Waspadai! Dongeng Palsu dan Israiliyat dalam Sejarah Penciptaan Langit dan Bumi
Kisah Israiliyat tentang Ikan Lutsa
Sebagian besar kalangan ahli tafsir bil ma'tsur, termasuk juga para ahli tafsir birra'yi meriwayatkan cerita aneh dalam kisah penciptaan langit dan bumi. Di antaranya, diriwayatkan Ath-Thabari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Makhluk pertama yang diciptakan Allah swt adalah pena, Allah swt berfirman, "Tulislah!" Pena bertanya, "Apa yang aku tulis?" Allah swt berfirman, "Tulislah takdir!" Pena kemudian menulis apa yang akan terjadi sejak hari itu hingga hari kiamat terjadi.
Setelah itu, Allah swt menciptakan ikan, mengangkat air, lalu darinya Allah swt menciptakan langit. Bumi kemudian dibentangkan di atas punggung ikan. Ikan kemudian bergerak-gerak, lalu bumi membentang luas. Bumi kemudian dikuatkan dengan gunung-gunung, dan gunung membanggakan dirinya terhadap bumi."
Mujahid menafsirkan "nun" sebagai ikan yang ada dibawah bumi seperti disebutkan dalam riwayat di atas.
Ka'ab berkata, "Nama ikan itu adalah Lutsutsa." Dia juga menyebut Balhmutsa."
Dari Murrah al-Handani, dari Ibnu Mas'ud dan sejumlah sahabat Rasulullah saw terkait firman Allah swt, "Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit." (Al-Baqarah: 29)
Ibnu Abbas berkata, "Arasy Allah berada di atas air. Allah tidak menciptakan apa pun selain yang Dia ciptakan sebelum menciptakan air, lalu asap membumbumg di atas air hingga tinggi, sehingga Allah menyebutnya langit. Setelah itu air mengering, lalu Allah menjadikannya satu bumi. Setelah itu, Allah swt memisahkannya, lalu menjadikannya tujuh bumi dalam dua hari, hari ahad dan senin.
Allah swt kemudian menciptakan bumi di atas ikan. Ikan inilah yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an: "Nun, Demi pena."
Ikan berada di air. Air berada di atas batu. Batu berada di punggung malaikat. Malaikat berada di atas bongkahan batu besar berada di angin. Inilah batu yang disebutkan oleh Luqman, batu tersebut tidak berada di langit dan tidak pula berada di bumi.
Ikan kemudian bergerak-gerak hingga mengguncang bumi. Allah swt kemudian memperkokoh bumi di atasnya dengan gunung-gunung, hingga bumi menjadi tenang. Lalu, gunung-gunung membanggakan dirinya atas bumi. Itulah Allah swt berfirman, "Dan Kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia tidak guncang bersama mereka." (Al-Anbiya: 31)
Allah swt kemudian menciptakan gunung-gunung di bumi, menciptakan makanan untuk para penghuni bumi, menciptakan pepohonan bumi, dan apa saja yang patut untuk bumi dalam waktu dua hari, Selasa dan Rabu.
Itulah firman-Nya,
Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(Fuṣṣilat [41]:9)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
(Fuṣṣilat [41]:10)
Asap itu muncul dari nafas air, saat mengeluarkan nafas. Setelah itu Allah menjadikan asap itu menjadi satu langit. Lalu Allah swt memisahkannya, kemudian menjadinya tujuh langit dalam waktu dua hari, Kamis dan Jumat.
Disebutkan Jumat, karena pada hari itu Allah swt menyatukan penciptaan langit dan bumi, "Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan).669) Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."
(Fuṣṣilat [41]:12)
Ibnu Abbas berkata, "Allah swt menciptakan para malaikat di setiap langit, dan menciptakan makhluk yang ada di dalamnya, seperti lautan, gunung, suhu dingin, dan makhluk lainnya yang tidak Dia beritahukan kepada siapapun.
Setelah itu Allah swt menghiasi langit paling rendah dengan bintang-bintang, lalu menjadikannya hiasan dan penjaga yang melindunginya dari setan. Setelah usai menciptakan, Allah swt bersemayam di atas Arasy.
Itulah ketika Dia berfirman, "
Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha Berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam.
(Al-A‘rāf [7]:54)
Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih pada waktu malam dan siang dengan tidak henti-hentinya.
(Al-Anbiyā' [21]:20)
Namun, uniknya terkait riwayat ini, kitab-kitab tafsir metode bil ma'tsur menyebutkan riwayat ini hingga tidak ada satu pun di antara mereka yang ketinggalan. Ini menunjukkan betapa berbahayanya kisah Israiliyat dan riwayat yang maudhu.
Beberapa catatan terkait dongeng ini:
1. Riwayat ini mirip sekali dengan kisah yang disebutkan dalam Kitab Kejadian (II/1-2). Kitab ini adalah salah satu kitab Taurat.
2. Ibnu Abbas tidak ada sangkut pautnya dengan riwayat ini, karena rangkaian sanad riwayat ini adalah rangkaian sanad palsu oleh As-Suddi dan Abu Shalih.
3. Ibnu Mas'ud juga tidak ada sangkut pautnya dengan riwayat ini, karena perwayatannya dusta.
4. Dongeng dusta ini sebagaimana yang sama-sama kita ketahui, berseberangan dengan nash syariat, karena Allah swt berfirman,
"Sesungguhnya Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."
(Fāṭir [35]:41)
5. Terkait ikan bernama Lutsa, ikan ini sendiri merupakan kebohongan yang sama sekali tidak disebutkan dalam satu nash pun, tidak dinyatakan seorang sahabat pun, tidak dibuktikan oleh ilmu. Kuat dugaan ini, segaja ditambahkan oleh kaum Zindiq untuk menyita perhatian agar menjauhkan muslimin dari aqidah dan pemahaman yang benar.
2. Ragam Dongeng Dusta Lainnya
Abu Nu'aim meriwayatkan dari Kaab Al-Ahbar, bahwa Iblis masuk ke dalam tubuh ikan yang bumi berada dipunggungnya. Iblis kemudian berbisik ke dalam hati ikan. Iblis berkata, "Tahukah kamu, wahai Lutsa (Ikan), aia saja umat, pepohonan, hewan, manusia, dan gunung yang ada di atas punggungmu? Andai kamu mengibaskan mereka, tentu kamu membuat mereka semua terlempar dari punggungmu."
Lutsa bermaksud melakukan hal itu. Allah swt kemudian mengirim hewan lalu masuk ke dalam hidungnya. Kemudian ikan berusaha menghalau hewan tersebut dengan doa, hingga akhirnya hewan itu keluar.
Kaab berkata, "Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, ikan melihat hewan itu dan hewan itu juga menatap ikan. Jika si ikan berniat mengibaskan bumi, hewan itu kembali masuk ke dalam hidungnya."
Wahab bin Munabih berkata, "Ketika Allah menciptakan bumi, bumi membentang di atas permukaan air. Allah swt kemudian berfirman kepada Jibril, "Kokohkan bumi ini wahai Jibril." Jibril pun kemudian turun lalu memegang bumi. Jibril tidak kuasa diterpa angin kencang, lalu ia berkata, "Ya Rabb! Engkau tahu, aku tidak kuasa." Allah swt kemudian meneguhkan bumi dengan gunung-gunung.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Ad-Durr Al-Mantsur, dari Abusy Syaikh dari Salman Al-Farisi, ia berkata, "Langit paling rendah berupa zamrud hijau namanya Ruqaia. Langit kedua terbuat dari perak putih bernama Aqlun. Langit ketiga terbuat dari yaqut merah bernama Qaidun. Langit keempat terbuat dari mutiara putih bernama Ma'una. Langit kelima terbuat dari emas merah bernama Raiqa. Langit keenam terbuat dari yaqut kuning bernama Dafna. Dan langit ketujuh terbuat dari cahaya bernama Arabia."
Ath-Thabari meriwayatkan dari Rabi bin Anas, bahwa ia berkata, "Langit pertama berupa gelombang yang tertahan, langit kedua berupa bongkahan batu, langit ketiga berupa besi, langit keempat berupa perunggu, langit ke lima berupa perak, langit ke enam berupa emas, langit ke tujuh berupa yaqut."
Qatadah berkata, "Empat malaikat bertemu di ruang antara langit dan bumi, lalu mereka saling berbincang, "Darimana engkau datang?" Seorang malaikat berkata, "Rabbku mengutusku dari langit ketujuh dan aku meninggalkan-Nya disana." Yang lain menjawab, "Rabbku mengutusku dari barat dan aku meninggalkan-Nya di sana."
Seperti itulah keterangan palsu tentang ruang dan waktu bagi langit dan bumi.
Tetapi, semuanya tidak ditemukan satu pun landasan dalilnya, baik dari Al-Qur’an atau pun As-Sunnah. Juga, tidak ditemukan teks yang menguatkan keterangan ini dalam warisan kisah Israiliyat.
Teks sahih terhadap peristiwa-peristiwa tersebut adalah firman Allah swt sebagai berikut,
Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(Fuṣṣilat [41]:9)
Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
(Fuṣṣilat [41]:10)
Dia kemudian menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap. Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Tunduklah kepada-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami tunduk dengan patuh.”
(Fuṣṣilat [41]:11)
Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
(Fuṣṣilat [41]:12)
Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan
(An-Naba' [78]:6)
dan gunung-gunung sebagai pasak?
(An-Naba' [78]:7)
Kami membangun tujuh (langit) yang kukuh di atasmu.
(An-Naba' [78]:12)
Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari).
(An-Naba' [78]:13)
Ini menunjukkan -seperti yang disebutkan Al-Bukhari dan Ibnu Abbas- bahwa bumi diciptakan Allah dalam dua hari, kemudian setelah itu Allah swt menciptakan langit, setelah itu Allah swt menuju ke langit lalu menyempurnakannya dalam dua hari lainnya, setelah itu Allah swt menghamparkan bumi, mengeluarkan air dan rerumputan darinya, menciptakan gunung-gunung, perbukitan dan apa saja yang ada di antara keduanya dalam dua hari lainnya. Itulah firman Allah swt,
Setelah itu, bumi Dia hamparkan (untuk dihuni).
(An-Nāzi‘āt [79]:30)
Langit diciptakan setelah bumi, seperti itu yang dinyatakan Ibnu Katsir, dia berkata, "Seperti itulah jawaban sejumlah ulama tafsir dulu dan sekarang."
Cerita yang Menakjubkan, Bermanfaatkah?
Riwayat-riwayat klasik tersebut tersebar dalam kitab tafsir, ada kisah yang kerap memancing rasa takjub dan sekaligus tanda tanya: bumi disebut berdiri di atas seekor ikan raksasa bernama Lutsa (atau Balhmutsa), yang berenang di lautan purba di bawah Arasy Allah. Cerita ini muncul dalam sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur seperti karya Ath-Thabari dan As-Suyuthi, bahkan juga disinggung oleh sebagian ahli tafsir bir-ra’yi. Namun, para ulama belakangan menegaskan, kisah itu lebih dekat pada dongeng Israiliyat daripada kebenaran wahyu.
Awal Riwayat: Dari Pena ke Ikan Lutsa
Ath-Thabari meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah pena. Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” dan pena pun menulis takdir hingga Hari Kiamat. Setelah itu, disebutkan bahwa Allah menciptakan air, lalu ikan, dan menjadikan bumi di atas punggung ikan itu. Ketika ikan bergerak, bumi berguncang, hingga Allah meneguhkannya dengan gunung-gunung. Mujahid bahkan menafsirkan kata “Nun” dalam surah Al-Qalam sebagai nama ikan tersebut.
Riwayat ini kemudian berkembang melalui periwayatan Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih—dua tokoh yang dikenal sebagai perantara kisah-kisah Bani Israil yang masuk ke dalam literatur Islam awal. Di sinilah nama ikan Lutsa muncul pertama kali, diikuti deskripsi fantastis: di bawah ikan ada air, di bawah air ada batu, di bawah batu ada malaikat, dan di bawah malaikat ada tiupan angin besar yang menahan semuanya.
Jejak Kitab Kejadian dan Bayang-bayang Israiliyat
Para peneliti tafsir modern menemukan kesamaan mencolok antara kisah ini dan narasi dalam Kitab Kejadian (Genesis) dalam Taurat. Dalam kitab itu, bumi juga digambarkan mengapung di atas air, sedangkan langit diciptakan dari “asap” yang naik dari samudra purba. Kesamaan ini membuat para ulama menilai, riwayat tentang ikan Lutsa kemungkinan besar merupakan pengaruh dari tradisi Yahudi kuno yang kemudian disisipkan dalam riwayat-riwayat tafsir awal.
Imam Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menolak kisah tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil sahih dari Rasulullah ﷺ maupun sahabat yang menjelaskan bentuk penciptaan semacam itu. Ia menulis, “Allah telah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan tidak ada seorang pun selain-Nya yang mampu menahannya.” (merujuk pada QS. Fathir: 41).
Begitu pula, Ibnu Taimiyah menilai riwayat semacam ini sebagai bentuk tadakhul Israiliyat — penyusupan kisah non-syar’i yang masuk melalui perawi dari kalangan ahli kitab yang telah masuk Islam.
Rangkaian Dongeng Lain yang Mewarnai Tafsir
Kisah ikan Lutsa hanyalah satu dari banyak riwayat aneh dalam tafsir klasik. Ada pula versi lain yang diriwayatkan Abu Nu’aim dari Ka’ab al-Ahbar: bahwa iblis masuk ke dalam tubuh ikan itu dan berbisik agar ikan mengguncang bumi untuk menumpahkan makhluk di atasnya. Ketika ikan hendak melakukannya, Allah mengirim hewan kecil yang masuk ke hidungnya hingga ia berhenti. Cerita-cerita semacam ini menampilkan drama kosmis yang menarik, namun tak memiliki pijakan dalam wahyu.
As-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur bahkan menyebut rincian langit tujuh lapis dengan bahan yang berbeda-beda — dari zamrud, perak, hingga cahaya — yang jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Begitu pula dengan riwayat tentang malaikat yang berpindah tempat dari barat ke langit ketujuh dan menemukan “Rabb di sana”, yang ditolak keras oleh para ahli aqidah karena mengandung pemahaman tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).
Koreksi Para Mufassir dan Ulama Akidah
Ulama besar seperti Al-Bukhari, Ibnu Katsir, As-Sa’di, dan Sayyid Qutb bersepakat bahwa Al-Qur’an hanya menjelaskan penciptaan langit dan bumi dalam kerangka waktu enam masa, tanpa menyinggung unsur fantastik apa pun. Mereka mengutip ayat-ayat seperti QS. Fushshilat (9–12) dan QS. An-Nazi’at (27–33), yang menegaskan bahwa bumi diciptakan dalam dua masa, langit dalam dua masa, dan penyempurnaannya dalam dua masa berikutnya — total enam masa.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an menulis,
“Hari-hari itu adalah di antara hari-hari Allah yang hanya Dia yang mengetahui panjang dan hakikatnya. Tidak layak bagi manusia menafsirkan dengan ukuran waktu dunia.”
Pernyataan ini menjadi dasar pandangan modern bahwa urutan penciptaan tidak harus dimaknai secara materialistik, melainkan dalam dimensi kehendak dan ketetapan ilahi yang melampaui ruang dan waktu.
Dari Kisah ke Akidah: Pelajaran Penting
Banyak mufassir modern mengingatkan, bahaya terbesar dari kisah Israiliyat bukanlah pada bentuk ceritanya, melainkan pada pengaruhnya terhadap akidah. Jika umat menerima dongeng-dongeng itu sebagai kebenaran wahyu, maka pemahaman tauhid menjadi kabur, dan keagungan Allah bisa tereduksi oleh imajinasi makhluk.
Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia.” (QS. Fathir: 41)
Ayat ini menutup seluruh perdebatan — bahwa kekuasaan Allah atas alam semesta tidak bertumpu pada ikan, gunung, atau makhluk apa pun. Langit dan bumi tegak bukan karena struktur fisik, melainkan karena kehendak dan ketetapan-Nya.
---
Refleksi: Menyaring Antara Wahyu dan Dongeng
Riwayat Israiliyat memang bagian dari sejarah penulisan tafsir Islam, terutama di masa awal ketika banyak mualaf dari kalangan Yahudi masuk Islam. Mereka membawa pengetahuan kitab terdahulu dan kadang menyampaikannya dengan semangat berbagi. Namun, tidak semua yang dibawa mereka dapat diterima sebagai kebenaran syar’i.
Karena itu, kewaspadaan terhadap kisah-kisah palsu dalam tafsir bukanlah bentuk menolak tradisi klasik, melainkan upaya menjaga kemurnian wahyu. Sebab, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Cukup seseorang berdusta jika ia menceritakan setiap hal yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Dan di tengah banjir informasi religius hari ini, peringatan itu menjadi semakin relevan. Karena di antara kebenaran wahyu dan daya tarik kisah, manusia sering kali lebih terpikat pada dongeng yang menawan daripada pada kebenaran yang menegakkan iman.
--------
Evolusi Penafsiran Penciptaan Langit dan Bumi dalam Tradisi Tafsir Islam
Sejarah tafsir Islam tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh di tengah arus pengetahuan, perjumpaan peradaban, dan gelombang pemikiran teologis yang berbeda-beda. Dalam isu penciptaan langit dan bumi, jejak itu terlihat jelas: dari tafsir klasik yang kental dengan riwayat Israiliyat, hingga tafsir modern yang menempatkan wahyu dalam horizon ilmiah dan spiritual.
Ath-Thabari dan Era Riwayat yang Melimpah
Abad ke-3 Hijriah menandai masa penyusunan besar-besaran tafsir berbasis riwayat (tafsir bil ma’tsur). Tokohnya yang paling monumental adalah Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), penulis Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an.
Ath-Thabari dikenal sangat teliti dalam menyusun sanad riwayat, tetapi ia tidak selalu menyaring validitas isinya. Ia mencatat semua versi penjelasan ayat, baik yang kuat maupun yang lemah, lalu menyerahkan penilaian akhir kepada pembaca dan ulama sesudahnya.
Dalam tafsir surah Al-Qalam (68): 1 — “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis” — beliau mencantumkan kisah ikan raksasa yang memikul bumi, tanpa memberikan keputusan akhir apakah kisah itu sahih atau tidak. Inilah cermin dari semangat ilmiah pada zamannya: menghimpun sebanyak mungkin sumber, meski sebagian berakar pada tradisi Yahudi-Kristen.
Namun di balik itu, tafsir Ath-Thabari tetap menjadi tonggak metodologis, karena ia memisahkan antara riwayat dari Nabi ﷺ, sahabat, tabi’in, dan pendapat pribadinya. Dengan cara itu, Ath-Thabari sebenarnya sedang membangun fondasi kritik tafsir, meski bentuknya belum seperti kritik sanad dalam ilmu hadits.
Ibn Katsir dan Upaya Penjernihan Aqidah
Tiga abad kemudian, muncul seorang ulama besar dari Syam: Ismail bin Umar Ibn Katsir (w. 774 H). Melalui karyanya Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, ia menata ulang pendekatan tafsir dengan semangat tashfiyah (pemurnian).
Ibn Katsir menolak kisah-kisah yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, termasuk cerita penciptaan bumi di atas ikan. Ia menegaskan bahwa “Israiliyat hanya boleh diriwayatkan untuk diketahui, bukan untuk diyakini.”
Menurutnya, Al-Qur’an sudah cukup menjelaskan secara tegas proses penciptaan langit dan bumi:
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (QS. Al-A’raf [7]:54)
Bagi Ibn Katsir, enam masa tersebut bukan hitungan hari dunia, tetapi fase-fase kehendak Allah dalam mencipta, mengatur, dan menyempurnakan makhluk. Tidak ada ruang bagi kisah-kisah mitologis di dalamnya.
Al-Suyuthi dan Tradisi Kompilasi Ulama Mesir
Memasuki abad ke-9 H, Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) menulis Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur. Ia berusaha mengumpulkan seluruh riwayat tafsir dari berbagai sumber, termasuk Israiliyat.
Meskipun dikritik karena memuat kisah-kisah fantastik seperti tujuh langit yang tersusun dari logam mulia dan batu permata, niat As-Suyuthi sebenarnya adalah dokumentatif. Ia ingin menyelamatkan warisan tafsir klasik dari kepunahan, bukan meneguhkan kebenarannya. Dalam pengantar kitabnya, ia menulis, “Aku kumpulkan semua riwayat agar ulama setelahku bisa menimbangnya.”
Namun, di masa-masa inilah tafsir Islam mulai berinteraksi dengan logika kosmologi Yunani dan doktrin Neoplatonis. Alam semesta mulai dibahas dengan bahasa “lapisan-lapisan” dan “unsur-unsur”, bukan semata wahyu. Di sinilah garis antara tafsir dan filsafat mulai kabur.
Era Modern: Sayyid Qutb dan Tafsir Saintifik-Spiritual
Lompatan besar terjadi di abad ke-20, ketika Sayyid Qutb (w. 1966 M) menulis Fi Zhilal al-Qur’an. Dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan, Qutb tidak lagi berbicara tentang bentuk atau susunan langit dan bumi, melainkan tentang makna keberadaan.
Baginya, proses penciptaan adalah simbol kehendak Allah yang terus berlangsung. Alam bukanlah sekadar ciptaan yang selesai, tetapi tajalli (manifestasi terus-menerus) dari sifat Al-Khaliq (Sang Pencipta). Ia menulis:
“Hari-hari penciptaan adalah hari-hari Allah. Panjangnya tidak diketahui manusia. Namun, ia menunjukkan kesinambungan kehendak Allah dalam menata kosmos dan kehidupan.”
Pemikiran Qutb membuka jalan bagi generasi tafsir modern yang lebih ilmiah dan spiritual. Di masa kini, mufassir seperti Syaikh Sa’id Hawwa, Fakhruddin ar-Razi, hingga Wahbah az-Zuhaili menggabungkan pendekatan tafsir klasik dengan pengetahuan astronomi modern — tanpa menabrak makna nash.
Mereka melihat bahwa langit dan bumi bukan benda statis, melainkan sistem yang tunduk pada hukum ilahi yang disebut sunnatullah. Dan di sinilah Al-Qur’an tampil sebagai kitab yang hidup: tidak menjelaskan rincian teknis penciptaan, tetapi mengajak manusia berpikir tentang hikmah di baliknya.
Dari Mitos ke Makna
Kini, di tengah kebangkitan spiritual dan sains, umat Islam dihadapkan pada pilihan: apakah hendak mempertahankan kisah dongeng yang mengundang decak kagum tapi melemahkan akidah, atau kembali kepada keindahan tauhid yang diajarkan Al-Qur’an?
Para ulama sepakat, tugas umat bukan membongkar rahasia penciptaan secara fisik, melainkan memahami pesan moralnya: bahwa semua yang ada tunduk kepada kehendak Allah, dan manusia hanyalah khalifah yang dititipi bumi untuk dijaga.
Syaikh As-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman menulis:
“Allah menciptakan langit dan bumi bukan main-main. Ia ciptakan dengan hikmah, agar manusia mengenal-Nya melalui ciptaan-Nya.”
---
Penutup: Menyaring dengan Hati yang Beriman
Dari Ath-Thabari hingga Sayyid Qutb, dari riwayat Lutsa hingga makna tajalli, perjalanan tafsir Islam menunjukkan evolusi pemahaman dari bentuk menuju makna, dari kisah menuju kesadaran tauhid.
Dan mungkin, inilah pelajaran paling berharga: bahwa setiap zaman memiliki caranya sendiri dalam membaca wahyu. Namun, yang harus tetap sama adalah rasa tunduk dan hormat kepada Sang Pencipta.
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan kebenaran dan waktu yang telah ditentukan.”
(QS. Al-Ahqaf [46]: 3)
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif