Siapakah yang Menghidupkan Kembali Pemikiran Aristoteles dari Kepunahan? Bukan Barat Tetapi Ulama Islam
Prolog: Bayangan dari Lyceum
Di perpustakaan-perpustakaan Eropa, debu yang menempel di naskah tua sering kali lebih jujur daripada catatan sejarah.
Pada lembar-lembar perkamen yang lapuk, nama-nama seperti Aristoteles, Al-Farabi, dan Ibn Sina muncul bersandingan—seolah tiga zaman yang jauh telah duduk semeja, berdiskusi tentang hakikat akal dan Tuhan.
Di sinilah Alfred Guillaume (1888–1966), orientalis dan sejarawan besar dari Inggris, menulis sebuah pengakuan yang jarang terdengar di Barat: bahwa “semua temuan pemikiran filosof Barat pada abad pertengahan sejatinya adalah falsafat Islam, sebab orang Barat pada masa itu tidak mengerti filsafat bila tidak belajar pada ulama Islam.”
Dalam penelitiannya yang merujuk pada Dominique Condisalve dari lembaga keuskupan Cekoslovakia, Guillaume menunjukkan fakta yang mengguncang: orang Kristen Barat baru mengenal Aristoteles melalui Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd.
Aristoteles memang lahir di Yunani, tapi ia hidup kembali di tangan para ulama Islam.
---
I. Api yang Hampir Padam
Zaman Yunani runtuh, Romawi hancur, dan Eropa tenggelam ke dalam gelap iman tanpa nalar.
Di biara-biara kecil, para pendeta menyalin kitab suci dengan tangan gemetar, tetapi tak satu pun berani membuka risalah logika atau metafisika Aristoteles.
Bagi banyak teolog awal, akal adalah pintu menuju kesesatan.
Dalam keheningan panjang itu, karya Aristoteles—tentang logika, etika, politik, dan metafisika—lenyap dari pandangan Barat.
Buku-buku yang pernah memenuhi Lyceum Athena kini terserak di reruntuhan perpustakaan Alexandria dan Antiokhia.
Namun Tuhan menulis sejarah dengan cara yang misterius: naskah-naskah itu tidak hilang, hanya berpindah tangan.
Ketika pasukan Islam menaklukkan Suriah dan Mesir pada abad ke-7, mereka menemukan bukan hanya tanah baru, tetapi harta intelektual dunia lama.
Di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M), Baghdad menjelma menjadi pusat peradaban baru.
Di Bayt al-Hikmah—Rumah Kebijaksanaan—para penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq, Qusta ibn Luqa, dan Ishaq ibn Hunayn menyalin karya Aristoteles dari Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab.
Al-Ma’mun pernah berkata,
“Ilmu adalah milik orang berakal, di mana pun ia ditemukan.”
Dan demikianlah, api yang hampir padam di Barat dinyalakan kembali di Timur.
---
II. Di Tangan Para Filosof Islam: Dari Logika ke Ketuhanan
Aristoteles berbicara tentang sebab, bentuk, dan tujuan; tentang gerak dan substansi.
Namun di tangan para ulama Islam, gagasan-gagasan itu diubah menjadi jembatan antara akal dan iman.
Al-Kindi, yang dijuluki Faylasuf al-‘Arab, menulis bahwa filsafat adalah “meneladani sifat-sifat Tuhan sejauh akal manusia mampu.”
Ia memadukan logika Aristotelian dengan tauhid Islam.
Dari tangannya, logika bukan sekadar alat berpikir, tapi sarana mengenal Sang Pencipta.
Al-Farabi, Guru Kedua setelah Aristoteles, mengembangkan teori akal fa’al (active intellect).
Ia menggambarkan Tuhan sebagai sebab pertama segala yang ada, yang darinya seluruh wujud mengalir bagaikan cahaya dari matahari.
Dalam pandangan Farabi, filsafat dan wahyu bukan musuh, melainkan dua jalan menuju kebenaran yang sama.
Ibnu Sina lalu menyempurnakannya.
Dalam Asy-Syifa dan An-Najat, ia menulis sistem metafisika yang nyaris sempurna: Tuhan sebagai Wajibul Wujud, sumber eksistensi segala yang mungkin.
Dari Aristoteles, ia mewarisi logika dan analisis; dari Al-Qur’an, ia mengambil cahaya tauhid.
Dan kemudian datang Ibnu Rusyd—sang Komentator Besar (The Great Commentator).
Di Kordoba dan Sevilla, ia menulis syarah atas hampir semua karya Aristoteles.
Ia membela akal di hadapan para fuqaha yang menuduh filsafat menyesatkan.
Dalam Fashl al-Maqal, ia berkata:
“Meneliti ciptaan Allah dengan akal adalah ibadah, sebab dengan itu kita mengenal Sang Pencipta.”
Dengan tangan-tangan mereka, Aristoteles tidak hanya diselamatkan—ia disucikan oleh tauhid.
---
III. Ketika Barat Menemukan Kembali Sang Filsuf
Abad ke-12.
Di kota Toledo, Spanyol, api pengetahuan Islam menyala terang di tengah Eropa yang masih gelap.
Para penerjemah seperti Gerard of Cremona dan Michael Scot menyalin karya-karya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dari bahasa Arab ke Latin.
Mereka membaca Aristoteles melalui lensa Islam.
Seorang biarawan dari Italia menulis dalam suratnya kepada saudaranya:
“Kami mendengar di negeri-negeri Muslim ada orang-orang yang mengerti akal lebih dalam dari kami. Mereka mengajar dengan terang, dan aku malu menyebut diriku pencari kebenaran sebelum mendengar kata-kata mereka.”
Barat pun berbondong-bondong belajar.
Universitas-universitas baru muncul: Paris, Bologna, Oxford.
Dan di tengah euforia intelektual itu, muncul Thomas Aquinas (1225–1274), biarawan Dominikan yang berani menggabungkan iman dengan logika Aristoteles.
Dalam Summa Theologica, ia menulis:
“Akal dan wahyu tidak mungkin bertentangan, karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.”
Filsafat Aristoteles yang datang lewat dunia Islam kini menjadi fondasi teologi Kristen.
Selama berabad-abad, Gereja Katolik menjadikannya kurikulum resmi.
Ironisnya, Barat yang dulu menolak akal, kini beriman pada Aristoteles—tanpa sadar, beriman pula pada kerja keras ulama Islam yang menghidupkannya kembali.
---
IV. Pengakuan dari Barat: Alfred Guillaume dan Para Saksi Sejarah
Alfred Guillaume, dalam kajian-kajiannya tentang peradaban Islam, menulis dengan nada kekaguman yang langka bagi seorang orientalis.
Ia menegaskan bahwa kebangkitan filsafat di Eropa berhutang pada Islam:
“Tanpa karya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, Barat tidak akan memiliki kerangka berpikir untuk memahami Aristoteles.”
Guillaume bahkan menyebut bahwa di setiap perpustakaan besar Eropa, dari Oxford hingga Vienna, tersimpan ratusan naskah Arab yang menjadi sumber utama studi Aristoteles pada abad pertengahan.
Ia menyebut peran “ensiklopedia Islam” yang disebut Dominique Condisalve sebagai bukti bahwa seluruh filsafat abad ke-12 di Eropa bersandar pada literatur Islam.
Ernest Renan, orientalis Prancis abad ke-19, juga menulis hal serupa dalam Averroès et l’Averroïsme:
“Tidak ada filsafat Latin tanpa Ibnu Rusyd. Tidak ada logika skolastik tanpa Al-Farabi.”
De Boer, dalam History of Philosophy in Islam, menyimpulkan:
“Islam bukan hanya mewarisi Yunani, tetapi melanjutkannya. Dunia Muslim adalah jembatan yang membuat Barat mengenal dirinya sendiri.”
Henry Corbin, filosof Perancis yang meneliti sufisme Iran, bahkan menyebut tradisi filsafat Islam sebagai “sayap Timur dari metafisika Aristoteles.”
Maka jelaslah, pengakuan datang bukan dari lidah kaum Muslimin semata, tapi dari mereka yang meneliti dengan jujur di dunia Barat.
---
V. Dari Bayt al-Hikmah ke Toledo: Perjalanan Sebuah Jiwa
Mari sejenak membayangkan perjalanan gagasan Aristoteles itu.
Dari tangan seorang penyalin Yunani di Alexandria, naskah berpindah ke biarawan Suryani di Antiokhia;
dari sana dibawa ke Baghdad oleh utusan khalifah;
diterjemahkan di Bayt al-Hikmah oleh Hunayn ibn Ishaq;
diajarkan di Baghdad oleh Al-Kindi;
dihidupkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina di Timur;
disyarah oleh Ibnu Rusyd di Andalusia;
diterjemahkan oleh Gerard of Cremona di Toledo;
dan akhirnya diajarkan oleh Thomas Aquinas di Paris.
Begitulah, sebuah gagasan menempuh perjalanan ribuan mil dan ratusan tahun—dari Yunani ke Arab, lalu ke Latin—untuk akhirnya membentuk wajah peradaban Barat.
Seorang ulama di Baghdad mungkin tidak tahu bahwa tulisan tangannya akan menjadi fondasi universitas Oxford.
Namun di situlah keindahan sejarah bekerja: ilmu tak mengenal bangsa, tapi mengenal kejujuran dan cinta kebenaran.
---
VI. Dari Kekaguman ke Pemberontakan
Namun sejarah bukanlah kisah kesetiaan semata.
Pada masa Renaisans, Eropa mulai menolak “otoritas Aristoteles.”
Copernicus, Galileo, dan Francis Bacon bangkit melawan dogma-dogma lama, termasuk yang bersumber dari tafsir skolastik terhadap Aristoteles.
Ironisnya, mereka sebenarnya sedang melanjutkan semangat yang diajarkan Aristoteles sendiri: berpikir dengan akal, bukan dengan warisan otoritas.
Francis Bacon memuji logika Aristoteles, tetapi mengkritiknya karena “terlalu banyak berteori tanpa eksperimen.”
Namun, fondasi berpikir induktif dan deduktif yang digunakannya tetap berakar pada logika Yunani yang diselamatkan oleh Islam.
Kant, dua abad kemudian, menulis:
“Aristoteles menemukan logika dan membawanya pada kesempurnaan; tidak ada yang bisa menambah atau menguranginya.”
Hegel menambahkan:
“Filsafat Aristoteles adalah dunia dalam bentuk pikiran.”
Dunia Barat modern—dengan seluruh sains, politik, dan moralnya—berdiri di atas pilar logika Aristotelian yang dipoles kembali oleh tangan-tangan Islam.
---
VII. Di Era Posmodern: Ketika Barat Mencari Etika yang Hilang
Kini, ketika dunia modern mencapai puncak teknologi namun kehilangan arah moral, nama Aristoteles kembali dipanggil.
Konsep virtue ethics—etika kebajikan—yang berpusat pada keseimbangan jiwa, kembali diajarkan di universitas-universitas.
Dalam politik, konsep polis dan civic virtue menjadi dasar teori demokrasi.
Dalam sains, ide tentang “sebab dan tujuan” kembali hidup dalam studi biologi sistemik dan kompleksitas.
Filsuf seperti Alasdair MacIntyre menulis buku After Virtue, menyerukan agar Barat kembali pada etika Aristotelian, karena dunia telah kehilangan arah kebajikan.
Namun bila menelusuri akar-akar panjangnya, kita tahu: etika kebajikan Aristoteles telah lama dihidupkan oleh Ibnu Miskawaih, oleh Al-Ghazali, oleh para sufi yang menulis tentang tazkiyatun nafs.
Barat kini sedang mencari apa yang dulu tumbuh subur di dunia Islam.
---
VIII. Refleksi: Siapa yang Menghidupkan Siapa?
Di titik ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam:
Apakah Islam sekadar menyelamatkan Aristoteles?
Ataukah justru Islamlah yang memberi ruh baru pada rasionalitas dunia?
Sebab di tangan ulama Islam, logika tidak berhenti pada silogisme.
Ia mengantarkan manusia mengenal Tuhan.
Filsafat tidak berhenti pada tanya “mengapa”, tapi mengantar pada kesadaran “dari siapa”.
Alfred Guillaume melihat ini dengan mata seorang sejarawan, tetapi bagi seorang mukmin, ini adalah bagian dari janji Ilahi:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia-lah yang benar.”
(QS. Fushshilat: 53)
Mungkin Aristoteles tidak pernah mengenal ayat ini.
Namun ruh pencariannya—tentang sebab pertama dan tujuan akhir—sesungguhnya adalah pencarian tentang Tuhan yang sama.
Dan Islamlah yang menerangi jalan itu dengan cahaya wahyu.
---
Epilog: Api yang Tak Pernah Padam
Aristoteles pernah berkata,
“Semua manusia secara alami ingin tahu.”
Dan mungkin, seandainya ia hidup di zaman Al-Ma’mun, ia akan tersenyum melihat bagaimana umat Muhammad menjaga api pengetahuan ketika dunia lain memadamkannya.
Barat boleh membangun universitas, menciptakan sains, dan menulis ensiklopedia dengan nama Aristoteles.
Tapi di balik itu, ada jejak tinta para penerjemah Muslim, ada doa para ulama di malam sunyi Baghdad, ada cahaya yang berangkat dari Bayt al-Hikmah.
Sejarah mungkin menulis nama Aristoteles sebagai “Bapak Filsafat”,
tapi yang menulis ulang kehidupannya adalah para ulama Islam.
Mereka tidak hanya menyelamatkan naskah, tapi menyelamatkan akal manusia dari kebodohan, dan menjadikannya ibadah.
Dan kini, setelah berabad-abad, bayangan Aristoteles masih membentang di Barat—
namun cahayanya berasal dari Timur.
Dari tangan para penerjemah, para filosof, dan para penyair iman
yang pernah menulis dengan rendah hati:
“Kami bukan pewaris Yunani.
Kami hanya penjaga api yang ditinggalkan manusia.”
0 komentar: