basmalah Pictures, Images and Photos
2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Masa Depan Penjajah Israel dari Kisah Iblis Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada masa Nabi Adam a.s., Iblis berhasil memperdaya Adam ...

Masa Depan Penjajah Israel dari Kisah Iblis

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada masa Nabi Adam a.s., Iblis berhasil memperdaya Adam dan istrinya untuk memakan buah Khuldi. Akibatnya, keduanya terusir dari surga. Bukankah keduanya diampuni Allah SWT?

Setelah itu, Iblis memohon kepada Allah agar diizinkan menyesatkan anak keturunan Adam. Ia bersumpah untuk menghalangi mereka dari jalan yang lurus:

> "Iblis berkata, 'Karena Engkau telah menghukumku tersesat, pasti aku akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.'"
(QS. Al-A'raf: 16)



Iblis tidak hanya meminta izin untuk menggoda, tetapi juga menggunakan segala strategi dan sumber daya yang ada untuk menyesatkan manusia:

> "Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur."
(QS. Al-A'raf: 17)



Bahkan, Iblis mendapat akses untuk membentuk "infrastruktur godaan" dengan pasukan yang lengkap:

> "Dan godalah siapa saja di antara mereka yang engkau sanggupi dengan suaramu, kerahkan terhadap mereka pasukan berkudamu dan yang berjalan kaki..."
(QS. Al-Isra’: 64)



Lebih dari itu, Iblis juga meminta sumber daya yang paling mahal di alam semesta: waktu. Allah mengabulkan permintaannya:

> "Iblis berkata, 'Tangguhkanlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan.'"
(QS. Al-A'raf: 14–15)



Yang paling berbahaya, Iblis mampu menembus benteng terakhir manusia: hati. Ia membisikkan keraguan dan kejahatan secara halus, tanpa disadari:

> "Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia."
(QS. An-Nās: 5)



Namun, dengan segala kekuatan dan kelengkapan yang ia miliki, Iblis tetap gagal menyesatkan satu golongan manusia, sebagaimana ia sendiri akui:

> "Iblis berkata, 'Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku akan menyesatkan mereka semuanya,'
kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.'"
(QS. Shad: 82–83)


Hal yang sama dapat kita lihat pada penjajah Israel.

Segala kekuatan dan fasilitas global mereka miliki:

Resolusi PBB yang mengecam kejahatannya diveto oleh Amerika dan Inggris.

Dukungan militer dan ekonomi mengalir tanpa henti dari Barat.

Penguasa-penguasa Arab dibungkam dengan dolar dan diplomasi.

Palestina dikepung dari darat, laut, udara, bahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.


Namun, seperti Iblis yang akhirnya kalah oleh keikhlasan hamba-hamba Allah, Israel pun tidak akan mampu menaklukkan hati dan semangat orang-orang yang menyerahkan hidupnya kepada Allah SWT.

Kini, para pengamat sejarah, politik, dan militer — bahkan dari dalam Israel sendiri — mulai memprediksi kehancurannya. Bukan karena kekurangan senjata, tetapi karena krisis moral, tekanan psikologis, dan kehilangan legitimasi di mata dunia.

Seperti Iblis, penjajah Israel mungkin bisa menggoda dan menghancurkan banyak hal, tapi mereka tak akan pernah bisa mengalahkan orang-orang yang hidup dalam keimanan, keikhlasan, dan keteguhan jiwa.

Saat Iron Dome Menahan Rudal Hipersonik Iran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan rudal hipersonik Iran terhadap penjajah Israel ...

Saat Iron Dome Menahan Rudal Hipersonik Iran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan rudal hipersonik Iran terhadap penjajah Israel memang tidak menimbulkan kerusakan separah dampak serangan Israel terhadap wilayah Iran. Apa yang menyebabkan perbedaan ini?

Amerika Serikat turut membantu Israel menangkis serangan tersebut melalui sistem pertahanan dari kapal induk di kawasan. Yordania juga ikut terlibat dalam upaya menahan rudal-rudal yang masuk. Di samping itu, Israel sendiri memiliki sistem pertahanan udara canggih seperti Iron Dome, yang dirancang untuk mencegat rudal jarak pendek dan menengah. Namun, apakah semua serangan berhasil ditahan secara sempurna?

Ulilabshar Abdallah pernah menggambarkan karakter Israel dengan tepat:
"Seperti orang kaya yang iri, dengki, dan suka merusak; tinggal di rumah besar yang dikelilingi benteng tinggi dan dijaga ketat oleh pasukan keamanan, namun dibenci oleh seluruh tetangganya."

Lambat laun, orang seperti itu akan dikepung oleh kemarahan. Semakin tinggi benteng yang dibangun, semakin besar pula ketegangan dan permusuhan dari sekitar. Apakah kedamaian bisa diraih hanya dengan perlindungan fisik? Apakah keamanan bisa dibeli dengan sistem pertahanan tercanggih?

Kita telah menyaksikan contoh serupa dalam sejarah:

Bangladesh, saat presidennya melarikan diri dari istana mewahnya yang dikelilingi tembok tinggi dan militer bersenjata lengkap, karena rakyatnya menyerbu akibat kebijakan yang menindas.

Bashar al-Assad di Suriah, sempat meninggalkan istananya dan pergi ke Rusia ketika rakyatnya mengepung pusat kekuasaannya. Padahal rumahnya dilindungi benteng dan pasukan.


Apakah keamanan sejati berasal dari tembok dan senjata?

Iron Dome mungkin dapat mencegat rudal-rudal musuh dan mengurangi kerusakan bangunan. Namun, ia tidak mampu menangkis rasa benci masyarakat dunia akibat kekejaman yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Sistem pertahanan itu mungkin menjaga gedung-gedung tetap berdiri, namun tak mampu mengusir rasa takut dan cemas di hati para pemukim ilegal.

Apakah perlindungan itu hanya soal fisik?
Bukankah trauma, stres, dan depresi sosial di kalangan masyarakat tak bisa disembuhkan dengan rudal penangkal? Bila para pemimpin merasa aman dengan infrastruktur militer, hal itu tidak serta merta menjamin ketenangan batin rakyatnya.

Negara bukanlah hanya tumpukan bangunan dan persenjataan — negara ada karena rakyatnya. Jika rakyat hidup dalam ketakutan dan keresahan terus-menerus, maka kokohnya sistem pertahanan hanyalah ilusi keamanan.

Inilah karakter bangsa yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai bangsa yang dimurkai Allah SWT: bangsa yang tidak memahami esensi dari persoalan kemanusiaan dan keadilan. Mereka lebih memilih melindungi kekuasaan dengan tembok dan senjata, ketimbang membangun hubungan dengan kasih, adil, dan damai.

Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran...

Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran dalam sejarah Islam? Tidak. Dalam Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw keluar bukan untuk berperang, melainkan untuk mengganggu jalur ekonomi kaum Musyrikin Quraisy, yang sebelumnya telah merampas kekayaan kaum Muslimin di Mekah saat hijrah. Namun, kaum Quraisy justru mengirimkan pasukan besar yang dipimpin Abu Jahal, padahal Abu Sufyan sebelumnya telah memperingatkan agar tidak memulai pertempuran.

Demikian pula dalam Perang Uhud. Penyerangan terjadi karena pasukan Quraisy datang menyerbu Madinah. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabat dan memutuskan untuk menghadapi musuh di luar kota, di kaki Gunung Uhud.

Perang Ahzab pun bukan dimulai oleh Rasulullah saw. Koalisi besar antara kabilah-kabilah Arab dan kaum Yahudi dibentuk untuk menghancurkan kaum Muslimin dari luar dan dalam. Maka Rasulullah saw menghadapinya dengan strategi bertahan secara total, termasuk menggali parit besar di batas kota.

Begitu juga Perang Khaibar. Perang ini dilakukan karena benteng-benteng Khaibar menjadi pusat konspirasi dan tipu daya Yahudi untuk menghabisi kaum Muslimin. Adapun Perang Mu’tah dan Tabuk terjadi karena ancaman langsung dari pasukan Romawi yang hendak menyerbu Madinah. Dalam semua peristiwa tersebut, Rasulullah saw tidak memulai agresi, tetapi menanggapi ancaman dengan taktik dan kekuatan penuh. Diserang, berarti memiliki banyak alasan untuk memobilisasi sumber daya.

Lalu, bagaimana dengan serangan penjajah Israel ke Iran?

Penjajah Israel kini masuk lebih dalam ke zona pertempuran. Dengan menyerang Iran lebih dulu, maka Iran memperoleh legitimasi internasional untuk membela diri dan menghimpun dukungan besar dari rakyatnya, bahkan dari masyarakat global yang menyaksikan kekejaman penjajah Israel.

Selama ini, Israel selalu menggunakan dalih "membela diri" sebagai tameng moral dan diplomatik. Amerika dan Eropa pun mendukungnya karena narasi ini, seperti yang terjadi dalam Perang Arab–Israel 1967 dan 1973. Namun, jika Israel menjadi pihak yang memulai serangan, maka legitimasi untuk membela diri berpindah ke Iran, dan narasi untuk membenarkan bantuan terhadap Israel menjadi melemah.

Israel mungkin akan berdalih bahwa serangan dilakukan untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Padahal, Israel sendiri menyimpan senjata nuklir dan menolak untuk diawasi oleh lembaga internasional. Ini adalah standar ganda yang makin lama makin tak dipercaya dunia.

Lalu, apakah penjajah Israel mampu memenangkan perang melawan Iran?

Secara sejarah, kawasan ini pernah menyaksikan konflik panjang antara Romawi dan Persia — yang kini secara geopolitik menjelma menjadi Barat dan Iran. Dalam konflik berabad-abad itu, Romawi dan Persia saling menang dan kalah. Namun, Yahudi tidak pernah tampil sebagai kekuatan militer dominan dalam sejarah tersebut. Mereka selalu berada di posisi pinggiran kekuasaan dan konflik. Maka dari segi karakter bangsa dan sejarah, penjajah Israel bukanlah lawan setara Iran dalam pertarungan langsung.

Dari sisi daya tempur, Iran jauh lebih siap. Perang Iran–Irak (1980–1988) menunjukkan ketahanan militer dan semangat bertempur rakyat Iran, meski menghadapi kekuatan besar yang didukung negara-negara Barat. Iran juga memiliki jaringan milisi dan pasukan proxy yang kuat dan tersebar di kawasan — mulai dari Hizbullah di Lebanon, milisi di Irak, Yaman, dan sebelumnya di Suriah. Bahkan, hanya dengan menghadapi proxy-proxy Iran saja, Israel sudah terlihat kewalahan.

Jika Israel memaksakan diri menyerang Iran, walaupun dengan dukungan Amerika Serikat, maka ia hanya akan menyeret dirinya ke dalam konflik regional yang panjang dan melelahkan. Serangan ini juga akan semakin memperkuat rasa takut dan tekanan psikologis para pemukim ilegal di wilayah pendudukan Palestina.

Bukankah justru rasa takut dan kehilangan rasa aman itulah alasan utama penjajah Israel menduduki tanah Palestina? Dan kini, dengan menyerang Iran, mereka sedang memperluas zona ketakutannya sendiri.

Membangun Legitimasi dalam Menghadapi Yahudi Madinah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bisakah persoalan dengan Yahudi Madinah diselesa...

Membangun Legitimasi dalam Menghadapi Yahudi Madinah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bisakah persoalan dengan Yahudi Madinah diselesaikan hanya melalui pendekatan politik? Apakah kekuatan militer semata cukup untuk menghadapi Yahudi yang saat itu telah bersekutu dengan kaum Musyrik Quraisy dan golongan Munafik di dalam kota?

Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau tidak sekadar menemukan tempat perlindungan, melainkan menghadapi realitas baru: komunitas Yahudi yang telah lama mapan, memiliki kekuatan ekonomi, jaringan politik, dan militer yang solid. Sementara kaum Muslimin sendiri baru saja keluar dari fase penindasan di Mekkah, dan sedang dalam proses membangun kekuatan internal.

Menghadapi situasi ini, Rasulullah ﷺ tidak serta-merta mengandalkan kekuatan militer atau manuver politik. Beliau lebih dulu membangun legitimasi hukum dan moral—dasar yang mutlak diperlukan untuk menegakkan keadilan dan menjaga stabilitas sosial. Tanpa legitimasi, kekuatan politik dan militer akan kehilangan pijakan. Dukungan masyarakat tidak akan mengakar, dan kesadaran kolektif untuk bertindak tidak akan tumbuh.

Sebagai langkah strategis, Rasulullah ﷺ menggagas dan menyusun Piagam Madinah—sebuah dokumen sosial-politik yang kini dapat disebut sebagai "undang-undang dasar" negara kota Madinah. Piagam ini menyatukan berbagai suku, agama, dan kepentingan dalam satu kerangka kebangsaan yang baru, di bawah kepemimpinan Nabi ﷺ sebagai pemimpin tertinggi.

Dalam dokumen ini, semua komunitas di Madinah, termasuk Yahudi, diakui hak dan kewajibannya secara adil. Mereka mendapatkan jaminan kebebasan beragama, tetapi juga terikat pada prinsip keadilan bersama dan pembelaan kolektif terhadap Madinah jika diserang pihak luar.

Namun, ketika beberapa kelompok Yahudi melanggar kesepakatan tersebut—berkhianat, menjalin aliansi dengan musuh Islam, dan bahkan merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah ﷺ—maka tindakan tegas pun diambil. Bukan berdasarkan kebencian agama, tapi atas dasar pelanggaran terhadap perjanjian yang disepakati bersama.

Inilah kekuatan legitimasi yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ: keputusan untuk menindak tegas dilandasi oleh kesepakatan hukum bersama, bukan oleh tekanan emosional atau sekadar kekuatan militer. Dengan ini, kebenaran ditegakkan bukan hanya dalam bingkai teologi, tetapi juga dalam kerangka sosial-politik yang rasional dan dapat diterima oleh semua pihak.

Rasulullah ﷺ tidak memilih jalan kekerasan saat ketegangan memuncak. Beliau memilih jalan hukum dan keadilan, karena beliau bukan sekadar pemimpin perang, tapi pembangun peradaban.

Rakyat Eropa Terus Menyuarakan Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dukungan terhadap rakyat Palestina terus menggema dari berba...

Rakyat Eropa Terus Menyuarakan Palestina
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dukungan terhadap rakyat Palestina terus menggema dari berbagai penjuru Eropa. Sekelompok aktivis internasional, termasuk aktivis iklim terkemuka Greta Thunberg, tengah bersiap memulai pelayaran dari Italia selatan menuju Jalur Gaza. Tujuan mereka jelas: menembus blokade Israel sebagai bentuk perlawanan moral terhadap ketidakadilan.

Dalam pernyataannya, Thunberg menegaskan, "Kami melakukan ini karena, tidak peduli apa pun rintangan yang kami hadapi, kami harus terus mencoba. Saat kita berhenti mencoba, itulah saat kita kehilangan kemanusiaan kita. Dan seberbahaya apa pun misi ini, itu tidak sebanding dengan bahaya dari keheningan dunia terhadap genosida yang disiarkan langsung."

Di Inggris, lebih dari 300 tokoh publik—termasuk musisi, aktor, akademisi, hingga mantan hakim agung—menandatangani petisi terbuka yang menuding pemerintah Inggris turut bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga Gaza. Petisi yang diprakarsai oleh organisasi kemanusiaan Choose Love ini menyatakan bahwa Inggris “tidak dapat lagi memandang penderitaan Gaza sebagai bencana sambil tetap memasok senjata kepada Israel.”

Gelombang simpati juga terlihat dari dunia olahraga. Para pendukung klub sepak bola Paris Saint-Germain (PSG), misalnya, menunjukkan solidaritas mereka dalam final Liga Champions di Munich. Mereka turun ke jalan sambil meneriakkan, "Kami semua adalah anak-anak Gaza," sebagai seruan moral mendukung rakyat Palestina.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa dukungan rakyat Eropa terhadap Palestina begitu kuat dan konsisten? Apa yang melandasi sikap mereka?

Sahabat Nabi, Amr bin al-Ash—yang pernah lama berinteraksi dengan bangsa Eropa, baik sebelum maupun sesudah masuk Islam, dalam konteks diplomasi maupun peperangan—pernah mengungkapkan karakter dasar mereka sebagai berikut:

1. Mereka adalah orang-orang paling tabah dalam menghadapi cobaan.


2. Mereka cepat pulih dan bangkit dari musibah.


3. Mereka tidak tinggal diam ketika terdesak; mereka berani menyerang balik.


4. Mereka memiliki kepedulian besar terhadap anak yatim, kaum miskin, dan orang-orang lemah.


5. Mereka teguh dalam melawan tirani dan segala bentuk kezaliman.



Karakter-karakter inilah yang menjadikan sebagian rakyat Eropa berani bersuara lantang menentang ketidakadilan global. Boleh jadi, karena menyaksikan keteguhan dan perjuangan rakyat Palestina, mereka semakin dekat dengan nilai-nilai universal yang juga dijunjung tinggi dalam Islam: keadilan, keberanian, dan kepedulian terhadap sesama. Tak heran jika sebagian di antara mereka akhirnya memilih untuk memeluk Islam—agama yang tidak hanya mengajarkan ketundukan kepada Tuhan, tetapi juga keberpihakan kepada yang lemah.

Makna Pemboman bagi Penjajah Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan udara yang dilancarkan penjajah Israel telah menewaskan ...

Makna Pemboman bagi Penjajah Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan udara yang dilancarkan penjajah Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 rakyat Palestina dan melukai lebih dari 100.000 lainnya. Mereka menghancurkan gedung-gedung, rumah sakit, tempat pengungsian, hingga lahan pertanian. Namun, apa sebenarnya hasil dari semua pemboman itu?

Ternyata, kehancuran tersebut bukan hanya menimpa rakyat Palestina, tetapi juga kembali menghantam jiwa tentara Israel sendiri. Kekejaman terhadap anak-anak dan wanita bertentangan dengan suara hati nurani mereka. Pemandangan kehancuran total telah menciptakan trauma mendalam dan horor yang sulit dilupakan. Akibatnya, banyak dari mereka memilih mengundurkan diri dan menolak kembali berperang di Gaza.

Namun di tengah kerusakan mental itu, mereka tetap dipaksa masuk ke wilayah konflik. Apakah mungkin bisa meraih kemenangan dalam kondisi kejiwaan seperti itu? Menjalani hidup normal saja tidak mampu, apalagi harus berperang menghadapi musuh yang tangguh dan tidak pernah menyerah.

Kehancuran mental tersebut melahirkan tindakan serampangan: pemboman dan tembakan yang tidak terukur dan membabi buta. Seperti orang yang kehilangan akal, mereka menembak ke segala arah tanpa kendali. Akibatnya, banyak tentara Israel justru tertembak oleh rekannya sendiri dalam kekacauan pertempuran.

Riset dari media penjajah Israel sendiri menunjukkan bahwa banyak sandera justru tewas akibat bom-bom udara yang diluncurkan oleh pesawat Israel. Lalu, untuk apa semua ini? Apa manfaat sebenarnya dari pemboman brutal yang tak mengenal batas itu?

Bahkan data intelijen Israel menyatakan bahwa meski Gaza dibombardir setiap hari dengan ratusan sasaran, jumlah pejuang Palestina justru terus bertambah. Infrastruktur perlawanan masih berdiri kokoh. Mereka tidak goyah, bahkan semakin terorganisir dan berdaya tahan tinggi.

Karena itu, setiap bom yang dijatuhkan di Gaza bukanlah langkah menuju kemenangan bagi penjajah, melainkan tambahan beban kehancuran bagi diri mereka sendiri—baik secara militer, psikologis, maupun diplomatik. Setiap bom adalah kehilangan, dan setiap serangan adalah pelemahan.

Lihatlah ke panggung olahraga dan seni dunia: suara-suara pembelaan terhadap Palestina semakin nyaring, bendera Palestina dikibarkan di stadion, konser, dan forum-forum internasional. Dunia semakin terbuka matanya, dan penjajah semakin kehilangan dukungan global.

Menghalangi Kepergian ke Ka'bah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Musyrikin Quraisy pernah menghalangi Rasulullah saw. dan para sah...

Menghalangi Kepergian ke Ka'bah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Musyrikin Quraisy pernah menghalangi Rasulullah saw. dan para sahabat yang hendak melaksanakan umrah dari Madinah ke Mekah. Meski beberapa utusan Quraisy memastikan bahwa perjalanan itu murni demi ibadah, mereka tetap bersikeras melarang kaum Muslimin memasuki Mekah. Dari ketegangan inilah lahir Perjanjian Hudaibiyah. Apakah sejarah semacam ini tidak terulang?

Pada tahun 1187, di masa Perang Salib, Raynald dari Chatillon berulang kali menyerang jamaah haji yang melintas di sekitar Yerusalem. Ia tidak hanya menjarah dan membunuh mereka, tetapi bahkan mengancam akan menyerang Ka'bah dan menghancurkan Tanah Suci Mekah.

Lima abad kemudian, pada tahun 1502, Raja Manuel I dari Portugis mengirim Vasco da Gama ke India dengan armada besar. Misinya bukan sekadar penjelajahan, tetapi juga untuk memperkuat dominasi Portugal dan menyingkirkan pedagang Muslim dari jalur perdagangan utama.

Dalam pelayarannya yang kedua, da Gama melakukan kekejaman brutal: menyerang kapal-kapal dagang Muslim, menghancurkan pelabuhan di sepanjang pantai timur Afrika, bahkan membakar sebuah kapal yang penuh dengan jamaah haji, menewaskan ratusan penumpang tak berdosa.

Tahun 1566, Sultan Alauddin dari Aceh menulis surat kepada Sultan Sulaiman dari Turki Utsmani, memohon bantuan atas gangguan Portugis yang semakin masif. Dalam suratnya, Sultan Alauddin mengadukan bahwa Portugis bukan hanya menghalangi jalur haji, tetapi juga menangkap dan memperbudak para jamaah, serta menenggelamkan kapal-kapal mereka.

"Demi Allah dan Nabi Muhammad, tolonglah kami dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekah sebelum kekuatan Portugis datang," tulisnya.

Kini, di era modern, sejarah itu tampaknya kembali terulang. Israel melancarkan serangan udara ke Yaman untuk menghancurkan pesawat yang akan digunakan para jamaah haji. Di Tepi Barat, sebuah bus rombongan haji dihancurkan dengan sengaja oleh kendaraan militer Israel, bahkan dua jamaah ditangkap.

Sejarah mencatat akibat dari kezaliman seperti itu. Musyrikin Quraisy dikalahkan dalam peristiwa Fathu Makkah. Tentara Salib tumbang dalam Perang Hittin. Portugal takluk oleh Inggris dalam pertempuran laut di Suvali, India, pada 29 November 1612.

Bagaimana dengan Israel? Kekalahan mereka pun hanya tinggal menunggu waktu. Sebab siapa pun yang menghalangi perjalanan ke Ka'bah, akan menanggung akibat yang sama seperti para pendahulunya.

Perang Tanding yang Diabadikan dalam Al-Qur’an Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pertempuran antara Daud dan Jalut adalah satu-satunya ...


Perang Tanding yang Diabadikan dalam Al-Qur’an

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pertempuran antara Daud dan Jalut adalah satu-satunya perang tanding satu lawan satu yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi titik balik peradaban—suatu momentum yang terus berulang dalam berbagai bentuk sepanjang zaman.

> “Maka mereka (pasukan Thalut) mengalahkan mereka (pasukan Jalut) dengan izin Allah, dan Daud membunuh Jalut, lalu Allah memberinya kerajaan dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Kalau bukan karena Allah menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Akan tetapi Allah memiliki karunia atas seluruh alam.”
(QS. Al-Baqarah: 251)



Titik Balik Sejarah

Mengapa peristiwa ini besar? Karena inilah momen pembebasan Bani Israil dari keterpurukan sejarah panjang mereka, sejak mereka menolak memasuki Palestina di masa Nabi Musa. Penolakan itu membuat mereka terlunta-lunta di padang Sinai, menanti pemimpin dan nabi baru.

Pertempuran ini juga luar biasa karena bertentangan dengan logika umum: yang kecil mengalahkan yang besar, yang sederhana menundukkan yang kuat, dan yang tak bersenjata berat mampu merobohkan yang bersenjata lengkap.

Kekuatan Jalut, Keperkasaan yang Dihancurkan

Jalut adalah prajurit elit tanpa tanding. Ia mengenakan baju zirah tembaga seberat 57 kg, melindungi tubuh atasnya dari senjata tajam mana pun. Ketopong tembaganya menjaga kepala dari serangan langsung. Ia dipersenjatai dengan tombak besar yang ujung besinya mencapai 7 kg—cukup untuk menembus zirah mana pun. Selain itu, ia membawa pedang dan perisai kecil, menjadikannya berbahaya baik dalam serangan jarak jauh maupun dekat.

Namun, ternyata lawan yang dihadapinya tak terduga: seorang pemuda gembala, lincah, cepat, dan sangat terampil menggunakan umban—alat pelempar batu. Dengan satu lemparan, sebutir batu melesat ke arah dahi Jalut, satu-satunya titik lemah yang tak tertutup zirah. Batu itu menghantam tepat sasaran, dan Jalut pun roboh.

Hukum Abadi: Yang Zalim Pasti Tumbang

Apakah peristiwa ini hanya berlaku di era Daud dan Jalut? Tidak. Ini adalah hukum abadi Tuhan: bahwa kezaliman, sekuat apa pun, pasti akan tumbang, dan yang lemah secara duniawi bisa menang dengan iman dan keberanian.

Hari ini, kita menyaksikan ulang kisah itu. Penjajah Israel, dengan sistem pertahanan canggih seperti Iron Dome, David’s Sling, dan THAAD bantuan Amerika, tak mampu membendung serangan roket dari pejuang Gaza, Yaman, dan Lebanon.

Tank-tank baja, kendaraan militer, dan buldoser lapis baja yang dilengkapi sistem perlindungan otomatis, dihancurkan oleh senjata panggul Yasiin 105 milik pejuang Palestina.

Allah Swt menghadirkan para pejuang Palestina sebagai sosok Daud zaman ini, untuk menegaskan firman-Nya yang kekal:

> "Kalau bukan karena Allah menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini."
(QS. Al-Baqarah: 251)

Bangsa Penjajah yang Pernah Dijajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Karakter penjajah dari masa ke masa ternyata tidak berubah. Meski...


Bangsa Penjajah yang Pernah Dijajah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Karakter penjajah dari masa ke masa ternyata tidak berubah. Meskipun pelakunya berasal dari bangsa yang berbeda dan hidup dalam zaman yang berjauhan, wataknya tetap sama: kezaliman dan perusakan. Lihatlah Firaun, Nebukadnezar, hingga bangsa-bangsa Eropa saat menjajah wilayah lain—semuanya menunjukkan sifat yang serupa.

Lalu bagaimana jika bangsa penjajah itu dulunya pernah dijajah, bahkan pernah memimpin peradaban dunia? Ternyata, pengalaman masa lalu tidak serta-merta mengubah watak penjajahan. Mereka tetap membawa luka sejarahnya, namun kini menimpakannya pada bangsa lain.

Ambil contoh Israel. Saat ini, dunia menyaksikan bagaimana mereka melakukan genosida terhadap bangsa Palestina: pengeboman setiap hari, pembunuhan, penghancuran pemukiman, pelarangan bantuan kemanusiaan, hingga penyiksaan brutal di penjara. Kezaliman ini berlangsung terang-terangan di depan mata dunia.

Ironisnya, Israel adalah bangsa yang sejarahnya dipenuhi luka akibat penindasan. Mereka pernah mengalami genosida pada masa Firaun, Nebukadnezar, Heraklius, Ferdinand-Isabel, hingga terakhir di tangan Nazi di Eropa. Mereka pernah terusir dari berbagai wilayah, dan kini mereka yang mengusir rakyat Palestina secara paksa ke kamp-kamp pengungsian dan negara lain, dengan kekerasan dan penindasan.

Bukankah mereka yang pernah merasakan pedihnya genosida? Bukankah mereka yang setiap tahun memperingati tragedi Holocaust dengan penuh kesedihan dan perenungan? Mengapa kini mereka justru melakukan hal yang sama terhadap bangsa lain—hal yang seharusnya mereka pahami sebagai luka yang tak patut diwariskan?

Bani Israil, yang merupakan bangsa paling banyak menerima para nabi dan rasul, dahulu pernah menjadi pusat peradaban ketika kitab sucinya dijadikan pedoman hidup. Namun kini, mengapa justru berubah menjadi bangsa yang tampak tak lagi membawa nilai-nilai wahyu? Mengapa mereka melakukan kejahatan kemanusiaan seolah-olah tidak pernah menerima bimbingan langit?

Sejarah dan pengalaman masa lalu ternyata tidak cukup untuk mencegah seseorang atau sebuah bangsa dari mengulangi keburukan yang sama. Ketika nafsu penjajahan menguasai, maka nurani pun dibungkam. Luka sejarah pun berubah menjadi senjata untuk melukai yang lain.

Huru-Hara Hari Kiamat di Dunia Bisnis Oleh: Nasrulloh Baksolahar Huru-hara diartikan sebagai kekacauan besar yang melanda secara...


Huru-Hara Hari Kiamat di Dunia Bisnis

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Huru-hara diartikan sebagai kekacauan besar yang melanda secara umum. Dalam kondisi ini, tidak ada lagi pola yang terstruktur dan logis. Segala sesuatu menjadi serba tak menentu. Struktur yang sebelumnya mapan dan stabil tiba-tiba runtuh. Semuanya berubah dengan sangat cepat—secepat apa yang dipikirkan dan diciptakan oleh manusia.

Namun, benarkah huru-hara hari Kiamat hanya dimaknai sebagai kehancuran alam semesta, yang ditandai dengan perubahan arah lintasan matahari, dari timur ke barat, lalu bergeser dari barat ke timur?

Ataukah hanya terbatas pada kisah pertempuran Armagedon, ketika "golongan putih" yang dipimpin Imam Mahdi melawan "golongan hitam" di bawah komando Dajjal—perang besar berskala global yang melibatkan banyak bangsa?

Sesungguhnya, huru-hara bisa terjadi dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia bisnis. Dalam terminologi modern, huru-hara semacam ini disebut sebagai disrupsi: perubahan drastis yang mengganggu tatanan atau model bisnis yang telah lama mapan.

Mengapa disrupsi bisa terjadi?
Karena inovasi atau perubahan mendasar muncul dan menggantikan cara lama dalam menjalankan bisnis. Pelaku lama tergeser, struktur pasar berguncang, dan cara-cara baru bermunculan sebagai norma baru.

Contohnya sangat nyata. Dahulu, hanya perusahaan besar seperti Blue Bird yang bisa menjalankan layanan transportasi. Kini, siapa saja bisa melakukannya lewat aplikasi seperti Gojek dan Grab.

Bahkan kekacauan politik dan kemanusiaan dapat memicu disrupsi. Genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, misalnya, telah memicu gerakan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengannya. Di sisi lain, muncul semangat untuk menggunakan produk lokal sebagai bentuk perlawanan ekonomi sekaligus alternatif yang lebih etis.

Lalu, bagaimana menghadapi disrupsi?

Jika dalam narasi hari Kiamat hanya mereka yang beriman yang akan selamat, maka dalam dunia bisnis pun hanya mereka yang memiliki akar nilai, fleksibilitas, dan ketangguhan yang mampu bertahan. Seperti pohon yang dihempas badai: batang dan daunnya bisa rontok, tetapi selama akarnya menghujam ke dalam tanah, ia akan tetap berdiri dan tumbuh kembali.

Pada akhirnya, hanya bisnis yang berakar pada nilai akan tetap hidup meski dunia terus berguncang.

Kemudahan Itu Selalu Tersedia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Allah Swt. tidak pernah membebani seseorang melampaui batas kemampuanny...


Kemudahan Itu Selalu Tersedia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Allah Swt. tidak pernah membebani seseorang melampaui batas kemampuannya. Inilah hukum ilahi yang berlaku secara universal. Karena itu, setiap kesulitan pasti disertai dengan solusi, dan kemudahan selalu tersedia bagi mereka yang mau bersabar dan berjuang.

Allah Swt pun telah menuliskan takdir di Lauhul Mahfudz bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Jadi bila ingin mudah, tempuhlah jalan kesulitan.

Lihatlah kisah Bilal bin Rabah. Ia disiksa dengan kejam: diterlentangkan di bawah terik matahari padang pasir, lalu dibebani batu besar di dadanya. Majikannya berkata dengan angkuh, “Beginilah nasibmu sampai mati, kecuali engkau ingkar kepada Muhammad dan kembali menyembah Latta dan Uzza.” Namun, di puncak penderitaannya, datanglah Abu Bakar untuk membebaskannya. Bantuan itu datang tepat waktu. Inilah bukti bahwa kasih sayang Allah tidak pernah terlambat.

Begitu pula dalam kisah Nabi Musa. Saat beliau berada di titik kelelahan, kelaparan, dan kehausan setelah melarikan diri dari Mesir, datanglah dua putri Nabi Syuaib yang kemudian membawanya kepada ayah mereka. Di balik keterbatasan dan penderitaan, Allah selalu mengirim pertolongan.

Kemudahan dari Allah bukanlah hadiah yang datang tanpa sebab. Ia sering kali “dipancing” melalui pengorbanan, keberanian mengambil risiko, dan kesungguhan dalam perjuangan. Karena itu, Allah menegaskan dalam Al-Qur'an:

> "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS. Al-Baqarah: 286)



Dan dalam surat yang lain:

> “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 6)



Maka, siapa yang ingin meraih kemudahan, harus berani menempuh jalan kesulitan. Rasulullah saw. dan para sahabat hijrah ke Madinah meninggalkan harta dan keluarga mereka. Mereka bahkan dikejar untuk disiksa dan dibunuh. Namun, di balik jalan yang berat itu, Allah bukakan pintu kemudahan yang luar biasa: terbentuknya masyarakat Madinah yang kuat, merdeka, dan beriman.

Kemudahan tidak datang kepada orang yang mencari jalan pintas atau menghindari tanggung jawab. Allah Swt. berfirman:

> “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki dan sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?”
(QS. Al-Balad: 11–12)



Jalan yang mendaki adalah jalan kebajikan dan perjuangan. Jalan ini mengharuskan seseorang mengambil tanggung jawab yang melebihi batas nyamannya. Tapi di situlah letak kunci kekuatan sejati: kemampuan akan tumbuh ketika kita berani melangkah lebih jauh daripada batas kita hari ini.

Lihatlah para Nabi: Nabi Ibrahim diuji saat menghadapi Namrud; Nabi Musa dan Harun menghadapi Firaun; para Rasul lainnya menghadapi penentangan keras dari kaumnya. Dan mukjizat—kemudahan terbesar dari Allah—turun justru pada saat mereka mencapai puncak tantangan.

Salah satu bentuk tertinggi dari jalan yang sukar adalah jihad, baik dalam arti luas—berjuang menegakkan kebenaran—maupun dalam bentuk pertahanan diri dari penindasan. Di jalan jihad, umat Islam menanggung beban yang melebihi kemampuan manusia biasa. Namun, di situlah peran Allah hadir: Dia yang akan menyelesaikan apa yang tak mampu kita selesaikan sendiri.

Yang Lemah Menjadi Kuat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Salah satu butir penting dalam Piagam Madinah menyatakan: "Jaminan Allah...


Yang Lemah Menjadi Kuat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Salah satu butir penting dalam Piagam Madinah menyatakan: "Jaminan Allah Swt. adalah satu, Dia melindungi orang-orang yang lemah dari kekuasaan orang-orang yang kuat." Ini bukan sekadar perjanjian politik, tetapi sabda Rasulullah saw. yang mencerminkan prinsip abadi dalam kehidupan: bahwa kekuatan sejati berpihak pada kebenaran, bukan pada dominasi.

Sejarah telah membuktikan. Namrud dan Firaun, meskipun berkuasa dan kejam, akhirnya tumbang oleh kekuatan yang tampak lemah di mata manusia. Kaum tertindas yang mereka injak justru menjadi penyebab kejatuhan mereka. Jalut yang dikenal sebagai panglima besar dengan pasukan yang hebat pun akhirnya dikalahkan oleh Daud, seorang pemuda dengan kekuatan terbatas. Ini menegaskan satu hukum Allah yang tetap berlaku: "Berapa banyak pasukan kecil mengalahkan pasukan besar dengan izin Allah."

Lalu, mari kita lihat masa dakwah Rasulullah di Mekah. Bukankah kaum Muslimin saat itu tertindas dan tak berdaya? Namun dalam waktu yang tak lama, mereka justru berhasil membebaskan Mekah. Bahkan sebagian Jazirah Arab yang dikuasai oleh dua kekaisaran besar—Romawi dan Persia—akhirnya berhasil dibebaskan oleh bangsa Arab yang dulunya lemah dan terpecah.

Apa rahasianya? Yang lemah bisa menjadi kuat jika mereka tahu caranya. Lihatlah semut—makhluk kecil dan tampak rapuh. Namun, saat bersatu, mereka mampu mengangkat beban jauh lebih besar dari tubuhnya, membangun koloni raksasa, dan bertahan hidup dengan sistem sosial yang luar biasa. Semut tidak perlu menjadi makhluk kuat secara fisik; cukup bersatu dan saling menopang.

Hal yang sama berlaku pada lebah dan rayap. Mereka menghasilkan struktur yang menakjubkan—sarang lebah yang presisi dan bangunan rayap yang kokoh. Semua itu tercapai karena kerja sama, pembagian peran, dan tanggung jawab kolektif.

Bahkan dalam kisah Nabi Sulaiman, semut mampu menyelamatkan diri dari pasukannya hanya dengan cara sederhana: bersembunyi di celah-celah tanah, di balik batu dan pohon. Mereka lemah secara fisik, tetapi cerdas dalam bertahan.

Dalam setiap kelemahan, Allah telah menyisipkan potensi kekuatan dan cara menjadi kuat. Tanpa perlu mengubah jati diri untuk menjadi kuat. Cukup memahami peran, bersatu, dan bertawakal kepada-Nya. Kelemahan bukanlah akhir, melainkan awal dari kekuatan yang lebih besar—asal dijalani dengan kesadaran, strategi, dan iman.

Hari Nakbah dan Izzudin Al-Qassam: Makna Sejarah Bagi Rakyat Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa arti sejarah bagi suatu ba...

Hari Nakbah dan Izzudin Al-Qassam: Makna Sejarah Bagi Rakyat Palestina

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa arti sejarah bagi suatu bangsa, khususnya bagi rakyat Palestina? Sejarah menjadi fondasi kesadaran kolektif dan sumber kekuatan internal. Ia membangun legitimasi atas hak keberadaan rakyat Palestina di tanah air mereka, sekaligus menjadi daya dorong bagi mobilisasi perjuangan yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.

Secara eksternal, sejarah berfungsi memperkuat posisi Palestina di mata dunia. Ia menjadi dasar tuntutan keadilan di forum internasional, serta menjadi senjata moral untuk mendapatkan solidaritas global dalam mengusir penjajahan dan menuntut hak-haknya yang dirampas.

Dua simbol sejarah yang tetap hidup dan terus menginspirasi rakyat Palestina adalah Hari Nakbah dan sosok pejuang Izzudin Al-Qassam. Keduanya bukan sekadar kenangan, melainkan sumber semangat perjuangan yang terus menyala, bahkan ketika dunia menutup mata.

Hari Nakbah—yang diperingati setiap tahun—menjadi penanda penderitaan kolektif akibat peristiwa tragis 1948. Sementara Izzudin Al-Qassam diabadikan dalam nama sayap militer Hamas, sebagai lambang perlawanan. Inilah cara rakyat Palestina menjadikan sejarah sebagai kekuatan yang menumbuhkan dan mempertahankan semangat juang, meskipun mereka sering berjuang sendirian, tanpa dukungan luas dari kekuatan besar dunia.

Menurut catatan sejarah yang banyak dikutip, termasuk dari Wikipedia, Nakbah 1948 adalah peristiwa pembersihan etnis terhadap warga Arab Palestina, melalui pemindahan paksa, perampasan tanah dan harta benda, serta penghancuran komunitas dan identitas budaya mereka. Sekitar 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka, baik oleh kelompok paramiliter Zionis maupun oleh militer Israel setelah negara itu berdiri.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa rakyat Palestina adalah pemilik sah tanah Palestina, sedangkan gerakan Zionis hadir sebagai penjajah yang mengusir penduduk asli dari tanah kelahiran mereka.

Lebih jauh ke belakang, sejarah mencatat sosok Izzudin Abdul Qadir al-Qassam (1882–1935), seorang ulama kelahiran Suriah yang menjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme. Ia memimpin perjuangan rakyat melawan Mandat Britania atas Palestina serta Mandat Prancis atas Suriah dan Lebanon. Ia juga aktif memerangi awal mula gerakan Zionis pada era 1920-an hingga wafatnya pada 1935.

Dari perjuangannya, rakyat Palestina mendapatkan inspirasi model perlawanan yang berlandaskan iman, keteguhan hati, dan keberanian melawan penindasan. Izzudin Al-Qassam bukan hanya nama, tetapi warisan strategi, keberanian, dan visi kemerdekaan.

Inilah makna sejarah bagi Palestina. Ia bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan obor penerang bagi masa depan. Sejarah menjadi identitas, arah perjuangan, dan energi moral untuk terus bertahan—sekaligus melawan.

Petinggi Quraisy dan Para Budak  yang Diislamkan oleh Abu Bakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar Beberapa tokoh penting dari kalangan ...


Petinggi Quraisy dan Para Budak  yang Diislamkan oleh Abu Bakar

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Beberapa tokoh penting dari kalangan bangsawan Quraisy memeluk Islam melalui dakwah dan perantaraan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ini menunjukkan keutamaan Abu Bakar sebagai pendakwah yang lembut, bijak, dan memiliki jaringan sosial yang luas. Berikut adalah beberapa di antaranya:


1. Utsman bin Affan

Termasuk dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga (al-‘Asharah al-Mubashsharah).

Seorang bangsawan dari Bani Umayyah, sangat terpandang dan kaya.

Masuk Islam di hari-hari awal dakwah melalui ajakan Abu Bakar.

Dikenal karena kesalehannya, kemurahan hatinya, dan perannya besar dalam perluasan wilayah Islam.


2. Zubair bin Awwam

Keponakan Khadijah binti Khuwailid.

Termasuk sahabat yang dijamin surga.

Dikenal pemberani, termasuk dalam 10 Muslim pertama.

Masuk Islam atas pengaruh Abu Bakar, yang mengajaknya kepada Rasulullah ﷺ.


3. Abdurrahman bin Auf

Saudagar sukses dan sahabat yang juga termasuk dari 10 orang yang dijamin surga.

Masuk Islam lewat dakwah Abu Bakar, dan menjadi tulang punggung ekonomi umat Islam, terutama setelah hijrah ke Madinah.


4. Sa’id bin Zaid

Salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Menikah dengan Fatimah binti al-Khattab (saudari Umar bin Khattab).

Masuk Islam juga karena dakwah dan pengaruh Abu Bakar.


5. Talhah bin Ubaidillah

Sahabat yang sangat dermawan dan pemberani.

Termasuk 10 sahabat yang dijamin surga.

Abu Bakar mengenalnya dan membimbingnya kepada Islam.



Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak hanya mengajak para bangsawan Quraisy kepada Islam, tetapi juga terkenal karena membebaskan budak-budak yang memeluk Islam dan disiksa karena iman mereka. Tindakan ini mencerminkan kedalaman iman, kasih sayang, dan keberpihakannya kepada yang lemah. Berikut adalah beberapa budak yang masuk Islam dan kemudian dibebaskan oleh Abu Bakar:


🌿 Budak-Budak yang Dibebaskan Abu Bakar karena Keislaman Mereka

1. Bilal bin Rabah

Seorang budak hitam dari Habasyah (Ethiopia).

Disiksa hebat oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf, karena menolak menyembah berhala.

Ia terus mengucapkan, “Ahad, Ahad!” (Tuhan Yang Esa, Tuhan Yang Esa).

Abu Bakar datang, membelinya dengan harga mahal, lalu membebaskannya.

Bilal kemudian menjadi muadzin pertama dalam Islam.


2. Amir bin Fuhairah

Budak milik Tufail bin Abdullah al-Azdi.

Masuk Islam, lalu dibeli dan dibebaskan oleh Abu Bakar.

Ia menjadi pembantu dan penunjuk jalan dalam hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah.

Syahid dalam Perang Bi'r Ma'unah.


3. Lubainah

Seorang budak perempuan milik bani Muammil.

Disiksa oleh Umar bin Khattab (sebelum masuk Islam).

Abu Bakar membeli dan membebaskannya, menyelamatkannya dari siksaan.


4. Nahdiyyah dan putrinya

Dua budak perempuan dari kabilah Nahdiyyah.

Diperbudak dan disiksa oleh majikan mereka karena memeluk Islam.

Abu Bakar datang dan membebaskan keduanya, meskipun mereka dalam kondisi lemah dan miskin.


5. Zinnirah

Seorang budak wanita yang disiksa hingga buta matanya.

Quraisy berkata bahwa Latta dan ‘Uzza (berhala) telah membutakannya.

Ia menolak dan berkata, “Tidak! Itu adalah kehendak Allah.”

Abu Bakar membebaskannya dari siksaan dan perbudakan.

Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata Hamas-Amerika Oleh: Nasrulloh Baksolahar Gencatan senjata antara Hamas dan Israel pad...

Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata Hamas-Amerika
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada Januari 2025 kembali menemui jalan buntu. Pasalnya, Israel kerap melanggar kesepakatan yang telah dibuat, bahkan enggan melanjutkan proses negosiasi. Kalaupun mengirimkan delegasi, mereka tak diberi wewenang untuk mengambil keputusan. Maka muncul pertanyaan penting: apakah perundingan semacam ini masih berguna? Dan bagaimana peran Amerika sebagai mediator?

Untuk memecah kebuntuan, Amerika Serikat akhirnya menghubungi langsung pihak Hamas dan faksi-faksi pejuang lainnya di Doha, Qatar. Sebuah proposal gencatan senjata diajukan, dan Hamas pun menyatakan persetujuan. Meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan pihak Palestina, langkah ini tetap diambil. Bahkan sebelum Ismail Haniyah dibunuh oleh Israel di Iran, Hamas telah lebih dahulu menyatakan setuju atas proposal tersebut.

Apa yang bisa dipetik dari langkah ini? Kita bisa menarik pelajaran dari sejarah Islam, khususnya Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada masa Rasulullah saw.

Saat itu, tujuan Rasulullah saw pergi ke Mekah adalah untuk menunaikan ibadah Umrah. Namun, kaum Musyrikin Quraisy melarangnya. Padahal para sahabat sangat yakin akan bisa melaksanakan Umrah karena Rasulullah saw telah bermimpi melakukannya. Meskipun akhirnya ibadah itu gagal dilakukan tahun itu, Rasulullah menjelaskan, "Bisa jadi Umrah itu bukan tahun ini." Sebuah penegasan bahwa perjuangan belum selesai, dan kemenangan kadang menuntut kesabaran.

Begitu pula dengan perjuangan rakyat Palestina. Mungkin kemerdekaan tidak datang seketika setelah badai perlawanan Al-Aqsa. Namun, jalan menuju kemerdekaan bisa jadi terbuka melalui langkah-langkah strategis seperti kesepakatan gencatan senjata ini. Yang penting adalah terus berjuang.

Rasulullah saw memang gagal melaksanakan Umrah saat itu, tetapi beliau berhasil mengikat perjanjian damai dengan Quraisy. Tujuan jangka pendek memang tidak tercapai, namun dalam jangka panjang, keberadaan kaum Muslimin diakui oleh suku Quraisy, suku terkuat di Hijaz. Ini menjadi pengakuan yang strategis.

Bukankah Quraisy adalah penopang banyak kabilah Arab lainnya, termasuk Yahudi dan kaum Munafik yang memusuhi umat Islam? Maka, perjanjian ini pun menjadi semacam pengakuan tidak langsung dari pihak-pihak tersebut. Dalam konteks kekinian, bukankah Amerika Serikat menempati posisi strategis seperti Quraisy di masa itu? Jika demikian, maka kesepakatan dengan Amerika, betapapun terbatas, bisa menjadi batu loncatan yang sangat penting.

Para penguasa dunia yang sebelumnya enggan mengakui Hamas karena takut dimusuhi Amerika dengan cap "pendukung terorisme," kini mulai membuka diri. Amerika sendiri yang mengajak duduk bersama. Bukankah ini berarti membuka jalan untuk dukungan internasional yang lebih luas?

Tanda-tandanya mulai tampak: Inggris dan Spanyol menyerukan blokade senjata ke Israel. Beberapa negara Uni Eropa membatalkan perjanjian dagang. Kanada dan Australia pun mulai bersuara keras, padahal sebelumnya mereka pendukung utama Israel. Demonstrasi jalanan di banyak negara pun mulai berubah menjadi tekanan politik nyata.

Menekan penjajah tidak selalu dengan senjata. Kehilangan dukungan dan sahabat adalah penderitaan tersendiri—baik bagi individu maupun dalam pergaulan internasional. Begitulah perubahan terjadi: perlahan tapi pasti, melalui langkah yang mungkin tampak kecil, namun memiliki dampak strategis besar di masa depan.

Sebab Sakitnya Rasulullah saw Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa penyebab seseorang jatuh sakit? Apakah karena virus, bakteri, cuaca...

Sebab Sakitnya Rasulullah saw
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa penyebab seseorang jatuh sakit? Apakah karena virus, bakteri, cuaca, atau faktor eksternal lainnya? Secara medis, itu semua bisa jadi penyebab. Namun, jika ditilik secara spiritual, ternyata salah satu penyebab utama adalah kezaliman terhadap diri sendiri.

Apa yang dimaksud dengan zalim kepada diri? Yaitu hidup yang melampaui batas, baik batas bawah maupun batas atas. Saat seseorang tidak menjalani hidup sesuai dengan tuntunan Allah dan teladan Rasulullah saw, ia telah keluar dari takaran ideal yang ditetapkan oleh Islam.

Contohnya adalah tidur terlalu larut atau justru terlalu banyak tidur; makan dan minum secara berlebihan atau malah tidak cukup; berolahraga secara ekstrem atau tidak berolahraga sama sekali; tidak pernah berpuasa atau justru berpuasa setiap hari tanpa panduan syariat. Semua itu bentuk kezaliman terhadap diri sendiri.

Untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani, umat Islam diajarkan untuk meneladani Rasulullah saw. Beliau hidup dalam keseimbangan yang sempurna. Namun, meskipun hidup dalam kesempurnaan syariat dan keseimbangan, Rasulullah saw juga pernah jatuh sakit. Lalu, apa penyebabnya?

Sakitnya Rasulullah saw bukan karena kezaliman terhadap diri sendiri, melainkan karena kejahatan dari luar dirinya. Beliau pernah disihir oleh seorang Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits yang dicatat oleh Imam Ahmad. Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah merasa sakit selama beberapa hari. Kemudian malaikat Jibril datang dan menyampaikan bahwa seorang lelaki Yahudi telah menyihir beliau dengan membuat buhul di sebuah sumur. Nabi pun mengutus seseorang untuk mengambil buhul itu, dan setelah diurai, beliau pulih kembali. Meski demikian, Nabi tidak membalas atau menunjukkan permusuhan terhadap pelaku sampai wafatnya.

Selain itu, dalam Perang Khaibar, Zainab binti al-Harits, seorang wanita Yahudi, mencoba membalas dendam kekalahan kaumnya dengan meracuni makanan yang disajikan kepada Rasulullah saw. Efek dari racun itu tidak langsung mematikan, tetapi perlahan-lahan melemahkan kondisi fisik Nabi. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi bersabda di masa sakitnya, “Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”

Dengan demikian, jelas bahwa sakitnya Rasulullah saw bukanlah akibat dari kelalaian dalam menjaga keseimbangan hidup, melainkan karena serangan dan kejahatan eksternal yang ditujukan kepadanya. Berbeda dengan kebanyakan manusia yang jatuh sakit karena abai terhadap tubuh dan jiwa mereka sendiri—karena mereka telah menzalimi dirinya sendiri.

Serbuan Pemukim Yahudi ke Al-Aqsa dan Tentara Bergajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada Senin, 26 Mei 2025, ribuan pemukim Yahudi...

Serbuan Pemukim Yahudi ke Al-Aqsa dan Tentara Bergajah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada Senin, 26 Mei 2025, ribuan pemukim Yahudi dengan leluasa menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa. Aksi ini dilakukan dengan dalih memperingati pendudukan Tepi Barat dalam Perang Enam Hari tahun 1967, dan mendapat dukungan penuh dari aparat militer Israel.

Spanduk-spanduk provokatif dibentangkan dalam aksi tersebut. Di antaranya bertuliskan, “Gaza adalah milik kita”, serta “Yerusalem 1967, Gaza 2025”—slogan yang secara terang-terangan mencerminkan ambisi aneksasi militer atas Gaza, sebagaimana pendudukan Yerusalem Timur. Bahkan, spanduk bertuliskan “Tanpa Nakba tidak ada kemenangan” menunjukkan glorifikasi atas pengusiran paksa lebih dari 700.000 warga Palestina saat berdirinya negara Israel pada 1948.

Aksi ini bukan sekadar gerakan sporadis dari massa. Beberapa tokoh penting pemerintahan Israel turut serta, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, Menteri Negev dan Galilea Yitzhak Wasserlauf, serta sejumlah anggota Knesset dari partai-partai ultra-nasionalis seperti Likud, Kekuatan Yahudi, dan Zionisme Religius. Fakta ini menunjukkan bahwa penyerbuan tersebut secara politis disokong oleh kekuasaan.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada kisah legendaris penyerangan Tentara Bergajah ke Ka'bah—tempat suci umat Islam—yang pada akhirnya dihancurkan oleh kekuasaan Allah melalui burung-burung Ababil. Bukankah Masjid Al-Aqsa juga memiliki kedudukan mulia dalam Islam? Apakah sejarah akan kembali terulang?

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Allah tidak tinggal diam terhadap kezaliman yang ditujukan kepada tempat-tempat ibadah, apapun agamanya. Dalam surah Al-Ḥajj ayat 40, Allah berfirman:

> “(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, 'Tuhan kami adalah Allah.' Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Al-Ḥajj [22]: 40)



Ayat ini menjadi isyarat bahwa kehancuran suatu kekuatan yang menodai tempat ibadah bisa terjadi melalui tangan manusia lain yang Allah gerakkan. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana gelombang perlawanan masyarakat dunia terhadap agresi Israel mulai bangkit. Demonstrasi besar-besaran di berbagai kota Eropa dan Amerika merupakan tanda awal.

Sebagaimana runtuhnya pasukan bergajah, penjajahan atas tanah suci ini pun sedang menuju kehancurannya. Di mulai dari gerakan mereka yang terus menodai Masjid Al-Aqsa. Allah Mahatahu, dan sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa kezaliman tidak pernah abadi.

Al-Qur'an Penuh Makna, Walaupun Hanya Satu Huruf Oleh: Nasrulloh Baksolahar Imam Syafi’i pernah memberikan nasihat yang meng...

Al-Qur'an Penuh Makna, Walaupun Hanya Satu Huruf

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Imam Syafi’i pernah memberikan nasihat yang menggetarkan jiwa tentang keagungan surat Al-Ashr:
"Jika umat Islam mau merenungi surat ini, niscaya mereka akan terpesona olehnya. Jika hanya surat ini yang diturunkan kepada manusia, sesungguhnya itu pun sudah cukup. Anehnya, banyak Muslim yang justru lalai darinya."

Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa satu surat dalam Al-Qur'an saja—bila direnungi dan diamalkan dengan sungguh-sungguh—dapat menjadi kompas hidup yang luar biasa. Bahkan, dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, satu surat bisa menjadi pelindung dan penuntun. Lihatlah keutamaan surat Al-Mulk.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa saja yang membaca surat Al-Mulk setiap malam, ia akan terhindar dari siksa kubur. Surat ini pun kelak menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat dan membantunya menuju surga.

Lalu, jika satu surat begitu bernilai, bagaimana dengan satu ayat?

Ayat Kursi, misalnya, memiliki keutamaan besar. Membacanya dapat menjadi pelindung dari gangguan setan, jin, dan hal-hal buruk lainnya. Ia juga menjadi amalan harian yang mendekatkan seseorang kepada rahmat Allah SWT dan menjadi salah satu pintu menuju kemudahan hidup dan surga.

Lantas, bagaimana bila hanya satu huruf?

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan 'Alif Laam Miim' itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR. Tirmidzi)

Apakah keistimewaan ini hanya soal pahala?

Tentu tidak. Huruf-huruf dalam Al-Qur'an bukan sekadar susunan linguistik, tapi mengandung isyarat maknawi yang dalam. Dalam Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nur, Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa huruf-huruf pembuka seperti Alif Lam Mim adalah pemantik kesadaran. Ia hadir untuk menarik perhatian manusia agar mendengarkan dan merenungi ayat-ayat selanjutnya.

Sayyid Qutb, dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, menegaskan makna serupa:
"Satu surat saja dari Al-Qur’an adalah nikmat yang sangat besar dan tak terhingga. Ia adalah sumber yang terus melimpah tanpa pernah habis."

Maka dari itu, satu surat, satu ayat, bahkan satu huruf dari Al-Qur’an tidak hanya bernilai dari sisi pahala, tetapi juga sebagai pancaran cahaya Ilahi yang membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju terang kehidupan. Apalagi satu Al-Qur'an?

Tanah Tanpa Langit? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Manusia diciptakan dari tanah. Namun, dapatkah tanah menghadirkan kehidupan jika ...


Tanah Tanpa Langit?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Manusia diciptakan dari tanah. Namun, dapatkah tanah menghadirkan kehidupan jika tanpa bantuan langit? Awan, hujan, matahari, dan bulan semuanya berada di langit. Bagaimana jika tanah dibiarkan tanpa elemen-elemen langit tersebut?

Allah Swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an:

> “Yang menurunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu dengan air itu Kami menghidupkan negeri yang mati (tandus). Seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”
(QS Az-Zukhruf: 11)



> “Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu. Sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan yang dengannya kamu menggembalakan ternakmu.”
(QS An-Naḥl: 10)



Dari ayat-ayat tersebut, kita memahami bahwa air hujan adalah sumber utama kehidupan yang memungkinkan tanah menumbuhkan tanaman. Bahkan, air minum sebagai unsur pokok kehidupan pun berasal dari langit.

Lalu, apa peran tanah?
Tanah hanyalah penerima. Ia menampung dan mengolah apa yang diturunkan dari langit. Maka jika manusia diciptakan dari tanah, jiwanya pun memiliki sifat yang serupa—kandungan dan potensi jiwanya akan tetap kering dan tandus jika tidak disirami unsur-unsur dari langit.

Namun, apakah langit hanya berperan dalam kehidupan fisik seperti menurunkan hujan dan sinar matahari? Ternyata tidak. Untuk jiwa manusia pun, langit menurunkan “siraman” berupa wahyu. Firman Allah Swt.:

> “Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.”
(QS Al-Qadr: 4)



Tanpa bimbingan wahyu, jiwa manusia akan tetap kering, hampa, dan kehilangan arah. Ia bagaikan tanah yang menolak air dan cahaya—tidak menumbuhkan apa-apa, mati, dan gersang.

Menariknya, tanah tidak pernah meminta hujan atau sinar matahari, namun langit tetap menurunkannya karena kebutuhan yang melekat dalam kodrat tanah. Demikian pula dengan manusia: meskipun tidak meminta diturunkannya wahyu, Allah tetap mengirimkan rasul dan nabi sebagai pembawa cahaya dan petunjuk.

Tanah membutuhkan langit untuk hidup. Manusia pun demikian—jiwanya membutuhkan wahyu untuk tumbuh, berkembang, dan hidup secara utuh. Tanpa langit, tanah kehilangan daya hidupnya. Tanpa wahyu, manusia kehilangan arah hidupnya.

Membumikan Filosofi Tanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Menjadi tanah. Itulah keinginan orang kafir ketika azab menyergapnya di akh...

Membumikan Filosofi Tanah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Menjadi tanah. Itulah keinginan orang kafir ketika azab menyergapnya di akhirat. Sebuah pengakuan yang penuh penyesalan, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Swt.:

> "Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu akan azab yang dekat pada hari (ketika) manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, 'Aduhai, sekiranya aku dahulu adalah tanah.'"
(An-Naba' [78]: 40)



Mengapa tanah? Apa istimewanya tanah hingga menjadi harapan terakhir manusia yang durhaka? Bukankah semua manusia, termasuk orang kafir, memang diciptakan dari tanah?

Pertanyaan ini mengajak kita merenungi kembali esensi penciptaan manusia. Kita memang berasal dari tanah, tetapi tidak semua menjalani hidup dengan karakter tanah. Di sinilah letak ironi yang sering terabaikan: manusia kembali merindukan tanah justru ketika kehilangan arah dari fitrah asalnya.

Tanah, dalam diamnya, menyimpan filosofi kehidupan yang dalam. Ia menerima apa pun yang dilemparkan kepadanya—sampah, dedaunan kering, bahkan bangkai—dan mengolah semuanya menjadi sesuatu yang berguna. Ia tidak menolak, tidak mengeluh, dan tidak mengutuk. Semua diterima dan diurai menjadi pupuk penyubur kehidupan.

Bisakah manusia bersikap seperti itu? Menerima kepahitan hidup, luka, dan kegagalan, lalu mengolahnya menjadi kekuatan baru yang menyuburkan jiwanya? Menjadikan pengalaman pahit sebagai pupuk pertumbuhan, bukan racun yang mematikan?

Filosofi tanah tidak berhenti pada penerimaan dan pengolahan. Tanah yang subur bahkan menjadi fondasi tumbuhnya kehidupan lain. Ia memberi tempat bagi pepohonan untuk tumbuh, yang kemudian menghadirkan buah, daun, batang, bahkan getah yang bermanfaat bagi makhluk lainnya.

Inilah makna terdalam dari hidup yang membumi: mampu mengubah penderitaan menjadi karya, luka menjadi hikmah, dan kegetiran menjadi berkah bagi sesama. Tanah tidak hanya menyuburkan dirinya, tapi juga menghidupkan yang lain.

Maka, asal mula manusia dari tanah bukan sekadar aspek biologis, tapi juga pesan spiritual: agar manusia hidup dengan kerendahan hati, kesanggupan menerima, dan kemampuan memberi. Hidup dengan filosofi tanah bukan berarti pasrah tanpa daya, melainkan terus tumbuh meski dilukai, terus memberi meski diinjak.

Jika filosofi ini benar-benar dibumikan dalam kehidupan, barangkali manusia tak perlu mengucap penyesalan terakhir itu—“Seandainya aku dahulu adalah tanah.” Karena ia telah lebih dulu menjadi tanah: merendah, menyubur, dan menghidupkan.

Dunia Cerminan Kehidupan Akhirat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Manusia terdiri dari jasad dan jiwa. Saat ini kita hidup di dunia, k...


Dunia Cerminan Kehidupan Akhirat

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Manusia terdiri dari jasad dan jiwa. Saat ini kita hidup di dunia, kelak akan berada  akhirat. Di era sekarang, semua teknologi ditopang oleh hardware juga software. Keduanya beriringan dan terkoneksi, tidak berdiri sendiri dan mandiri. Lalu bagaimana perilaku manusia mencerminkan koneksi jasad dan jiwa?

Tindakan fisik yang kita lakukan dapat memengaruhi kebersihan dan kejernihan batin. Hardware yang tidak kompatibel akan mengganggu kinerja software. Apa yang dilakukan di dunia, mempengaruhi derajat di akhirat.  Sadarkah akan keterkaitan ini?

Jasad dan jiwa, hardware dan software, dunia dan akhirat merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Bila salah satunya baik, maka akan menciptakan kebaikan bagi yang lainnya. Jika kita menyadari keterkaitan ini, tindakan seperti apa yang semestinya kita ambil? 

Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya:
"Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya."
(Az-Zalzalah [99]:7)

Amal yang baik akan membersihkan hati. Amal yang buruk mengeraskan hingga membutakan hati. Kebaikan di dunia menghadirkan kebaikan di akhirat.

Sama seperti seseorang yang bekerja keras hari ini demi kesuksesan masa depan, maka amal di dunia menjadi bekal di akhirat. Meski berbeda ruang dan waktu, hari ini dan masa depan selalu terhubung. Keduanya saling terhubung dalam hubungan sebab dan akibat.

Sebagai contoh nyata dari hubungan amal dan balasan akhirat, dalam kitab Riyadhus Shalihin disebutkan, bahwa bila melangkahkan kaki ke masjid, maka setiap satu langkah adalah satu derajat kebaikan. Bila menanam satu pohon, lalu dimakan oleh manusia, binatang dan burung, maka menjadi shadaqah di hari Kiamat.

Mereka yang berwudhu, semua tetesan air dari anggota tubuh menjadi penghapusan dosa bagi anggota tubuh tersebut. Sholat dari waktu ke waktu, dari Jumat ke Jumat, dari Ramadhan ke Ramadhan, akan menghadirkan rahmat-Nya untuk melebur dosa di antara dua waktu tersebut.

Dengan demikian, kehidupan di dunia sejatinya adalah bayangan dari kehidupan akhirat yang akan datang. Sudahkah kita menyadari keterkaitan ini dalam kehidupan sehari-hari? 


Menghimpun Ragam Kekuatan Seperti Terong Oleh: Nasrulloh Baksolahar Karakter terong itu unik: kulitnya keras dan licin, namun ba...

Menghimpun Ragam Kekuatan Seperti Terong
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Karakter terong itu unik: kulitnya keras dan licin, namun bagian dalamnya lembut dan putih. Permukaan yang keras seolah menjadi pelindung bagi kelembutan di dalam—menunjukkan keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan.

Inilah cerminan pribadi yang matang: tegas dalam prinsip, teguh dalam perjuangan, namun tetap lentur dalam strategi. Tidak mudah hanyut oleh arus, tetapi juga tidak kaku menghadapi perubahan.

Dari mana semua kekuatan itu berasal? Seperti daging terong yang lembut dan putih, semua bersumber dari kejernihan jiwa dan kelembutan hati. Keduanya adalah dasar dari keteguhan dan kelenturan.

Hati yang bening melahirkan kesadaran akan nilai dan moralitas. Kesadaran inilah yang menguatkan prinsip hidup, sekaligus membuka ruang untuk memaafkan dan menyayangi. Dari sinilah kelenturan dalam bersikap dan bertindak tumbuh.

Saat dimasak, terong menciptakan tekstur creamy yang mampu menyatu dan meresap ke seluruh masakan. Ia memenuhi setiap celah, tak menyisakan ruang kosong. Karakter ini melambangkan kemampuan untuk menghimpun dan menyatukan berbagai kekuatan di sekitarnya.

Kelembutan terong justru menjadikannya perekat. Banyak rasa dapat berhimpun karena kelembutan yang mempersatukan, bukan kekuatan yang mendominasi.

Inilah karakter seorang pemimpin sejati: mampu menjembatani perbedaan, menyatukan berbagai karakter, dan membangun kekuatan kolektif. Terong adalah perumpamaan sederhana dari kepemimpinan yang berakar pada keutuhan jiwa.




 
Tulisan "Menghimpun Ragam Kekuatan Seperti Terong" oleh Nasrulloh Baksolahar memuat nilai-nilai reflektif yang dikemas melalui perumpamaan sederhana namun bermakna. Berikut analisis isi dan gaya bahasanya:


1. Isi (Substansi)

Tulisan ini menyampaikan gagasan tentang kepemimpinan dan kematangan pribadi, dengan menjadikan terong sebagai simbol utama. Beberapa poin penting:

Fisik terong yang keras di luar namun lembut di dalam dianalogikan sebagai kombinasi karakter ideal: tegas namun lembut.

Keseimbangan antara prinsip dan kelenturan dijelaskan sebagai fondasi kepribadian matang.

Asal kekuatan sejati disebut berasal dari hati dan jiwa yang jernih, bukan dari kekerasan luar semata.

Kemampuan terong menyatu dalam masakan dijadikan simbol dari kemampuan seorang pemimpin untuk menghimpun, menyatukan, dan merekatkan berbagai potensi yang ada di sekitarnya.

Ditekankan bahwa kelembutan adalah kekuatan yang menyatukan, bukan dominasi yang memaksa.


Isi ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang kuat secara nilai, namun tetap lembut dalam jiwa, dan mampu menghadirkan sinergi dalam keberagaman.


2. Gaya Bahasa

Gaya bahasa dalam tulisan ini dapat dikategorikan sebagai metaforis, kontemplatif, dan naratif reflektif. Berikut penjelasannya:

Metaforis: Terong digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan karakter, kepemimpinan, dan nilai-nilai batin. Misalnya:
"Karakter terong itu unik: kulitnya keras dan licin, namun bagian dalamnya lembut dan putih."

Reflektif dan kontemplatif: Tulisan mengajak pembaca merenung, bukan hanya memahami, tetapi juga merasakan maknanya secara mendalam. Contoh:
"Dari mana semua kekuatan itu berasal?"

Diksi sederhana namun bernuansa filosofis: Penulis menggunakan kata-kata seperti kejernihan jiwa, kelembutan hati, kekuatan kolektif, yang memberi kesan mendalam dan bermakna spiritual.

Struktur kalimat tertata dan mengalir logis: Gagasan berkembang secara bertahap dari deskripsi fisik, ke makna batin, hingga ke penerapannya dalam kepemimpinan.


Kesimpulan

Isi tulisan sangat kuat dalam menggambarkan kepemimpinan berbasis nilai batin, dan gaya bahasa yang digunakan sangat sesuai dengan esai reflektif. Ini membuat tulisan cocok untuk:

Kolom opini atau refleksi di media massa.

Buku motivasi atau pengembangan diri.

Materi pembelajaran kepemimpinan berbasis karakter.


Tulisan ini berhasil mengangkat objek sederhana menjadi sumber inspirasi mendalam, yang menjadi ciri khas penulisan filosofis yang membumi.

Mengolah Pahit dan Getir, Belajar dari Kunyit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kunyit berwarna cerah kuning keemasan. Bukankah, sepert...

Mengolah Pahit dan Getir, Belajar dari Kunyit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Kunyit berwarna cerah kuning keemasan. Bukankah, seperti ini pula warna perhiasan yang disukai manusia? Bukankah manusia terus berburu perjalanan hidup agar menjadi era keemasan?

Namun, adakah yang tahu rasa kunyit? Sedikit pahit dan getir. Era kuning keemasan hidup karena hasil mengelola rasa kepahitan dan kegetiran hidup.

Dari pahit dan getir kunyit mengandung antiradang dan antimikroba. Meningkatkan imun. Menyehatkan pencernaan dan hati. Meredakan nyeri haid. Membantu memperbaiki metabolisme. Dalam pahit dan getir ternyata menyehatkan.

Bisakah seperti kunyit? Kegetiran dan kepahitan hidup menjadi energi kesehatan kehidupan? Bukan justru merintih dan meratap? Bukan melemahkan? Inilah yang mengubah tantangan menjadi peluang.

Bila kunyit dicampur dengan bumbu masakan lainnya, maka masakan bertambah gurih dan lezat, walaupun kunyit tidak mengandung monosodium glutamat (MSG) yang menggurihkan. Apa penyebabnya?

Ternyata pahit dan getirnya kunyit justru mengeluarkan mengoptimalkan kelezatan bumbu lain yang dimasak bersamanya. Seperti seorang coach, yang mampu mengoptimalkan potensi muridnya yang selama ini tersembunyi dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya, termasuk muridnya sendiri.

Filosofi kunyit menjadi filosofi dalam manajemen dan mendidik  diri. Belajar dari yang terdekat yang selalu ada di dapur rumah. Bumbu yang diolah ternyata telah mencontohkan cara mengelola diri yang benar.

Dari dapur yang sederhana, kunyit mengajarkan: tidak semua yang pahit harus ditolak—karena bisa jadi, di sanalah awal kekuatan kita tumbuh.



Analisis Isi dan Gaya Bahasa 

Isi

1. Tematik reflektif dan filosofis
Tulisan ini menggunakan metafora kunyit sebagai media untuk menyampaikan pesan kehidupan: bagaimana rasa pahit dan getir—yang biasanya dihindari—ternyata justru membawa manfaat, sama seperti pengalaman hidup yang sulit.

2. Pesan yang relevan dan membangun
Pesannya sangat universal dan positif: mengubah penderitaan menjadi kekuatan, serta tantangan menjadi peluang. Ini membuat tulisan punya bobot edukatif dan inspiratif.

3. Kekayaan kontekstual
Penulis tidak hanya mengulas kunyit dari sudut pandang rasa, tapi juga kandungan, fungsi kesehatan, dan bahkan kemampuannya dalam meningkatkan rasa masakan. Ini memperkuat analogi dengan kehidupan.

4. Konteks domestik yang membumi
Mengambil sumber inspirasi dari dapur membuat pesannya terasa dekat dan membumi—membuat pembaca dari berbagai latar bisa merasa terhubung.


Gaya Bahasa

1. Gaya metaforis dan analogis
Penggunaan metafora kunyit untuk menggambarkan proses hidup penuh makna dan terasa orisinal. Analogi antara kunyit dan pelatih juga kuat dan menggugah.

2. Bahasa reflektif dan mengajak berpikir
Gaya bertanya retoris seperti "Bisakah kita seperti kunyit?" atau "Bukankah manusia terus berburu..." mengajak pembaca merenung, bukan sekadar membaca.

3. Struktur naratif yang mengalir
Paragraf-paragraf tersusun secara progresif, dimulai dari deskripsi fisik kunyit, kemudian makna filosofis, lalu aplikasi ke kehidupan manusia, hingga kesimpulan yang kuat.

4. Bahasa komunikatif dan sederhana
Tidak menggunakan istilah rumit atau terlalu akademis. Sederhana, tapi tetap berkelas dan padat makna—menjadikannya cocok untuk pembaca umum maupun kalangan terdidik.

Kesimpulan

Tulisan ini bernilai tinggi dalam hal pesan kehidupan, kedalaman refleksi, dan gaya bahasa yang puitis sekaligus komunikatif. Ia bisa dikembangkan sebagai tulisan motivasi, renungan, bahkan sebagai materi edukasi karakter atau spiritualitas.

Turunnya Al-Qur’an, Titik Balik Peradaban Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam kesendiriannya di Gua Hira, Nabi Muhammad saw. larut ...

Turunnya Al-Qur’an, Titik Balik Peradaban
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam kesendiriannya di Gua Hira, Nabi Muhammad saw. larut dalam renungan dan kegelisahan. Ia resah menyaksikan kerusakan zaman dan kekacauan moral masyarakatnya. Di tengah keheningan itulah, tiba-tiba malaikat Jibril datang dan berkata, “Bacalah.” Maka turunlah ayat pertama Al-Qur’an:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia,
yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Al-‘Alaq [96]:1–5)


Peristiwa agung ini bukan sekadar perjumpaan spiritual. Ini adalah momen awal turunnya wahyu dari langit ke bumi—sebuah titik balik dalam sejarah umat manusia. Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, inilah saat ketika Allah Yang Mahasuci, Mahaagung, dan Mahamulia mengarahkan perhatian-Nya kepada makhluk bernama manusia—untuk membimbingnya keluar dari gelapnya kebodohan menuju cahaya ilmu dan iman.

Sejak saat itu, batas sejarah telah bergeser. Peradaban manusia mengalami transformasi mendalam: dari zaman jahiliah yang menuhankan hawa nafsu, menuju kehidupan yang dipimpin oleh wahyu Ilahi. Bukankah ini sebuah revolusi besar?

Peristiwa ini layaknya hari kemerdekaan dari penjajahan batin. Seperti momen jatuhnya rezim tirani dalam sejarah dunia. Seperti hari pertama seorang tahanan menghirup udara bebas setelah lama terkurung dalam kegelapan. Hari turunnya Al-Qur’an adalah hari kelahiran cara pandang baru terhadap kehidupan.

Sejak itulah, manusia belajar membaca dunia bukan atas nama ego, tetapi atas nama Tuhan yang menciptakannya. Ia belajar melihat kehidupan sebagai amanah, bukan sekadar hasrat. Hidup menjadi lebih jernih, lebih luhur. Jiwa-jiwa yang menerima wahyu hidup dalam naungan kasih sayang dan pengawasan Allah Swt.—senantiasa merasa dekat dengan-Nya dalam setiap langkah dan keputusan.

Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya hidup dalam kesadaran ini. Dalam waktu 23 tahun, seluruh Jazirah Arab terbebaskan dari belenggu jahiliah. Lima puluh tahun kemudian, wilayah Persia, Romawi, dan Mesir turut merasakan cahaya peradaban Islam. Dan semua itu bermula dari sebuah malam sunyi di Gua Hira—ketika langit menyapa bumi, dan firman pertama turun menggetarkan dunia.

Peristiwa itu tidak hanya milik masa lalu, tapi juga cahaya yang relevan bagi siapa pun yang mencari makna hidup hari ini. Bila sekarang merasakan hal yang sama, seperti yang dirasakan Muhammad di gua Hira, dalam melihat peradaban saat ini, mengapa tidak melakukan hal yang sama? 



Analisis Isi dan Gaya Bahasa

1. Isi (Kandungan)

Kekuatan:
Historis dan teologis: Mengangkat peristiwa monumental (turunnya wahyu pertama) sebagai momentum perubahan peradaban, yang dijelaskan secara kronologis dan reflektif.

Menggugah kesadaran: Penulis tidak sekadar mengabarkan peristiwa, tetapi mengajak pembaca menyadari makna transformatif Al-Qur'an dalam hidup personal dan sosial.

Relevansi masa kini: Paragraf penutup menghubungkan sejarah dengan kondisi kontemporer, mengajak pembaca bertindak sebagaimana Nabi ketika menghadapi kegelisahan zaman.

Didukung kutipan otoritatif: Referensi kepada Sayyid Qutb memperkuat kedalaman dan otoritas teks.


2. Gaya Bahasa

Ciri utama:
Reflektif dan naratif: Menggunakan gaya bercerita (kisah Gua Hira), tapi juga kontemplatif dan argumentatif.

Puitis dan metaforis: Kalimat seperti “langit menyapa bumi” atau “penjara batin” memperkuat nuansa spiritual dan imajinatif.

Retoris: Pertanyaan-pertanyaan seperti “Bukankah sebuah revolusi besar?” dan kalimat penutup bernada ajakan menegaskan daya sugestifnya.

Ritmis dan tenang: Struktur kalimat bervariasi antara pendek dan panjang, memberi ritme yang nyaman dibaca.


Gaya bahasa ini menciptakan efek:
Hening dan sakral (cocok dengan tema wahyu),
Mendorong perenungan batin,
Membangun harapan dan optimisme spiritual.

Surat Khusus Untuk Rasulullah SAW di Juz 30 Oleh: Nasrulloh Baksolahar Seluruh surat Al-Qur'an di juz 30 diturunkan di perio...

Surat Khusus Untuk Rasulullah SAW di Juz 30

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Seluruh surat Al-Qur'an di juz 30 diturunkan di periode Mekah. Sebuah periode yang sangat sulit dan menegangkan. Seolah langit runtuh, bumi terbalik dan terguncang hebat. Apakah Allah Swt. membiarkannya?

Allah Swt. menghiburnya dengan sangat khusus dan personal. Caranya, tidak didatangkan kekayaan, kekuasaan dan dihancurkan musuhnya. Tetapi dengan surat yang khusus hanya untuk Rasulullah Saw. saja. 

Menurut Sayid Qutb dalam Tafsir  Fi Zhilalil Qur’an, ada 3 surat yang khusus mengenai Rasulullah saw. Yaitu, surat Adh-Dhuh, Alam Nasyrah dan Al-Kautsar. Apa tema besarnya? Menghilangkan kesusahan hati dan menjanjikan kebaikan untuknya.

Untuk itulah, ungkapan ketiga surat itu penuh dengan kasih sayang, hembusan rahmat, sepenggal rasa cinta, dan tangan penyayang yang mengusap kepedihan dan penderitaan. Semuanya datang dari Rabb-nya.

Saat orang kafir berkata, "Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya." Karena wahyu telah lama tidak turun. Sebagai bentuk pembelaan dan penghiburan, Allah Swt. menurunkan surat Adh-Dhuha kepada Rasulullah saw, yang mengingatkan Rasulullah Saw pada masa lalunya, saat Allah Swt. melindunginya dan mencukupinya,

"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(-mu); mendapatimu sebagai seorang yang tidak tahu (tentang syariat), lalu Dia memberimu petunjuk (wahyu); dan mendapatimu sebagai seorang yang fakir, lalu Dia memberimu kecukupan?"
(Aḍ-Ḍuḥā [93]:6-8)

Lalu, turunlah surat Alam Nasrah untuk melengkapinya bahwa Allah Swt. akan selalu melimpahkan kelapangan dada, kemudahan dan dilepaskan kesulitan dan kesusahan,

"Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Nabi Muhammad), meringankan beban (tugas-tugas kenabian) darimu, yang memberatkan punggungmu, dan meninggikan (derajat)-mu (dengan selalu) menyebut-nyebut (nama)-mu?"
(Asy-Syarḥ [94]:1-4)

Di saat Rasulullah saw dicela oleh petinggi Quraisy karena seluruh anak laki-lakinya wafat dengan perkataan, "Biarkan saja Muhammad itu, nanti dia akan mati dengan tidak meninggalkan keturunan dan urusannya akan berakhir." Maka, Allah Swt. menurunkan surat Al-Kautsar,

"Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)."
(Al-Kauṡar [108]:3)

Secara keseluruhan, ketiga surat tersebut merespons liku-liku pribadi yang dihadapi Rasulullah saw, seolah-olah  berkata, "Tidak ada yang boleh menyakiti Rasulullah saw sedikit pun, Allah Swt. selalu membelanya." 



Analisis Isi dan Gaya Bahasa

1. Isi (Konten):

Tulisan ini mengangkat tema yang cukup dalam dan spiritual, yakni penghiburan Allah Swt. kepada Rasulullah SAW melalui tiga surat di Juz 30: Adh-Dhuha, Al-Insyirah (Alam Nasyrah), dan Al-Kautsar. Inti pesannya adalah bahwa dalam masa-masa paling sulit di awal dakwah Islam, Rasulullah SAW mendapatkan dukungan spiritual secara langsung dari Allah melalui wahyu. Penulis menyampaikan bahwa:

Ketiga surat itu turun dalam konteks penderitaan dan tekanan pribadi yang dialami Rasulullah SAW.

Masing-masing surat membawa pesan kasih sayang, perlindungan, dan pembelaan ilahiah kepada Nabi.

Tulisan ini memberi nuansa emosional dan spiritual tentang betapa Allah menjaga kehormatan dan keteguhan hati Rasul-Nya.


2. Gaya Bahasa:

Gaya bahasa dalam tulisan ini dapat dikategorikan sebagai naratif-reflektif dan emosional-religius. Berikut cirinya:

Bahasa puitis dan metaforis: Misalnya, “seolah langit runtuh, bumi terbalik dan terguncang hebat”, atau “hembusan rahmat, sepenggal rasa cinta, dan tangan penyayang yang mengusap kepedihan”.

Nada personal dan kontemplatif: Penulis tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga mengajak pembaca merasakan penderitaan dan hiburan yang dialami Rasulullah.

Penggunaan pertanyaan retoris: Misalnya, “Apakah Allah Swt. membiarkannya?”, yang membangun kedekatan emosional dan menggugah rasa ingin tahu.

Bahasa keagamaan yang lembut dan membangun empati: Hal ini tampak dari diksi seperti penghiburan, perlindungan, kecukupan, yang menciptakan suasana teduh dan menenangkan.


Kesimpulan:

Tulisan ini memiliki kekuatan pada kesederhanaan narasi, kedalaman spiritual, dan keterhubungan emosional dengan Rasulullah SAW. Gaya bahasa yang digunakan sangat cocok untuk pembaca muslim yang mencari renungan atau inspirasi keimanan, khususnya dalam konteks tadabbur atau refleksi Qur’ani.

Jika diinginkan untuk publikasi di media umum atau buletin dakwah, gaya ini sudah cukup efektif. Namun, jika ditujukan untuk media massa dengan gaya jurnalistik, gaya naratif ini bisa disesuaikan menjadi lebih informatif dan objektif. Saya bisa bantu ubah juga ke gaya tersebut bila Anda ingin.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (249) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (534) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (212) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (453) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (230) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (219) Sirah Sahabat (138) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (142) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)