Kepakaran Para Orientalis: Ilmu yang Menghijab Hati
Ada sekelompok manusia yang menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an lebih dalam dari kebanyakan Muslim sendiri. Mereka hafal struktur sanad hadits, mereka paham seluk-beluk fiqih, mereka kuasai sejarah Nabi ﷺ dengan ketelitian akademik yang menakjubkan. Tapi di ujung hidupnya, mereka tetap berada di luar cahaya kalimat Lā ilāha illā Allāh.
Mereka disebut orientalis.
1. Ketika Ilmu Menjadi Tirai
Banyak dari mereka datang dengan niat ilmiah: mempelajari Timur, menafsirkan Al-Qur’an, mengurai sejarah Nabi Muhammad ﷺ, memahami bahasa Arab klasik. Tapi dari niat itu pula, sering terselip kepongahan intelektual: keyakinan bahwa kebenaran bisa ditangkap dengan metode ilmiah semata, tanpa nurani, tanpa sujud.
Nama-nama besar seperti Ignaz Goldziher, Theodor Nöldeke, William Montgomery Watt, Joseph Schacht, Reynold Nicholson, Louis Massignon, hingga Karen Armstrong (yang kemudian menempuh jalannya sendiri)—semuanya menulis dengan keseriusan luar biasa. Mereka membuka manuskrip kuno, menerjemahkan kitab, dan menyusun kamus yang menjadi rujukan dunia Islam hingga kini.
Namun sebagian besar dari mereka berhenti di batas akal. Mereka mendengar lantunan Bismillāh-ir-Rahmān-ir-Rahīm hanya sebagai teks linguistik, bukan panggilan ruhani.
Mereka membaca Al-Qur’an sebagai “objek”, bukan sebagai “wahyu”.
2. Goldziher: Sang Pengagum Islam yang Tak Bersyahadat
Ignaz Goldziher (1850–1921) sering disebut sebagai bapak studi Islam modern di Barat. Ia menguasai bahasa Arab, Persia, Ibrani, dan Latin. Ia belajar langsung di Al-Azhar, duduk di majelis ulama Mesir, dan kagum dengan adab para santri dan guru. Dalam catatan hariannya, ia menulis:
“Ketika aku melihat mereka berdoa, aku merasa bahwa aku sedang menyaksikan bentuk paling murni dari ketundukan manusia kepada Tuhan.”
Namun di luar kekaguman itu, ia tidak pernah memeluk Islam. Dalam catatannya yang jujur, ia mengaku bahwa meski mengagumi Islam secara spiritual, ia tetap terikat pada akar intelektual Yahudinya. Hatinya bergetar, tapi tidak berpindah.
Itulah yang disebut sebagian ulama sebagai ‘hijab ilmu’ — ketika kecerdasan tak lagi menuntun kepada iman, tetapi menutupinya.
3. Louis Massignon: Antara Kekaguman dan Ketakutan
Louis Massignon (1883–1962) adalah orientalis Prancis yang dikenal sebagai ahli tasawuf Islam. Ia mendalami kehidupan Al-Hallaj, sang sufi yang dihukum mati karena kalimat “Ana al-Haqq.”
Massignon begitu tersentuh oleh kedalaman spiritual Islam, terutama konsep cinta Ilahi dan pengorbanan. Ia bahkan hidup sederhana dan sering bergaul dengan para murid sufi.
Namun ia memilih tetap di bawah salib, bukan di bawah syahadat. Dalam surat-surat pribadinya, Massignon menulis:
“Aku mencintai Islam dengan seluruh pikiranku, tetapi tubuhku terikat pada salib.”
Ia seolah berdiri di tepi sungai keimanan — memandangi kejernihan airnya, tapi tak berani menyeberang. Ia memahami cinta, tetapi tidak berani berserah.
4. Schacht dan Watt: Ilmuwan yang Membekukan Nabi dalam Sejarah
Joseph Schacht dan W. Montgomery Watt adalah dua tokoh besar yang membentuk studi modern tentang Nabi dan hukum Islam di dunia Barat. Namun di balik karya mereka, tampak sebuah kecenderungan: menjelaskan Islam bukan sebagai kebenaran ilahi, tetapi sebagai hasil evolusi sosial.
Watt, misalnya, menulis Muhammad: Prophet and Statesman dengan gaya simpatik. Ia mengakui kejeniusan Nabi Muhammad ﷺ sebagai pemimpin dan moral reformer. Namun ketika sampai pada persoalan kenabian, Watt berhenti pada kata:
“Mungkin ia sungguh-sungguh percaya bahwa wahyu itu datang dari Tuhan.”
“Mungkin.”
Kata yang menunjukkan jarak antara ilmu dan iman. Ia menyelidiki, tapi tidak bersyahadat.
5. Ilmu yang Tak Menyelamatkan
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam sejarah, ada iblis yang juga berilmu. Ia tahu siapa Tuhan, bahkan lebih awal dari manusia. Tapi ia enggan sujud.
Ilmu tanpa iman hanya melahirkan analisis tanpa tunduk.
Dalam perspektif Al-Qur’an, mereka seperti disebut dalam ayat:
“Mereka mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap akhirat mereka lalai.”
(QS. Ar-Rum: 7)
Orientalis memandang Islam dari luar, seperti seorang ahli bedah memeriksa jasad manusia. Ia tahu semua organ, tapi tak tahu nyawa.
Ia tahu susunan ayat, tapi tak merasakan getaran wahyu.
6. Tapi Allah Tak Pernah Menutup Pintu
Namun tidak semua orientalis berakhir tanpa hidayah. Beberapa di antara mereka akhirnya menembus batas itu.
Contohnya Muhammad Asad (Leopold Weiss), jurnalis Austria yang berangkat ke Timur untuk menulis laporan politik, tapi justru menemukan Islam di tengah gurun Arab. Ia menulis dalam bukunya The Road to Mecca:
“Aku mencari Islam sebagai sistem sosial, tapi yang kutemukan adalah kedamaian hati.”
Atau Maurice Bucaille, dokter dan ilmuwan Prancis yang meneliti keajaiban ilmiah Al-Qur’an dan akhirnya beriman.
Bahkan Jeffrey Lang, profesor matematika dari AS, memulai dari skeptisisme akademik sebelum akhirnya bersujud dalam kesadaran total.
Artinya, ilmu bisa menjadi jalan menuju iman — bila hati tidak congkak.
7. Antara Metode dan Hidayah
Di sinilah perbedaan mendasar antara ilmuwan Muslim dan orientalis Barat.
Orientalis menjadikan Islam sebagai objek penelitian;
Muslim sejati menjadikan Islam sebagai subjek kehidupan.
Orientalis menafsirkan wahyu dengan jarak;
Ulama menafsirkan dengan cinta dan rasa takut kepada Allah.
Hidayah tidak turun karena banyaknya literatur, tapi karena kesediaan hati untuk tunduk.
Bahkan seorang petani buta huruf yang menangis membaca Al-Fatihah bisa lebih mengenal Allah daripada profesor yang menulis ensiklopedia Islam tanpa iman.
8. Islam Tak Butuh Pembelaan Akademik
Islam tidak bergantung pada pengakuan akademik Barat.
Kebenaran wahyu tidak menunggu jurnal ilmiah untuk sah.
Tapi Allah mengizinkan mereka meneliti — agar umat ini belajar tentang pentingnya niat dan kerendahan hati dalam mencari ilmu.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan mereka tidak akan dapat memahami Al-Qur’an kecuali orang-orang yang disucikan.”
(QS. Al-Waqi’ah: 79)
Maksudnya bukan hanya kesucian fisik, tapi kesucian niat dan hati.
Ilmu tanpa tazkiyah adalah cahaya tanpa minyak — berpendar sebentar, lalu padam.
9. Peringatan bagi Umat yang Terlena
Ironisnya, hari ini justru banyak anak muda Muslim yang lebih percaya pada tulisan orientalis daripada tafsir ulama mereka sendiri.
Ketika Goldziher berkata, mereka mengutipnya dengan kagum.
Ketika Ibnu Katsir berkata, mereka meragukannya.
Padahal orientalis sendiri sering menulis dalam konteks kolonial: untuk memahami Islam agar bisa menguasainya. Pengetahuan menjadi alat politik.
Kita, yang harusnya pewaris wahyu, malah menjadi pembaca pasif.
10. Epilog: Ilmu yang Menundukkan, Bukan Menyombongkan
Dalam satu riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menuntut ilmu bukan untuk mencari ridha Allah, maka ilmu itu akan menjadi bencana baginya di hari kiamat.”
(HR. Ahmad)
Ilmu bisa menjadi jalan ke surga — atau ke neraka.
Orientalis menjadi pelajaran bagi kita: bahwa mengetahui Islam bukan berarti mengimani Islam.
Mereka menulis ratusan buku, tapi kehilangan satu kalimat: Lā ilāha illā Allāh.
Dan kalimat itulah yang menjadi pembeda antara ahli ilmu dan ahli hidayah.
---
Penutup
Para orientalis adalah saksi betapa Islam menakjubkan bahkan bagi mereka yang menolaknya. Mereka adalah bukti bahwa kebenaran Islam tidak bisa dibungkam oleh kertas akademik. Tapi mereka juga peringatan bagi kita: jangan sampai menjadi umat yang tahu segalanya tentang agama, tapi tak tersentuh oleh iman.
Mereka membaca Al-Qur’an untuk menafsirkan;
Kita membaca Al-Qur’an untuk disucikan.
Mereka mencari Islam, tapi tidak menemukannya;
Kita telah memilikinya — tinggal menjaga agar tidak hilang.
0 komentar: