basmalah Pictures, Images and Photos
2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terl...

Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terlihat jauh, bahkan seperti dua dunia yang berbeda. Namun sejatinya, kecerdasan finansial tidak pernah lepas dari kematangan jiwa. Dan puasa adalah latihan paling praktis dalam membentuk kematangan itu.

Puasa, lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan spiritual yang membentuk ketahanan diri, kejernihan hati, dan kepekaan terhadap batas antara keinginan dan kebutuhan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa puasa adalah cara membersihkan jiwa:

> "Sesungguhnya kenyang menguatkan keinginan syahwat, dan puasa itu menghancurkannya."



Kenyang yang berlebihan menyuburkan syahwat dan menjauhkan seseorang dari kejernihan berpikir. Dalam konteks keuangan, syahwat adalah nafsu konsumtif, keinginan tak terbatas yang mendorong seseorang hidup di luar batas kemampuan. Ketika seseorang berpuasa, ia belajar menahan diri—dari makan, minum, hingga membeli hal-hal yang tidak perlu.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah menyamakan nafsu dengan binatang buas:

> "Nafsu bagaikan binatang buas. Bila ia kenyang, ia mengaum. Bila lapar, ia tunduk dan jinak."



Dalam kelaparan itulah seseorang mengenal batas. Ia tidak lagi dikendalikan oleh dorongan syahwat, tetapi oleh akal sehat dan nurani. Maka dari itu, puasa melatih seseorang untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bukankah inti dari kecerdasan finansial adalah kemampuan membedakan dua hal itu?

Hasan Al-Banna dalam risalahnya menyatakan:

> "Puasa adalah latihan keikhlasan yang mendalam. Tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah. Oleh karena itu, puasa adalah madrasah untuk melatih pengawasan diri (muraqabah), keikhlasan, dan keteguhan hati dalam menghadapi dorongan hawa nafsu."



Cobalah perhatikan: pengeluaran uang sering kali bukan soal kebutuhan, tapi gaya hidup, pamer, atau pelampiasan emosi. Orang yang tidak bisa mengelola syahwat takkan pernah mencapai kematangan finansial. Puasa adalah fondasi paling awal dan paling efektif untuk mengelola syahwat. Maka, kecerdasan finansial adalah efek samping dari kedewasaan spiritual.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an saat menafsirkan QS Al-Baqarah: 183 berkata:

> "Puasa adalah sarana yang efektif untuk membentuk manusia bertakwa. Ia memotong dorongan hawa nafsu dari sumbernya dan mendidik jiwa agar mencintai ketinggian spiritual, membenci kedangkalan syahwat, serta menguatkan kontrol ruhani atas naluri hewani."



Pengelolaan harta berakar dari pengelolaan hawa nafsu. Mereka yang terbiasa menahan diri akan lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, lebih cermat dalam berinvestasi, dan lebih kuat dalam menghadapi godaan utang konsumtif.

Puasa menanamkan kesadaran: dunia ini bukan hanya tentang hari ini. Menunda kesenangan hari ini demi kebaikan esok adalah prinsip utama dalam semua teori keuangan modern. Bahkan penelitian psikologi di Amerika menunjukkan bahwa anak yang mampu menahan diri tidak langsung memakan permen saat dibagikan—justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih sukses secara ekonomi.

Puasa adalah pelajaran untuk menahan, menunda, dan menimbang. Tanpa harus membaca puluhan buku manajemen keuangan, tanpa harus mengikuti banyak seminar, seseorang yang berpuasa dengan benar sudah belajar manajemen konsumsi, disiplin, dan pengendalian diri—inti dari kecerdasan finansial.

Sungguh, banyak orang bergaji besar tetapi tidak kaya. Sebaliknya, ada yang bergaji kecil tapi hidup berkecukupan. Bedanya bukan pada jumlah pendapatan, tetapi pada kedewasaan dalam mengelola. Dan kedewasaan itu bermula dari ketenangan hati, dari kejernihan jiwa yang dilatih melalui puasa.

Keharaman dalam pendapatan adalah musuh kecerdasan finansial. Pendapatan haram mendorong seseorang pada gaya hidup mewah yang artifisial, tanpa keberkahan. Bahkan, seperti kata Imam Al-Ghazali, hati yang gelap tak akan mampu menerima ilham. Bagaimana bisa seseorang mengembangkan hartanya dengan bijak jika cahaya Allah tak menembus hatinya?

> "Lapar akan menumbuhkan kejernihan hati dan menyingkapkan tabir antara hamba dan Rabb-nya." — Syekh Abdul Qadir al-Jailani



Dari sinilah akan lahir strategi keuangan yang sejati. Inovasi tidak muncul dari pikiran yang penuh syahwat, tetapi dari hati yang tenang dan bersih. Oleh sebab itu, puasa adalah pintu makrifat sekaligus manajemen keuangan paling esensial.

Berpuasalah. Tidak hanya di bulan Ramadan, tetapi juga dalam gaya hidup sehari-hari. Berpuasa dari barang-barang yang tidak perlu. Berpuasa dari belanja impulsif. Berpuasa dari pemborosan.

Para sufi bahkan berhati-hati dalam hal yang halal dan mubah. Mereka hanya menggunakan dunia sebatas menjaga harga diri di hadapan manusia. Rumah cukup yang melindungi. Makanan cukup yang menyehatkan. Pakaian cukup yang menutupi aurat dan menjaga martabat.

> "Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang memakan berbagai makanan, meminum berbagai minuman, mengenakan berbagai pakaian, dan berbicara dengan keras." — Rasulullah SAW



Puasa mengajari kita untuk menahan, agar bisa menikmati. Berpuasa hari ini agar bisa menikmati masa depan. Tidak semua hal harus dinikmati sekarang. Ada kalanya, menunda adalah bentuk terbaik dari kebijaksanaan.

Cobalah lakukan. Satu bulan puasa dengan sungguh-sungguh akan memperbaiki gaya hidup. Uang lebih hemat. Makan lebih teratur. Pikiran lebih tenang. Hati lebih peka. Dan saat lebaran, banyak yang menyadari: tabungannya utuh, pengeluarannya sedikit, tapi hidupnya lebih bermakna.

Maka, mulailah dari diri sendiri. Bukan dari teori. Bukan dari seminar. Tapi dari satu keputusan sederhana: Aku ingin berpuasa. Karena puasa bukan hanya urusan langit, tapi juga strategi bijak di bumi. Ia membentuk hati, menata diri, dan memberi kita kemampuan untuk berkata: Cukup.

Itulah awal dari kecerdasan finansial sejati.

Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw Oleh: Nasrulloh Baksolahar Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah m...


Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah menjadi bagian dari umat Rasulullah ﷺ. Adakah kebahagiaan lain yang melebihi dua nikmat ini? Ideologi apapun, sebesar apa pun, tak mampu menghadirkan ketenangan sejati bagi jiwa manusia. Keturunan, suku, kebangsaan—semuanya tak menjamin kebahagiaan abadi, kecuali bila hidup dijalani dalam naungan Islam dan dalam barisan umat Nabi Muhammad ﷺ.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah berkata:

> "Nikmat yang paling besar atas manusia adalah Islam. Barang siapa diberi Islam, maka ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat."



Islam bukan hanya agama, tetapi jalan hidup. Ia adalah tiket keselamatan abadi dan petunjuk untuk segala kebingungan manusia modern.


---

Doa Rasulullah ﷺ agar wafat dalam Islam:

> "Ya Allah, tetapkanlah aku dalam Islam saat hidup dan wafatkanlah aku dalam keadaan Islam." (HR. Ahmad dan Abu Ya’la – hasan)



Bahkan Rasulullah ﷺ, sosok maksum yang dijamin surga, masih memohon kepada Allah agar tetap dalam Islam hingga akhir hayatnya. Maka, bagaimana dengan kita?

Nabi Musa, menurut riwayat dalam kitab Al-Wafa karya Imam Ibnul Jauzi, pernah berdoa agar dimasukkan sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad ﷺ. Dan kelak, ketika Nabi Isa AS turun ke bumi di akhir zaman, ia akan menjadi makmum shalat di belakang Imam Mahdi. Ini adalah bukti keagungan umat ini—umat Rasulullah ﷺ.

Dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Isa bin Maryam akan turun, lalu pemimpin mereka (Al-Mahdi) berkata kepadanya: 'Majulah, jadi imam untuk kami shalat.' Tapi Isa berkata: 'Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin bagi yang lain, sebagai bentuk penghormatan Allah terhadap umat ini.'" (HR. Muslim, no. 155)



Betapa umat ini dimuliakan. Seorang Nabi besar, Isa bin Maryam AS, memilih menjadi makmum dari umat ini. Maka bersyukurlah dan jagalah kemuliaan itu.


---

Heraklius: Sang Kaisar yang Hampir Beriman

Hati Heraklius, kaisar Romawi, pernah tergetar ingin menjadi bagian dari umat Rasulullah ﷺ. Surat dakwah dari Nabi membuatnya merenung dalam diam. Ia mengundang Abu Sufyan, kala itu masih dalam barisan Quraisy, untuk menggali lebih dalam tentang sang Nabi dari Madinah.

Dalam hadis sahih riwayat Bukhari, Heraklius menginterogasi Abu Sufyan:

Apakah dia berasal dari keluarga mulia?

Apakah ada pendahulunya yang mengaku sebagai nabi?

Siapa pengikutnya?

Apakah mereka bertambah atau berkurang?


Abu Sufyan menjawab dengan jujur, karena takut dicap pendusta di hadapan kaumnya. Heraklius menyimpulkan bahwa Muhammad ﷺ adalah nabi sejati. Ia tahu dari kitab-kitab sebelumnya, dan merasakan kebenaran dalam berita kenabian itu.

Dikisahkan bahwa Heraklius pernah mengajak Abu Sufyan ke ruang rahasianya—sebuah perpustakaan besar berisi gambar dan catatan para nabi. Di sana, Heraklius menunjukkan potret para Nabi, termasuk Muhammad ﷺ. Bahkan disebutkan bahwa terdapat pula gambaran para sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ia mengetahui peran mereka dalam risalah Islam.

Namun kekuasaan mengikat kuat. Ia tak sanggup menghadapi tekanan politik dan pengaruh istananya. Maka niat itu ia kubur, dan akhirnya memilih menyingkir ke Konstantinopel.

Heraklius tahu—kebenaran Islam tak bisa dibendung. Tapi ia tidak berani mengambil risiko kehilangan tahtanya.


---

Rustum: Panglima Persia yang Menyaksikan Kebenaran

Panglima Rustum, jenderal agung Kekaisaran Persia, menyelidiki kekuatan umat Islam dengan cermat sebelum Perang Qadisiyyah. Ia mengundang utusan muslim, Rib‘i bin ‘Amir, untuk berdialog.

Rustum bertanya:

> "Apa tujuan kalian datang ke negeri kami?"



Rib‘i menjawab:

> "Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama makhluk menuju penyembahan hanya kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju kelapangan akhirat, dan dari kezaliman berbagai sistem menuju keadilan Islam."



Rustum terhenyak. Ia tak menyangka dari lisan orang biasa terpancar kebijaksanaan yang luar biasa. Ia berkata kepada para penasihatnya:

> "Aku belum pernah melihat orang yang lebih rendah derajatnya di dunia, kini memiliki keyakinan dan kekuatan seperti ini. Jika semua umat Muhammad seperti ini, maka sesungguhnya mereka akan menguasai dunia."



Dalam pengamatannya terhadap pasukan Islam, Rustum mencatat:

> "Mereka tidak tidur di malam hari, tidak makan di siang hari kecuali sedikit, sangat taat kepada pemimpin, dan sangat takut kepada Tuhan. Jika menyerang, mereka seperti singa menerkam mangsanya."



Ia lalu menyimpulkan:

> "Bangsa seperti ini tak mungkin dikalahkan oleh bangsa seperti kita yang telah tenggelam dalam kemewahan dan kebejatan."



Kekuatan umat Islam bukan pada jumlah, tetapi pada keyakinan, akhlak, dan konsistensi mereka terhadap kebenaran.

Menurut riwayat, ketika akhirnya kalah dan melihat kehancuran Persia, Rustum berkata lirih:

> "Sungguh Muhammad telah mengubah dunia. Dia mengirim kaum miskin dan menjadikan mereka penakluk kerajaan-kerajaan besar."




---

Umat Pamungkas: Harapan Dunia

Tak ada lagi umat setelah umat Rasulullah ﷺ. Inilah umat pamungkas. Umat yang Allah pilih untuk mengemban risalah terakhir. Umat yang tak lahir dari suku, warna kulit, atau keturunan, tapi dari iman, akhlak, dan ketaatan kepada Islam.

Syarifuddin Prawiranegara pernah berkata bahwa tak ada kekuatan dunia yang bisa menyelesaikan persoalan global kecuali umat Islam—bila mereka kembali kepada ajaran Islam secara utuh.

Umat ini memikul amanah besar. Dunia menanti solusi, dan Islam memegang kunci. Namun semua itu hanya akan menjadi kenyataan bila kita:

Konsisten dalam beriman

Jujur dalam beramal

Kuat dalam ukhuwah

Kritis terhadap kebatilan


Jurus terakhir peradaban adalah Islam. Jurus pamungkas. Tak ada solusi selain kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.


---

Menjadi Umat Rasulullah ﷺ: Sebuah Kehormatan dan Tanggung Jawab

Mari renungkan...

Nabi Musa ingin menjadi bagian dari umat ini. Nabi Isa akan menjadi makmum di belakang Imam Mahdi dari umat ini. Kaisar Romawi menyimpan keinginan diam-diam menjadi bagian dari umat ini. Jenderal Persia mengakui keunggulan spiritual dan moral umat ini.

Lalu, kita yang terlahir sebagai umat Rasulullah ﷺ, apakah hanya akan diam tanpa peran?

Sejarah umat manusia dari Adam hingga hari kiamat sedang menanti penutup terbaik. Umat pamungkas harus tampil bukan sekadar sebagai jumlah, tapi sebagai solusi.

Kemenangan dan kebahagiaan hakiki ada dalam genggaman mereka yang kembali kepada Islam, hidup dalam Islam, dan wafat dalam Islam.

Semoga Allah menjadikan kita bukan hanya sebagai pengikut, tapi juga pembela dan pewaris risalah ini.

Aamiin.

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di t...

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di tepi kota Mansuriyah. Angin gurun bertiup pelan, membawa debu-debu kecemasan yang tak kunjung reda. Langit malam seperti berat menanggung beban bumi. Di satu sisi, tentara Salib yang dipimpin Raja Louis IX mengepung Mesir. Di sisi lain, umat Islam berdiri pada satu titik paling genting dalam sejarah perlawanan mereka.

Itulah masa akhir dinasti Ayyubiyah. Dimyath sudah jatuh. Kini, Mansuriyah menjadi benteng terakhir. Sultan, ulama, dan rakyat bahu membahu mempertahankan satu-satunya harapan itu. Dalam pekatnya malam dan panasnya siang, darah dan doa bertemu di satu titik.

Namun di tengah hiruk-pikuk dan ancaman senjata, ada satu pemandangan yang mencengangkan. Para ulama tak hanya menghunus doa, tapi juga membuka lembaran-lembaran kitab. Di perkemahan, di sela gemuruh perang, mereka membaca Ar-Risalah al-Qusyairiyah. Kitab sufi yang dalam dan luhur itu menjadi pelita di tengah gelapnya kekacauan.

Di antara mereka ada Syeikh Izzuddin Abdussalam, sang "sultan para ulama", dan yang paling menonjol: Syekh Hasan Asy-Syadzali. Seorang yang tua renta, matanya sudah buta, tapi hatinya terang benderang. Di kemahnya, ia merebahkan tubuh letihnya, bukan karena takut, tapi karena beban cinta pada umat yang begitu berat dipikul sendiri.

Malam itu, ia tertidur. Tapi tidurnya bukan tidur biasa. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya. Sebuah tenda. Tinggi menjulang ke langit. Cahayanya menyinari bumi. Para malaikat, manusia, dan ruh-ruh suci berdesakan ingin memasukinya.

"Tenda siapa ini?" tanya beliau.

"Tenda Rasulullah SAW," jawab suara itu.

Maka Syekh Hasan bergegas. Di pintu tenda itu, ia bertemu 70 orang ulama dan orang-orang shalih. Di antara mereka, ia mengenali wajah Syeikh Izzuddin Abdussalam.

Dengan rendah hati, ia berkata, "Tak layak aku masuk sebelum yang paling alim dari kita melangkah lebih dahulu." Maka mereka pun masuk. Dan Rasulullah SAW menyambut mereka dengan penuh kasih. Tangannya menunjuk ke kanan dan kiri, meminta mereka duduk di sekelilingnya.

Air mata Syekh Hasan tumpah. Bukan karena takut. Tapi karena haru. Karena kecintaan. Karena beban umat yang ia pikul di jiwanya. Dalam bisik tangis itu, ia menyampaikan gundahnya kepada Rasulullah SAW. Tentang umat, tentang perang, tentang harapan yang nyaris padam.

Rasulullah SAW menggenggam tangannya dan berkata:

"Jangan khawatir. Jika umat ini dipimpin oleh orang yang zalim, maka lihatlah apa yang terjadi..."

Beliau menggenggam jari-jarinya kuat-kuat, lalu melepaskannya pelan-pelan, seperti menunjukkan kejatuhan yang lambat tapi pasti.

"Namun jika pemimpinnya orang bertakwa, maka Allah-lah penjaga mereka."

Beliau membukakan kedua telapak tangannya. Lalu membaca firman Allah:

> "Barangsiapa yang membela Allah, Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka panji Allah-lah yang akan menang." (QS. Al-Ma'idah: 56)



Dan kepada Sultan, Rasulullah SAW menitipkan pesan:

> "Tangan Allah akan selalu terbuka bagi pemimpin yang adil. Yang mengayomi umat. Yang menasihati mereka agar taat kepada Allah. Maka nasehatilah dia, tulislah surat, dan sampaikan padanya bahwa orang zalim adalah musuh Allah."



Kemudian beliau membacakan ayat lain:

> "Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sungguh janji Allah itu benar. Dan jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini kebenaran itu membuatmu gelisah." (QS. Ar-Rum: 60)



Syekh Hasan pun terbangun. Matanya tak melihat, tapi hatinya telah melihat lebih terang dari matahari. Ia bangkit. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu ini bukan semata perang pedang, tapi perang jiwa.

Sejarawan besar, Dr. Muhammad Ash-Shalabi, mencatat betapa pengaruh Syekh Hasan Asy-Syadzali sangat besar. Ia menyuntikkan harapan kepada Sultan Najmuddin Ayyub. Ia menggerakkan rakyat. Ia mengerahkan murid-muridnya. Tapi bukan dengan senjata, melainkan dengan kalimat suci. Dengan tasbih, dengan doa, dengan dzikir yang tak putus.

Di malam-malam penuh kegelisahan, murid-muridnya membaca Hizib Nashr dan hizib untuk membutakan mata musuh. Mereka berdiri tegak dalam sujud panjang, sementara langit turun membawa rahmat.

Akhirnya kemenangan pun datang. Tentara Salib porak-poranda. Raja Louis IX tertangkap. Sebuah kemenangan yang bukan hanya karena strategi, tapi karena doa. Karena kehadiran orang-orang pilihan di barisan umat.

Syekh Hasan Asy-Syadzali pun kembali ke Iskandariah. Mengajar. Membina. Mendidik. Dan tarekat Syadziliyah pun menyebar hingga ke pelosok dunia Islam. Bahkan jauh di masa kemudian, KH Hasyim Asy'ari pun mengajarkan hizib-hizib beliau kepada para santri dan pejuang di masa penjajahan Belanda.

Konon, Ki Haji Nur Ali dari Bekasi—seorang pejuang dan ulama besar—di masa rezim represif pun mengajarkan wirid-wirid ini kepada para santrinya.

Syekh Hasan Asy-Syadzali mengajarkan bahwa kemenangan bukan semata kerja strategi, tapi buah dari kedekatan jiwa kepada Allah. Jiwa yang hening, hati yang tunduk, lisan yang basah oleh nama-Nya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari hari ini?

Bahwa di tengah kekacauan zaman, di tengah kepungan berbagai krisis, umat ini tetap memiliki tenda besar: Tenda Rasulullah SAW. Tenda itu tegak dengan dzikir, dengan ilmu, dengan ketundukan, dengan cinta yang tak terbagi.

Selama masih ada ulama yang jujur, murid yang tekun, umat yang sabar, dan pemimpin yang bertakwa—maka janji Allah tetap berlaku: "Panji Allah-lah yang akan menang."

Dan jika tak ada lagi kekuatan fisik yang bisa dibanggakan, maka masih ada tasbih. Masih ada air mata. Masih ada harapan yang tak pernah mati di dada orang-orang shalih.

Tenda itu masih ada. Tinggi menjulang. Menunggu siapa pun yang ingin datang, dengan jiwa yang bersih dan niat yang lurus.

Seperti kata Syekh Hasan Asy-Syadzali:

> "Segala kemenangan berasal dari pertolongan Allah. Dan jiwa yang dekat dengan Allah-lah yang paling pantas memikul panji kemenangan itu."



Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.

Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pernahkah kita membayangkan...

Mengintip Nilai Kekayaan Para Sahabat: Ada yang Ratusan Juta Keping Perak

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pernahkah kita membayangkan, bahwa kekayaan yang luar biasa ternyata juga dimiliki oleh para Nabi dan Sahabat? Namun, yang menjadi titik sorot bukanlah banyaknya angka, melainkan bagaimana mereka memandang dan memperlakukan harta itu sendiri. Al-Qur'an dengan jernih menampilkan dua potret: si pemilik kebun yang sombong, dan Qarun yang ditelan bumi. Keduanya bukan dihukum karena harta, melainkan karena kesombongan dan ketamakan yang menyertai harta mereka.

Lalu bagaimana dengan para Nabi? Bukankah mereka para penjelajah lintas benua? Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan tentu Nabi Muhammad saw, semuanya melakukan perjalanan jauh sebagai bagian dari dakwah mereka. Dalam dunia kini, bepergian ke luar negeri kerap dianggap simbol kemapanan. Apakah itu berarti para Nabi juga orang kaya? Jawabannya bisa jadi: iya, jika kita ukur dari sumber daya yang mereka kelola dan pengaruh yang mereka miliki.

Lihatlah Nabi Sulaiman as. Beliau bahkan berdoa, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku." (QS. Shad: 35). Kekayaan Nabi Sulaiman bukan hanya berupa materi, tapi juga kekuasaan yang mencakup manusia, jin, hingga binatang.

Nabi Ayyub as pun pernah hidup dalam limpahan kekayaan sebelum diuji dengan kehilangan segalanya. Dan Nabi Syuaib as berdakwah kepada masyarakat Mad-yan yang dipenuhi para pedagang dan pengusaha, menegur mereka agar menimbang dengan adil dan tidak menipu dalam transaksi.

Dalam Islam, harta bukanlah musuh. Rasulullah saw pernah bersabda, "Sungguh apabila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik bagimu dibandingkan meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta." (HR. Bukhari dan Muslim)

Harta, jika berada di tangan orang baik, justru menjadi wasilah menuju kebaikan. Kepada Amr bin Ash, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baiknya harta yang baik adalah untuk orang yang baik." (HR. Ahmad)

Mari kita tengok jejak kekayaan para sahabat Rasulullah:

Abu Bakar Ash-Shiddiq disebut oleh Urwah bin Az-Zubair memiliki kekayaan sebanyak 40.000 dinar saat pertama kali masuk Islam. Sebagian besar hartanya habis dalam perjuangan dakwah.

Utsman bin Affan saat wafat memiliki simpanan 30 juta keping perak dan 150 ribu keping emas. Ia juga meninggalkan 1.000 unta dan 200.000 dinar zakat. Tapi ingat, ini sahabat yang membiayai perluasan Masjid Nabawi dan melengkapi pasukan perang Tabuk.

Thalhah bin Ubaidillah mewariskan total kekayaan sekitar 30 juta keping perak. Ibnu Jauzi menyebut, ia meninggalkan emas sebanyak 300 angkutan, dengan satu angkutan kira-kira seberat 3 kwintal.

Abdurrahman bin Auf terkenal sebagai saudagar besar. Ia bersedekah 4.000 keping perak pada awal dakwah, lalu 40.000 keping emas, 500 ekor kuda, dan mewariskan ribuan unta dan kambing.

Zubair bin Awwam memiliki harta tak bergerak sebesar 100 juta keping perak. Hartanya dibagikan kepada 40 juta orang. Sebuah angka yang mengejutkan, tapi juga menunjukkan betapa luas usahanya.

Mush’ab bin Zubair bahkan mendapatkan hadiah berupa pohon kurma dari emas dengan tangkai dari permata, ditaksir mencapai 2 miliar keping emas.

Abdullah bin Mas’ud, seorang ahli ilmu, tetap mampu mewariskan 90 ribu dinar saat wafat.


Kekayaan ini bukan hasil warisan, tetapi hasil kerja, kejujuran, dan kepercayaan masyarakat. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana para sahabat mengelola hartanya.

Mari kita ambil pelajaran dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beberapa riwayat, disebutkan ia membagi hasil kebun kurmanya menjadi tiga bagian:

1. Sepertiga untuk konsumsi keluarga,


2. Sepertiga untuk ditanam kembali (investasi),


3. Sepertiga untuk disedekahkan.



Salman berkata, "Kami diberi rezeki oleh Allah, maka kami tidak menyimpannya seluruhnya untuk diri sendiri, dan kami tidak juga menghamburkannya seluruhnya. Kami ambil sepertiga untuk makan, sepertiga untuk berdagang, dan sepertiga untuk orang-orang miskin."

Inilah filosofi pengelolaan harta yang adil dan penuh berkah. Seperti buah: bijinya ditanam kembali (investasi), dagingnya dimakan (konsumsi), dan kulitnya dibuang ke tanah untuk menjadi pupuk (sedekah). Tidak ada yang sia-sia, semuanya kembali ke tanah, kembali kepada Sang Pencipta.

Maka pertanyaannya bukanlah berapa harta yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memperlakukan harta itu. Apakah ia jadi jalan menuju kesombongan seperti Qarun, atau jadi titian menuju surga seperti Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf?

Di dunia yang makin materialistik ini, semangat para sahabat adalah cahaya penuntun. Mereka tidak takut kaya, karena mereka tahu untuk apa dan untuk siapa kekayaan itu digunakan.

Semoga kita bisa menjadi seperti mereka: mencintai harta bukan untuk disembah, tapi untuk dikelola, dibagi, dan diberkahi.

Wallahu a'lam.



Sumber:
Abdul Fattah As-Samman, Harta Nabi, Pustaka Al-Kautsar

Sejarah Tak Bisa Diselewengkan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Mengapa jejak para nabi dan rasul tetap abadi? Mengapa kisah para...

Sejarah Tak Bisa Diselewengkan 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Mengapa jejak para nabi dan rasul tetap abadi? Mengapa kisah para sahabat dan ulama salaf terus menjadi rujukan sepanjang zaman? Ke mana perginya para penguasa, hartawan, dan selebritas yang dahulu dielu-elukan? Bukankah mereka adalah sosok dambaan pada zamannya? Mengapa tiba-tiba seperti ditelan bumi?

Ada hukum langit yang bekerja di balik catatan sejarah manusia. Ada seleksi spiritual yang tak terlihat, tetapi nyata. Sejarah bukan sekadar catatan waktu, melainkan cermin nilai dan cahaya kejujuran. Di sana, Allah SWT ikut menjaga, menyaring, dan membersihkan.

Allah Menjaga Sejarah Melalui Al-Qur’an

Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, tapi juga kitab sejarah—sejarah yang dimurnikan. Di dalamnya, Allah luruskan kisah-kisah para nabi yang sebelumnya telah diselewengkan. Allah pulihkan kebenaran, hapuskan fitnah, dan jaga kemurnian nama-nama suci.

1. Kisah Nabi Nuh AS

> "Dikatakan (kepada Nuh): ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dari Kami dan keberkahan atasmu dan atas umat-umat dari orang-orang yang bersama kamu...'"
(QS. Hud: 48)



Nuh dalam Al-Qur’an adalah hamba yang diberkahi, bukan sosok mabuk dan telanjang seperti dituduhkan dalam narasi Bibel. Allah jaga kehormatannya.

2. Kisah Nabi Ibrahim AS

> "Dan siapa yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri? Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat dia benar-benar termasuk orang-orang yang saleh."
(QS. Al-Baqarah: 130)



Nabi Ibrahim adalah ikon tauhid, bukan penyembah berhala seperti dituduhkan dalam sebagian tradisi non-Islami. Al-Qur’an memurnikan kisahnya.

3. Kisah Nabi Musa AS

> "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al-Qashash: 14)



Dalam narasi Qur’ani, Musa adalah pembela kebenaran, bukan pembunuh brutal. Kesalahannya dimaafkan, bukan disebarkan sebagai cela.

4. Kisah Nabi Daud AS

> "Maka Kami mengampuninya (Daud) atas kesalahannya itu; dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik."
(QS. Shad: 25)



Nabi Daud bukan pezina sebagaimana difitnah dalam teks lain. Al-Qur’an menyelamatkan marwahnya sebagai nabi yang bertaubat dan mulia.

5. Kisah Nabi Isa AS

> "...padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh) adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka... Tetapi Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya."
(QS. An-Nisa: 157-158)



Al-Qur’an tegas: Nabi Isa tidak disalib. Ia diangkat oleh Allah. Ini adalah pemurnian dari kesalahpahaman yang telah diwariskan berabad-abad.


---

Sejarah Memiliki Hukum Tersendiri

Sejarah, meski sering dimanipulasi, memiliki mekanisme seleksi ilahiah. Yang tulus akan bertahan, yang palsu akan terhempas. Yang memberi manfaat akan dikenang, yang menyesatkan akan dilupakan.

> "Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah sesuai dengan kadar (kemampuannya), maka arus itu membawa buih yang mengapung... Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak berguna; sedangkan yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap tinggal di bumi."
(QS. Ar-Ra’d: 17)



Yang bermanfaat bertahan. Yang palsu akan lenyap.


---

Sejarah Adalah Cermin Ruhani

Fitrah manusia adalah alat seleksi sejarah yang paling jujur. Ia mengabadikan kebaikan dan membuang kehampaan. Sejarah bukan panggung bagi pelaku maksiat, tapi untuk mereka yang hidupnya membawa cahaya.

Allah menutupi aib hamba-Nya. Maka tidak semua keburukan perlu diabadikan. Tidak semua kezaliman patut diulang. Biarlah Allah yang menghisab. Sejarah tahu batas.

Yang menghidupkan ruh akan hidup selamanya. Yang hanya membanggakan materi akan dikubur bersama waktu. Karena sejarah adalah milik ketaatan, bukan kemegahan.

> “Wahai anak Adam, kerjakanlah seperti yang Kuperintahkan dan jauhilah apa yang Kularang. Niscaya Aku jadikan jejak hidupmu abadi. Aku adalah Zat Yang Maha Hidup, yang tidak akan pernah mati.”
(HR. Al-Ghazali dalam Al-Mawaizh fi Al-Hadits Al-Qudsiyyah)




---

Malaikat pun Penjaga Sejarah

Ada manusia yang namanya harum di bumi, tapi tidak dikenal di langit. Namun ada pula manusia yang tidak dikenal di dunia, tapi disebut-sebut oleh malaikat.

> “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya, lalu dijadikanlah orang itu diterima di bumi.”
(HR. Bukhari & Muslim)



Mereka adalah manusia langit. Mereka hidup dengan cinta Allah, dan cinta itu menjelma menjadi penerimaan di bumi. Inilah bukti sejarah dijaga bukan oleh pena dunia, tapi oleh cinta langit.


---

Mengapa Allah Menjaga Sejarah?

Para ulama menjawabnya dengan sudut pandang kontemplatif dan ideologis:

1. Sayyid Qutb

> “Sejarah para nabi dan umat terdahulu disampaikan Al-Qur’an bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pelajaran, agar umat ini tidak mengulangi kesalahan yang sama dan tetap berada di jalur tauhid.”
(Fi Zilalil Qur’an)



Sejarah dijaga agar umat tak tersesat. Ia adalah peta ruhani.

2. Hasan Al-Banna

> “Sejarah Islam adalah energi peradaban. Allah menjaganya agar umat yang tertidur dapat dibangunkan, dengan mengenal siapa mereka sebenarnya dan capaian agung yang pernah mereka raih.”
(Pendiri Ikhwanul Muslimin)



Sejarah adalah sumber izzah. Ia memanggil umat untuk bangkit.

3. Abu Hasan Ali an-Nadwi

> “Sejarah Islam adalah bagian dari cahaya Allah di muka bumi. Allah menjaganya agar dunia tidak tenggelam dalam kegelapan modern tanpa petunjuk.”
(Penulis Maadzaa Khasira al-‘Aalam)



Tanpa sejarah yang jujur, umat akan kehilangan cahaya.


---

Penutup: Sejarah Milik Ketaatan

Sejarah sejati bukan ditulis oleh pemenang, tapi oleh mereka yang dicintai langit. Mereka yang hidup dalam keikhlasan, yang setiap jejaknya adalah doa dan setiap langkahnya adalah amal.

Dalam sejarah, bukan nama besar yang abadi, tapi makna besar.

Yang dicintai Allah, akan disebut di langit. Yang disebut di langit, akan dikenang di bumi.

Dan mereka itulah—yang sejarahnya tetap jujur.


---

Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Sejarah Islam bukanlah cata...

Mempelajari Perselisihan dalam Sejarah Islam dengan Rambu Ahlussunnah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Sejarah Islam bukanlah catatan hitam-putih yang kaku, tapi lautan hikmah yang bergelombang. Dalam sejarahnya, umat Islam pernah berselisih, bukan karena mereka benci atau saling membenci, tapi karena masing-masing ingin menjaga kebenaran sebagaimana mereka pahami.

Kita melihat bagaimana Umar bin Khattab berselisih pendapat dengan Khalid bin Walid. Kita juga menyaksikan Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Siti Aisyah dalam Perang Jamal, dan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dalam Perang Shiffin. Namun, di balik konflik itu, terdapat akhlak mulia dan penghormatan yang luar biasa antara mereka. Inilah yang membedakan para sahabat dengan generasi sesudahnya. Mereka tetap saling memuliakan meski berbeda jalan.


---

Bentuk Penghormatan Ali kepada Siti Aisyah

1. Menghentikan Perang Begitu Tahu Aisyah Terlibat

Ali RA tidak pernah berniat memerangi Ummul Mukminin. Saat mengetahui bahwa Aisyah termasuk dalam rombongan yang datang ke Basrah, ia segera berupaya menghindari peperangan. Utusan demi utusan dikirim, dialog dibuka, kata-kata disampaikan dengan harapan damai bisa dicapai. Namun fitnah sudah menyelinap. Provokator menyusup dan menyalakan api di tengah kamp. Perang pun pecah.

Ali tidak pernah melihat Aisyah sebagai musuh. Dalam hatinya, beliau tetap istri Nabi, ibu orang-orang beriman.

> ⚠️ Perang terjadi bukan karena perintah dari Ali maupun Aisyah, tapi ulah kelompok pemberontak yang menyelinap untuk memperluas fitnah dalam tubuh umat Islam.



2. Mengawal Aisyah RA dengan Penghormatan Tinggi

Usai perang mereda, Ali mendatangi Aisyah dengan penuh penghormatan. Ia menenangkan Ummul Mukminin yang berada dalam tandu, dan memuliakan beliau sebagaimana seorang anak memuliakan ibunya.

Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abi Bakar, untuk mendampingi Aisyah kembali ke Madinah. Rombongan wanita-wanita mulia dari Basrah dikirim sebagai pengawal.

> Ibnu Katsir mencatat dalam Al-Bidāyah wan Nihāyah: “Ali memuliakan Aisyah dan mengirimkan rombongan perempuan Muslimah serta saudaranya untuk mengantarnya pulang ke Madinah dengan perlindungan penuh.”



3. Menjaga Nama Baik Aisyah di Hadapan Umat

Ali melarang pasukannya mencela Aisyah. Baginya, kehormatan istri Nabi ﷺ adalah kehormatan umat. Ia berkata:

> “Dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat. Namun, Allah menguji kita dengannya dan mengujinya dengan kita.”



(Sumber: Tarikh al-Tabari)


---

Bentuk Sikap Hormat Siti Aisyah kepada Ali bin Abi Thalib

1. Pengakuan atas Keutamaannya

Setelah kembali ke Madinah, Aisyah tak menutup mata terhadap keutamaan Ali. Ia berkata:

> “Tiada seorang pun yang lebih aku cintai untuk memerintah selain Ali.”



Pengakuan ini datang dari hati yang jujur dan bening. Dari seorang wanita agung yang tidak terhalang oleh ego dalam mengakui kebaikan lawan politiknya.

2. Penyesalan dan Refleksi

Aisyah menyesali keterlibatannya dalam perang. Ia pernah berkata:

> “Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi, niscaya aku akan diam di rumahku, sebagaimana Allah memerintahkanku.”



Ini bukan pengakuan lemah, tapi kekuatan batin seorang mukminah yang mampu menundukkan nafsunya demi kebenaran.

3. Tidak Menyebarkan Kebencian

Sepanjang hidupnya setelah peristiwa Jamal, Aisyah tidak pernah memprovokasi umat untuk memusuhi Ali. Ia menjaga lisannya, menahan amarahnya, dan menebarkan keteladanan. Ketika ada yang mencelanya, beliau tidak membalas.


---

Sikap Hormat Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan

1. Tidak Mengkafirkan atau Memvonis Fasiq

Meski berbeda tajam dalam politik, Ali tak pernah mengkafirkan Muawiyah. Ia memandang bahwa Muawiyah dan pengikutnya tengah melakukan ijtihad. Maka ia berkata:

> “Mereka adalah saudara kita yang memberontak terhadap kita.”



(Sumber: Ibnul Arabi, al-‘Awasim min al-Qawasim)

2. Dialog Sebelum Perang

Ali berkali-kali mengirim surat dan utusan untuk berdamai. Ia tahu bahwa darah Muslim adalah suci, dan perang bukan solusi pertama. Ia ingin Muawiyah kembali kepada jamaah kaum Muslimin. Tapi fitnah tetap berkobar.

3. Melarang Tentara Mencaci

Ketika para pengikut Ali mulai mencela Muawiyah, beliau menegur:

> “Aku tidak suka kalian menjadi orang-orang yang suka mencela.”



(Sumber: Nahjul Balaghah, Khutbah 206)

4. Menghormati Sebagai Lawan yang Mulia

Dalam surat-suratnya kepada Muawiyah, Ali tetap menggunakan bahasa yang sopan. Ia memisahkan antara kritik terhadap tindakan politik dan penghinaan pribadi. Bahkan ia mengakui kecerdasan Muawiyah dalam urusan pemerintahan.

5. Tidak Menyerang Pribadi

Ali membatasi kritiknya hanya pada masalah kebijakan. Ia tidak pernah menyerang pribadi Muawiyah. Baginya, kehormatan seorang Muslim tetap harus dijaga.

6. Menjaga Ukhuwah Setelah Perang

Setelah perang usai, Ali tidak memburu lawan-lawan politiknya. Thalhah dan Zubair tetap dishalatkan, didoakan, dan dikenang dengan hormat. Ia tidak menyimpan dendam kepada siapa pun.


---

Bentuk Penghormatan Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib

1. Mengakui Keutamaan Ali

Muawiyah tidak pernah mengingkari kemuliaan Ali. Saat sebagian sahabatnya hendak mencela Ali di mimbar, ia menolak. Ia berkata:

> “Demi Allah, aku tidak akan membiarkan Ali dicela di hadapanku. Aku tahu betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah.”



(Sumber: Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abi al-Hadid)

2. Menahan Diri dari Penghinaan Pribadi

Ketika ada yang mencela Ali di hadapannya, Muawiyah menjawab:

> “Jangan kalian menyebutkan keburukan Ali. Demi Allah, aku lebih takut kepada Ali daripada kepada siapa pun.”



Ini bukan ketakutan duniawi, tapi rasa hormat terhadap seseorang yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ.

3. Setelah Wafatnya Ali

Setelah Ali wafat, Muawiyah menghentikan kampanye celaan secara terbuka. Ia memahami bahwa Ali adalah simbol kebaikan dan kekuatan moral umat Islam.

4. Pengakuan Para Ulama

Para ulama besar seperti Imam al-Dzahabi dan Ibn Katsir mencatat bahwa Muawiyah tetap menjaga adab dan etika dalam menyebut nama Ali.


---

Hikmah dan Kaidah Ahlussunnah dalam Mempelajari Sejarah

Apa pelajaran dari semua ini? Bahwa para sahabat saling memuliakan, meski berbeda pandangan. Bahwa mereka tetap dalam lingkaran iman, dan tidak keluar dari Islam meski berselisih.

Ali memuliakan Aisyah. Aisyah mencintai Ali. Muawiyah menghormati Ali. Khalid bin Walid tunduk pada keputusan Umar. Mereka semua tunduk pada sabda Rasulullah ﷺ:

> “Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku.”



Dan sabda lainnya:

> “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”



Mereka adalah generasi yang dadanya bersih dari dendam. Perselisihan tidak membuat mereka saling menjatuhkan. Politik tidak menjadikan mereka saling menuduh. Hati mereka lembut—tidak seperti sebagian umat yang sekarang mudah mencela tanpa ilmu.

Ibnu Taimiyah berkata:

> “Apabila perselisihan itu dilakukan atas dasar ijtihad dan penakwilan, dan belum jelas baginya bahwa tindakannya termasuk pemberontakan—bahkan ia meyakini dirinya berada di atas kebenaran—maka apabila ia bersalah dalam ijtihadnya, maka hal ini tidak menyebabkan dosa.”



(Ucapan ini dinukil dalam berbagai karya Ahlussunnah wal Jamaah.)


---

Penutup: Kacamata yang Tepat

Mempelajari sejarah Islam bukan dengan kaca mata sekuler, tapi dengan panduan wahyu. Jangan menilai sahabat dengan standar dunia akademik yang kering dari cahaya iman. Lihatlah mereka dengan cermin Al-Qur’an dan hadits.

Para sahabat Nabi adalah pelita umat. Merekalah teladan. Dan kesalahan mereka—jika ada—adalah bagian dari ujian Allah untuk menampakkan siapa yang mengikuti petunjuk.

Sejarah bukan untuk membuka luka, tapi mengambil pelajaran. Agar kita menjadi umat yang bijak: menjaga ukhuwah, menjunjung adab, dan tidak mudah memvonis.

Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seluruh sahabat Rasulullah ﷺ dan mempersatukan hati kita sebagaimana Dia telah mempersatukan hati mereka dalam kebenaran.

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah kejayaan semu yang me...

Kutukan Wisma Raja dan Meja Nabi Sulaiman: Kisah Penaklukan Andalusia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di tengah kejayaan semu yang memabukkan para raja Visigoth di Andalusia, berdirilah sebuah bangunan misterius yang oleh para penguasa terdahulu dinamai Wisma Raja. Tidak sembarang orang boleh masuk. Bahkan, para raja terdahulu pun tidak berani menyentuh pintu gerbangnya, apalagi membukanya. Ada keheningan dan keagungan yang menggetarkan di sana, seolah menyimpan nubuat yang telah menanti saatnya.

Namun, Roderic, sang penguasa terakhir Visigoth, tak tahan oleh rasa penasaran. Ia datang ke hadapan para uskup dan berkata dengan lantang, "Demi Tuhan, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran terhadap isi wisma ini. Aku akan membukanya dan melihat apa yang ada di dalamnya."

Para uskup mencoba mencegahnya. Mereka berkata, "Semoga Tuhan memberimu kebaikan, wahai Raja. Jangan engkau langgar tradisi para pendahulu kita yang shalih. Mereka meninggalkannya bukan karena takut, tapi karena hikmah. Mereka lebih bijak daripada kita."

Namun, nafsu kekuasaan telah membutakan hati Roderic. Ia mengabaikan nasihat para rohaniwan dan membuka pintu itu dengan congkak. Dan di dalamnya, ia tak menemukan harta sebagaimana yang dibayangkannya, melainkan gambar-gambar dan tulisan kuno. Terpampang di dinding: "Jika pintu wisma ini terbuka, maka musuh dari timur akan datang, menaklukkan negeri ini. Mereka adalah bangsa Arab, dan inilah ciri-ciri mereka."

Tak ada kilau emas, tak ada permata. Yang ada hanyalah pesan kehancuran. Tapi Roderic tak percaya. Ia tertawa, meremehkan nubuat, dan berjalan keluar tanpa beban. Ia tak sadar bahwa ia baru saja mengaktifkan kutukan sejarah—dan membangunkan takdir yang tertidur.


---

Di seberang Laut Tengah, di tanah Maghrib, Gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nushair, menerima kabar tentang kezaliman Roderic, tentang ketidakstabilan kerajaan Visigoth, dan tentang kaum tertindas yang mengirim isyarat permohonan pembebasan.

Musa melihat peluang dan petunjuk dari langit. Ia menugaskan salah satu jenderalnya yang paling cakap dan bertakwa: Thariq bin Ziyad, seorang pemuda Berber yang tubuhnya mungkin kecil, namun imannya membesar-besarkan semesta. Ia diberi amanah untuk memimpin 1.700 pasukan dalam tujuh kapal. Dan keberangkatan itu ditetapkan pada bulan Rajab 93 H, bulan suci yang penuh keberkahan. Agar angin kemenangan mengiringi langkah mereka, dan malaikat turun bersama ombak.

Thariq dan pasukannya menyeberangi lautan dari Tangier. Gelombang mengguncang lambung kapal, dan langit malam dilapisi kabut tipis. Para prajurit muda duduk merenung di geladak, mendengarkan gemuruh laut dan suara hati yang menyebut Asma Allah.

"Adakah kemenangan itu dekat, ya Rabb?" bisik seorang prajurit. Yang lain menjawab, "Bersabarlah. Kami sedang dalam perjalanan menuju takdir besar."

Ketika fajar merekah, mereka sampai di sebuah tanjung berbatu yang memerah seperti bara. Di sinilah Thariq diperintahkan mendarat. Ada sebuah benteng yang berdiri di sana—dan ia diperintahkan untuk menghancurkannya. Batu demi batu dirubuhkan. Jejak lama harus dihapus, agar cahaya baru bisa ditanam.


---

Namun, di daratan yang lebih dalam, Raja Roderic tak tinggal diam. Ia membawa 70.000 pasukan, lengkap dengan kendaraan mewah yang ditarik dua kuda, dihiasi permata dan intan. Ia duduk di atas permadani di bawah kubah emas yang berkilauan. Ia bahkan membawa tali—bukan karena takut ditawan, tapi karena ia yakin akan menang dan akan menyeret Thariq sebagai tawanan.

Thariq melihat dari kejauhan. Langit merah membara di belakang mereka. Laut telah mereka tinggalkan. Dan di depan: pasukan musuh sebesar gunung.

Ia mengumpulkan pasukannya. Dengan suara tenang tapi mengguncang jiwa, ia berkata:

"Wahai manusia, ke mana kalian akan lari? Laut ada di belakang kalian, musuh di depan kalian. Demi Allah, tak ada jalan keluar selain kejujuran dan kesabaran. Itulah dua sayap kemenangan."

Ia berjalan ke tengah. Menatap wajah-wajah yang gemetar, lalu menyulut api semangat:

"Jumlah kita sedikit, tapi ketulusan kita besar. Musuh banyak, tapi hati mereka kosong. Jika aku maju, ikutilah aku. Jika aku berhenti, berhentilah. Jadilah kalian satu tubuh."

Kemudian, Thariq melakukan hal yang mencengangkan: ia membakar seluruh kapal-kapalnya. Api menjilat layar dan kayu, asap membumbung ke langit. Para prajurit menatap, terdiam.

Tak ada jalan pulang. Hanya ada dua pilihan: menang atau mati syahid.

"Jangan takut! Jangan jadi orang hina! Dapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Malas adalah kehinaan. Kemenangan ada pada sabar. Allah akan menolong kalian."


---

Pertempuran besar pun terjadi. Sejarah mengenalnya sebagai Perang Guadalete. Pasukan Muslimin, yang jumlahnya jauh lebih kecil, bertempur dengan semangat langit. Tombak melesat, pedang berkilat. Takbir menggema. Dan pada akhirnya, Roderic tewas. Permadani emasnya menjadi saksi kejatuhannya. Tak satu pun permata bisa menyelamatkannya dari kutukan Wisma Raja.

Thariq mengirim kabar kemenangan kepada Musa bin Nushair, dan Musa menyampaikannya ke khalifah di Damaskus. Tapi perjuangan belum usai. Kota-kota lain masih berdiri. Benteng-benteng masih menjulang.

Thariq mengirim surat: "Musuh mengepung kami dari segala penjuru. Kami membutuhkan bantuan!"

Musa pun berangkat dengan pasukan tambahan. Setelah bergabung, mereka melanjutkan pembebasan. Cordoba jatuh. Seville jatuh. Dan akhirnya, mereka sampai di Toledo, kota kerajaan.

Di sanalah, Musa mendapati kembali Wisma Raja—bangunan yang dulu dibuka Roderic.

Di dalamnya, ia menemukan 24 mahkota, masing-masing milik raja yang pernah memerintah. Ada nama, tanggal penobatan, dan tanggal kematian. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja yang berukirkan tulisan: Sulaiman bin Daud.

Wisma itu ternyata menyimpan lebih dari nubuat: ia menyimpan jejak warisan para nabi. Dan kini, ia menyambut generasi pembawa tauhid yang datang bukan untuk menguasai, tapi membebaskan.


---

Roderic membuka Wisma Raja dengan angkuh, dan ia dikutuk oleh sejarah. Tapi kaum Muslimin membuka Wisma itu dengan iman, dan mereka ditulis oleh langit.

Penaklukan Andalusia bukan semata penaklukan geografis. Ia adalah penaklukan spiritual. Sebuah pergantian zaman. Dari kesombongan raja yang menghina nubuat, menuju ketundukan panglima yang mencintai janji Allah.

Dari kapal yang dibakar, dari lautan yang ditinggalkan, dari sabda yang menggetarkan hati, lahirlah peradaban besar yang akan memancar selama berabad-abad ke depan.

Dan semua itu, dimulai dari sebuah wisma tua, yang menyimpan meja Nabi, dan mengantar zaman pada takdir yang tak bisa dihindari.


Sumber:
Ibnu Qutaibah, Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Para Khalifah , Pustaka Al-Kautsar

Merahasiakan Strategi Pertempuran Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: k...

Merahasiakan Strategi Pertempuran
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Ada satu prinsip perang yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah ﷺ: kerahasiaan. Dalam setiap ekspedisi militer, strategi bukan sesuatu yang diumumkan secara terbuka. Bahkan kepada panglima sekalipun, Rasulullah ﷺ seringkali tidak langsung menyampaikan rencana secara gamblang.

Jika beliau tidak ikut serta dalam ekspedisi, Rasulullah ﷺ akan menitipkan sepucuk surat kepada sang panglima. Namun, surat itu tidak boleh dibuka kecuali setelah dua hari perjalanan. Isinya? Arah gerak pasukan dan strategi pertempuran.

> "Rasulullah ﷺ memberikan surat tertutup kepada pemimpin pasukan dan berkata, 'Jangan engkau buka surat ini kecuali setelah kalian berjalan selama dua hari. Dan ketika engkau membukanya, laksanakanlah perintah yang ada di dalamnya tanpa ragu dan jangan engkau paksa siapa pun untuk ikut bersamamu.'”



Dari sini kita memahami bahwa:

Kerahasiaan total menjaga agar strategi tidak bocor ke musuh.

Ketaatan mutlak dibutuhkan demi menjaga kesatuan dan keberhasilan misi.


Mengapa harus sedemikian rahasia? Karena di Madinah sendiri banyak pihak internal yang berpotensi membocorkan informasi. Abdullah bin Ubay, misalnya, dikenal sebagai pemimpin kaum munafik yang kerap mengkhianati keputusan Rasulullah ﷺ. Ia pernah membocorkan informasi pasukan saat Perang Khaibar, termasuk jumlah pasukan dan arah serangan kepada pihak musuh.

Demikian pula ketika akan terjadi pembebasan Kota Mekah. Salah seorang sahabat yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy, mengirimkan surat kepada orang-orang Mekah untuk memperingatkan mereka. Surat itu dibawa oleh seorang wanita dan berhasil dicegat oleh Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat. Rasulullah ﷺ menegur sahabat tersebut, tetapi tidak mencabut status keislamannya karena niatnya bukan untuk membocorkan secara penuh, melainkan karena dorongan emosional.

Artinya, bahkan dalam lingkaran sahabat, Rasulullah ﷺ tetap menjaga rahasia perang hanya untuk dirinya. Strategi tidak dibocorkan. Bukan karena tidak percaya, tapi karena amanah strategi bukan milik semua orang.

Jejak Muhammad Al-Fatih

Strategi ini kemudian diteladani oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Ketika pasukannya diberangkatkan, tak satu pun tahu ke mana arah mereka. Bahkan orang-orang kepercayaannya tidak diberi tahu sepenuhnya. Al-Fatih menyimpan rencana dalam hatinya, seolah berkata: “Jika strategi diketahui terlalu banyak orang, musuh pun akan mengetahuinya.”

Bahkan hingga saat Al-Fatih wafat, pasukannya sedang dalam perjalanan menuju sebuah ekspedisi besar. Sejarah mencatat, ekspedisi itu diduga besar mengarah ke Italia, tepatnya ke Roma—simbol utama kekuasaan Kristen Katolik di Eropa. Jika Konstantinopel telah ditaklukkan sebagai pusat Kristen Ortodoks, maka Roma adalah “puncak bukit” berikutnya.

Namun takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, Al-Fatih jatuh sakit secara misterius. Ia mengalami demam tinggi di daerah Hünkârçayırı, dekat Gebze, sekitar 50 km dari Istanbul. Beberapa hari kemudian, pada 3 Mei 1481, beliau wafat dalam usia 49 tahun, sebelum sempat membuka secara publik arah pasti pasukannya.

Mengapa Merahasiakan Rencana?

Manshur Abdul Hakim, dalam biografi Khalid bin Walid, menyebutkan bahwa hanya sekali Rasulullah ﷺ mengumumkan rencana perang secara terbuka, yakni pada Perang Tabuk. Itu pun karena sifat ekspedisinya yang jauh dan memerlukan persiapan besar.

Apa hasilnya? Semangat umat untuk berinfak pun luar biasa. Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya. Umar menyerahkan separuh dari kepemilikannya. Utsman membiayai 10.000 pasukan, lengkap dengan 900 unta, 500 kuda pilihan, dan 10.000 dinar.

Namun selebihnya, semua strategi dirahasiakan. Tidak diumumkan. Disampaikan hanya melalui surat kepada panglima.

Khalifah Umar bin Khattab: Teladan Strategi dan Logistik

Umar bin Khattab, sebagai Khalifah, sangat memahami pentingnya kerahasiaan dan kalkulasi logistik. Beberapa prinsip yang beliau terapkan:

1. Tidak Melanjutkan Ekspansi Terlalu Jauh
Setelah kemenangan di Qadisiyah dan Yarmuk, Umar menahan ekspansi ke jantung Romawi dan Persia. Ia lebih memilih konsolidasi dan stabilisasi wilayah.


2. Membagi Pasukan ke Dalam Unit Kecil
Dengan pembagian ini, jika satu unit kalah, unit lain bisa tetap bertahan. Ini strategi saat menghadapi Persia dan Romawi di Syam.


3. Menunda Perang Bila Terjadi Bencana
Saat wabah Tha’un Amwas melanda Syam, Umar menolak masuk ke sana. “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain,” kata beliau. Ini bukan sikap pengecut, tetapi hikmah dalam menghadapi musibah.


4. Menghindari Perang Tanpa Perhitungan
Umar tidak memulai peperangan kecuali dengan persiapan matang dan pertimbangan politik yang dalam. Logistik, dukungan rakyat, dan moral pasukan selalu diperhitungkan.



Pandangan Para Pakar Militer Dunia

Kerahasiaan strategi bukan hanya ajaran Islam, tetapi prinsip yang diakui dunia.

> Sun Tzu (Tiongkok) – The Art of War: “Biarkan rencanamu gelap dan tidak bisa ditembus seperti malam; dan ketika kau bergerak, hantam seperti petir.”



> “Segala peperangan didasarkan pada tipu daya.”


> Carl von Clausewitz (Prusia) – On War: “Kejutan adalah akar dari semua operasi militer tanpa terkecuali, meski tingkatannya berbeda-beda.”


> Napoleon Bonaparte: “Rahasia perang terletak pada komunikasi.”


> George Washington: “Bahkan hal-hal kecil pun tidak boleh diungkapkan dalam urusan militer.”



Semua kutipan itu bermuara pada satu hal: rahasia adalah ruh dalam strategi perang.

Kontemplasi

Apa makna dari semua ini bagi kita yang bukan jenderal atau panglima?

Kita mungkin bukan pemimpin pasukan, tetapi hidup ini penuh pertarungan: pertarungan batin, perjuangan dakwah, konflik sosial, bahkan persaingan ide. Dalam semua itu, kita harus belajar menjaga strategi, menahan diri untuk tidak tergesa mengumbar rencana, dan memilih waktu yang tepat untuk bertindak.

Rasulullah ﷺ mengajarkan kehati-hatian, bahkan kepada para sahabat yang paling setia. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena strategi harus dijaga dengan amanah.

Sebab terkadang, bukan musuh yang kuat yang membinasakan kita, melainkan lisan dan kelalaian sendiri yang membuka pintu kekalahan.

Wallahu a'lam.

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit sore itu menggantung be...

Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Langit sore itu menggantung berat di atas bentang kekaisaran Utsmani. Awan kelabu tak hanya menaungi langit Basra dan Edirne, tapi juga hati para pengikut Sultan Salim I. Angin berembus membawa aroma musim panas yang ganjil, seolah bumi tahu bahwa sebuah babak akan segera berakhir dalam sunyi dan luka.

Pada 17 Juli 1520, Sultan Salim I—yang dijuluki "Yavuz" (Si Tegas)—berdiri gagah di hadapan pasukannya. Matanya tajam memandang ke arah barat, ke tanah Ardanah yang hendak dibebaskan. Pasukan telah siap, pedang telah diasah, kuda-kuda telah menginjak tanah dengan semangat jihad. Namun tiba-tiba, seperti petir di siang hari, rasa sakit luar biasa menyerang bahu sang Sultan.

“Hasan,” panggilnya lirih di antara napas tertahan.

Hasan, pelayan dan sahabat setia Sultan, segera menghampiri. Ia membuka pakaian bagian belakang Sultan, dan matanya menangkap benjolan kecil sebesar biji merah. Warnanya tajam, kontras dengan kulit Sultan yang pucat. “Ini terlihat tidak biasa, Tuanku,” ucap Hasan khawatir.

“Akan hilang sendiri,” jawab Sultan, suaranya tegas namun melemah.

Malamnya, langit seolah menyesakkan bumi. Rasa sakit di punggung Sultan membakar seperti bara api. Ia terjaga sepanjang malam, tidak tidur, tidak mengeluh—hanya menatap langit dan menarik napas panjang seakan menahan badai dalam dadanya.

Menjelang subuh, ia mandi air hangat. Bisul di punggungnya kini membesar, memerah seperti luka yang menyala. Juru pijat dipanggil. Ia mencoba meredakan rasa sakit itu, tapi tak banyak membantu. Tabib berkata, “Ini Chirbangh, disebabkan oleh bakteri Ristaviloc. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya.”

Pagi hari menyapa dengan cahaya lembut, namun tubuh Sultan diguncang nyeri hebat. Para penasehat menyarankan agar pasukan dibatalkan. Tapi Sultan menatap mereka dan berkata:

“Aku telah berjanji kepada pasukanku. Aku bukan orang yang senang membatalkan janji.”

**

Pada 18 Juli, pasukan mulai bergerak menuju Ardanah. Suasana penuh tekad, namun langkah-langkah kuda terdengar berat karena rasa cemas. Sultan memimpin di atas kudanya, menahan rasa sakit yang tak terlukiskan. Alam seakan ikut bersedih—angin mengalun lirih, matahari meredup di balik awan.

Di tengah perjalanan, di sebuah lembah yang sunyi, tubuh Sultan tidak mampu lagi menahan beban. Ia jatuh lemah dari kudanya. Sebuah kemah kecil segera didirikan.

“Hasan…” bisiknya.

Hasan masuk dan melihat wajah Sultan yang pucat pasi. “Hampir saja aku menangis seperti anak kecil karena sakit ini,” ucap Sultan dengan mata memerah.

“Beristirahatlah, Tuanku,” kata Hasan. “Para tabib akan berusaha keras menyembuhkanmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan. “Obat bagi sakit ini adalah kematian.”

**

Hari-hari berlalu, tubuh Sultan kian mengering. Sendi-sendi tubuhnya remuk, seolah tulangnya telah kehilangan bentuk. Tabib kehabisan akal. Alam sekitar terasa lebih sunyi, angin pun tak lagi riuh. Waktu seperti melambat, menunggu sesuatu yang agung.

Utusan dikirim ke Istana membawa kabar duka. Dalam perkemahan, Sultan memanggil Hasan lagi.

“Apa yang terjadi, Hasan?”

“Inilah waktu manusia berserah kepada Rabb-nya,” jawab Hasan lembut.

Beberapa jam kemudian, perdana menteri tiba di kemah. Sultan mencoba menyambutnya namun tak sanggup berdiri.

“Insya Allah, Sultan akan sembuh,” ujar perdana menteri.

Sultan menggeleng pelan. “Cukuplah ini. Aku sangat lelah. Rasa sakit ini terlalu berat. Kematian tampaknya akan mengakhirinya. Putraku Sulaiman akan menggantikanku. Terimalah dia sebagaimana kalian menerimaku.”

Ia pun memanggil Hasan lebih dekat.

“Wahai Hasan, bacakan aku surat Yasin.”

Hasan duduk di sampingnya. Dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh tak tertahan, ia mulai membaca:

Yaa Siin. Wal-Qur’aanil Hakiim...

Sultan mendengarkan dengan khidmat. Meski tubuhnya lemah, jiwanya kuat seperti batu karang. Ketika Hasan sampai pada ayat:

“Lahum fiihaa faakihatun wa lahum maa yadda’uun. Salaamun qawlam mir rabbir rahiim.”

Sultan menarik napas panjang dan menghembuskannya. Tubuhnya tenang. Matanya tertutup. Sebuah keheningan turun bersama rahmat langit.

Hasan menghentikan bacaannya. Ia memandang wajah Sultan, lalu memeluk tubuhnya yang sudah tak bernyawa. “Telah pergi seorang raja yang lebih mencintai jihad daripada nyawanya sendiri,” bisiknya.

Malam itu, Jumat 21 Agustus 1520, langit menangis dalam diam. Tanah Ardanah menjadi saksi bisu atas wafatnya seorang mujahid agung, yang berpulang di bawah bacaan Yasin dan dalam pangkuan doa-doa yang mengalir seperti air mata.

**

Sultan Salim I tak hanya meninggalkan tahta dan wilayah kekuasaan. Ia meninggalkan jejak keberanian, kesetiaan pada janji, dan cinta pada jihad yang tak pudar meski maut sudah menunggu. Bahkan dalam sakit yang tak tertahankan, ia memilih tetap berada di barisan depan.

Dan kini, jasadnya mungkin telah ditelan bumi, namun namanya kekal dalam lembar sejarah yang suci.

Siapa pun yang membaca kisahnya, akan bertanya dalam diam:

“Sudahkah aku seteguh itu dalam menepati janji kepada Allah?”

Langit kembali terang, seolah berkata: “Beginilah para pejuang berpulang—dengan mulia, dalam damai, dan bersama Al-Qur’an.”



Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar

Jawaban Tanda Bukti Pembelian Rumah di Surga Muncul di Batu Nisannya Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin musim panas menyapa pelan ...

Jawaban Tanda Bukti Pembelian Rumah di Surga Muncul di Batu Nisannya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin musim panas menyapa pelan tanah Basrah. Langit cerah, namun udara terasa berat—seolah menahan ribuan kisah yang belum selesai. Di antara desir angin itu, seorang lelaki asing melangkah perlahan, matanya menyimpan harapan yang telah ia bawa jauh dari negeri Khurasan.

Ia datang bukan sebagai musafir biasa. Lelaki ini telah menjual seluruh hartanya. Tanah, rumah, ladang, dan kenangan. Ia tinggalkan segalanya demi satu keinginan yang sederhana namun dalam: membeli rumah untuk keluarganya. Tak banyak yang ia bawa, hanya 10.000 dirham, secarik harapan, dan seorang istri yang setia berjalan di sisinya.

Sesampainya di Basrah, niat hati mereka langsung terarah ke Mekkah. Haji menjadi panggilan spiritual yang tak bisa ditunda. Sebelum berangkat, lelaki itu menitipkan seluruh uangnya kepada seseorang yang ia percaya: Habib Abu Muhammad, seorang lelaki saleh yang dikenal karena ketakwaannya.

> “Aku dan istriku akan menunaikan haji,” ujarnya dengan suara penuh kejujuran.
> "Aku ingin membeli rumah di Basrah seharga 10.000 dirham. Jika engkau menemukan rumah seharga itu, maka belilah rumah itu untukku.”



Habib memandang mata lelaki itu. Ada keikhlasan di sana. Ada ketundukan seorang hamba yang tidak melekat pada dunia, melainkan menjadikannya tangga menuju akhirat. Habib mengangguk, menerima amanah itu dengan niat suci.

**

Hari-hari berlalu. Langit Basrah yang semula cerah mendadak murung. Musim paceklik datang tak diundang. Lumbung-lumbung kosong. Pasar sunyi. Anak-anak menangis kelaparan. Orang-orang berbaring lemas menanti harapan yang tak kunjung datang.

Habib melihat semuanya dengan mata berkaca-kaca. Ia gelisah. Di satu sisi ia memegang amanah yang besar, di sisi lain ia melihat manusia sekarat, tangisan ibu-ibu yang kehilangan susu untuk bayinya, dan bapak-bapak yang kehilangan harapan pada siang hari yang panas membakar.

Ia mengumpulkan sahabat-sahabatnya, duduk di bawah cahaya remang, memohon petunjuk.

> “Bagaimana jika uang 10.000 dirham ini kita sedekahkan kepada mereka yang kelaparan?”
> "Aku akan membelikan rumah untuknya—bukan di Basrah, tapi di Surga. Dan jika ia menolak, aku yang akan mengganti uang itu.”



Para sahabat terdiam. Keheningan adalah tanda bahwa kata-kata telah mencapai kedalaman jiwa mereka. Akhirnya mereka mengangguk.

Dengan hati bergetar, Habib membeli tepung. Tepung itu diolah menjadi roti. Roti itu dibagikan—dengan tangan gemetar, dengan mata basah. Setiap suapan menjadi kehidupan. Setiap gigitan menjadi saksi amal yang diam. Habib tidak membeli rumah dari batu dan kayu, ia membeli tempat di Surga dengan harapan dan doa orang-orang lapar.

**

Beberapa minggu kemudian, lelaki dari Khurasan kembali dari Mekkah. Wajahnya bersinar dengan cahaya ibadah. Ia menemui Habib, suaranya tetap hangat dan bersahaja.

> “Aku pemilik uang 10.000 dirham. Aku tak tahu, apakah engkau telah membelikan rumah untukku, atau engkau akan mengembalikan uang itu agar aku belikan sendiri.”



Habib menatapnya lama. Lalu dengan tenang ia menjawab,

> “Aku telah membelikan rumah untukmu. Yang di dalamnya terdapat istana, taman-taman, pohon buah-buahan, dan sungai yang mengalir jernih di surga.”



Lelaki itu terdiam. Sejenak hening menggantung. Ia mengangguk perlahan, lalu pulang ke rumahnya untuk menyampaikan kabar itu kepada istrinya.

Di rumah, sang istri mendengarkan dengan cermat. Lalu ia berkata,

> “Mintalah tanda bukti jual beli itu.”



Wanita itu bukan ragu, ia hanya ingin menjaga hak suaminya dan menjaga kepercayaan. Maka, lelaki itu kembali menemui Habib.

> “Kami menerima transaksimu dengan Allah. Tulislah untuk kami tanda buktinya.”



Habib terharu. Ia memanggil seorang penulis, lalu dicatatlah surat perjanjian itu di atas kertas.

> “Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah tanda bukti bahwa Habib Abu Muhammad telah membeli dari Tuhannya, untuk sahabatnya dari Khurasan, sebuah rumah di Surga—lengkap dengan istana, sungai yang mengalir, dan pepohonan yang rindang. Dengan harga 10.000 dirham. Tuhan yang Maha Tinggi akan menyerahkan rumah itu kepada sahabat dari Khurasan dan membebaskan Habib dari segala tuntutan.”



Lelaki itu membaca tulisan itu perlahan, lalu membawanya pulang dan menyerahkannya pada istrinya. Tidak ada emas atau bangunan yang ia bawa dari Mekkah, tetapi ada secarik kertas yang lebih berat dari dunia dan isinya.

**

Empat puluh hari kemudian, lelaki itu wafat. Ia meninggalkan dunia dengan tenang, setelah menitipkan wasiat pada istrinya: agar surat pembelian rumah di surga itu ditempelkan di kain kafannya.

Jenazahnya dimandikan. Dikafani. Dan surat itu diselipkan, sebagaimana ia minta.

Tiga hari berlalu setelah pemakamannya. Masyarakat Basrah diguncang peristiwa aneh yang belum pernah mereka saksikan. Di atas makamnya, tampak selembar kulit tipis, seperti diturunkan dari langit. Di atasnya tertulis kalimat:

> “Habib Abu Muhammad telah membeli rumah di surga untuk sahabatnya dari Khurasan. Tuhan telah menyerahkan rumah itu sesuai syarat yang telah ditetapkan. Dan Habib dibebaskan dari segala tuntutan.”



Wajah-wajah takjub memandang langit. Ada yang menangis. Ada yang bersujud. Ada yang menggenggam tanah makam dengan erat, berharap semoga akhir hidup mereka pun ditulis dalam tinta langit.

Tulisan itu dibawa kepada Habib. Ia menerimanya dengan tangan gemetar. Bibirnya bergetar membaca kata demi kata. Kemudian ia mencium tulisan itu, memeluknya, lalu berkata kepada sahabat-sahabatnya dengan suara tercekik haru,

> “Ini... ini jaminan kebebasan dari Tuhanku.”



**

Kisah ini bukan sekadar tentang uang dan rumah. Ini adalah kisah tentang iman yang dibenamkan ke dalam amal. Tentang sebuah transaksi yang tidak tercatat dalam pasar dunia, tetapi terpatri dalam catatan langit. Tentang keikhlasan yang tidak mencari imbalan, dan ketulusan yang menghapuskan hak demi memberi hidup kepada orang lain.

Transaksi yang tidak ada notaris dunia, tetapi disahkan oleh Rabb semesta alam.

Lelaki Khurasan itu membeli rumah bukan dengan uangnya—tetapi dengan kepercayaannya kepada orang saleh dan kepada Tuhan. Dan Habib membayar rumah itu bukan dengan bangunan, tetapi dengan keyakinan bahwa setiap sedekah tidak pernah sia-sia.

**

Hari ini, kisah itu tetap hidup. Ia berjalan dari mimbar ke mimbar. Dari buku ke buku. Dari hati ke hati.

Dan siapa pun yang membacanya, akan bertanya dalam hatinya sendiri:

> Sudahkah aku membeli rumah di surga?
> Ataukah aku masih membangun istana di dunia yang akan hancur?


Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar 
---

Biografi, Duplikasi Kebrilianan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Membaca biografi adalah cara paling sederhana untuk menduplikasi dir...

Biografi, Duplikasi Kebrilianan 
Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Membaca biografi adalah cara paling sederhana untuk menduplikasi diri terhadap tokoh-tokoh hebat. Ia adalah jalan tercepat untuk merevolusi kepribadian dan mempercepat pertumbuhan jiwa. Tak semua orang mampu duduk di dekat orang besar, apalagi belajar langsung dari mereka. Tapi melalui lembar-lembar biografi, kita bisa seakan hadir di tengah peristiwa, mendengarkan langsung napas, kata, dan keputusan mereka.

Biografi bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah cermin masa depan. Ia menjadi lensa yang menyoroti bagaimana manusia biasa bisa menjadi luar biasa. Saat seseorang menyibukkan diri dengan membaca biografi, sejatinya ia sedang membangun hubungan tak kasat mata dengan jiwa-jiwa yang telah menembus sejarah.

Aku selalu meyakini, membaca biografi adalah bentuk komunikasi batin dengan para tokoh besar. Ia seperti ziarah intelektual. Kita tidak sekadar membaca huruf dan peristiwa, tapi jiwa kita sedang diajak berdialog, dididik, dan dibentuk oleh pengalaman panjang yang pernah mereka jalani. Dan sungguh, saat energi diri melemah, ketika gairah hidup seakan pudar, maka aku akan kembali membuka halaman-halaman biografi. Seolah-olah sedang duduk riung bersama para pemimpin cahaya.

Saat Kata Menjadi Cahaya

Dianugerahi setetes dari ilmu mereka saja sudah luar biasa. Dianugerahi seberkas pemikiran dan mindset mereka adalah anugerah agung. Bahkan satu cipratan cinta mereka saja menjadi kekuatan yang sanggup menghidupkan hati yang nyaris mati. Karena itu, membaca biografi tak ubahnya duduk membersamai mereka—jiwa-jiwa terpaut, hati-hati saling mengenal, dan pemikiran bergetar dalam satu frekuensi ilham.

Ada saatnya aku merasa tak mampu melanjutkan hari. Ada saatnya jiwa ini ringkih, hati ini berat, dan langkah seperti terbelenggu keraguan. Tapi ketika membaca biografi para pejuang, para ulama, para pemimpin, para pencinta Tuhan—jiwa ini seakan disetrum ulang. Tiba-tiba tubuh ini bangkit. Hati ini menyala. Semangat kembali menyala tanpa harus disuruh.

Satu malam bersama kisah hidup Umar bin Khattab bisa membuat hatiku menangis. Satu jam bersama kisah Hasan Al-Banna bisa membuat pikiranku bergolak. Satu paragraf tentang hidup Muhammad Al-Fatih bisa menggetarkan sendi-sendi ketidakyakinan. Dan sungguh, tidak ada yang lebih berbahaya dalam hidup seorang mukmin selain kehilangan gairah dan orientasi.

Ilmu yang Menghidupkan

Membaca biografi bukan sekadar menambah wawasan, melainkan membangkitkan ruh. Ia melatih cara berpikir, memperluas horizon, dan mengasah sensitivitas sejarah. Biografi membuat kita sadar bahwa hidup bukan sekadar mencari kenyamanan, tetapi menghidupi sebuah tujuan. Biografi para pahlawan adalah tamparan lembut sekaligus pelukan hangat bagi jiwa-jiwa yang tertidur.

Bukankah Allah sendiri memerintahkan kita untuk banyak membaca sejarah?

> “Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang sebelum kalian…”
(QS. Ar-Rum: 42)



Sejarah dan biografi adalah bahan bakar perenungan. Bahkan kisah para nabi dalam Al-Qur’an—tak lain adalah biografi suci yang dituturkan langsung oleh Allah agar menjadi petunjuk, peneguh jiwa, dan cahaya penerang hidup.

Menduplikasi Tanpa Merampas

Mengapa biografi bisa mengubah hidup? Karena dalam setiap kisah hidup ada keputusan-keputusan kritis yang pernah diambil di tengah badai. Dalam setiap biografi ada jejak luka, pilihan berani, dan keyakinan yang diuji. Kita tidak meniru segala hal secara literal, tetapi kita meniru nilai, semangat, dan keteguhan. Itulah duplikasi yang sah secara spiritual dan intelektual.

Kita tidak sedang menjadi mereka. Kita sedang mengaktifkan potensi terbaik kita dengan menyalakan bara semangat yang dulu pernah mereka nyalakan. Kita menjadikan mereka sebagai cermin, bukan sebagai topeng. Kita tidak kehilangan diri kita, tapi menemukan versi terbaik dari diri sendiri.

Dan kadang, dari membaca satu biografi saja, arah hidup seseorang bisa berubah selamanya.

Hari-Hari Bersama Para Pahlawan

Hari-hari di mana aku paling merasa hidup adalah hari-hari saat dikelilingi buku-buku biografi. Hari-hari itu bukan sekadar hari membaca, tapi hari pemulihan spiritual. Di saat virus kelemahan dan kemalasan menyerang, aku kembali merapat pada kisah para pejuang. Seperti anak ayam yang kembali berlindung di bawah sayap induknya, seperti santri yang kembali duduk di hadapan mursyidnya, seperti pejuang yang kembali merapikan senjatanya sebelum perang.

Ada ketenangan dalam mendengarkan kisah hidup Imam Syafi’i. Ada kekuatan dalam mengikuti jejak hidup Umar bin Abdul Aziz. Ada keindahan dalam merenungi perjalanan Ibnu Sina. Ada keberanian dalam menyelami perjuangan Imam Hassan Al-Banna, dan ada kemurnian dalam menelusuri hidup para sahabat Nabi.

Cinta yang Menyatu dalam Waktu

Dari membaca biografi, aku berharap tumbuh cinta yang mendalam kepada para tokoh itu. Bukan cinta buta, tapi cinta sadar. Cinta yang ingin berjumpa dengan mereka kelak. Cinta yang membuat mereka pun mengenalku, meski aku bukan siapa-siapa. Cinta yang membuatku yakin bahwa Allah akan mengumpulkan jiwa-jiwa yang saling mencintai karena-Nya di akhirat kelak.

> “Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Maka membaca biografi bukan hanya untuk dunia. Ia adalah bagian dari bekal akhirat. Karena cinta kepada orang-orang shalih adalah tanda kemuliaan. Dan siapa tahu, dengan membaca dan mencintai mereka, Allah akan menempatkanku dekat dengan mereka—meski amal tak sebanding.

Kebiasaan yang Membentuk Diri

Kebiasaan membaca biografi pelan-pelan mengubah kebiasaan harian. Kita menjadi lebih sadar waktu. Lebih berhati-hati dalam bertindak. Lebih rindu untuk bermakna daripada sekadar berumur panjang. Kita jadi merasa berdosa ketika terlalu banyak mengeluh, sebab tokoh-tokoh dalam biografi jarang sekali punya waktu untuk mengeluh. Mereka sibuk dengan misi hidup.

Maka akhlak mereka mulai menetes pada kita. Cara berpikir mereka mulai merasuki pikiran kita. Jiwa kita mulai terlatih menghadapi badai. Dan kita tidak lagi mudah tumbang hanya karena ucapan orang, atau karena satu-dua kegagalan. Karena kita tahu, orang-orang besar dalam sejarah pun sering gagal, dikhianati, difitnah, tapi mereka tetap tegak berdiri.

Menyambut Hari dengan Biografi

Aku ingin hari-hariku selalu bersahabat dengan biografi. Jika pagi diawali dengan zikir dan biografi, maka hari itu insya Allah akan penuh kekuatan dan makna. Jika malam ditutup dengan munajat dan membaca kisah perjuangan, maka tidurku terasa lebih dalam dan hati lebih tenang.

Karena saat membaca biografi, aku merasa tidak sendirian. Aku merasa sedang ditatap oleh para tokoh itu. Seolah mereka berkata: “Lanjutkan perjuangan kami. Hidup bukan sekadar hidup. Tapi hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari dirimu.”

Dan aku ingin menyambut hari-hari mendatang dengan semangat baru. Semangat yang tidak mudah padam. Semangat yang dibentuk dari serpihan kisah para manusia unggul yang telah menyelesaikan larinya di dunia dengan kemuliaan.

Biografi Adalah Cermin Takdir

Biografi adalah bukti bahwa takdir Allah bekerja dalam ritme yang indah. Bahwa kemenangan selalu menunggu di balik kesabaran. Bahwa arah sejarah bisa diubah oleh tekad satu orang. Bahwa tidak ada hidup yang remeh jika niatnya agung.

Dan pada akhirnya, membaca biografi bukan sekadar mengenang, tapi mengambil bagian. Kita tidak sedang menonton film sejarah. Kita sedang menulis ulang sejarah, dengan jiwa dan pena kita sendiri. Kita tidak sedang jadi penonton, tapi pemain dalam panggung besar peradaban ini.

Maka, jika hari ini terasa gelap dan melelahkan, bukalah kembali biografi. Duduklah bersama para sahabat Nabi, para mujahid, para ulama, para penemu, para pemimpin hati. Biarkan ruh mereka menyalakan kembali semangat kita yang padam. Karena saat mereka hidup, sejarah berubah. Dan jika kita hidup dengan semangat yang sama, insya Allah sejarah akan kembali bergerak ke arah yang benar.


---

Kisah Para Nabi: Persoalan dan Solusi Komprehensif Kehidupan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Wahyu Telah Turun, Masalah Telah ...

Kisah Para Nabi: Persoalan dan Solusi Komprehensif Kehidupan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Wahyu Telah Turun, Masalah Telah Dijawab

Segala kalimat telah sempurna. Wahyu terakhir telah diturunkan. Tak ada lagi ayat baru yang akan turun. Tak ada lagi langit yang akan terbuka dengan petunjuk yang belum tersampaikan.

Segala persoalan kehidupan—baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi—telah dijelaskan. Segala bentuk ujian, kesalahan, kesesatan, dan kebingungan sudah pernah dialami, sudah pernah ditunjukkan cara menghadapinya.

Dan semua itu telah terhimpun… dalam satu kitab penutup: Al-Qur’an.

Kitab yang bukan sekadar bacaan suci untuk malam Jumat. Tapi pedoman menyeluruh tentang bagaimana manusia seharusnya hidup: berpikir, merasa, berbuat, dan bertahan dalam arus zaman.

Lalu mengapa manusia tetap terperangkap dalam kesulitan?

Mengapa banyak yang mengeluh tak tahu jalan keluar?

Mengapa akar persoalan hidup sering tak teridentifikasi, apalagi solusinya?

Jawabannya ternyata sederhana:
Manusia tertipu oleh dirinya sendiri.
Tertipu oleh apa yang ia sebut “kecerdasan” dan “kemajuan.”


---

2. Nabi-Nabi dan Kecerdasan Wahyu

Para Nabi adalah manusia pilihan. Mereka bukan manusia biasa yang kebetulan menjadi pemimpin. Mereka adalah insan-insan yang dipersiapkan secara spiritual dan moral, dibimbing langsung oleh Allah, dan diperkuat oleh wahyu.

Rasulullah ﷺ adalah puncaknya.
Manusia paling berpengaruh dalam sejarah.
Tapi bagaimana beliau memecahkan masalah?

> Beliau menunggu wahyu.
Menunggu Jibril datang membawa jawaban.
Beliau tidak berspekulasi. Tidak menerka-nerka. Tidak mengandalkan insting duniawi semata.



Maka, ketika wahyu tak lagi turun, ia telah diwariskan dalam bentuk Al-Qur’an. Kini kita tak perlu menunggu Jibril turun. Tak perlu menanti malaikat membawa jawaban.

Karena jawabannya… sudah ada.
Karena semua telah dirangkum.
Kini, tugas manusia bukan menunggu jawaban, tapi membacanya.
Merenungkannya. Mengamalkannya.

Ironisnya, sebagian besar manusia justru menolak memahaminya. Padahal jawabannya sudah ada di tangannya.


---

3. Seluruh Persoalan Telah Diceritakan

Kisah para nabi bukan cerita lama. Ia bukan dongeng masa lalu. Ia adalah cermin yang jernih—yang menampilkan wajah kita hari ini, dengan segala luka dan pertanyaannya.

> Bagaimana manusia pertama—Adam—jatuh ke dalam kesalahan karena bisikan iblis?
Bagaimana anaknya, Qabil, membunuh saudaranya sendiri karena dengki?
Bagaimana Nuh harus menghadapi umat yang keras kepala dan anak yang tak mau ikut bahtera?
Bagaimana Yusuf ditikam saudaranya sendiri dan tetap memaafkan?
Bagaimana Musa menantang tirani dan takut berbicara?
Bagaimana Isa menghadapi konspirasi dan pengkhianatan?
Bagaimana Muhammad ﷺ memikul seluruh beban umat di punggungnya—dengan kasih, bukan kebencian?



Setiap kisah para nabi adalah simbol dari persoalan manusia.
Dan setiap langkah mereka, adalah simbol dari solusi yang Allah ridai.

> Seluruh persoalan manusia sudah diangkat.
Seluruh solusi hidup sudah diberikan.
Langkah demi langkah. Jalan keluar. Hikmah-hikmah.



Dan semuanya telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an:

> "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal."
(QS. Yusuf: 111)



Lalu mengapa kita mencari solusi di luar itu?


---

4. Solusi Tidak Pernah Berubah

Masalah hidup akan selalu berulang. Formatnya mungkin berbeda. Tapi hakikatnya tetap sama.

Hasad, tamak, cinta dunia, pengkhianatan, kezaliman, kebodohan, kesombongan—semuanya adalah penyakit lama. Hanya berganti rupa, tapi tak pernah berubah akar.

Dan solusinya pun tak berubah:

> Iman, sabar, syukur, tawakal, kejujuran, kasih sayang, taubat.



Maka hidup ini sesungguhnya mudah, jika kita benar-benar mau mendengarkan kisah para nabi—bukan sekadar membacanya.

Karena para nabi tidak hanya mewakili masa lalu. Mereka mewakili semua musim dalam hidup manusia. Mereka adalah peta, bukan nostalgia.


---

5. Kehidupan Sudah Dibocorkan

Bayangkan ini:
Allah telah membocorkan masa depan.
Segala jebakan, tipu daya syaitan, fitnah dunia, tipu muslihat hawa nafsu—semuanya telah dijelaskan.

Allah bahkan memberi daftar jebakan hidup yang akan datang. Memberi skenario lengkap: dari fitnah Dajjal, munculnya Ya’juj Ma’juj, hingga kegelapan menjelang hari kiamat.

> Allah tidak ingin kita tersesat. Maka Allah membocorkan segalanya.



Lalu…
Mengapa manusia masih tersesat?
Mengapa manusia masih mencari arah dari suara-suara yang menyesatkan?

Karena mereka menolak peta.
Menolak petunjuk.
Lebih percaya pada bisikan syaitan daripada cahaya wahyu.


---

6. Para Nabi: Guru Kehidupan

Para Nabi bukan hanya utusan. Mereka adalah pelatih kehidupan.

Mereka tidak datang membawa teori, tapi teladan nyata. Mereka hidup, menderita, tertawa, jatuh, bangkit—untuk menjadi pelajaran.

> Mereka mengajari manusia mengenali penyakit hatinya.
Mereka menunjukkan arah keluar dari labirin dunia.
Mereka menemani jiwa manusia dari kegelapan menuju cahaya.



Nabi Muhammad ﷺ adalah guru paling sempurna. Bukan karena tak pernah salah, tapi karena setiap langkahnya dituntun oleh langit.

Dan kini, setelah wahyu berhenti turun, kita tetap punya warisan:
Al-Qur’an dan Sunnah.


---

7. Manusia Sudah Dibimbing Sejak Awal

Pernahkah kita berpikir…

Hewan pun bisa bertahan hidup. Tumbuhan pun tahu kapan berbunga dan berbuah.

Padahal mereka tak punya akal. Tak ada sekolah untuk mereka. Tapi mereka bertindak sesuai takdirnya.

Lalu bagaimana dengan manusia?

> Manusia telah dibimbing bahkan sejak dalam kandungan.
Diperkuat oleh wahyu, para nabi, ulama, orang tua, guru, dan akal.
Dilengkapi dengan hati nurani, intuisi, fitrah, dan pengalaman sejarah.



Tapi mengapa manusia masih gagal memahami persoalan hidupnya?

Karena ia sering kali menolak bimbingan.


---

8. Yang Kurang Hanya Pengamalan

Maka sesungguhnya yang kurang itu bukan pengetahuan.
Yang kurang adalah pengamalan.

Allah telah membocorkan semuanya. Para nabi telah memberi contoh. Kitab suci sudah ada di rak rumah kita. Tafsir telah tersedia dalam berbagai bahasa. Kajian tersedia gratis di internet.

Lalu apa yang membuat kita tetap gagal?

> Yang kurang hanya satu:
Kita tidak mengamalkan apa yang telah diajarkan.



Padahal Allah sudah berjanji:

> "Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka."
(QS. Thaha: 123)




---

9. Penutup: Kembali kepada Jejak Para Nabi

Kisah para nabi bukan hanya sejarah.
Ia adalah panduan bertahan di dunia yang penuh jebakan.
Ia adalah rambu di tengah jalan hidup yang rumit.
Ia adalah obat bagi penyakit hati yang dalam.

Dan semua telah diberikan. Lengkap. Jelas. Terang.

Kita tidak butuh nabi baru. Tidak perlu kitab baru. Tidak perlu teori barat atau filsafat timur.

Kita hanya perlu membuka kembali lembaran yang telah diwariskan oleh langit.
Kembali membaca kisah-kisah yang diturunkan bukan untuk hiburan, tapi untuk keselamatan.

Dan bertanya dengan jujur pada diri sendiri:

> “Sudahkah aku memahami persoalan hidup seperti para nabi memahaminya?”
“Sudahkah aku mencari solusi seperti para nabi mencarinya—melalui wahyu, bukan ego?”




---

Satu kalimat penutup:

> Kehidupan tidak rumit. Yang membuat rumit adalah kita sendiri—karena menolak solusi yang telah diturunkan.




---

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (238) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)