ﷺ dan para sahabat: mewariskan nilai, bukan sekadar aset.


---

2. First Who, Then What: Orang Tepat Sebelum Strategi

Collins menegaskan: sebelum memutuskan strategi, pastikan orang-orang yang terlibat adalah yang tepat.

Rasulullah ﷺ bermitra dengan Khadijah ra., bukan hanya karena modalnya, tetapi karena integritasnya.

Abu Bakar ra. sebagai sahabat pertama yang masuk Islam, menjadi mitra strategis dakwah dan bisnis.

Abdurrahman bin Auf ra. membangun reputasi di pasar Madinah dengan memilih mitra dagang yang jujur.


> Nabi ﷺ bersabda:
“Allah merahmati seseorang yang toleran ketika menjual, ketika membeli, dan ketika menagih.” (HR. Bukhari)



Pakar marketing: Philip Kotler menyebut dalam Marketing Management bahwa “trust is the currency of modern business.” Kepercayaan adalah mata uang yang tidak lekang, dan inilah yang dipraktikkan Rasulullah ﷺ sejak awal.


---

3. Confront the Brutal Facts: Kejujuran Menghadapi Realitas

Collins berkata, perusahaan hebat berani menghadapi fakta brutal.

Rasulullah ﷺ menolak menutupi cacat barang. Dalam satu peristiwa, beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan dan menemukan bagian bawahnya basah. Beliau bersabda:

> “Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)



Abdurrahman bin Auf ra. menghadapi realitas monopoli Yahudi di pasar Madinah. Ia tidak mengeluh, tapi berusaha keras mencari jalur distribusi alternatif.


Pakar bisnis: Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence; it is to act with yesterday’s logic.” Artinya, hanya mereka yang jujur menghadapi kenyataan dan beradaptasi yang bisa bertahan.


---

4. Hedgehog Concept: Fokus pada Inti Kekuatan

Collins memperkenalkan konsep “landak”: fokus pada satu hal inti yang menjadi kekuatan utama.

Rasulullah ﷺ: fokus pada integritas sebagai modal dagang.

Abu Bakar ra.: fokus pada reputasi amanah.

Utsman ra.: fokus pada distribusi besar (kafilah dagang, perdagangan internasional).

Abdurrahman bin Auf ra.: fokus pada ketekunan kerja dan diversifikasi perdagangan.


Refleksi modern: Warren Buffett menyebut strategi bisnis terbaik adalah “circle of competence”—fokus pada bidang yang benar-benar dipahami.


---

5. Culture of Discipline: Disiplin Etika dan Eksekusi

Collins menekankan budaya disiplin sebagai pembeda utama perusahaan besar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)



Para sahabat disiplin dalam menepati akad dan membayar hutang.

Abdurrahman bin Auf ra. disiplin menjaga kerja kerasnya hingga dikenal sebagai pebisnis paling sukses.


Psikologi bisnis: Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menjelaskan bahwa disiplin diri (self-regulation) adalah inti dari kepemimpinan efektif. Itulah yang dicontohkan para sahabat: tidak menunda kewajiban, tidak berlebihan dalam keuntungan.


---

6. Technology Accelerator: Menggunakan Sarana Zaman

Collins menulis bahwa teknologi hanyalah pengungkit, bukan penentu arah.

Rasulullah ﷺ menggunakan jaringan perdagangan Quraisy ke Syam dan Yaman.

Utsman ra. mengembangkan armada kapal dagang lintas Laut Merah.

Abdurrahman bin Auf ra. memanfaatkan sistem pasar Madinah yang bebas dari monopoli.


Pakar korporasi: Jack Welch, CEO legendaris General Electric, menyebut: “Technology is a tool. But people and values are what matter most.” Nilai inilah yang menjadikan teknologi sekadar pengungkit, bukan tujuan.


---

7. Beyond Good to Great: Menuju Good to Eternal

Di sinilah perbedaan utama:

Good to Great berbicara tentang umur perusahaan ratusan tahun.

Rasulullah ﷺ dan sahabat membangun bisnis yang berbuah peradaban ribuan tahun.


Karena ada satu dimensi yang tak disentuh teori bisnis modern: spiritualitas.

> Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya harta ini hijau lagi manis. Barang siapa mengambilnya dengan cara yang benar, ia akan diberkahi. Barang siapa mengambilnya tidak dengan cara yang benar, maka tidak akan diberkahi baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Pakar keuangan Islam: Muhammad Nejatullah Siddiqi menyebut bahwa tujuan ekonomi Islam bukan sekadar efisiensi dan pertumbuhan, tapi falah (kebahagiaan dunia-akhirat). Inilah yang menjadikan bisnis Rasulullah ﷺ dan sahabat bukan hanya great, melainkan eternal.


---

Epilog: Jalan Bisnis Menuju Surga

Bayangkan, Utsman ra. dengan sumurnya, Abdurrahman bin Auf ra. dengan infaknya, Abu Bakar ra. dengan pengorbanannya, Rasulullah ﷺ dengan integritasnya. Mereka semua membuktikan bahwa bisnis bukan jalan menuju kerakusan, melainkan jalan menuju surga.

Jika Jim Collins menulis tentang perusahaan yang melompat dari Good to Great, sejarah Islam menulis kisah yang lebih agung: perjalanan dari Good to Eternal.

Karena harta yang dikelola dengan iman tidak hanya mengubah pasar, tapi juga menyalakan cahaya peradaban.

Zuhud dan Wara: Strategi Pengelolaan Harta Gaya Sufi "Harta itu di tangan, bukan di hati." Begitulah para sufi menging...

Zuhud dan Wara: Strategi Pengelolaan Harta Gaya Sufi

"Harta itu di tangan, bukan di hati."

Begitulah para sufi mengingatkan. Kalimat sederhana, tapi menyimpan strategi besar dalam mengelola kekayaan. Bagi mereka, urusan harta tidak hanya soal hitung-menghitung untung rugi, melainkan bagaimana hati manusia tetap bebas, tidak diperbudak oleh uang. Dua kunci utamanya adalah zuhud dan wara.

Hari ini, di tengah dunia yang dikuasai jargon “financial freedom”, “return on investment”, dan “wealth management”, ajaran para sufi hadir sebagai cermin. Mereka tidak mengajarkan lari dari harta, melainkan menempatkannya dalam orbit yang benar: sebagai sarana, bukan tujuan.


---

Karakter dan Gaya Hidup Zuhud dan Wara

Zuhud membentuk jiwa yang ringan, tidak terikat oleh kepemilikan. Wara menumbuhkan sikap hati-hati, memastikan setiap langkah dalam rezeki bersih dari syubhat. Jika zuhud melahirkan kesederhanaan, wara melahirkan kehati-hatian.

Gabungan keduanya membentuk karakter unik: tenang dalam menerima rezeki, cermat dalam membelanjakan, dan berani berkata “cukup” ketika dunia menawarkan lebih banyak.


---

Makna Zuhud dalam Penerimaan dan Pengeluaran Harta

Zuhud dalam penerimaan

Zuhud bukan berarti menolak uang. Ia menerima harta dengan syarat: datang dari jalan halal. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)



Artinya, seorang zuhud tidak mengejar rezeki dengan rakus. Ia tidak terjebak pada spekulasi haram, tidak menempuh jalan manipulatif. Ia yakin, rezeki halal lebih bernilai walau sedikit.

Zuhud dalam pengeluaran

Dalam membelanjakan, zuhud menolak gaya hidup berlebihan. Al-Qur’an memperingatkan:

> “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 27)



Seorang zuhud tetap memberi nafkah keluarganya dengan baik, bersedekah dengan lapang, tetapi tidak menghamburkan untuk gengsi. Ia membelanjakan harta dengan kesadaran bahwa uang bukan miliknya, melainkan titipan.


---

Makna Wara dalam Penerimaan dan Pengeluaran Harta

Wara dalam penerimaan

Wara lebih ketat daripada sekadar halal. Ia menghindari perkara samar. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram pun jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang banyak manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa menjaga diri dari yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari-Muslim)



Seorang wara menolak proyek, gaji, atau hadiah yang meragukan sumbernya. Bahkan jika secara hukum boleh, tapi hati masih ragu, ia memilih meninggalkannya.

Wara dalam pengeluaran

Dalam membelanjakan, wara menjaga agar uang tidak mengalir ke hal-hal yang mendatangkan dosa. Ia menghindari investasi di industri haram—judi, riba, minuman keras, atau apa pun yang merusak masyarakat.

Wara adalah filter terakhir, pagar agar harta tidak berubah menjadi bumerang di akhirat.


---

Zuhud dan Wara sebagai Modal Investasi

Orang mungkin bertanya: “Jika zuhud itu menjauh dari dunia, bagaimana bisa menjadi modal investasi?”

Di sinilah letak keindahannya. Zuhud dan wara bukan mengurangi potensi usaha, justru memperkuatnya.

Zuhud menumbuhkan ketenangan jiwa, membuat pengusaha tidak rakus dan mampu mengambil keputusan rasional.

Wara menumbuhkan kepercayaan; mitra dan pelanggan yakin bisnisnya bersih, sehingga reputasinya kokoh.


Dalam bahasa manajemen modern, Stephen Covey menyebut trust (kepercayaan) sebagai mata uang sosial yang mempercepat semua transaksi. Sementara Daniel Goleman, pakar psikologi emosional, menegaskan bahwa integritas adalah bagian dari kecerdasan emosional yang menentukan keberhasilan jangka panjang.

Maka, zuhud dan wara adalah modal tak kasat mata: modal spiritual yang memperkuat modal finansial.


---

Zuhud dan Wara dalam Pengelolaan Bisnis

Mari kita bayangkan seorang pedagang.

Jika ia zuhud, ia tidak menimbun barang demi memanipulasi harga. Ia puas dengan keuntungan wajar.

Jika ia wara, ia tidak berani berbohong dalam timbangan atau laporan.


Gabungan keduanya melahirkan pengusaha yang adil dan dipercaya. Inilah yang disebut bisnis berkelanjutan.

Al-Qur’an memberi pedoman:

> “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)



Ayat ini adalah pedoman strategis: harta boleh dikelola, tetapi tujuannya bukan dunia semata.


---

Para Sufi yang Kaya dan Mengelola Bisnis

Banyak yang mengira sufi identik dengan miskin. Faktanya, ada para sufi dan ulama zuhud yang juga kaya dan pengusaha sukses.

1. Ibnu Sirin (33–110 H)
Seorang tabi’in, ahli tafsir mimpi, sekaligus pedagang tekstil sukses di Basrah. Ia dikenal jujur dan berhati-hati. Harta beliau cukup besar untuk membiayai banyak murid dan fakir miskin.


2. Abdullah bin Mubarak (118–181 H)
Ulama besar, ahli hadits, juga pedagang kaya. Ia rutin menyisihkan hartanya untuk jihad, dakwah, dan murid-murid. Dalam satu perjalanan haji, beliau pernah menafkahkan 100.000 dinar untuk fakir miskin.


3. Al-Laits bin Sa‘d (94–175 H)
Ulama Mesir, hartanya luar biasa. Imam Syafi’i berkata: “Al-Laits lebih kaya daripada Malik, tetapi ia lebih dermawan.” Beliau pernah mengeluarkan zakat sekitar 70.000 dinar dalam setahun.


4. Imam Abu Hanifah (80–150 H)
Pendiri mazhab Hanafi, seorang pedagang kain. Keuntungan bisnisnya bisa mencapai 20.000 dirham dalam satu musim. Ia menolak hadiah penguasa dan lebih memilih hidup dari usaha sendiri.



Mereka kaya, tetapi tetap zuhud. Harta mereka mengalir, bukan menetap.


---

Relevansi Zuhud dan Wara di Dunia Modern

Hari ini, orang mengejar kekayaan tetapi justru terikat hutang dan gaya hidup konsumtif. Di sinilah ajaran zuhud dan wara relevan.

Zuhud mengajarkan minimalisme—mirip dengan tren mindful spending dalam psikologi modern.

Wara mengajarkan etika bisnis—selaras dengan konsep sustainable business dalam ekonomi modern.


Jika dunia kapitalisme sering berakhir pada keserakahan, maka strategi sufi justru menawarkan keberlanjutan: hati tenang, harta berkah, bisnis bertahan.


---

Penutup: Harta di Tangan, Bukan di Hati

Pada akhirnya, pertanyaan yang kita bawa bukanlah: “Seberapa banyak harta yang kita kumpulkan?” tetapi “Seberapa bersih cara kita mengelolanya?”

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

> “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal: … hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi)



Itulah pertanyaan yang menunggu kita semua.

Maka, strategi terbaik bukan hanya ilmu akuntansi atau manajemen risiko, melainkan zuhud dan wara. Itulah manajemen harta gaya sufi: sederhana tapi dalam, spiritual tapi relevan, klasik tapi abadi

Zuhud dan Wara: Strategi Pengelolaan Harta Gaya Sufi "Harta itu di tangan, bukan di hati." Begitulah para sufi menging...

Zuhud dan Wara: Strategi Pengelolaan Harta Gaya Sufi

"Harta itu di tangan, bukan di hati."

Begitulah para sufi mengingatkan. Kalimat sederhana, tapi menyimpan strategi besar dalam mengelola kekayaan. Bagi mereka, urusan harta tidak hanya soal hitung-menghitung untung rugi, melainkan bagaimana hati manusia tetap bebas, tidak diperbudak oleh uang. Dua kunci utamanya adalah zuhud dan wara.

Hari ini, di tengah dunia yang dikuasai jargon “financial freedom”, “return on investment”, dan “wealth management”, ajaran para sufi hadir sebagai cermin. Mereka tidak mengajarkan lari dari harta, melainkan menempatkannya dalam orbit yang benar: sebagai sarana, bukan tujuan.


---

Karakter dan Gaya Hidup Zuhud dan Wara

Zuhud membentuk jiwa yang ringan, tidak terikat oleh kepemilikan. Wara menumbuhkan sikap hati-hati, memastikan setiap langkah dalam rezeki bersih dari syubhat. Jika zuhud melahirkan kesederhanaan, wara melahirkan kehati-hatian.

Gabungan keduanya membentuk karakter unik: tenang dalam menerima rezeki, cermat dalam membelanjakan, dan berani berkata “cukup” ketika dunia menawarkan lebih banyak.


---

Makna Zuhud dalam Penerimaan dan Pengeluaran Harta

Zuhud dalam penerimaan

Zuhud bukan berarti menolak uang. Ia menerima harta dengan syarat: datang dari jalan halal. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)



Artinya, seorang zuhud tidak mengejar rezeki dengan rakus. Ia tidak terjebak pada spekulasi haram, tidak menempuh jalan manipulatif. Ia yakin, rezeki halal lebih bernilai walau sedikit.

Zuhud dalam pengeluaran

Dalam membelanjakan, zuhud menolak gaya hidup berlebihan. Al-Qur’an memperingatkan:

> “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 27)



Seorang zuhud tetap memberi nafkah keluarganya dengan baik, bersedekah dengan lapang, tetapi tidak menghamburkan untuk gengsi. Ia membelanjakan harta dengan kesadaran bahwa uang bukan miliknya, melainkan titipan.


---

Makna Wara dalam Penerimaan dan Pengeluaran Harta

Wara dalam penerimaan

Wara lebih ketat daripada sekadar halal. Ia menghindari perkara samar. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram pun jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang banyak manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa menjaga diri dari yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari-Muslim)



Seorang wara menolak proyek, gaji, atau hadiah yang meragukan sumbernya. Bahkan jika secara hukum boleh, tapi hati masih ragu, ia memilih meninggalkannya.

Wara dalam pengeluaran

Dalam membelanjakan, wara menjaga agar uang tidak mengalir ke hal-hal yang mendatangkan dosa. Ia menghindari investasi di industri haram—judi, riba, minuman keras, atau apa pun yang merusak masyarakat.

Wara adalah filter terakhir, pagar agar harta tidak berubah menjadi bumerang di akhirat.


---

Zuhud dan Wara sebagai Modal Investasi

Orang mungkin bertanya: “Jika zuhud itu menjauh dari dunia, bagaimana bisa menjadi modal investasi?”

Di sinilah letak keindahannya. Zuhud dan wara bukan mengurangi potensi usaha, justru memperkuatnya.

Zuhud menumbuhkan ketenangan jiwa, membuat pengusaha tidak rakus dan mampu mengambil keputusan rasional.

Wara menumbuhkan kepercayaan; mitra dan pelanggan yakin bisnisnya bersih, sehingga reputasinya kokoh.


Dalam bahasa manajemen modern, Stephen Covey menyebut trust (kepercayaan) sebagai mata uang sosial yang mempercepat semua transaksi. Sementara Daniel Goleman, pakar psikologi emosional, menegaskan bahwa integritas adalah bagian dari kecerdasan emosional yang menentukan keberhasilan jangka panjang.

Maka, zuhud dan wara adalah modal tak kasat mata: modal spiritual yang memperkuat modal finansial.


---

Zuhud dan Wara dalam Pengelolaan Bisnis

Mari kita bayangkan seorang pedagang.

Jika ia zuhud, ia tidak menimbun barang demi memanipulasi harga. Ia puas dengan keuntungan wajar.

Jika ia wara, ia tidak berani berbohong dalam timbangan atau laporan.


Gabungan keduanya melahirkan pengusaha yang adil dan dipercaya. Inilah yang disebut bisnis berkelanjutan.

Al-Qur’an memberi pedoman:

> “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)



Ayat ini adalah pedoman strategis: harta boleh dikelola, tetapi tujuannya bukan dunia semata.


---

Para Sufi yang Kaya dan Mengelola Bisnis

Banyak yang mengira sufi identik dengan miskin. Faktanya, ada para sufi dan ulama zuhud yang juga kaya dan pengusaha sukses.

1. Ibnu Sirin (33–110 H)
Seorang tabi’in, ahli tafsir mimpi, sekaligus pedagang tekstil sukses di Basrah. Ia dikenal jujur dan berhati-hati. Harta beliau cukup besar untuk membiayai banyak murid dan fakir miskin.


2. Abdullah bin Mubarak (118–181 H)
Ulama besar, ahli hadits, juga pedagang kaya. Ia rutin menyisihkan hartanya untuk jihad, dakwah, dan murid-murid. Dalam satu perjalanan haji, beliau pernah menafkahkan 100.000 dinar untuk fakir miskin.


3. Al-Laits bin Sa‘d (94–175 H)
Ulama Mesir, hartanya luar biasa. Imam Syafi’i berkata: “Al-Laits lebih kaya daripada Malik, tetapi ia lebih dermawan.” Beliau pernah mengeluarkan zakat sekitar 70.000 dinar dalam setahun.


4. Imam Abu Hanifah (80–150 H)
Pendiri mazhab Hanafi, seorang pedagang kain. Keuntungan bisnisnya bisa mencapai 20.000 dirham dalam satu musim. Ia menolak hadiah penguasa dan lebih memilih hidup dari usaha sendiri.



Mereka kaya, tetapi tetap zuhud. Harta mereka mengalir, bukan menetap.


---

Relevansi Zuhud dan Wara di Dunia Modern

Hari ini, orang mengejar kekayaan tetapi justru terikat hutang dan gaya hidup konsumtif. Di sinilah ajaran zuhud dan wara relevan.

Zuhud mengajarkan minimalisme—mirip dengan tren mindful spending dalam psikologi modern.

Wara mengajarkan etika bisnis—selaras dengan konsep sustainable business dalam ekonomi modern.


Jika dunia kapitalisme sering berakhir pada keserakahan, maka strategi sufi justru menawarkan keberlanjutan: hati tenang, harta berkah, bisnis bertahan.


---

Penutup: Harta di Tangan, Bukan di Hati

Pada akhirnya, pertanyaan yang kita bawa bukanlah: “Seberapa banyak harta yang kita kumpulkan?” tetapi “Seberapa bersih cara kita mengelolanya?”

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

> “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal: … hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi)



Itulah pertanyaan yang menunggu kita semua.

Maka, strategi terbaik bukan hanya ilmu akuntansi atau manajemen risiko, melainkan zuhud dan wara. Itulah manajemen harta gaya sufi: sederhana tapi dalam, spiritual tapi relevan, klasik tapi abadi

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)