basmalah Pictures, Images and Photos
2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Kesimpulan Hidup Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bagaimana seseorang mengetahui bahwa jalan kehidupannya benar? Sederhana saja: perha...

Kesimpulan Hidup

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bagaimana seseorang mengetahui bahwa jalan kehidupannya benar? Sederhana saja: perhatikan apa yang diucapkannya saat sakaratul maut. Mengapa ini menjadi ukuran? Karena di saat itu, manusia berada di ambang akhir perjalanan duniawi, di titik paling murni dari kesadarannya.

“Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah kesimpulan hidup. Ia adalah inti sari dari seluruh kehidupan, makna yang menjiwai setiap langkah, kemuliaan yang menegaskan tujuan, dan penanda sejati dari tujuan hidup itu sendiri.

Jika seseorang tidak bisa menyimpulkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dari perjalanan hidupnya, itu berarti ia telah lalai. Ia telah tersesat, menyimpang dari jalan yang benar.

Bukankah manusia telah dibimbing oleh kitab suci dan sunnah? Bukankah manusia diberi kesempatan untuk mengamati alam semesta, menafsirkan liku-liku kehidupan, dan belajar dari pengalaman serta peristiwa yang ditemuinya?

Apakah manusia memiliki peran sebagai pencipta? Apakah manusia yang menentukan garis kehidupan? Apakah manusia mampu menundukkan alam semesta atau menentukan rezeki sendiri? Apakah kehadiran manusia di dunia ini atas kehendaknya sendiri? Apakah semua yang diraihnya selalu sesuai dengan rencana dan keinginannya?

Jika kita menyelami samudera kehidupan dengan kesadaran, kesimpulan yang tak terbantahkan muncul: tidak ada Tuhan selain Allah.

Itulah puncak refleksi kehidupan. Semua pengalaman, semua pengamatan, semua cobaan dan nikmat, mengantar manusia pada kesadaran tunggal ini. Ia bukan sekadar ucapan, melainkan penegasan esensi hidup itu sendiri.

Tauhid dari Ilmu Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Tauhid adalah poros. Alam semesta berputar mengitari porosnya. Segala sesuat...

Tauhid dari Ilmu Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Tauhid adalah poros. Alam semesta berputar mengitari porosnya. Segala sesuatu dalam kehidupan, baik kecil maupun besar, harus berjalan seiring dengan poros tauhid.

Berputar pada poros berarti semua elemen berjalan bersama, selaras, dan bersinergi. Namun, bila ada yang tidak berputar, atau bergerak melawan arah tauhid, benturan dan kehancuran tak terelakkan. Tabir keseimbangan pun robek, dan segalanya runtuh.

Belajar sejarah sejatinya juga belajar tauhid. Peradaban lahir karena tauhid. Peradaban tumbuh karena perjuangan menegakkan tauhid. Dan peradaban hancur ketika tauhid ditanggalkan.

Sejarah mengajarkan kefanaan. Bukankah banyak peradaban besar yang telah gugur dan lenyap? Bangunan megah, kota-kota gemilang, dan negeri-negeri yang dulu terdengar namanya di seluruh dunia, kini hanya menjadi cerita atau reruntuhan.

Buka peta dunia pada era kuno. Apakah nama-nama kota dan wilayahnya masih ada hingga kini? Apakah istana mereka tetap kokoh? Apakah nama kaisar dan pemimpinnya masih dipuja-puji? Hampir semuanya telah hilang. Bangsa-bangsa yang dulunya perkasa kini tidak lagi berdiri.

Padahal kaisar dan rakyatnya telah berusaha sekuat tenaga agar negeri mereka tetap lestari. Mereka bahu-membahu membangun kekuatan dan strategi demi mempertahankan keberlangsungan peradaban. Namun, semua itu tak mampu menunda kehancuran.

Sejarah menegaskan satu hal: tiada yang abadi selain Allah SWT. Semua yang diciptakan manusia fana; yang kekal hanyalah poros tauhid yang menopang semesta.

Inilah pelajaran besar dari ilmu sejarah: tauhid adalah inti, fondasi, dan poros yang menentukan lahir, tumbuh, dan hancurnya peradaban manusia.

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di t...

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di tepi kota Mansuriyah. Angin gurun bertiup pelan, membawa debu-debu kecemasan yang tak kunjung reda. Langit malam seperti berat menanggung beban bumi. Di satu sisi, tentara Salib yang dipimpin Raja Louis IX mengepung Mesir. Di sisi lain, umat Islam berdiri pada satu titik paling genting dalam sejarah perlawanan mereka.

Itulah masa akhir dinasti Ayyubiyah. Dimyath sudah jatuh. Kini, Mansuriyah menjadi benteng terakhir. Sultan, ulama, dan rakyat bahu membahu mempertahankan satu-satunya harapan itu. Dalam pekatnya malam dan panasnya siang, darah dan doa bertemu di satu titik.

Namun di tengah hiruk-pikuk dan ancaman senjata, ada satu pemandangan yang mencengangkan. Para ulama tak hanya menghunus doa, tapi juga membuka lembaran-lembaran kitab. Di perkemahan, di sela gemuruh perang, mereka membaca Ar-Risalah al-Qusyairiyah. Kitab sufi yang dalam dan luhur itu menjadi pelita di tengah gelapnya kekacauan.

Di antara mereka ada Syeikh Izzuddin Abdussalam, sang "sultan para ulama", dan yang paling menonjol: Syekh Hasan Asy-Syadzali. Seorang yang tua renta, matanya sudah buta, tapi hatinya terang benderang. Di kemahnya, ia merebahkan tubuh letihnya, bukan karena takut, tapi karena beban cinta pada umat yang begitu berat dipikul sendiri.

Malam itu, ia tertidur. Tapi tidurnya bukan tidur biasa. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya. Sebuah tenda. Tinggi menjulang ke langit. Cahayanya menyinari bumi. Para malaikat, manusia, dan ruh-ruh suci berdesakan ingin memasukinya.

"Tenda siapa ini?" tanya beliau.

"Tenda Rasulullah SAW," jawab suara itu.

Maka Syekh Hasan bergegas. Di pintu tenda itu, ia bertemu 70 orang ulama dan orang-orang shalih. Di antara mereka, ia mengenali wajah Syeikh Izzuddin Abdussalam.

Dengan rendah hati, ia berkata, "Tak layak aku masuk sebelum yang paling alim dari kita melangkah lebih dahulu." Maka mereka pun masuk. Dan Rasulullah SAW menyambut mereka dengan penuh kasih. Tangannya menunjuk ke kanan dan kiri, meminta mereka duduk di sekelilingnya.

Air mata Syekh Hasan tumpah. Bukan karena takut. Tapi karena haru. Karena kecintaan. Karena beban umat yang ia pikul di jiwanya. Dalam bisik tangis itu, ia menyampaikan gundahnya kepada Rasulullah SAW. Tentang umat, tentang perang, tentang harapan yang nyaris padam.

Rasulullah SAW menggenggam tangannya dan berkata:

"Jangan khawatir. Jika umat ini dipimpin oleh orang yang zalim, maka lihatlah apa yang terjadi..."

Beliau menggenggam jari-jarinya kuat-kuat, lalu melepaskannya pelan-pelan, seperti menunjukkan kejatuhan yang lambat tapi pasti.

"Namun jika pemimpinnya orang bertakwa, maka Allah-lah penjaga mereka."

Beliau membukakan kedua telapak tangannya. Lalu membaca firman Allah:

> "Barangsiapa yang membela Allah, Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka panji Allah-lah yang akan menang." (QS. Al-Ma'idah: 56)



Dan kepada Sultan, Rasulullah SAW menitipkan pesan:

> "Tangan Allah akan selalu terbuka bagi pemimpin yang adil. Yang mengayomi umat. Yang menasihati mereka agar taat kepada Allah. Maka nasehatilah dia, tulislah surat, dan sampaikan padanya bahwa orang zalim adalah musuh Allah."



Kemudian beliau membacakan ayat lain:

> "Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sungguh janji Allah itu benar. Dan jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini kebenaran itu membuatmu gelisah." (QS. Ar-Rum: 60)



Syekh Hasan pun terbangun. Matanya tak melihat, tapi hatinya telah melihat lebih terang dari matahari. Ia bangkit. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu ini bukan semata perang pedang, tapi perang jiwa.

Sejarawan besar, Dr. Muhammad Ash-Shalabi, mencatat betapa pengaruh Syekh Hasan Asy-Syadzali sangat besar. Ia menyuntikkan harapan kepada Sultan Najmuddin Ayyub. Ia menggerakkan rakyat. Ia mengerahkan murid-muridnya. Tapi bukan dengan senjata, melainkan dengan kalimat suci. Dengan tasbih, dengan doa, dengan dzikir yang tak putus.

Di malam-malam penuh kegelisahan, murid-muridnya membaca Hizib Nashr dan hizib untuk membutakan mata musuh. Mereka berdiri tegak dalam sujud panjang, sementara langit turun membawa rahmat.

Akhirnya kemenangan pun datang. Tentara Salib porak-poranda. Raja Louis IX tertangkap. Sebuah kemenangan yang bukan hanya karena strategi, tapi karena doa. Karena kehadiran orang-orang pilihan di barisan umat.

Syekh Hasan Asy-Syadzali pun kembali ke Iskandariah. Mengajar. Membina. Mendidik. Dan tarekat Syadziliyah pun menyebar hingga ke pelosok dunia Islam. Bahkan jauh di masa kemudian, KH Hasyim Asy'ari pun mengajarkan hizib-hizib beliau kepada para santri dan pejuang di masa penjajahan Belanda.

Konon, Ki Haji Nur Ali dari Bekasi—seorang pejuang dan ulama besar—di masa rezim represif pun mengajarkan wirid-wirid ini kepada para santrinya.

Syekh Hasan Asy-Syadzali mengajarkan bahwa kemenangan bukan semata kerja strategi, tapi buah dari kedekatan jiwa kepada Allah. Jiwa yang hening, hati yang tunduk, lisan yang basah oleh nama-Nya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari hari ini?

Bahwa di tengah kekacauan zaman, di tengah kepungan berbagai krisis, umat ini tetap memiliki tenda besar: Tenda Rasulullah SAW. Tenda itu tegak dengan dzikir, dengan ilmu, dengan ketundukan, dengan cinta yang tak terbagi.

Selama masih ada ulama yang jujur, murid yang tekun, umat yang sabar, dan pemimpin yang bertakwa—maka janji Allah tetap berlaku: "Panji Allah-lah yang akan menang."

Dan jika tak ada lagi kekuatan fisik yang bisa dibanggakan, maka masih ada tasbih. Masih ada air mata. Masih ada harapan yang tak pernah mati di dada orang-orang shalih.

Tenda itu masih ada. Tinggi menjulang. Menunggu siapa pun yang ingin datang, dengan jiwa yang bersih dan niat yang lurus.

Seperti kata Syekh Hasan Asy-Syadzali:

> "Segala kemenangan berasal dari pertolongan Allah. Dan jiwa yang dekat dengan Allah-lah yang paling pantas memikul panji kemenangan itu."



Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.

Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pernahkah kita membayangkan...

Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pernahkah kita membayangkan, bahwa kekayaan yang luar biasa ternyata juga dimiliki oleh para Nabi dan Sahabat? Namun, yang menjadi titik sorot bukanlah banyaknya angka, melainkan bagaimana mereka memandang dan memperlakukan harta itu sendiri. Al-Qur'an dengan jernih menampilkan dua potret: si pemilik kebun yang sombong, dan Qarun yang ditelan bumi. Keduanya bukan dihukum karena harta, melainkan karena kesombongan dan ketamakan yang menyertai harta mereka.

Lalu bagaimana dengan para Nabi? Bukankah mereka para penjelajah lintas benua? Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan tentu Nabi Muhammad saw, semuanya melakukan perjalanan jauh sebagai bagian dari dakwah mereka. Dalam dunia kini, bepergian ke luar negeri kerap dianggap simbol kemapanan. Apakah itu berarti para Nabi juga orang kaya? Jawabannya bisa jadi: iya, jika kita ukur dari sumber daya yang mereka kelola dan pengaruh yang mereka miliki.

Lihatlah Nabi Sulaiman as. Beliau bahkan berdoa, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku." (QS. Shad: 35). Kekayaan Nabi Sulaiman bukan hanya berupa materi, tapi juga kekuasaan yang mencakup manusia, jin, hingga binatang.

Nabi Ayyub as pun pernah hidup dalam limpahan kekayaan sebelum diuji dengan kehilangan segalanya. Dan Nabi Syuaib as berdakwah kepada masyarakat Mad-yan yang dipenuhi para pedagang dan pengusaha, menegur mereka agar menimbang dengan adil dan tidak menipu dalam transaksi.

Dalam Islam, harta bukanlah musuh. Rasulullah saw pernah bersabda, "Sungguh apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik bagimu dibandingkan meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta." (HR. Bukhari dan Muslim)

Harta, jika berada di tangan orang baik, justru menjadi wasilah menuju kebaikan. Kepada Amr bin Ash, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baiknya harta yang baik adalah untuk orang yang baik." (HR. Ahmad)

Mari kita tengok jejak kekayaan para sahabat Rasulullah:

Abu Bakar Ash-Shiddiq disebut oleh Urwah bin Az-Zubair memiliki kekayaan sebanyak 40.000 dinar saat pertama kali masuk Islam. Sebagian besar hartanya habis dalam perjuangan dakwah.

Utsman bin Affan saat wafat memiliki simpanan 30 juta keping perak dan 150 ribu keping emas. Ia juga meninggalkan 1.000 unta dan 200.000 dinar zakat. Tapi ingat, ini sahabat yang membiayai perluasan Masjid Nabawi dan melengkapi pasukan perang Tabuk.

Thalhah bin Ubaidillah mewariskan total kekayaan sekitar 30 juta keping perak. Ibnu Jauzi menyebut, ia meninggalkan emas sebanyak 300 angkutan, dengan satu angkutan kira-kira seberat 3 kwintal.

Abdurrahman bin Auf terkenal sebagai saudagar besar. Ia bersedekah 4.000 keping perak pada awal dakwah, lalu 40.000 keping emas, 500 ekor kuda, dan mewariskan ribuan unta dan kambing.

Zubair bin Awwam memiliki harta tak bergerak sebesar 100 juta keping perak. Hartanya dibagikan kepada 40 juta orang. Sebuah angka yang mengejutkan, tapi juga menunjukkan betapa luas usahanya.

Mush’ab bin Zubair bahkan mendapatkan hadiah berupa pohon kurma dari emas dengan tangkai dari permata, ditaksir mencapai 2 miliar keping emas.

Abdullah bin Mas’ud, seorang ahli ilmu, tetap mampu mewariskan 90 ribu dinar saat wafat.


Kekayaan ini bukan hasil warisan, tetapi hasil kerja, kejujuran, dan kepercayaan masyarakat. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana para sahabat mengelola hartanya.

Mari kita ambil pelajaran dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beberapa riwayat, disebutkan ia membagi hasil kebun kurmanya menjadi tiga bagian:

1. Sepertiga untuk konsumsi keluarga,


2. Sepertiga untuk ditanam kembali (investasi),


3. Sepertiga untuk disedekahkan.



Salman berkata, "Kami diberi rezeki oleh Allah, maka kami tidak menyimpannya seluruhnya untuk diri sendiri, dan kami tidak juga menghamburkannya seluruhnya. Kami ambil sepertiga untuk makan, sepertiga untuk berdagang, dan sepertiga untuk orang-orang miskin."

Inilah filosofi pengelolaan harta yang adil dan penuh berkah. Seperti buah: bijinya ditanam kembali (investasi), dagingnya dimakan (konsumsi), dan kulitnya dibuang ke tanah untuk menjadi pupuk (sedekah). Tidak ada yang sia-sia, semuanya kembali ke tanah, kembali kepada Sang Pencipta.

Maka pertanyaannya bukanlah berapa harta yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memperlakukan harta itu. Apakah ia jadi jalan menuju kesombongan seperti Qarun, atau jadi titian menuju surga seperti Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf?

Di dunia yang makin materialistik ini, semangat para sahabat adalah cahaya penuntun. Mereka tidak takut kaya, karena mereka tahu untuk apa dan untuk siapa kekayaan itu digunakan.

Semoga kita bisa menjadi seperti mereka: mencintai harta bukan untuk disembah, tapi untuk dikelola, dibagi, dan diberkahi.

Wallahu a'lam.



Sumber:
Abdul Fattah As-Samman, Harta Nabi, Pustaka Al-Kautsar

Sejarah Tak Bisa Diselewengkan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Mengapa jejak para nabi dan rasul tetap abadi? Mengapa kisah para...

Sejarah Tak Bisa Diselewengkan 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Mengapa jejak para nabi dan rasul tetap abadi? Mengapa kisah para sahabat dan ulama salaf terus menjadi rujukan sepanjang zaman? Ke mana perginya para penguasa, hartawan, dan selebritas yang dahulu dielu-elukan? Bukankah mereka adalah sosok dambaan pada zamannya? Mengapa tiba-tiba seperti ditelan bumi?

Ada hukum langit yang bekerja di balik catatan sejarah manusia. Ada seleksi spiritual yang tak terlihat, tetapi nyata. Sejarah bukan sekadar catatan waktu, melainkan cermin nilai dan cahaya kejujuran. Di sana, Allah SWT ikut menjaga, menyaring, dan membersihkan.

Allah Menjaga Sejarah Melalui Al-Qur’an

Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, tapi juga kitab sejarah—sejarah yang dimurnikan. Di dalamnya, Allah luruskan kisah-kisah para nabi yang sebelumnya telah diselewengkan. Allah pulihkan kebenaran, hapuskan fitnah, dan jaga kemurnian nama-nama suci.

1. Kisah Nabi Nuh AS

> "Dikatakan (kepada Nuh): ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dari Kami dan keberkahan atasmu dan atas umat-umat dari orang-orang yang bersama kamu...'"
(QS. Hud: 48)



Nuh dalam Al-Qur’an adalah hamba yang diberkahi, bukan sosok mabuk dan telanjang seperti dituduhkan dalam narasi Bibel. Allah jaga kehormatannya.

2. Kisah Nabi Ibrahim AS

> "Dan siapa yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri? Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat dia benar-benar termasuk orang-orang yang saleh."
(QS. Al-Baqarah: 130)



Nabi Ibrahim adalah ikon tauhid, bukan penyembah berhala seperti dituduhkan dalam sebagian tradisi non-Islami. Al-Qur’an memurnikan kisahnya.

3. Kisah Nabi Musa AS

> "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al-Qashash: 14)



Dalam narasi Qur’ani, Musa adalah pembela kebenaran, bukan pembunuh brutal. Kesalahannya dimaafkan, bukan disebarkan sebagai cela.

4. Kisah Nabi Daud AS

> "Maka Kami mengampuninya (Daud) atas kesalahannya itu; dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik."
(QS. Shad: 25)



Nabi Daud bukan pezina sebagaimana difitnah dalam teks lain. Al-Qur’an menyelamatkan marwahnya sebagai nabi yang bertaubat dan mulia.

5. Kisah Nabi Isa AS

> "...padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh) adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka... Tetapi Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya."
(QS. An-Nisa: 157-158)



Al-Qur’an tegas: Nabi Isa tidak disalib. Ia diangkat oleh Allah. Ini adalah pemurnian dari kesalahpahaman yang telah diwariskan berabad-abad.


---

Sejarah Memiliki Hukum Tersendiri

Sejarah, meski sering dimanipulasi, memiliki mekanisme seleksi ilahiah. Yang tulus akan bertahan, yang palsu akan terhempas. Yang memberi manfaat akan dikenang, yang menyesatkan akan dilupakan.

> "Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah sesuai dengan kadar (kemampuannya), maka arus itu membawa buih yang mengapung... Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak berguna; sedangkan yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap tinggal di bumi."
(QS. Ar-Ra’d: 17)



Yang bermanfaat bertahan. Yang palsu akan lenyap.


---

Sejarah Adalah Cermin Ruhani

Fitrah manusia adalah alat seleksi sejarah yang paling jujur. Ia mengabadikan kebaikan dan membuang kehampaan. Sejarah bukan panggung bagi pelaku maksiat, tapi untuk mereka yang hidupnya membawa cahaya.

Allah menutupi aib hamba-Nya. Maka tidak semua keburukan perlu diabadikan. Tidak semua kezaliman patut diulang. Biarlah Allah yang menghisab. Sejarah tahu batas.

Yang menghidupkan ruh akan hidup selamanya. Yang hanya membanggakan materi akan dikubur bersama waktu. Karena sejarah adalah milik ketaatan, bukan kemegahan.

> “Wahai anak Adam, kerjakanlah seperti yang Kuperintahkan dan jauhilah apa yang Kularang. Niscaya Aku jadikan jejak hidupmu abadi. Aku adalah Zat Yang Maha Hidup, yang tidak akan pernah mati.”
(HR. Al-Ghazali dalam Al-Mawaizh fi Al-Hadits Al-Qudsiyyah)




---

Malaikat pun Penjaga Sejarah

Ada manusia yang namanya harum di bumi, tapi tidak dikenal di langit. Namun ada pula manusia yang tidak dikenal di dunia, tapi disebut-sebut oleh malaikat.

> “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu dijadikanlah orang itu diterima di bumi.”
(HR. Bukhari & Muslim)



Mereka adalah manusia langit. Mereka hidup dengan cinta Allah, dan cinta itu menjelma menjadi penerimaan di bumi. Inilah bukti sejarah dijaga bukan oleh pena dunia, tapi oleh cinta langit.


---

Mengapa Allah Menjaga Sejarah?

Para ulama menjawabnya dengan sudut pandang kontemplatif dan ideologis:

1. Sayyid Qutb

> “Sejarah para nabi dan umat terdahulu disampaikan Al-Qur’an bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pelajaran, agar umat ini tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalur tauhid.”
(Fi Zilalil Qur’an)



Sejarah dijaga agar umat tak tersesat. Ia adalah peta ruhani.

2. Hasan Al-Banna

> “Sejarah Islam adalah energi peradaban. Allah menjaganya agar umat yang tertidur dapat dibangunkan, dengan mengenal siapa mereka sebenarnya dan capaian agung yang pernah mereka raih.”
(Pendiri Ikhwanul Muslimin)



Sejarah adalah sumber izzah. Ia memanggil umat untuk bangkit.

3. Abu Hasan Ali an-Nadwi

> “Sejarah Islam adalah bagian dari cahaya Allah di muka bumi. Allah menjaganya agar dunia tidak tenggelam dalam kegelapan modern tanpa petunjuk.”
(Penulis Maadzaa Khasira al-‘Aalam)



Tanpa sejarah yang jujur, umat akan kehilangan cahaya.


---

Penutup: Sejarah Milik Ketaatan

Sejarah sejati bukan ditulis oleh pemenang, tapi oleh mereka yang dicintai langit. Mereka yang hidup dalam keikhlasan, yang setiap jejaknya adalah doa dan setiap langkahnya adalah amal.

Dalam sejarah, bukan nama besar yang abadi, tapi makna besar.

Yang dicintai Allah, akan disebut di langit. Yang disebut di langit, akan dikenang di bumi.

Dan mereka itulah—yang sejarahnya tetap jujur.


---

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Sejarah Islam bukanlah cata...

Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Sejarah Islam bukanlah catatan hitam-putih yang kaku, tapi lautan hikmah yang bergelombang. Dalam sejarahnya, umat Islam pernah berselisih, bukan karena mereka benci atau saling membenci, tapi karena masing-masing ingin menjaga kebenaran sebagaimana mereka pahami.

Kita melihat bagaimana Umar bin Khattab berselisih pendapat dengan Khalid bin Walid. Kita juga menyaksikan Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Siti Aisyah dalam Perang Jamal, dan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Perang Shiffin. Namun, di balik konflik itu, terdapat akhlak mulia dan penghormatan yang luar biasa antara mereka. Inilah yang membedakan para sahabat dengan generasi sesudahnya. Mereka tetap saling memuliakan meski berbeda jalan.


---

Bentuk Penghormatan Ali kepada Siti Aisyah

1. Menghentikan Perang Begitu Tahu Aisyah Terlibat

Ali RA tidak pernah berniat memerangi Ummul Mukminin. Saat mengetahui bahwa Aisyah termasuk dalam rombongan yang datang ke Basrah, ia segera berupaya menghindari peperangan. Utusan demi utusan dikirim, dialog dibuka, kata-kata disampaikan dengan harapan damai bisa dicapai. Namun fitnah sudah menyelinap. Provokator menyusup dan menyalakan api di tengah kamp. Perang pun pecah.

Ali tidak pernah melihat Aisyah sebagai musuh. Dalam hatinya, beliau tetap istri Nabi, ibu orang-orang beriman.

> ⚠️ Perang terjadi bukan karena perintah dari Ali maupun Aisyah, tapi ulah kelompok pemberontak yang menyelinap untuk memperluas fitnah dalam tubuh umat Islam.



2. Mengawal Aisyah RA dengan Penghormatan Tinggi

Usai perang mereda, Ali mendatangi Aisyah dengan penuh penghormatan. Ia menenangkan Ummul Mukminin yang berada dalam tandu, dan memuliakan beliau sebagaimana seorang anak memuliakan ibunya.

Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abi Bakar, untuk mendampingi Aisyah kembali ke Madinah. Rombongan wanita-wanita mulia dari Basrah dikirim sebagai pengawal.

> Ibnu Katsir mencatat dalam Al-Bidāyah wan Nihāyah: “Ali memuliakan Aisyah dan mengirimkan rombongan perempuan Muslimah serta saudaranya untuk mengantarnya pulang ke Madinah dengan perlindungan penuh.”



3. Menjaga Nama Baik Aisyah di Hadapan Umat

Ali melarang pasukannya mencela Aisyah. Baginya, kehormatan istri Nabi ﷺ adalah kehormatan umat. Ia berkata:

> “Dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat. Namun, Allah menguji kita dengannya dan mengujinya dengan kita.”



(Sumber: Tarikh al-Tabari)


---

Bentuk Sikap Hormat Siti Aisyah kepada Ali bin Abi Thalib

1. Pengakuan atas Keutamaannya

Setelah kembali ke Madinah, Aisyah tak menutup mata terhadap keutamaan Ali. Ia berkata:

> “Tiada seorang pun yang lebih aku cintai untuk memerintah selain Ali.”



Pengakuan ini datang dari hati yang jujur dan bening. Dari seorang wanita agung yang tidak terhalang oleh ego dalam mengakui kebaikan lawan politiknya.

2. Penyesalan dan Refleksi

Aisyah menyesali keterlibatannya dalam perang. Ia pernah berkata:

> “Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi, niscaya aku akan diam di rumahku, sebagaimana Allah memerintahkanku.”



Ini bukan pengakuan lemah, tapi kekuatan batin seorang mukminah yang mampu menundukkan nafsunya demi kebenaran.

3. Tidak Menyebarkan Kebencian

Sepanjang hidupnya setelah peristiwa Jamal, Aisyah tidak pernah memprovokasi umat untuk memusuhi Ali. Ia menjaga lisannya, menahan amarahnya, dan menebarkan keteladanan. Ketika ada yang mencelanya, beliau tidak membalas.


---

Sikap Hormat Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan

1. Tidak Mengkafirkan atau Memvonis Fasiq

Meski berbeda tajam dalam politik, Ali tak pernah mengkafirkan Muawiyah. Ia memandang bahwa Muawiyah dan pengikutnya tengah melakukan ijtihad. Maka ia berkata:

> “Mereka adalah saudara kita yang memberontak terhadap kita.”



(Sumber: Ibnul Arabi, al-‘Awasim min al-Qawasim)

2. Dialog Sebelum Perang

Ali berkali-kali mengirim surat dan utusan untuk berdamai. Ia tahu bahwa darah Muslim adalah suci, dan perang bukan solusi pertama. Ia ingin Muawiyah kembali kepada jamaah kaum Muslimin. Tapi fitnah tetap berkobar.

3. Melarang Tentara Mencaci

Ketika para pengikut Ali mulai mencela Muawiyah, beliau menegur:

> “Aku tidak suka kalian menjadi orang-orang yang suka mencela.”



(Sumber: Nahjul Balaghah, Khutbah 206)

4. Menghormati Sebagai Lawan yang Mulia

Dalam surat-suratnya kepada Muawiyah, Ali tetap menggunakan bahasa yang sopan. Ia memisahkan antara kritik terhadap tindakan politik dan penghinaan pribadi. Bahkan ia mengakui kecerdasan Muawiyah dalam urusan pemerintahan.

5. Tidak Menyerang Pribadi

Ali membatasi kritiknya hanya pada masalah kebijakan. Ia tidak pernah menyerang pribadi Muawiyah. Baginya, kehormatan seorang Muslim tetap harus dijaga.

6. Menjaga Ukhuwah Setelah Perang

Setelah perang usai, Ali tidak memburu lawan-lawan politiknya. Thalhah dan Zubair tetap dishalatkan, didoakan, dan dikenang dengan hormat. Ia tidak menyimpan dendam kepada siapa pun.


---

Bentuk Penghormatan Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib

1. Mengakui Keutamaan Ali

Muawiyah tidak pernah mengingkari kemuliaan Ali. Saat sebagian sahabatnya hendak mencela Ali di mimbar, ia menolak. Ia berkata:

> “Demi Allah, aku tidak akan membiarkan Ali dicela di hadapanku. Aku tahu betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah.”



(Sumber: Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abi al-Hadid)

2. Menahan Diri dari Penghinaan Pribadi

Ketika ada yang mencela Ali di hadapannya, Muawiyah menjawab:

> “Jangan kalian menyebutkan keburukan Ali. Demi Allah, aku lebih takut kepada Ali daripada kepada siapa pun.”



Ini bukan ketakutan duniawi, tapi rasa hormat terhadap seseorang yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ.

3. Setelah Wafatnya Ali

Setelah Ali wafat, Muawiyah menghentikan kampanye celaan secara terbuka. Ia memahami bahwa Ali adalah simbol kebaikan dan kekuatan moral umat Islam.

4. Pengakuan Para Ulama

Para ulama besar seperti Imam al-Dzahabi dan Ibn Katsir mencatat bahwa Muawiyah tetap menjaga adab dan etika dalam menyebut nama Ali.


---

Hikmah dan Kaidah Ahlussunnah dalam Mempelajari Sejarah

Apa pelajaran dari semua ini? Bahwa para sahabat saling memuliakan, meski berbeda pandangan. Bahwa mereka tetap dalam lingkaran iman, dan tidak keluar dari Islam meski berselisih.

Ali memuliakan Aisyah. Aisyah mencintai Ali. Muawiyah menghormati Ali. Khalid bin Walid tunduk pada keputusan Umar. Mereka semua tunduk pada sabda Rasulullah ﷺ:

> “Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku.”



Dan sabda lainnya:

> “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”



Mereka adalah generasi yang dadanya bersih dari dendam. Perselisihan tidak membuat mereka saling menjatuhkan. Politik tidak menjadikan mereka saling menuduh. Hati mereka lembut—tidak seperti sebagian umat yang sekarang mudah mencela tanpa ilmu.

Ibnu Taimiyah berkata:

> “Apabila perselisihan itu dilakukan atas dasar ijtihad dan penakwilan, dan belum jelas baginya bahwa tindakannya termasuk pemberontakan—bahkan ia meyakini dirinya berada di atas kebenaran—maka apabila ia bersalah dalam ijtihadnya, maka hal ini tidak menyebabkan dosa.”



(Ucapan ini dinukil dalam berbagai karya Ahlussunnah wal Jamaah.)


---

Penutup: Kacamata yang Tepat

Mempelajari sejarah Islam bukan dengan kaca mata sekuler, tapi dengan panduan wahyu. Jangan menilai sahabat dengan standar dunia akademik yang kering dari cahaya iman. Lihatlah mereka dengan cermin Al-Qur’an dan hadits.

Para sahabat Nabi adalah pelita umat. Merekalah teladan. Dan kesalahan mereka—jika ada—adalah bagian dari ujian Allah untuk menampakkan siapa yang mengikuti petunjuk.

Sejarah bukan untuk membuka luka, tapi mengambil pelajaran. Agar kita menjadi umat yang bijak: menjaga ukhuwah, menjunjung adab, dan tidak mudah memvonis.

Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seluruh sahabat Rasulullah ﷺ dan mempersatukan hati kita sebagaimana Dia telah mempersatukan hati mereka dalam kebenaran.

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Merahasiakan Strategi Pertempuran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: k...

Merahasiakan Strategi Pertempuran

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: kerahasiaan. Dalam setiap ekspedisi militer, strategi bukan sesuatu yang diumumkan secara terbuka. Bahkan kepada panglima sekalipun, Rasulullah ﷺ seringkali tidak langsung menyampaikan rencana secara gamblang.

Jika beliau tidak ikut serta dalam ekspedisi, Rasulullah ﷺ akan menitipkan sepucuk surat kepada sang panglima. Namun, surat itu tidak boleh dibuka kecuali setelah dua hari perjalanan. Isinya? Arah gerak pasukan dan strategi pertempuran.

> "Rasulullah ﷺ memberikan surat tertutup kepada pemimpin pasukan dan berkata, 'Jangan engkau buka surat ini kecuali setelah kalian berjalan selama dua hari. Dan ketika engkau membukanya, laksanakanlah perintah yang ada di dalamnya tanpa ragu dan jangan engkau paksa siapa pun untuk ikut bersamamu.'”



Dari sini kita memahami bahwa:

Kerahasiaan total menjaga agar strategi tidak bocor ke musuh.

Ketaatan mutlak dibutuhkan demi menjaga kesatuan dan keberhasilan misi.


Mengapa harus sedemikian rahasia? Karena di Madinah sendiri banyak pihak internal yang berpotensi membocorkan informasi. Abdullah bin Ubay, misalnya, dikenal sebagai pemimpin kaum munafik yang kerap mengkhianati keputusan Rasulullah ﷺ. Ia pernah membocorkan informasi pasukan saat Perang Khaibar, termasuk jumlah pasukan dan arah serangan kepada pihak musuh.

Demikian pula ketika akan terjadi pembebasan Kota Mekah. Salah seorang sahabat yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy, mengirimkan surat kepada orang-orang Mekah untuk memperingatkan mereka. Surat itu dibawa oleh seorang wanita dan berhasil dicegat oleh Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat. Rasulullah ﷺ menegur sahabat tersebut, tetapi tidak mencabut status keislamannya karena niatnya bukan untuk membocorkan secara penuh, melainkan karena dorongan emosional.

Artinya, bahkan dalam lingkaran sahabat, Rasulullah ﷺ tetap menjaga rahasia perang hanya untuk dirinya. Strategi tidak dibocorkan. Bukan karena tidak percaya, tapi karena amanah strategi bukan milik semua orang.

Jejak Muhammad Al-Fatih

Strategi ini kemudian diteladani oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Ketika pasukannya diberangkatkan, tak satu pun tahu ke mana arah mereka. Bahkan orang-orang kepercayaannya tidak diberi tahu sepenuhnya. Al-Fatih menyimpan rencana dalam hatinya, seolah berkata: “Jika strategi diketahui terlalu banyak orang, musuh pun akan mengetahuinya.”

Bahkan hingga saat Al-Fatih wafat, pasukannya sedang dalam perjalanan menuju sebuah ekspedisi besar. Sejarah mencatat, ekspedisi itu diduga besar mengarah ke Italia, tepatnya ke Roma—simbol utama kekuasaan Kristen Katolik di Eropa. Jika Konstantinopel telah ditaklukkan sebagai pusat Kristen Ortodoks, maka Roma adalah “puncak bukit” berikutnya.

Namun takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Ia mengalami demam tinggi di daerah Hünkârçayırı, dekat Gebze, sekitar 50 km dari Istanbul. Beberapa hari kemudian, pada 3 Mei 1481, beliau wafat dalam usia 49 tahun, sebelum sempat membuka secara publik arah pasti pasukannya.

Mengapa Merahasiakan Rencana?

Manshur Abdul Hakim, dalam biografi Khalid bin Walid, menyebutkan bahwa hanya sekali Rasulullah ﷺ mengumumkan rencana perang secara terbuka, yakni pada Perang Tabuk. Itu pun karena sifat ekspedisinya yang jauh dan memerlukan persiapan besar.

Apa hasilnya? Semangat umat untuk berinfak pun luar biasa. Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya. Umar menyerahkan separuh dari kepemilikannya. Utsman membiayai 10.000 pasukan, lengkap dengan 900 unta, 500 kuda pilihan, dan 10.000 dinar.

Namun selebihnya, semua strategi dirahasiakan. Tidak diumumkan. Disampaikan hanya melalui surat kepada panglima.

Khalifah Umar bin Khattab: Teladan Strategi dan Logistik

Umar bin Khattab, sebagai Khalifah, sangat memahami pentingnya kerahasiaan dan kalkulasi logistik. Beberapa prinsip yang beliau terapkan:

1. Tidak Melanjutkan Ekspansi Terlalu Jauh
Setelah kemenangan di Qadisiyah dan Yarmuk, Umar menahan ekspansi ke jantung Romawi dan Persia. Ia lebih memilih konsolidasi dan stabilisasi wilayah.


2. Membagi Pasukan ke Dalam Unit Kecil
Dengan pembagian ini, jika satu unit kalah, unit lain bisa tetap bertahan. Ini strategi saat menghadapi Persia dan Romawi di Syam.


3. Menunda Perang Bila Terjadi Bencana
Saat wabah Tha’un Amwas melanda Syam, Umar menolak masuk ke sana. “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain,” kata beliau. Ini bukan sikap pengecut, tetapi hikmah dalam menghadapi musibah.


4. Menghindari Perang Tanpa Perhitungan
Umar tidak memulai peperangan kecuali dengan persiapan matang dan pertimbangan politik yang dalam. Logistik, dukungan rakyat, dan moral pasukan selalu diperhitungkan.



Pandangan Para Pakar Militer Dunia

Kerahasiaan strategi bukan hanya ajaran Islam, tetapi prinsip yang diakui dunia.

> Sun Tzu (Tiongkok) – The Art of War: “Biarkan rencanamu gelap dan tidak bisa ditembus seperti malam; dan ketika kau bergerak, hantam seperti petir.”



> “Segala peperangan didasarkan pada tipu daya.”


> Carl von Clausewitz (Prusia) – On War: “Kejutan adalah akar dari semua operasi militer tanpa terkecuali, meski tingkatannya berbeda-beda.”


> Napoleon Bonaparte: “Rahasia perang terletak pada komunikasi.”


> George Washington: “Bahkan hal-hal kecil pun tidak boleh diungkapkan dalam urusan militer.”



Semua kutipan itu bermuara pada satu hal: rahasia adalah ruh dalam strategi perang.

Kontemplasi

Apa makna dari semua ini bagi kita yang bukan jenderal atau panglima?

Kita mungkin bukan pemimpin pasukan, tetapi hidup ini penuh pertarungan: pertarungan batin, perjuangan dakwah, konflik sosial, bahkan persaingan ide. Dalam semua itu, kita harus belajar menjaga strategi, menahan diri untuk tidak tergesa mengumbar rencana, dan memilih waktu yang tepat untuk bertindak.

Rasulullah ﷺ mengajarkan kehati-hatian, bahkan kepada para sahabat yang paling setia. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena strategi harus dijaga dengan amanah.

Sebab terkadang, bukan musuh yang kuat yang membinasakan kita, melainkan lisan dan kelalaian sendiri yang membuka pintu kekalahan.

Wallahu a'lam.

Hanya Jiwa Tauhid yang Bisa Membangun Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah lahir dan hidup dari aqidah. Dari kalimat Syaha...

Hanya Jiwa Tauhid yang Bisa Membangun Sejarah


Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah lahir dan hidup dari aqidah. Dari kalimat Syahadat. Dari iman, Islam dan ihsan. Dari keyakinan dan proses yang benar.

Bukankah kisah para Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an berawal dari menerima risalah ketauhidan? Bukankah perjuangan para Nabi dan Rasul berlandaskan menegakkan ketauhidan?

Adakah yang berorientasi kekuasaan dan kekayaan? Justru, kisah yang berorientasi pada kejayaan, kemenangan, kekuasaan dan kekayaan, menjadi titik awal kehancuran.

Perhatikan perjalanan Bani Israil bersama Nabi Musa dari Mesir, Palestina hingga ke Sinai? Walaupun disisinya terdapat Nabi terbesar Bani Israil, apa yang terjadi? Bani Israil tak bisa meraih mimpinya.

Perhatikan Muslimin di perang Uhud dan Hunain, bukankah hampir menelan kekalahan? Bersama Nabi dan manusia termulia yang bersamanya pun, bila orientasi bukan ketauhidan, maka hanya berbuah kehancuran.

Sekuat apapun daya topang dan pondasinya seperti Fir’aun dan kaum yang memusuhi para Nabi dan Rasul, bila titik awal dan jalan perjuangannya bukan tauhid, maka akan menjadi lemah dan hancur.

Ibnu Khaldun dan Arnold Toynbee, sejarawan sejarah, membuat kesimpulan dari hasil penelitian tentang beragam peradaban yang ada di dunia. Kesimpulannya sama, bila tidak ada nilai ketauhidan, peradaban yang ditopang oleh kekuatan apapun akan hancur.

Tidak Terobsesi Kaya dan Berkuasa, Tetapi Meraihnya Tanpa Disadarinya Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Apakah Al-Qur’an pernah mengab...

Tidak Terobsesi Kaya dan Berkuasa, Tetapi Meraihnya Tanpa Disadarinya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Apakah Al-Qur’an pernah mengabadikan Yusuf dan  Daud yang terobsesi menjadi pejabat dan raja? Pernah mereka berdoa untuk mendapatkannya? Namun mengapa kekuasaan dan kekayaan bersamanya?

Nabi Sulaiman memang berdoa agar kekuasaannya tidak ada yang bisa melampauinya. Namun didahului dengan permohonan ampun kepada Allah SWT. Mohon ampunan menjadi wasilah kekuasaannya yang kokoh.

Apakah layak meminta kekayaan dan kekuasaan? Apakah kekayaan dan kekuasaan milik mereka yang terobsesi dan berdoa kepadanya? Mengapa para khalifahatur Rasyidin tidak menginginkan semuanya, namun mereka mendapatkannya?

Sehat tapi tak terobsesi menjadi sehat? Sebab dengan rutinitas keseharian mengikuti sunah Rasulullah saw, otomatis akan sehat dengan sendirinya. Mengejar syafaat Rasulullah saw dari aktivitas harian, maka akan dilimpahkan kesehatan. Namun, mengapa mengejar kesehatan, bukan syafaat Rasulullah saw?

Kaya tetapi tanpa obsesi kaya. Apa dasar pengelolaan kekayaan? Apa dasar menambah kekayaan? Bukankah mengelola hawa nafsu berarti benar mengelola kekayaan?  Bukankah berzuhud dan wara menciptakan modal investasi? 

Bukankah jujur, amanah dan selalu ingin berbuat kebaikan akan menumbuhkan kepercayaan dalam berbisnis dari konsumen dan mitra kerja? Bukankah ini akan meluaskan skala bisnis? Mengapa tidak teguh pada pengelolaan hawa nafsu, jujur, amanah dan selalu berbuat kebaikan? Tetapi justru bersaing pada merebut kekayaannya.

Amar maruf dan nahi munkar, bukankah ini dasar kekuasaan? Menegakkan keadilan, bukankah ini tujuan dari kekuasaan? Bila konsisten dengan sikap ini, maka banyak yang berbondong-bondong memberikan kekuasaan pada yang teguh pada komitmen ini. Mengapa tidak teguh pada Amar Maruf, nahi munkar dan keadilannya? Justru terperosok pada perebutan kekuasaannya?

Muhammad Al-Fatih merebut Konstantinopel bukan untuk obsesi dirinya, tetapi untuk mewujudkan dan mengaplikasikan hadist Rasulullah saw? Meraih syafaat, lalu Allah SWT menganugerahkan kemenangan.

Jenius pada Diri Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah jenius itu harus bergelar profesor? Menjabat Menteri dan Direktur? Di...

Jenius pada Diri Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Apakah jenius itu harus bergelar profesor? Menjabat Menteri dan Direktur? Dihormati sebagai kiyai? Populer dan menjadi referensi dan kutipan di tulisan dan karya ilmiah? Menulis banyak buku?

Jenius pada diri bila serius menunaikan  hak Allah SWT dan manusia. Mampu mengelola dan  mengisi waktu sesuai sekala prioritasnya. Hatinya selalu bertafakur. Lisannya berdzikir. Mata dan pendengaran terjaga.

Jenius pada diri sendiri berarti ridha terhadap takdir. Menjalani hidup sesuai kehendak-Nya, bukan keinginan dirinya. Melihat, mendengar, berbicara, menggerakkan seluruh anggota tubuhnya sesuai bimbingan-Nya.

Jenius pada diri sendiri, berarti menikmati apapun yang ada dan peristiwanya. Yang dialami lebih baik dari apa yang diangankan. Yang diraih lebih berharga dari yang diharapkan.

Jenius pada diri sendiri berarti terus berkarya, apa pun hasilnya.  Terus melangkah apapun cemoohannya. Terus bersemangat, biarpun tak dihargai. Karena, yang diharapkan hanya wajah Allah SWT.

Jenius pada diri sendiri, berarti terus menghidupkan harapan. Melihat cahaya di tengah kegelapan. Melihat kesempatan di tengah kesempitan. Merasakan keyakinan di tengah ketidakberdayaan.

Apa modal kejeniusan diri? Hanya aqidah. Hanya "Tidak Ada Tuhan Selain Allah". Hanya hati yang terus tersambung kepada Allah. Hanya Allah yang bersemayam di singgasana hatinya. Hanya itu saja sumbernya. 



Mengendalikan Lalulintas Hati Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Al-Qur'an surah Al-Mulk ayat 13 وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَ...

Mengendalikan Lalulintas Hati

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Al-Qur'an surah Al-Mulk ayat 13

وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
"Rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati."

Menurut riwayat Ibnu ‘Abbās, ia berkata, “Pada suatu ketika orang-orang musyrikin mempergunjingkan Nabi Muhammad dan menjelek-jelekkannya, maka Allah menurunkan kepada beliau semua yang dibicarakan mereka itu.

Lalu sebahagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Rendahkanlah suaramu agar kata-katamu tidak didengar oleh Tuhan Muhammad.” Maka turunlah ayat ini yang antara lain menjelaskan bahwa tidak ada suatu apa pun yang luput dari pengetahuan Allah.

Pada ayat ini, Allah kembali menjelaskan bahwa Dia mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala yang dilahirkan oleh hamba-hamba-Nya, baik berupa perkataan, perbuatan, dan segala yang dirasakan oleh hati dan panca indera.

Semuanya itu tidak luput sedikit pun dari pengetahuan Allah, karena Dia Maha Mengetahui segala isi hati.

Mengapa gemar bergunjing? Mengapa terjadi pertempuran kata yang sia-sia dalam obrolan  di dunia nyata dan media sosial? Karena tak bisa mengelola lintasan-lintasan hati. Lintasan hati yang buruk sebanyak bisikan syetan yang berkecamuk. 

Lintasan hati lebih sibuk dari kendaraan yang melintas di pusat perkantoran Jakarta yang sibuk. Lebih ruwet dari kendaraan yang melintas saat musim mudik lebaran. Kemunculannya tak bisa diduga dan tak terhingga. Mulut bisa  diam, namun  bisikan hatinya tak pernah berhenti.

Bagaimana mengendalikan lalulintas hati? Sibukan hati dengan mengingat Allah SWT. Karakter hati yang terus berkecamuk diarahkan untuk kesibukan bersama Allah SWT. 

Alangkah malunya, saat Allah SWT mengetahui bahwa di hati kita ada yang lain selain-Nya. Bukankah Allah SWT Maha cemburu? Bukankah Allah Maha mendengar bisikan hati kita?

Awal Perjalanan Hamba Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Apa yang pertama dibahas dalam kitab kumpulan hadist yang membahas ilmu fiqh? ...

Awal Perjalanan Hamba

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Apa yang pertama dibahas dalam kitab kumpulan hadist yang membahas ilmu fiqh? Apa yang pertama dibahas dalam kitab Riyadhus Shalihin dan Arbain Nawawiah serta Ihya Ulumuddin? Itulah yang paling awal diperbaiki.

Manusia terdiri dari raga, hati dan akal? Bagaimana langkah awal memperbaiki raga, hati dan akal? Bukanlah kitab-kitab di bab awal dalam ilmu fiqh dan tasawuf.

Apa puncak dari kenikmatan raga? Kesehatan. Bagaimana mengawali kesehatan? Bersucilah. Bersuci mengawali kesehatan tubuh sebagai penopang utama beribadah.

Apa puncak dari kenikmatan hati? Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Bagaimana mengawali cinta? Membersihkan hati agar ikhlas. Orientasinya hanya Allah SWT.

Apa puncak kenikmatan akal? Paham terhadap yang haq dan batil. Paham benar dan salah. Paham yang makruf dan munkar. Bagaimana mengawalinya? Hanya dengan ilmu.

Awal yang baik membentuk akhir yang baik. Muhammad Ahmad Rasyid mengatakan keteguhan seseorang pada dakwah dan jihad tergantung dari benarnya langkah pada saat mengawali tarbiyah dan riyadhah.

Terus memperbaiki yang awal untuk memperbaiki yang akhir. Apa yang diraih bila awalnya benar? Mari membuka hadist Arbain An Nawawiah yang terakhir:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai anak Adam, sesungguhnya selagi engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni dosa yang ada padamu dan aku tidak peduli. Hai anak Adam, seandainya dosa-dosamu setinggi langit (begitu banyak), kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni. Hai anak Adam, seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemui-Ku tanpa menyekutukan-Ku dengan apa pun, pasti Aku akan menemuimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi)

Apakah Jalan Kehidupan Itu Berliku-liku? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bagi mukmin, tidak ada jalan yang berliku. Yang ada, hanya j...

Apakah Jalan Kehidupan Itu Berliku-liku?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bagi mukmin, tidak ada jalan yang berliku. Yang ada, hanya jalan yang lurus. Bagaimana jalan yang lurus itu? Jalannya para Nabi dan Rasul-Nya.

Jalan yang lurus adalah jalan yang selalu ada solusi dan kemudahan yang dihadirkan Allah. Bukan jalan yang tidak ada tantangannya. Bukan jalan yang tidak ada jerih payahnya. Bukankah bersama kesulitan ada kemudahan? Itulah jalan yang lurus. 

Jalan yang lurus itu mengambil solusinya dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dari aqidah dan syariatnya. Dari tauladan Nabi dan sahabatnya. Mengapa hanya jalan ini?

Karena hanya Allah SWT yang menentukan takdir. Hanya Allah SWT yang menentukan hukum-hukum yang berlaku. Hanya Allah yang menciptakan seluruh proses yang ada di kehidupan dan alam semesta ini.  Mencari selain Allah SWT, berarti  menapaki jalan yang hanya membuahkan kesesatan.

Jalan yang lurus itu amat mudah, karena hanya tinggal membuka buku panduan. Hanya tinggal mencontek dan menduplikasi. Tak harus cerdas. Tak harus bergelar tinggi. Tak harus berpengalaman dan memiliki cakrawala luas dengan melanglang buana. Jadi apa syaratnya?

Hanya butuh ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hanya butuh mengikuti. Hanya butuh menanggalkan ego diri. Hanya butuh berserah diri. Inilah kesulitan terbesar untuk meraih jalan yang lurus.

Apakah akal manusia bisa menemukan jalan yang lurus? Apakah keluasan ilmu, pemahaman dan pengalaman manusia bisa menciptakan jalan yang lurus? Apakah bila seluruh pemikiran dan ilmu dari manusia pertama dan terakhir dikumpulkan bisa membukukan panduan jalan yang lurus?

Tidak ada yang bisa, sebab yang bisa menunjuki jalan yang lurus hanya Allah SWT dan Rasul-Nya. Jalan yang lurus hanya hak preogratif Allah SWT dan Rasul-Nya.

Celakalah Manusia, Alangkah Kufurnya Dia! Oleh: Nasrulloh Baksolahar Hanya sedikit manusia yang tidak celaka. Hanya sedikit manu...

Celakalah Manusia, Alangkah Kufurnya Dia!

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Hanya sedikit manusia yang tidak celaka. Hanya sedikit manusia yang tidak kufur. Ingin buktinya? Apakah tidak merasakan bagian darinya?

Bukankah hati yang lalai mengingat Allah SWT adalah celaka? Bukankah yang tidak merasakan semuanya dari Allah SWT adalah kekufuran?

Perhatikan lalu lintas hati, akal dan perasaan. Perhatikan bisikan dan letupan hati. Dalam satu detik, siapakah yang muncul? Dalam satu detik, apa yang diingat?

Perhatikan apa yang dilihat. Apa yang membuat takjub dan mempesona? Apakah yang dilihat dirasakan sebagai takdir-takdir Allah SWT yang Mahasempurna? Apakah justru iri dan dengki, merasa takdir orang lain lebih baik?

Mengagumi sosok yang berkelimpahan harta dan jabatan dibandingkan dengan yang shaleh? Merasa rezeki shalat, membaca Al-Qur’an dan berdzikir lebih rendah daripada harta dan jabatan?

Apa yang kita dengar? Tidakkah merasakan bahwa bisa mendengar itu nikmat tertinggi? Bukankah ayat-ayat Al-Qur’an saat berbicara tentang nikmat pada manusia selalu dimulai dari nikmat bisa mendengar, lalu melihat?

Rasulullah saw selalu menangis agar dikelompokkan sebagai manusia yang bersyukur. Mengapa kita yang ibadah dan kiprah dakwahnya malas, tidak seperti Rasulullah saw merasa sudah bersyukur? Itulah mengapa kita termasuk yang celaka dan kufur. 

Suara Seniman Dunia Untuk Solidaritas Gaza Ketika Politik Bungkam, Budaya Bicara Ada masa ketika politik gagal menjalankan nuran...


Suara Seniman Dunia Untuk Solidaritas Gaza

Ketika Politik Bungkam, Budaya Bicara

Ada masa ketika politik gagal menjalankan nuraninya. Lidah para pemimpin negara kelu, sibuk bernegosiasi dengan kepentingan, sementara ribuan nyawa melayang. Di saat seperti itu, ada satu kekuatan yang sering kali bangkit dari ruang yang tak disangka: budaya. Seniman—musisi, aktor, penulis, pekerja film—berdiri di panggung dan berkata lantang: “Hentikan genosida.”

Itulah yang kini terjadi dalam tragedi Gaza. Saat pemerintah dunia terbelah antara diam, mendukung Israel, atau sekadar mengeluarkan pernyataan simbolis, para seniman justru bergerak. Mereka menyanyi, menulis, menandatangani surat terbuka, menggalang dana, bahkan siap diboikot oleh industri mereka sendiri.

Fenomena ini bukan baru. Budaya pernah menjadi senjata moral ketika politik kehilangan hati nurani—pada perang Vietnam, pada era apartheid Afrika Selatan, bahkan pada masa kolonialisme. Kini, dalam abad ke-21, panggung musik, layar film, hingga halaman buku menjadi ruang perlawanan baru melawan kekejaman Israel di Gaza.


---

Gaza: Angka yang Membisu

Latar perlawanan budaya ini tragis. Sejak serangan Israel pada 2023 hingga kini, lebih dari 65.000 orang tewas di Gaza—termasuk 19.000 anak-anak. Lebih dari 165.000 orang terluka, mencakup 10 persen populasi Gaza. Rumah sakit hancur, sekolah rata, dan dunia menyaksikan tanpa daya.

Negara-negara Barat, termasuk Inggris, beberapa pekan lalu mengakui Palestina sebagai negara. Namun, pengakuan itu dianggap banyak pihak sebagai langkah simbolis, sekadar “menghidupkan kembali harapan dua negara” tanpa disertai keberanian nyata menghentikan aliran senjata ke Israel.

Di tengah lumpuhnya politik inilah, budaya masuk mengambil peran.


---

Konser Solidaritas: Musik yang Melawan Senjata

Musik kerap lahir dari luka. Itulah yang dibuktikan oleh Brian Eno, musisi legendaris asal Inggris, yang menggelar konser “Together for Palestine” di Wembley Arena. Ribuan orang hadir, menyaksikan panggung bukan sekadar hiburan, melainkan perlawanan.

Di sana hadir pula Richard Gere, Paul Weller, Damon Albarn, Portishead, dan Riz Ahmed. Mereka bernyanyi, berdialog, dan menggalang dana untuk membantu Palestina.

Eno sendiri menegaskan, “Saya percaya budaya lebih dulu daripada politik. Ia menciptakan ruang batin bagi manusia, yang kemudian memengaruhi tindakan politisi. Kadang berhasil, kadang tidak. Tapi kita harus mencoba.”

Di dunia musik, nama-nama besar lain juga terus bersuara. Roger Waters, eks Pink Floyd, bahkan sejak lama menyerukan boikot Israel. Annie Lennox, vokalis Eurythmics, ikut turun ke jalan. Para musisi tahu, suara mereka bisa menembus ruang yang tak lagi diisi pidato politik.


---

Aktor dan Layar yang Menjadi Panggung Gaza

Tidak hanya musisi, dunia perfilman pun bangkit. Tilda Swinton, aktris kawakan asal Inggris, termasuk salah satu suara paling awal yang menyerukan gencatan senjata. Ia menandatangani petisi, turun ke demonstrasi, bahkan berani menghadapi risiko blacklist dari Hollywood.

Di Amerika, Susan Sarandon, Mark Ruffalo, dan John Cusack menegaskan posisi mereka. Mereka hadir di unjuk rasa, memakai simbol Palestina, dan berbicara lantang di hadapan publik.

Keberanian ini bukan tanpa harga. Banyak aktor dan aktris menghadapi pembatalan kontrak, kehilangan peran, atau bahkan serangan media arus utama. Namun, bagi mereka, keberanian moral lebih penting daripada kenyamanan karier.


---

Surat Terbuka: Pena yang Menggugat

Selain konser dan aksi publik, solidaritas budaya terwujud dalam surat terbuka. Hingga kini, ada 11 surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 16.000 seniman lintas industri.

Surat itu datang dari kelompok seperti Artists for Palestine UK, Artists4Ceasefire, Film Workers for Palestine, Musicians for Palestine, hingga Writers for Gaza.

Isi mereka jelas:

Hentikan genosida.

Buka akses kemanusiaan ke Gaza.

Hentikan suplai senjata ke Israel.

Patuhi keputusan ICJ untuk melindungi warga sipil.


Sebagian surat bahkan lebih keras. Kelompok pekerja film pro-Palestina, misalnya, berikrar untuk tidak bekerja sama dengan lembaga film Israel—sebuah bentuk boikot budaya yang mengingatkan kita pada gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.


---

Angka Solidaritas: Musik, Film, dan Buku

Dari sisi jumlah, industri musik menyumbang suara paling banyak: 7.800 tanda tangan. Dunia film dan TV menyusul dengan 4.500 tanda tangan, sedangkan dunia literatur dan penerbitan menyumbang 2.900 tanda tangan.

Tokoh-tokoh paling konsisten antara lain Brian Eno dan Khalid Abdalla (aktor Inggris-Mesir), yang menandatangani hingga enam surat terbuka. Nama lain seperti Maxine Peake, Michael Malarkey, Lolly Adefope, dan Tracy Seaward menandatangani lima surat.

Artinya, budaya tidak hanya melahirkan suara sporadis, tetapi gerakan kolektif yang terorganisir.


---

Mengulang Sejarah: Dari Vietnam, Apartheid, hingga Gaza

Sejarah mencatat, suara seniman sering kali lebih berani daripada politisi.

Pada era Perang Vietnam, musisi seperti Bob Dylan dan Joan Baez mengubah konser menjadi protes anti-perang. Lagu-lagu mereka mengobarkan gerakan mahasiswa dan rakyat Amerika hingga akhirnya mengguncang kebijakan Washington.

Pada masa apartheid Afrika Selatan, boikot budaya internasional—termasuk konser besar “Artists Against Apartheid”—menjadi tekanan moral yang mempercepat runtuhnya rezim diskriminatif.


Kini, Gaza menghadirkan momen serupa. Bedanya, media sosial mempercepat gaung solidaritas itu, membuat suara seniman lebih cepat menyebar dan lebih sulit dibungkam.


---

Apakah Budaya Bisa Mengubah Politik?

Pertanyaan terbesar: apakah suara seniman cukup untuk menghentikan perang?

Jawabannya mungkin tidak langsung. Budaya jarang menghentikan peluru. Tetapi, budaya bisa menggerakkan hati rakyat, dan hati rakyat bisa menekan pemimpin. Inilah yang dimaksud Brian Eno: budaya adalah “arus hulu” politik.

Ketika publik Eropa dan Amerika mulai sadar, ketika konser berubah jadi aksi solidaritas, ketika film dan sastra menolak bekerja sama dengan Israel—maka tekanan moral akan semakin besar. Cepat atau lambat, politisi akan dipaksa mengikuti arus.


---

Refleksi: Suara yang Lebih Nyaring dari Bom

Kita hidup di zaman ketika bom terdengar setiap hari di Gaza, tetapi suara seniman menembus batas itu. Mereka tidak punya tank, tidak punya veto di PBB, tetapi mereka punya panggung, mikrofon, pena, dan layar.

Budaya memang tidak bisa menghentikan genosida sendirian. Namun, ia menjaga nurani dunia tetap hidup. Ia mencegah manusia lupa. Ia membisikkan bahwa di balik angka 65.000 korban, ada wajah, ada nama, ada cerita.

Dan mungkin, di masa depan, anak-anak Gaza akan mengenang bahwa di saat dunia politik bungkam, suara musik, film, dan buku justru menyanyikan nama mereka.


---

Epilog: Budaya sebagai Nafas Harapan

Gaza bukan sekadar perang. Ia adalah cermin kemanusiaan. Di satu sisi, ia menunjukkan betapa politik bisa kehilangan hati nurani. Di sisi lain, ia memperlihatkan bagaimana budaya bisa menjadi ruang terakhir bagi kebenaran untuk bernafas.

Dari konser Wembley hingga surat terbuka ribuan seniman, dunia mendengar sebuah pesan sederhana: kemanusiaan tidak boleh kalah.

Jika sejarah berulang, sebagaimana di Vietnam dan Afrika Selatan, maka suara budaya hari ini bisa menjadi gemuruh politik esok hari. Dan mungkin, Gaza akan tercatat bukan hanya sebagai luka, tetapi juga sebagai titik balik, ketika budaya kembali membuktikan dirinya sebagai senjata moral yang paling abadi.


Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/longform/2025/9/25/who-are-the-artists-speaking-out-against-israels-war-on-gaza

Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas?  Membedah Buku Bombing to Win ---...


Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas?  Membedah Buku Bombing to Win


---

Pendahuluan: Langit yang Membawa Janji dan Mimpi Palsu

Sejak manusia pertama kali melihat pesawat terbang melintas di langit, lahirlah sebuah keyakinan baru: kekuasaan tidak lagi hanya ditentukan oleh pasukan di darat atau kapal di laut, melainkan juga oleh burung-burung besi yang mampu menghujani kota dari angkasa. Para jenderal menyebutnya revolusi militer, para politisi menyebutnya jalan pintas menuju kemenangan, sementara para akademisi meramalkannya sebagai wajah perang masa depan yang lebih cepat, lebih bersih, dan lebih murah.

Namun sejarah punya selera humor yang pahit. Dari Dresden hingga Hanoi, dari Baghdad hingga Gaza, langit memang dipenuhi ledakan, tetapi bumi tetap dipenuhi perlawanan. Gedung-gedung hancur, tapi tekad manusia bertahan. Tubuh-tubuh roboh, namun kehendak untuk melawan justru tumbuh.

Di tengah ironi itu, Robert A. Pape, profesor ilmu politik dari Universitas Chicago, menulis bukunya Bombing to Win: Air Power and Coercion in War (1996). Ia mengajukan pertanyaan yang sederhana namun mendasar: apakah benar serangan udara bisa memaksa musuh menyerah? Atau jangan-jangan, membunuh sipil dari langit hanyalah ilusi kemenangan yang terus dipelihara?


---

Mitos Kemenangan dari Udara

Mari kita mulai dari mitos yang paling tua: bahwa menghancurkan kota berarti menghancurkan semangat bangsa. Strategi ini dikenal dengan istilah punishment.

Bayangkan kota sebagai jantung. Jika jantung itu berhenti berdetak, tubuh pasti roboh. Demikianlah logika para perancang strategi udara. Karena itu, pada Perang Dunia II, sekutu menurunkan ratusan ribu ton bom ke kota-kota Jerman. Dresden terbakar, Hamburg luluh lantak, Berlin rata dengan tanah.

Di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki menjadi puncak teror sekaligus puncak teknologi. Dua bola api menghanguskan lebih dari seratus ribu jiwa hanya dalam hitungan detik. Dunia tercengang, seolah bukti mutlak bahwa udara memang bisa memutuskan perang.

Namun sejarah tidak sesederhana itu. Jerman tetap berperang sampai tentara Soviet menembus jantung Berlin. Jepang menyerah bukan semata karena bom atom, melainkan karena kombinasi blokade laut, serangan darat yang makin mendekat, dan terutama keputusan geopolitik Uni Soviet yang masuk ke medan Asia.

Apa artinya? Bahwa membunuh sipil dari udara bukanlah jalan cepat menuju kemenangan. Alih-alih membuat rakyat menekan pemimpinnya, justru seringkali menyalakan solidaritas baru. Luka kolektif berubah menjadi bahan bakar perlawanan.


---

Empat Jalan Udara

Pape lalu merinci empat strategi utama yang selama ini dijalankan kekuatan udara:

1. Punishment (Hukuman): menyerang sipil agar moral runtuh.


2. Risk (Risiko Bertahap): meningkatkan eskalasi sedikit demi sedikit agar musuh menyerah sebelum kehancuran total.


3. Denial (Penolakan): menghancurkan target militer dan logistik, sehingga lawan benar-benar tak mampu bertarung.


4. Decapitation (Pemenggalan): membunuh pemimpin atau menghancurkan pusat komando.



Dari keempatnya, Pape menemukan satu pola jelas: hanya denial yang punya peluang nyata. Punishment gagal, risk gagal, decapitation hampir selalu gagal. Menghancurkan kekuatan tempur lawan—itulah satu-satunya strategi udara yang kadang berhasil.


---

Jejak Sejarah: Dari Eropa hingga Teluk Persia

Sejarah modern adalah laboratorium terbuka untuk menilai efektivitas bom.

Perang Dunia II: Pemboman besar-besaran di Jerman gagal membuat rakyat menyerah. Jepang menyerah bukan karena sipilnya takut, melainkan karena kekuatan militer lumpuh dan geopolitik berubah.

Korea: AS membombardir Korea Utara, tetapi Pyongyang tetap berdiri berkat dukungan Cina.

Vietnam: Operasi Rolling Thunder menjadi pelajaran pahit. Infrastruktur Vietnam Utara hancur, tetapi kehendak Hanoi tak pernah patah.

Teluk 1991: contoh keberhasilan denial. Serangan udara AS menghancurkan sistem pertahanan Irak, membuka jalan bagi pasukan darat merebut Kuwait dengan cepat.

Bosnia 1995: NATO menarget pasukan Serbia di lapangan, bukan sipil. Hasilnya nyata: Serbia mundur.


Dari Eropa hingga Asia, dari Teluk Persia hingga Balkan, pola yang sama berulang: membunuh sipil tidak pernah efektif, melemahkan militer mungkin berhasil.


---

Mengapa Membunuh Sipil Gagal?

Pape memberi jawaban yang sekaligus logis dan manusiawi: karena warga sipil bukanlah aktor rasional yang bisa menekan pemerintah di tengah perang.

Justru dalam kondisi ancaman eksternal, rakyat cenderung semakin loyal kepada negara. Fenomena ini dikenal dengan istilah rally ’round the flag effect.

Blitz Jerman ke London pada 1940 adalah contoh klasik. Kota terbakar, ribuan tewas, tetapi bukannya menyerah, warga Inggris justru semakin mendukung Winston Churchill. Mereka merasa berjuang bukan hanya untuk pemerintah, tapi untuk martabat bangsa.

Demikian pula di Gaza hari ini. Ribuan rumah rata, ratusan ribu mengungsi, puluhan ribu tewas. Tetapi apakah rakyat Gaza meninggalkan Hamas? Tidak. Justru mereka semakin yakin bahwa mereka sedang dizalimi, dan karena itu, bertahan adalah satu-satunya pilihan yang bermartabat.


---

Teknologi dan Ilusi Kontrol

Politisi di Washington, London, atau Tel Aviv sering tergoda oleh janji teknologi. Bom pintar, drone tak berawak, rudal presisi—semuanya terdengar modern, efisien, dan “bersih.” Mereka membayangkan perang yang bisa dimenangkan dari layar komputer tanpa korban di pihak sendiri.

Namun teknologi hanyalah alat. Ia tidak bisa menggantikan strategi. Senjata paling canggih sekalipun, jika diarahkan ke target yang salah, akan sia-sia. Lebih buruk lagi, jika yang hancur justru rumah sakit, sekolah, atau masjid, maka efek politiknya meluas jauh melebihi efek militer.

Sejarah berulang kali membuktikan: tidak ada bom yang benar-benar “pintar” ketika diarahkan pada manusia yang sedang mempertahankan martabatnya.


---

Gaza: Cermin Tragis Teori Pape

Jika ada contoh mutakhir dari tesis Pape, Gaza adalah cerminnya.

Lebih dari ratusan ribu bom dijatuhkan. Infrastruktur runtuh, kamp pengungsi porak-poranda, rumah sakit tak lagi berdiri. Namun apakah Hamas runtuh? Tidak. Apakah semangat perlawanan hilang? Justru semakin kokoh.

Mungkin Hamas melemah secara militer, tetapi identitas perlawanan Palestina justru semakin mengakar dalam kesadaran kolektif. Setiap reruntuhan rumah adalah pengingat, setiap jenazah anak-anak adalah seruan moral, setiap malam tanpa listrik adalah pengajaran diam-diam: bahwa melawan adalah bagian dari hidup.

Persis seperti yang Pape tulis: menghukum sipil tidak pernah mengakhiri perang. Yang lahir hanyalah dendam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


---

Ilusi Decapitation

Israel juga sering mengandalkan strategi decapitation: membunuh komandan, menghancurkan markas, bahkan menarget keluarga pemimpin Hamas. Tetapi sejarah menunjukkan: organisasi perlawanan selalu lebih kuat daripada individunya.

Pemimpin gugur, yang lain menggantikannya. Di Vietnam, di Irak, di Afghanistan, pola yang sama berulang. Pemenggalan justru sering membuat lawan semakin keras kepala. Kematian seorang pemimpin berubah menjadi bahan bakar narasi heroik.

Di Gaza, setiap pemimpin yang gugur justru diabadikan dalam mural, dalam doa, dalam nyanyian anak-anak pengungsi. Mereka tidak mati, mereka berubah menjadi simbol.


---

Refleksi: Apa yang Benar-Benar Mengakhiri Perang?

Pertanyaan yang tersisa kemudian: kalau bom tidak bisa, lalu apa yang bisa mengakhiri perang?

Jawaban Pape tegas: perang berakhir ketika kemampuan militer lawan benar-benar lumpuh, atau ketika ada jalan politik yang bisa diterima kedua belah pihak.

Artinya, kemenangan sejati bukan hanya menghancurkan, melainkan juga menawarkan masa depan. Tanpa solusi politik yang adil, bom hanyalah instrumen penundaan. Ia tidak menutup perang, hanya menggantinya dengan babak baru yang lebih getir.


---

Dimensi Moral: Antara Strategi dan Kemanusiaan

Di balik analisis yang dingin, buku Pape mengandung gema moral yang kuat. Ia mengingatkan bahwa menyerang sipil bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak bermoral. Membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua atas nama strategi adalah kejahatan yang dibungkus ilusi.

Bom bisa meruntuhkan bangunan, tapi tidak bisa meruntuhkan gagasan. Ia bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa membunuh mimpi.

Sejarah membuktikan: kehendak untuk merdeka lebih keras daripada beton, lebih tahan lama daripada baja, dan lebih kuat daripada ledakan apapun.


---

Penutup: Gaza dan Langit yang Berdarah

Bombing to Win adalah buku tentang strategi, tetapi pada akhirnya juga tentang batas kekerasan manusia. Ia membongkar ilusi bahwa langit bisa memutuskan akhir perang.

Hari ini, Gaza berdiri sebagai bukti hidup. Langitnya gelap oleh bom, tanahnya merah oleh darah, tetapi semangatnya tetap menyala.

Maka mari kita tarik pelajaran:

Jangan tertipu oleh janji kemenangan instan dari udara.

Ingatlah bahwa teknologi tanpa strategi adalah kesia-siaan.

Sadari bahwa perang hanya berakhir dengan keadilan, bukan dengan pembantaian.


Langit Gaza boleh saja dikuasai Israel. Tapi bumi Gaza, dengan seluruh darah dan air matanya, telah membuktikan satu hal: membunuh sipil dari udara tidak pernah bisa mengalahkan Hamas, apalagi menghapus perlawanan Palestina.

Dan dalam kebenaran pahit itu, suara Robert Pape kembali bergema: bom tidak pernah bisa memenangkan perang yang sejatinya adalah perang tentang martabat manusia.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (262) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (257) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (242) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)