Ketika Kebenaran Sudah Dihidangkan: Kesibukan Muslimin di Zaman yang Sibuk
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Mā’idah [5]: 3)
---
1. Peradaban yang Sibuk Memasak Kebenaran
Sejak awal sejarah manusia, peradaban besar tumbuh dari satu dorongan yang sama: mencari kebenaran. Yunani melahirkan para filsuf yang berdebat tentang hakikat wujud dan sumber kebijaksanaan. India menelusuri jalan batin melalui yoga dan tapasya. Tiongkok menimbang keseimbangan antara langit dan bumi melalui ajaran Tao dan Konfusianisme. Barat modern pun terus meneliti realitas melalui sains dan empirisme.
Mereka adalah bangsa-bangsa yang sibuk memasak kebenaran. Mereka menggiling ide, menakar teori, merebus argumen, menumis pertanyaan—berharap suatu saat akan menemukan rasa sejati dari kehidupan. Kebenaran bagi mereka seperti hidangan misterius yang harus diolah lewat banyak percobaan dan kegagalan.
Namun, di tengah dapur peradaban dunia yang hiruk-pikuk itu, umat Islam sesungguhnya tidak dipanggil untuk ikut memasak ulang. Sebab, hidangan kebenaran telah disajikan langsung oleh Allah.
Ia halal—karena datang dari sumber yang suci,
dan tayyib—karena baik bagi fitrah dan akal manusia.
---
2. Kebenaran yang Sudah Siap Saji
Ketika Nabi ﷺ diutus, manusia bukan lagi berada di zaman kebingungan tanpa cahaya. Wahyu turun bukan untuk menambah daftar teori, tetapi untuk menutup pencarian. Itulah mengapa Allah menamakan Islam sebagai dien al-haqq — agama kebenaran itu sendiri.
Al-Qur’an bukan sekadar petunjuk moral, tetapi peta ontologis bagi seluruh realitas: dari alam semesta, sejarah, hingga masa depan akhirat. Semua sudah tersusun rapi, lengkap, dan menyeluruh. Karena itu, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafātih al-Ghaib mengatakan:
“Barang siapa mencari kebenaran di luar Al-Qur’an, maka ia akan tersesat. Sebab seluruh jalan kebenaran sudah dihimpun di dalamnya, baik yang nyata maupun tersembunyi.”
Maka umat Islam tidak lagi diperintahkan untuk menemukan kebenaran, tetapi untuk mengenali dan menjalankannya. Seperti seseorang yang sudah dihidangkan makanan lezat, ia tidak perlu memasak lagi—ia hanya perlu bersyukur dan memakannya dengan adab.
---
3. Pondasi yang Sudah Tuntas
Peradaban Islam dibangun di atas fondasi yang sudah tuntas: wahyu yang sempurna, sunnah yang menjelaskan, dan akal yang menjadi alat untuk memahami keduanya. Tidak ada yang perlu ditambah, hanya perlu dikembangkan dalam amal dan kehidupan.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menulis bahwa puncak peradaban Islam muncul ketika umat berpegang pada ilmu yang pasti—yakni wahyu—dan menjadikannya dasar bagi sains, politik, dan etika. Begitu umat mengganti wahyu dengan opini, maka kekuatan spiritualnya melemah, dan peradaban mulai terpecah.
Pernyataan Ibnu Khaldun ini menjelaskan satu hal penting:
Muslimin seharusnya tidak sibuk dengan pertanyaan yang sudah dijawab oleh wahyu, tetapi sibuk menerjemahkan jawaban itu dalam tindakan.
Ketika Barat berdebat tentang apakah Tuhan ada, Islam sudah menjawab dengan kalimat yang paling padat sekaligus paling dalam: Lā ilāha illā Allāh.
Ketika filsuf modern berdebat apakah kehidupan memiliki makna, Al-Qur’an telah menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 56)
Maka fondasi Islam bukan lagi pencarian kebenaran, tetapi pengamalan kebenaran.
---
4. Kesibukan yang Salah Arah
Namun, apa yang terjadi hari ini?
Muslimin justru tampak sibuk—tetapi sering kali dengan arah yang salah.
Kita sibuk memperdebatkan apa yang sudah pasti.
Sibuk membuktikan apa yang sudah jelas.
Sibuk menafsirkan ulang apa yang sudah disepakati para ulama.
Sibuk meniru metode Barat untuk menjelaskan kebenaran yang sudah diwahyukan oleh Tuhan semesta alam.
Kita membangun seminar untuk membahas “apakah syariat masih relevan,” seolah-olah wahyu tunduk pada opini zaman. Kita menghabiskan energi untuk mendefinisikan ulang makna jihad, keadilan, bahkan Tuhan, dengan memakai kerangka berpikir yang justru lahir dari dunia sekuler yang kehilangan arah.
Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Imam al-Ghazali:
“Barang siapa mencari kebenaran dengan akal setelah wahyu turun, maka ia seperti orang yang mencari lampu di siang hari.”
Artinya, ketika cahaya wahyu sudah menyinari seluruh ruang, orang yang masih mencari kebenaran melalui debat akal semata hanyalah memperpanjang kebingungan. Ia sibuk, tapi tak sampai. Ia cerdas, tapi tidak sampai pada hikmah.
---
5. Dari Pencarian ke Penegakan
Bila kebenaran sudah disajikan Allah, maka kesibukan Muslimin semestinya bergeser:
Dari mencari menjadi menegakkan.
Dari mengira menjadi menjalankan.
Dari berbicara menjadi berbuat.
Tugas besar kita bukan “mendefinisikan Islam,” tetapi menghidupkan Islam di tengah dunia yang mati. Bukan mengulang teori keislaman, tetapi menegakkan keadilan, menebarkan rahmat, menampilkan akhlak Rasulullah ﷺ dalam bentuk nyata: pemerintahan yang adil, masyarakat yang jujur, ilmu yang membawa manfaat, dan ekonomi yang berkeadilan.
Di sinilah peran sejarah menjadi penting.
Sebab sejarah Islam adalah catatan tentang bagaimana kebenaran itu dihidupkan.
Ketika Nabi membangun Madinah, beliau tidak berdebat tentang konsep negara—beliau langsung menegakkan sistem yang berpihak pada iman dan keadilan.
Ketika Umar bin Khattab memerintah, beliau tidak sibuk menulis teori ekonomi—beliau membangun baitul mal yang menyejahterakan rakyat.
Ketika Imam Malik menulis al-Muwaththa, beliau tidak sekadar mencatat hukum—beliau menata ulang masyarakat agar hidup selaras dengan hukum Allah.
Mereka semua tidak sibuk mencari kebenaran, karena mereka hidup dalam kebenaran. Yang mereka sibukkan hanyalah menjadikan kebenaran itu nyata di bumi.
---
6. Ketika Wahyu Ditinggalkan
Ironinya, peradaban Muslimin mulai melemah bukan karena kehilangan kecerdasan, tetapi karena kehilangan fokus.
Wahyu ditinggalkan, sementara dunia dijadikan kiblat baru.
Kita menilai sukses dengan ukuran Barat, mengukur moral dengan logika sekuler, dan menakar kemajuan dengan parameter material. Padahal, dalam pandangan Islam, ukuran keberhasilan bukanlah kuantitas capaian, tetapi kualitas ketaatan.
Rasulullah ﷺ tidak meninggalkan bangunan megah atau kekayaan besar, tetapi meninggalkan manusia yang beriman. Itulah peradaban sejati.
Ketika umat mulai sibuk dengan “bagaimana tampil hebat” dan lupa pada “bagaimana taat,” maka ia seperti orang yang sibuk menghias meja tetapi lupa bahwa hidangannya telah basi. Ia sibuk mencari bentuk, tapi kehilangan isi.
---
7. Kembali ke Meja Hidangan
Kebenaran dalam Islam bukan hasil olahan manusia, tetapi jamuan Tuhan.
Allah telah menyiapkannya dalam bentuk yang paling lengkap—Al-Qur’an, Sunnah, dan warisan ilmu para ulama. Kebenaran itu tidak membutuhkan penambahan, hanya penghayatan. Tidak memerlukan modifikasi, hanya pengamalan.
Kita dipanggil bukan untuk menjadi chef kebenaran baru, tapi untuk menjadi penikmat dan penyampai hidangan Ilahi itu.
Sebagaimana firman Allah:
“Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 172)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang makanan fisik, tetapi juga tentang makanan ruhani: ilmu dan petunjuk. Wahyu adalah makanan jiwa yang halalan thayyiban, dan manusia diperintah untuk menikmatinya dengan syukur.
Maka kesibukan kita seharusnya adalah menyebarkan hidangan ini kepada dunia—menjadi pelayan kebenaran, bukan koki yang sibuk mengubah resep Tuhan.
---
8. Amal Sebagai Puncak Ilmu
Imam Malik pernah berkata, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”
Ini menegaskan bahwa puncak dari mengenal kebenaran adalah mengamalkannya.
Setiap ilmu Islam—dari fiqih, tafsir, hadits, hingga sejarah—tidak pernah dimaksudkan hanya untuk dipahami, melainkan untuk diamalkan. Itulah yang membedakan ilmu Islam dengan ilmu sekuler. Dalam Islam, ilmu adalah jalan menuju taqwa.
Karena itu, umat Islam hari ini harus berhenti menjadikan “diskusi” sebagai puncak pencapaian. Seminar, simposium, dan perdebatan tidak akan melahirkan peradaban bila tidak disertai amal yang nyata. Rasulullah ﷺ tidak membangun umat dengan wacana, tetapi dengan perbuatan yang berakar dari wahyu.
---
9. Menyadari Kesempurnaan, Bukan Menunda Tindakan
Kesempurnaan Islam bukan alasan untuk berpuas diri, tetapi panggilan untuk bersegera beramal.
Jika wahyu sudah lengkap, maka alasan untuk menunda ketaatan sudah hilang.
Setiap hari, umat Islam memulai shalat dengan kalimat: “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn.”
Itu bukan deklarasi pencarian, tetapi deklarasi pengabdian.
Kita tidak berkata, “Kami mencari-Mu,” tetapi “Kami menyembah-Mu.”
Karena kebenaran bukan lagi teka-teki, melainkan janji dan tanggung jawab.
---
10. Kesimpulan: Menjadi Pelayan Kebenaran
Maka jika hari ini kita bertanya, “Apa kesibukan Muslimin bila kebenaran sudah disajikan Allah?”, jawabannya jelas:
Kesibukan kita adalah menjaga, menghidupkan, dan menyebarkan kebenaran itu dengan amal.
Kita harus menjadi saksi atas kebenaran itu di muka bumi, sebagaimana Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasath (tengah, adil), agar kamu menjadi saksi atas manusia, dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Tugas kita bukan membangun agama baru, tetapi menghidupkan agama yang telah sempurna.
Bukan mencari Tuhan, tetapi berjalan bersama-Nya dalam amal.
Bukan memperdebatkan wahyu, tetapi menjadikannya cahaya di setiap langkah.
Peradaban lain masih sibuk memasak untuk menemukan kebenaran;
Muslimin telah disajikan kebenaran.
Yang tersisa hanyalah pertanyaan paling tajam:
Apakah kita masih duduk di meja jamuan itu—atau telah berdiri dan pergi karena sibuk sendiri?
L
0 komentar: