basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Prinsip Siti Aisyah dan Umar bin Abdul Aziz dalam Memerangi Bid'ah Inilah langkah perbaikan diri dan masyarakat dengan metod...

Prinsip Siti Aisyah dan Umar bin Abdul Aziz dalam Memerangi Bid'ah


Inilah langkah perbaikan diri dan masyarakat dengan metode Tadarruj (bertahap) dalam berislah (perbaikan). 

Saat jiwa telah terbiasa dengan penyimpangan dalam waktu lama. Hatinya keras dengan keseharisan yang penuh maksiat. Apakah langsung melakukan perubahan secara tiba-tiba dan cepat? Siti Aisyah dan Umar bin Abdul Aziz membimbing kita.

Siti Aisyah berkata. "Yang pertama kali turun dari Al-Qur'an adalah surat-surat yang merinci keterangan tentang surga dan neraka. Hingga ketika orang-orang telah gandrung pada Islam, maka turunlah halal dan haram."

"Seandainya ayat yang pertama turun: Janganlah kalian minum khamer, niscaya mereka berkata: Kami tidak mau meninggalkan khamer selama-lamanya."

"Seandainya turun: Janganlah berzina, niscaya mereka berkata: Kami tidak mau meninggalkan zina selama-lamanya." 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun, yang juga ahli fiqh, teguh pada prinsip ini, setelah khalifah sebelumnya mengelola kekuasaan dengan campuran kezaliman. 

Anaknya Umar bin Khatab, Abdul Malik, berkata, "Ayah, apa yang menghalangimu untuk segera menegakkan keadilan yang kau inginkan? Demi Allah, aku tidak peduli seandainya kuali-kuali mendidih karena aku dan dirimu.:

"Anakku, sesungguhnya aku melihat orang seperti melatih unta jalang. Sesungguhnya aku ingin menghidupkan kekhalifahan dengan keadilan, hingga aku menunda itu, sampai aku mengeluarkan ambisi dunia, lalu mereka lari dari ketamakan duniawi dan menerima keadilan dengan tenang." Ujar Umar bin Abdul Aziz.

"Wahai Ayah, apa yang kau katakan kepada Rabb-mu besok, ketika Dia bertanya kepadamu, "Kamu melihat bid'ah namun tidak mematikannya, atau Sunnah namun tidak menghidupkannya?" Tanya sang anak.

"Anakku, sesungguhnya kaummu telah mengikat masalah ini dengan tali demi tali, simpul demi simpul. Ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan apa yang ada di tangan mereka, maka bisa saja mereka menentangku sehingga banyak darah yang tumpah."

"Demi Allah, hilangnya dunia itu lebih ringan bagiku daripada menetesnya darah lantaran aku. Tidakkah kau senang sekiranya setiap hari diantara hari-hari dunia ini ayahmu mematikan bid'ah dan menghidupkan Sunnah?" Ujar Umar bin Abdul Aziz.

Sumber:
Muhammad Ahmad Rasyid, Khitah Dakwah, Rabbani Press

Karakter Utama Bapak dalam Mendidik Anaknya Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bagaimana mendidik anak agar berhasil? Paham metodologi p...


Karakter Utama Bapak dalam Mendidik Anaknya


Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bagaimana mendidik anak agar berhasil? Paham metodologi pendidikan anak? Paham karakter anak sesuai zamannya? Semuanya hanya salah satunya. Tetapi bukan yang utama.

Siapakah Nabi dan Rasul yang putranya juga seorang Nabi? Nabi Adam melahirkan Nabi Syits. Nabi Ibrahim melahirkan Nabi Ismail dan Ishak. Nabi Yakub melahirkan Nabi  Yusuf. Nabi Zakaria melahirkan Nabi Yahya dan mendidik keponakannya Siti Maryam. Jadi apa karakter utama mereka?

1. Nabi Adam seorang bapak yang gemar memohon ampun kepada Allah

"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kamu, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al A'raf ayat 23)

2. Nabi Ibrahim seorang bapak yang memiliki karakter sebagai Khalilullah, kekasih atau kesayangan Allah. Doa-doanya untuk putra-putrinya dan generasi hingga akhir zaman paling banyak dan paling panjang di dalam Al-Qur'an.

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya)." (QS. An-Nisa': 25)

3. Nabi Yakub AS memiliki julukan Israil. Kata Israil diambil dari gabungan dua kata, "Isra" yang artinya "budak," dan "eli" yang artinya "Tuhan." Dalam bahasa Arab, nama ini biasanya disebut dengan Abdullah.

Dia (Yakub) menjawab, "Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Yusuf: 86)

4. Nabi Zakaria tak pernah kecewa dalam berdoa

Dia (Zakaria) berkata, "Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah melemah dan kepalaku telah terisi uban, sedang aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. (Maryam: 4)

Bapak adalah pemimpin keluarga. Menurut Umar bin Khatab, seorang pemimpin merupakan perantara antara Allah dengan yang dipimpinnya. Maka, karakter utama seorang bapak seperti yang dicontohkan Nabi Adam, Ibrahim, Yakub dan Zakaria yaitu memiliki hubungan yang kuat kepada Allah.

Kekuatan hubungan dengan Allah inilah yang akan menyentuh hati, jiwa dan akal putra-putrinya.

Antara Nabi Yunus dan Fir'aun Oleh: Nasrulloh Baksolahar Nabi Yunus dilemparkan ke laut dari sebuah kapal untuk menyelamatka...

Antara Nabi Yunus dan Fir'aun


Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Nabi Yunus dilemparkan ke laut dari sebuah kapal untuk menyelamatkan seluruh penumpangnya. Lalu, ikan paus memakannya. Nabi Yunus mengalami tiga kegelapan sekaligus. Kegelapan dasar laut, kegelapan malam dan kegelapan dalam ikan paus. Siapakah yang bisa menyelamatkannya?

Dalam kegelapan tersebut, Nabi Yunus berdoa. "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Nabi Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."  (Al-Anbiya: 87)

Fir'aun pun tenggelam di Laut Merah saat mengejar Nabi Musa dan pengikutnya. Fir'aun pun berdoa untuk keselamatan dirinya.

"Kami jadikan Bani Israil bisa melintasi laut itu (Laut Merah). Lalu, Fir'aun dan bala tentaranya mengikuti mereka untuk menganiaya dan menindas hingga ketika Fir'aun hampir (mati) tenggelam, dia berkata, 'Aku percaya bahwa tidak ada tuhan selain (Tuhan) yang telah dipercayai oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri kepada-Nya).'  (Yunus: 90-91)

Mengapa Nabi Yunus diselamatkan Allah, namun Firaun tidak? Padahal memiliki persoalan yang sama dan juga sama-sama berdoa kepada Allah di saat menghadapi kesulitan? Nabi Yunus sudah melanggengkan zikir sebelum peristiwa tersebut. Sedangkan Fir'aun baru berdzikir di saat kejadian tersebut. Apa perbedaannya?

Seperti dua orang petani, yang satu sudah menanam pohon di awal musim hujan, sehingga saat kemarau tumbuhanmya sudah kokoh dan bisa berbuah. Sedangkan, petani yang lain, di musim kemarau baru menanam pohon. Pohon tersebut mati karena tak bisa bertahan di musim kemarau.

Begitu pun dengan kisah 3 pemuda yang terjebak di gua. Mereka meminta pertolongan Allah melalui amal shaleh yang sudah diistiqamahkan sebelumnya. Amal shaleh yang sudah diperjuangkan di masa lalu hingga hari ini, akan menjadi perantara pertolongan Allah, kebaikan hidup hari ini dan masa depan.

Allah Sendiri yang Menghancurkan Kezaliman Yahudi Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Allah memaparkan kekalahan Yahudi Bani Nadhir dala...

Allah Sendiri yang Menghancurkan Kezaliman Yahudi


Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Allah memaparkan kekalahan Yahudi Bani Nadhir dalam surat Al-Hasyr ayat 2:

"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung halamannya pada saat pengusiran yang pertama."

"Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka dari arah yang bukan mereka sangka-sangka."

"Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka; sehingga mereka menggambarkan rumah-rumah mereka dengan tangan sendiri dan tangan orang-orang mukmin."

"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!"

Allah sendiri yang mengeluarkan Yahudi Bani Nadhir dari Madinah. Allah melakukan  segala sesuatu tanpa perantara manusia. Rasulullah saw dan para Sahabatnya hanya melakukan pengepungan selama 25 hari dengan memotong dan membakar pohon-pohonnya. Mereka pun menyerah. 

Apa gunanya benteng yang kokoh? Apa gunanya sejata yang tercanggih? Yang menghancurkan benteng dan rumahnya pun mereka sendiri agar tidak bisa dimanfaatkan oleh muslimin.

Orang-orang Yahudi tertipu dengan kekuatan yang telah dihimpun dan dibangun. Tertipu dengan benteng dan senjatanya. Namun, Allah mendatangi mereka dari dalam diri mereka sendiri. Allah datang ke dalam hati-hati mereka dan mencampakkan ketakutan di dalamnya.

Yahudi mengantisipasi serangan dari dari luar diri mereka. Seperti penjajah Israel, yang membangun tembok-tembok tinggi, tebal, kokoh, dan menghujam ke tanah dengan baja yang tidak bisa ditembus oleh rakyat Palestina. Sehingga, fokusnya hanyalah serangan udara. Ternyata, ditipu dengan serangan udara, badai Al-Aqsa rakyart Palestina pun justru dimulai dengan menembus benteng tembok-tembok tanpa terdeteksi oleh apapun dan siapapun.

Demikianlah, bila Allah menghendaki sesuatu, Allah pasti mendatangi segala sesuatu dari arah yang Dia ketahui dan Dia tentukan. Jadi, tak perlu sebab dan saran yang diketahui manusia.

Bila kemenangan sudah dijamin, mengapa tidak segera bergabung atau menjadi bagian perjuangan Palestina?

Surat-Surat Al-Qur'an yang Menjelaskan Kekalahan Yahudi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada surat Al-Qur'an yang diturunkan h...

Surat-Surat Al-Qur'an yang Menjelaskan Kekalahan Yahudi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ada surat Al-Qur'an yang diturunkan hanya untuk menjelaskan kemenangan Mukminin saja. Kemenangan Mukminin menjadi tema sentralnya. Yaitu, surat An-Nashr,  Al-Fath dan Al-Hasyr.

Kemenangan Mukminin atas seluruh para penentangnya baik Munafikin, Musyrikin, Kafirin dan Yahudi. Dan di ragam surat lainnya juga menjelaskan kemenangan Mukminin, walaupun tidak menjadi tema sentralnya. Artinya, selama menjadi mukmin, kemenangan pasti diraihnya.

Bagaimana dengan Yahudi yang zalim? Selalu dikaitkan dengan kekalahan. Ada yang dijelaskan kekalahannya secara spesifik di daerah tertentu, maupun secara umum. Artinya, di semua medan pertempuran, Yahudi akan mengalami kekalahan yang telak dan menyakitkan.

Ada surat yang diturunkan untuk menjelaskan kekalahan Yahudi bani Nadhir di Madinah, yaitu surat Al-Hasyr. Menjelaskan kekalahan Yahudi di Khaibar, yaitu surat Al-Fath. Menjelaskan kekalahan Yahudi di seluruh front pertempuran bila melakukan kezaliman, yaitu surat Al-Isra.

Yahudi itu hidup berkelompok. Kekalahan Yahudi Bani Nadhir di surat Al-Hasyr, menandakan bila berperang dengan mengandalkan satu komunitas Yahudi, maka akan kalah. Sedangkan kekalahan di Khaibar, menandakan, bila Yahudi dari seluruh dunia berkumpul dalam satu tempat, seperti menjajah Palestina, dengan bahu membahu menyatukan kekuatannya, maka akan tetap terkalahkan dengan menyakitkan.

Oleh sebab itu, para faksi perlawanan Palestina, sering bersyair tentang kekalahan Yahudi di Khaibar untuk menggelorakan semangat rakyat Palestina dan menciutkan nyali penjajah Israel akan fakta sejarah bahwa apapun kekuatan penjajah Israel akan tetap terkalahkan.

Takdir Yahudi yang zalim itu hanya 4 (empat). Pertama, Allah hanya memberikan 2 (dua) kesempatan pengrusakan dalam seluruh rentang kehidupannya. Ini bentuk penjagaan Allah atas kemanusiaan manusia dan alam semesta dari kehancuran.

Kedua, terusir dari tempat tinggalnya.  Ketiga, Allah memasukan ketakutan ke dalam hatinya sehingga mereka merobohkan benteng-benteng dan rumahnya sendiri. Keempat, diazab. Itulah akhir kezaliman Yahudi.

Waspadai! Dongeng Palsu dan Israiliyat dalam Sejarah Penciptaan Langit dan Bumi Kisah Israiliyat tentang Ikan Lutsa  Sebagian be...


Waspadai! Dongeng Palsu dan Israiliyat dalam Sejarah Penciptaan Langit dan Bumi



Kisah Israiliyat tentang Ikan Lutsa 

Sebagian besar kalangan ahli tafsir bil ma'tsur, termasuk juga para ahli tafsir birra'yi meriwayatkan cerita aneh dalam kisah penciptaan langit dan bumi. Di antaranya, diriwayatkan Ath-Thabari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Makhluk pertama yang diciptakan Allah swt adalah pena, Allah swt berfirman, "Tulislah!" Pena bertanya, "Apa yang aku tulis?" Allah swt berfirman, "Tulislah takdir!" Pena kemudian menulis apa yang akan terjadi sejak hari itu hingga hari kiamat terjadi.

Setelah itu, Allah swt menciptakan ikan, mengangkat air, lalu darinya Allah swt menciptakan langit. Bumi kemudian dibentangkan di atas punggung ikan. Ikan kemudian bergerak-gerak, lalu bumi membentang luas. Bumi kemudian dikuatkan dengan gunung-gunung, dan gunung membanggakan dirinya terhadap bumi."

Mujahid menafsirkan "nun" sebagai ikan yang ada dibawah bumi seperti disebutkan dalam riwayat di atas.

Ka'ab berkata, "Nama ikan itu adalah Lutsutsa." Dia juga menyebut Balhmutsa."

Dari Murrah al-Handani, dari Ibnu   Mas'ud dan sejumlah sahabat Rasulullah saw terkait firman Allah swt, "Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit." (Al-Baqarah: 29)

Ibnu Abbas berkata, "Arasy Allah berada di atas air. Allah tidak menciptakan apa pun selain yang Dia ciptakan sebelum menciptakan air, lalu asap membumbumg di atas air hingga tinggi, sehingga Allah menyebutnya langit. Setelah itu air mengering, lalu Allah menjadikannya satu bumi. Setelah itu, Allah swt memisahkannya, lalu menjadikannya tujuh bumi dalam dua hari, hari ahad dan senin.

Allah swt kemudian menciptakan bumi di atas ikan. Ikan inilah yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an: "Nun, Demi pena." 

Ikan berada di air. Air berada di atas batu. Batu berada di punggung malaikat. Malaikat berada di atas bongkahan batu besar berada di angin. Inilah batu yang disebutkan oleh Luqman, batu tersebut tidak berada di langit dan tidak pula berada di bumi.

Ikan kemudian bergerak-gerak hingga mengguncang bumi. Allah swt kemudian memperkokoh bumi di atasnya dengan gunung-gunung, hingga bumi menjadi tenang. Lalu, gunung-gunung membanggakan dirinya atas bumi. Itulah Allah swt berfirman, "Dan Kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia tidak guncang bersama mereka." (Al-Anbiya: 31)

Allah swt kemudian menciptakan gunung-gunung di bumi, menciptakan makanan untuk para penghuni bumi, menciptakan pepohonan bumi, dan apa saja yang patut untuk bumi dalam waktu dua hari, Selasa dan Rabu.

Itulah firman-Nya, 
Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(Fuṣṣilat [41]:9)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
(Fuṣṣilat [41]:10)

Asap itu muncul dari nafas air, saat mengeluarkan nafas. Setelah itu Allah menjadikan asap itu menjadi satu langit. Lalu Allah swt memisahkannya, kemudian menjadinya tujuh langit dalam waktu dua hari, Kamis dan Jumat.

Disebutkan Jumat, karena pada hari itu Allah swt menyatukan penciptaan langit dan bumi, "Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan).669) Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."
(Fuṣṣilat [41]:12)

Ibnu Abbas berkata, "Allah swt menciptakan para malaikat di setiap langit, dan menciptakan makhluk yang ada di dalamnya, seperti lautan, gunung, suhu dingin, dan makhluk lainnya yang tidak Dia beritahukan kepada siapapun.

Setelah itu Allah swt menghiasi langit paling rendah dengan bintang-bintang, lalu menjadikannya hiasan dan penjaga yang melindunginya dari setan. Setelah usai menciptakan, Allah swt bersemayam di atas Arasy. 

Itulah ketika Dia berfirman, "
Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha Berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam.
(Al-A‘rāf [7]:54)

Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih pada waktu malam dan siang dengan tidak henti-hentinya.
(Al-Anbiyā' [21]:20)

Namun, uniknya terkait riwayat ini, kitab-kitab tafsir metode bil ma'tsur menyebutkan riwayat ini hingga tidak ada satu pun di antara mereka yang ketinggalan.  Ini menunjukkan betapa berbahayanya kisah Israiliyat dan riwayat yang maudhu.

Beberapa catatan terkait dongeng ini:

1. Riwayat ini mirip sekali dengan kisah yang disebutkan dalam Kitab Kejadian (II/1-2). Kitab ini adalah salah satu kitab Taurat. 

2. Ibnu Abbas tidak ada sangkut pautnya dengan riwayat ini, karena rangkaian sanad riwayat ini adalah rangkaian sanad palsu oleh As-Suddi dan Abu Shalih.

3. Ibnu Mas'ud juga tidak ada sangkut pautnya dengan riwayat ini, karena perwayatannya dusta.

4. Dongeng dusta ini sebagaimana yang sama-sama kita ketahui, berseberangan dengan nash syariat, karena Allah swt berfirman,
"Sesungguhnya Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."
(Fāṭir [35]:41)

5. Terkait ikan bernama Lutsa, ikan ini sendiri merupakan kebohongan yang sama sekali tidak disebutkan dalam satu nash pun, tidak dinyatakan seorang sahabat pun, tidak dibuktikan oleh ilmu. Kuat dugaan ini, segaja ditambahkan oleh kaum Zindiq untuk menyita perhatian agar menjauhkan muslimin dari aqidah dan pemahaman yang benar.


2. Ragam Dongeng  Dusta Lainnya

Abu Nu'aim meriwayatkan dari Kaab Al-Ahbar, bahwa Iblis masuk ke dalam tubuh ikan yang bumi berada dipunggungnya. Iblis kemudian berbisik ke dalam  hati ikan. Iblis berkata, "Tahukah kamu, wahai Lutsa (Ikan), aia saja umat, pepohonan, hewan, manusia, dan gunung yang ada di atas punggungmu? Andai kamu mengibaskan mereka, tentu kamu membuat mereka semua terlempar dari punggungmu."

Lutsa bermaksud melakukan hal itu. Allah swt kemudian mengirim hewan lalu masuk ke dalam hidungnya. Kemudian ikan berusaha menghalau hewan  tersebut dengan doa, hingga akhirnya hewan itu keluar.

Kaab berkata, "Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, ikan melihat hewan itu dan hewan itu juga menatap ikan. Jika si ikan berniat mengibaskan bumi, hewan itu kembali masuk ke dalam hidungnya."

Wahab bin Munabih berkata, "Ketika Allah menciptakan bumi, bumi membentang di atas permukaan air. Allah swt kemudian berfirman kepada Jibril, "Kokohkan bumi ini wahai Jibril." Jibril pun kemudian turun lalu memegang bumi. Jibril tidak kuasa diterpa angin kencang, lalu ia berkata, "Ya Rabb! Engkau tahu, aku tidak kuasa." Allah swt kemudian meneguhkan bumi dengan gunung-gunung.

As-Suyuthi menyebutkan dalam Ad-Durr Al-Mantsur, dari Abusy Syaikh dari Salman Al-Farisi, ia berkata, "Langit paling rendah berupa zamrud hijau namanya Ruqaia. Langit kedua terbuat dari perak putih bernama Aqlun. Langit ketiga terbuat dari yaqut merah bernama Qaidun. Langit keempat terbuat dari mutiara putih bernama Ma'una. Langit kelima terbuat dari emas merah bernama Raiqa. Langit keenam terbuat dari yaqut kuning bernama Dafna. Dan langit ketujuh terbuat dari cahaya bernama Arabia."

Ath-Thabari meriwayatkan dari Rabi bin Anas, bahwa ia berkata, "Langit pertama berupa gelombang yang tertahan, langit kedua berupa bongkahan batu, langit ketiga berupa besi, langit keempat berupa perunggu, langit ke lima berupa perak, langit ke enam berupa emas, langit ke tujuh berupa yaqut."

Qatadah berkata, "Empat malaikat bertemu di ruang antara langit dan bumi, lalu mereka saling berbincang, "Darimana engkau datang?" Seorang malaikat berkata, "Rabbku mengutusku dari langit ketujuh dan aku meninggalkan-Nya disana." Yang lain menjawab, "Rabbku mengutusku dari barat dan aku meninggalkan-Nya di sana."

Seperti itulah keterangan palsu tentang ruang dan waktu bagi langit dan bumi. 

Tetapi, semuanya tidak ditemukan satu pun landasan dalilnya, baik dari Al-Qur’an atau pun As-Sunnah. Juga, tidak ditemukan teks yang menguatkan keterangan ini dalam warisan kisah Israiliyat.

Teks sahih terhadap peristiwa-peristiwa tersebut adalah firman Allah swt sebagai berikut,

Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.”
(Fuṣṣilat [41]:9)

Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
(Fuṣṣilat [41]:10)

Dia kemudian menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap. Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Tunduklah kepada-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami tunduk dengan patuh.”
(Fuṣṣilat [41]:11)

Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
(Fuṣṣilat [41]:12)

Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan
(An-Naba' [78]:6)

dan gunung-gunung sebagai pasak?
(An-Naba' [78]:7)

Kami membangun tujuh (langit) yang kukuh di atasmu.
(An-Naba' [78]:12)

Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari).
(An-Naba' [78]:13)


Ini menunjukkan -seperti yang disebutkan Al-Bukhari dan Ibnu Abbas- bahwa bumi diciptakan Allah dalam dua hari, kemudian setelah itu Allah swt menciptakan langit, setelah itu Allah swt menuju ke langit lalu menyempurnakannya dalam dua  hari lainnya, setelah itu Allah swt menghamparkan bumi, mengeluarkan air dan rerumputan darinya, menciptakan gunung-gunung, perbukitan dan apa saja yang ada di antara keduanya dalam dua hari lainnya. Itulah firman Allah swt,

Setelah itu, bumi Dia hamparkan (untuk dihuni).
(An-Nāzi‘āt [79]:30)

Langit diciptakan setelah bumi, seperti itu yang dinyatakan Ibnu Katsir, dia berkata, "Seperti itulah jawaban sejumlah ulama tafsir dulu dan sekarang."


Cerita yang Menakjubkan, Bermanfaatkah?

Riwayat-riwayat klasik tersebut tersebar dalam kitab tafsir, ada kisah yang kerap memancing rasa takjub dan sekaligus tanda tanya: bumi disebut berdiri di atas seekor ikan raksasa bernama Lutsa (atau Balhmutsa), yang berenang di lautan purba di bawah Arasy Allah. Cerita ini muncul dalam sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur seperti karya Ath-Thabari dan As-Suyuthi, bahkan juga disinggung oleh sebagian ahli tafsir bir-ra’yi. Namun, para ulama belakangan menegaskan, kisah itu lebih dekat pada dongeng Israiliyat daripada kebenaran wahyu.

Awal Riwayat: Dari Pena ke Ikan Lutsa

Ath-Thabari meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah pena. Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” dan pena pun menulis takdir hingga Hari Kiamat. Setelah itu, disebutkan bahwa Allah menciptakan air, lalu ikan, dan menjadikan bumi di atas punggung ikan itu. Ketika ikan bergerak, bumi berguncang, hingga Allah meneguhkannya dengan gunung-gunung. Mujahid bahkan menafsirkan kata “Nun” dalam surah Al-Qalam sebagai nama ikan tersebut.

Riwayat ini kemudian berkembang melalui periwayatan Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih—dua tokoh yang dikenal sebagai perantara kisah-kisah Bani Israil yang masuk ke dalam literatur Islam awal. Di sinilah nama ikan Lutsa muncul pertama kali, diikuti deskripsi fantastis: di bawah ikan ada air, di bawah air ada batu, di bawah batu ada malaikat, dan di bawah malaikat ada tiupan angin besar yang menahan semuanya.

Jejak Kitab Kejadian dan Bayang-bayang Israiliyat

Para peneliti tafsir modern menemukan kesamaan mencolok antara kisah ini dan narasi dalam Kitab Kejadian (Genesis) dalam Taurat. Dalam kitab itu, bumi juga digambarkan mengapung di atas air, sedangkan langit diciptakan dari “asap” yang naik dari samudra purba. Kesamaan ini membuat para ulama menilai, riwayat tentang ikan Lutsa kemungkinan besar merupakan pengaruh dari tradisi Yahudi kuno yang kemudian disisipkan dalam riwayat-riwayat tafsir awal.

Imam Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menolak kisah tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil sahih dari Rasulullah ﷺ maupun sahabat yang menjelaskan bentuk penciptaan semacam itu. Ia menulis, “Allah telah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan tidak ada seorang pun selain-Nya yang mampu menahannya.” (merujuk pada QS. Fathir: 41).

Begitu pula, Ibnu Taimiyah menilai riwayat semacam ini sebagai bentuk tadakhul Israiliyat — penyusupan kisah non-syar’i yang masuk melalui perawi dari kalangan ahli kitab yang telah masuk Islam.

Rangkaian Dongeng Lain yang Mewarnai Tafsir

Kisah ikan Lutsa hanyalah satu dari banyak riwayat aneh dalam tafsir klasik. Ada pula versi lain yang diriwayatkan Abu Nu’aim dari Ka’ab al-Ahbar: bahwa iblis masuk ke dalam tubuh ikan itu dan berbisik agar ikan mengguncang bumi untuk menumpahkan makhluk di atasnya. Ketika ikan hendak melakukannya, Allah mengirim hewan kecil yang masuk ke hidungnya hingga ia berhenti. Cerita-cerita semacam ini menampilkan drama kosmis yang menarik, namun tak memiliki pijakan dalam wahyu.

As-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur bahkan menyebut rincian langit tujuh lapis dengan bahan yang berbeda-beda — dari zamrud, perak, hingga cahaya — yang jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Begitu pula dengan riwayat tentang malaikat yang berpindah tempat dari barat ke langit ketujuh dan menemukan “Rabb di sana”, yang ditolak keras oleh para ahli aqidah karena mengandung pemahaman tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Koreksi Para Mufassir dan Ulama Akidah

Ulama besar seperti Al-Bukhari, Ibnu Katsir, As-Sa’di, dan Sayyid Qutb bersepakat bahwa Al-Qur’an hanya menjelaskan penciptaan langit dan bumi dalam kerangka waktu enam masa, tanpa menyinggung unsur fantastik apa pun. Mereka mengutip ayat-ayat seperti QS. Fushshilat (9–12) dan QS. An-Nazi’at (27–33), yang menegaskan bahwa bumi diciptakan dalam dua masa, langit dalam dua masa, dan penyempurnaannya dalam dua masa berikutnya — total enam masa.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an menulis,

“Hari-hari itu adalah di antara hari-hari Allah yang hanya Dia yang mengetahui panjang dan hakikatnya. Tidak layak bagi manusia menafsirkan dengan ukuran waktu dunia.”

Pernyataan ini menjadi dasar pandangan modern bahwa urutan penciptaan tidak harus dimaknai secara materialistik, melainkan dalam dimensi kehendak dan ketetapan ilahi yang melampaui ruang dan waktu.

Dari Kisah ke Akidah: Pelajaran Penting

Banyak mufassir modern mengingatkan, bahaya terbesar dari kisah Israiliyat bukanlah pada bentuk ceritanya, melainkan pada pengaruhnya terhadap akidah. Jika umat menerima dongeng-dongeng itu sebagai kebenaran wahyu, maka pemahaman tauhid menjadi kabur, dan keagungan Allah bisa tereduksi oleh imajinasi makhluk.

Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an:

 “Sesungguhnya Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia.” (QS. Fathir: 41)

Ayat ini menutup seluruh perdebatan — bahwa kekuasaan Allah atas alam semesta tidak bertumpu pada ikan, gunung, atau makhluk apa pun. Langit dan bumi tegak bukan karena struktur fisik, melainkan karena kehendak dan ketetapan-Nya.


---

Refleksi: Menyaring Antara Wahyu dan Dongeng

Riwayat Israiliyat memang bagian dari sejarah penulisan tafsir Islam, terutama di masa awal ketika banyak mualaf dari kalangan Yahudi masuk Islam. Mereka membawa pengetahuan kitab terdahulu dan kadang menyampaikannya dengan semangat berbagi. Namun, tidak semua yang dibawa mereka dapat diterima sebagai kebenaran syar’i.

Karena itu, kewaspadaan terhadap kisah-kisah palsu dalam tafsir bukanlah bentuk menolak tradisi klasik, melainkan upaya menjaga kemurnian wahyu. Sebab, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Cukup seseorang berdusta jika ia menceritakan setiap hal yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Dan di tengah banjir informasi religius hari ini, peringatan itu menjadi semakin relevan. Karena di antara kebenaran wahyu dan daya tarik kisah, manusia sering kali lebih terpikat pada dongeng yang menawan daripada pada kebenaran yang menegakkan iman.


--------


Evolusi Penafsiran Penciptaan Langit dan Bumi dalam Tradisi Tafsir Islam

Sejarah tafsir Islam tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh di tengah arus pengetahuan, perjumpaan peradaban, dan gelombang pemikiran teologis yang berbeda-beda. Dalam isu penciptaan langit dan bumi, jejak itu terlihat jelas: dari tafsir klasik yang kental dengan riwayat Israiliyat, hingga tafsir modern yang menempatkan wahyu dalam horizon ilmiah dan spiritual.

Ath-Thabari dan Era Riwayat yang Melimpah

Abad ke-3 Hijriah menandai masa penyusunan besar-besaran tafsir berbasis riwayat (tafsir bil ma’tsur). Tokohnya yang paling monumental adalah Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), penulis Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an.

Ath-Thabari dikenal sangat teliti dalam menyusun sanad riwayat, tetapi ia tidak selalu menyaring validitas isinya. Ia mencatat semua versi penjelasan ayat, baik yang kuat maupun yang lemah, lalu menyerahkan penilaian akhir kepada pembaca dan ulama sesudahnya.

Dalam tafsir surah Al-Qalam (68): 1 — “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis” — beliau mencantumkan kisah ikan raksasa yang memikul bumi, tanpa memberikan keputusan akhir apakah kisah itu sahih atau tidak. Inilah cermin dari semangat ilmiah pada zamannya: menghimpun sebanyak mungkin sumber, meski sebagian berakar pada tradisi Yahudi-Kristen.

Namun di balik itu, tafsir Ath-Thabari tetap menjadi tonggak metodologis, karena ia memisahkan antara riwayat dari Nabi ﷺ, sahabat, tabi’in, dan pendapat pribadinya. Dengan cara itu, Ath-Thabari sebenarnya sedang membangun fondasi kritik tafsir, meski bentuknya belum seperti kritik sanad dalam ilmu hadits.

Ibn Katsir dan Upaya Penjernihan Aqidah

Tiga abad kemudian, muncul seorang ulama besar dari Syam: Ismail bin Umar Ibn Katsir (w. 774 H). Melalui karyanya Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, ia menata ulang pendekatan tafsir dengan semangat tashfiyah (pemurnian).

Ibn Katsir menolak kisah-kisah yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, termasuk cerita penciptaan bumi di atas ikan. Ia menegaskan bahwa “Israiliyat hanya boleh diriwayatkan untuk diketahui, bukan untuk diyakini.”

Menurutnya, Al-Qur’an sudah cukup menjelaskan secara tegas proses penciptaan langit dan bumi:

“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy.” (QS. Al-A’raf [7]:54)

Bagi Ibn Katsir, enam masa tersebut bukan hitungan hari dunia, tetapi fase-fase kehendak Allah dalam mencipta, mengatur, dan menyempurnakan makhluk. Tidak ada ruang bagi kisah-kisah mitologis di dalamnya.

Al-Suyuthi dan Tradisi Kompilasi Ulama Mesir

Memasuki abad ke-9 H, Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) menulis Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur. Ia berusaha mengumpulkan seluruh riwayat tafsir dari berbagai sumber, termasuk Israiliyat.

Meskipun dikritik karena memuat kisah-kisah fantastik seperti tujuh langit yang tersusun dari logam mulia dan batu permata, niat As-Suyuthi sebenarnya adalah dokumentatif. Ia ingin menyelamatkan warisan tafsir klasik dari kepunahan, bukan meneguhkan kebenarannya. Dalam pengantar kitabnya, ia menulis, “Aku kumpulkan semua riwayat agar ulama setelahku bisa menimbangnya.”

Namun, di masa-masa inilah tafsir Islam mulai berinteraksi dengan logika kosmologi Yunani dan doktrin Neoplatonis. Alam semesta mulai dibahas dengan bahasa “lapisan-lapisan” dan “unsur-unsur”, bukan semata wahyu. Di sinilah garis antara tafsir dan filsafat mulai kabur.

Era Modern: Sayyid Qutb dan Tafsir Saintifik-Spiritual

Lompatan besar terjadi di abad ke-20, ketika Sayyid Qutb (w. 1966 M) menulis Fi Zhilal al-Qur’an. Dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan, Qutb tidak lagi berbicara tentang bentuk atau susunan langit dan bumi, melainkan tentang makna keberadaan.

Baginya, proses penciptaan adalah simbol kehendak Allah yang terus berlangsung. Alam bukanlah sekadar ciptaan yang selesai, tetapi tajalli (manifestasi terus-menerus) dari sifat Al-Khaliq (Sang Pencipta). Ia menulis:

“Hari-hari penciptaan adalah hari-hari Allah. Panjangnya tidak diketahui manusia. Namun, ia menunjukkan kesinambungan kehendak Allah dalam menata kosmos dan kehidupan.”

Pemikiran Qutb membuka jalan bagi generasi tafsir modern yang lebih ilmiah dan spiritual. Di masa kini, mufassir seperti Syaikh Sa’id Hawwa, Fakhruddin ar-Razi, hingga Wahbah az-Zuhaili menggabungkan pendekatan tafsir klasik dengan pengetahuan astronomi modern — tanpa menabrak makna nash.

Mereka melihat bahwa langit dan bumi bukan benda statis, melainkan sistem yang tunduk pada hukum ilahi yang disebut sunnatullah. Dan di sinilah Al-Qur’an tampil sebagai kitab yang hidup: tidak menjelaskan rincian teknis penciptaan, tetapi mengajak manusia berpikir tentang hikmah di baliknya.

Dari Mitos ke Makna

Kini, di tengah kebangkitan spiritual dan sains, umat Islam dihadapkan pada pilihan: apakah hendak mempertahankan kisah dongeng yang mengundang decak kagum tapi melemahkan akidah, atau kembali kepada keindahan tauhid yang diajarkan Al-Qur’an?

Para ulama sepakat, tugas umat bukan membongkar rahasia penciptaan secara fisik, melainkan memahami pesan moralnya: bahwa semua yang ada tunduk kepada kehendak Allah, dan manusia hanyalah khalifah yang dititipi bumi untuk dijaga.

Syaikh As-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman menulis:

 “Allah menciptakan langit dan bumi bukan main-main. Ia ciptakan dengan hikmah, agar manusia mengenal-Nya melalui ciptaan-Nya.”


---

Penutup: Menyaring dengan Hati yang Beriman

Dari Ath-Thabari hingga Sayyid Qutb, dari riwayat Lutsa hingga makna tajalli, perjalanan tafsir Islam menunjukkan evolusi pemahaman dari bentuk menuju makna, dari kisah menuju kesadaran tauhid.

Dan mungkin, inilah pelajaran paling berharga: bahwa setiap zaman memiliki caranya sendiri dalam membaca wahyu. Namun, yang harus tetap sama adalah rasa tunduk dan hormat kepada Sang Pencipta.

 “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan kebenaran dan waktu yang telah ditentukan.”
(QS. Al-Ahqaf [46]: 3)

Tidak Miskin dengan Prinsip Keuangan Ini? Jalan Keuangan yang Tidak Mati Hidup manusia sering terjebak antara dua kutub: mengeja...


Tidak Miskin dengan Prinsip Keuangan Ini?



Jalan Keuangan yang Tidak Mati

Hidup manusia sering terjebak antara dua kutub: mengejar dunia sampai lupa akhirat, atau meninggalkan dunia dengan dalih memburu akhirat. Padahal, Sayyid Qutb mengingatkan bahwa Islam bukanlah agama yang memutuskan dunia dari langit, melainkan menenun keduanya menjadi satu kesatuan. Maka, dalam setiap nafas ibadah, dalam setiap rupiah yang keluar dan masuk, ada ruh ketuhanan yang mengikatnya.

Pertanyaan kita: Bisakah seorang Muslim mengelola uangnya tanpa miskin—bukan sekadar kaya materi, tapi kaya makna? Jawabannya ada dalam tujuh karakter ajaran Islam yang ditawarkan Sayyid Qutb. Mari kita lihat satu per satu, sambil menimbang bagaimana prinsip ini bekerja dalam keuangan rumah tangga, bisnis, hingga masyarakat.


---

1. Rabbaniyah – Semua Berawal dari Allah

Islam adalah agama yang rabbaniyah, bersumber langsung dari Allah, bukan dari rekayasa manusia. Karena itu, harta yang kita miliki hakikatnya bukan milik kita, melainkan titipan-Nya.

> “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS. Al-Hadid: 7)



Prinsip ini memengaruhi cara kita memandang uang. Ia bukan sekadar angka dalam rekening, tapi amanah ilahi. Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq pernah memberikan seluruh hartanya untuk dakwah, sementara Umar bin Khattab memberikan setengah dari hartanya. Bagi mereka, harta adalah alat menuju Allah, bukan tujuan akhir.

Rabi’ah al-Adawiyah menolak hadiah emas yang ditawarkan seorang dermawan. Katanya, “Aku malu menerima perhiasan dunia dari selain Dia, padahal Dia-lah Pemiliknya.” Inilah ruh rabbaniyah—tidak meletakkan harta di hati, melainkan di genggaman.

Dalam keuangan kontemporer, prinsip ini setara dengan value-based finance: mengelola uang berdasarkan nilai spiritual, bukan sekadar rasionalitas angka. Banyak konsultan keuangan menekankan bahwa “mindset” adalah fondasi cash flow yang sehat. Mindset rabbaniyah membuat kita sadar bahwa setiap pengeluaran dan pemasukan harus punya arah: mendekatkan diri kepada Allah.


---

2. Insaniyah – Untuk Kemanusiaan

Islam tidak diturunkan untuk malaikat, tetapi untuk manusia. Karena itu ajarannya insaniyah—memuliakan manusia, menolak penindasan, dan menjaga keseimbangan hidup.

> “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (QS. Al-Isra’: 70)



Dalam praktik keuangan, prinsip insaniyah melarang eksploitasi, riba, dan monopoli. Umar bin Khattab melarang pedagang menimbun barang untuk menaikkan harga. Abdurrahman bin Auf—sahabat yang dikenal kaya raya—membagikan keuntungan dagangnya untuk membebaskan budak dan membantu fakir miskin.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menolak warisan yang diperoleh dari sumber haram. Ia lebih memilih hidup sederhana ketimbang membiayai hidupnya dengan uang yang menzalimi orang lain.

Konsep ini sejalan dengan social finance atau keuangan inklusif—bagaimana uang dikelola bukan hanya untuk profit, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat. Prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) dalam bisnis global sejatinya adalah gema dari nilai insaniyah yang telah lebih dahulu diajarkan Islam.


---

3. Syumuliyah – Menyeluruh, Tidak Terpisah

Islam adalah sistem yang syumuliyah: mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada sekat antara ibadah dan ekonomi, antara masjid dan pasar.

> “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)…” (QS. Al-Baqarah: 208)



Para sahabat Nabi tidak hanya ahli ibadah, tetapi juga pedagang, pemimpin, dan pengatur keuangan. Utsman bin Affan dikenal sebagai dermawan yang membiayai ekspansi Islam dengan kapal-kapal dagangnya.

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa mencari nafkah halal dengan niat memberi nafkah keluarga sama pahalanya dengan jihad. Inilah gambaran syumuliyah: aktivitas ekonomi adalah ibadah.

Dalam manajemen keuangan pribadi, prinsip syumuliyah menuntut integrasi. Anggaran keluarga bukan hanya mencatat biaya makan atau sekolah, tetapi juga zakat, infak, dan dana sosial. Dalam dunia bisnis, ini berarti tidak memisahkan corporate governance dari etika spiritual.


---

4. Wasathiyah – Keseimbangan

Islam mengajarkan wasathiyah: tidak boros, tidak kikir, tidak materialistis, tapi juga tidak asketis berlebihan.

> “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)



Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Harta itu laksana ular: lembut disentuh, tapi beracun di dalam. Gunakan dengan hati-hati.” Ia mencontohkan keseimbangan: hidup sederhana, tapi tidak miskin karena menolak dunia.

Hasan al-Bashri menasihati muridnya agar tidak memusuhi dunia secara mutlak. Dunia adalah ladang akhirat; yang salah adalah keterikatan hati yang berlebihan.

Konsep ini serupa dengan financial balance—menyeimbangkan konsumsi, tabungan, investasi, dan sedekah. Konsultan keuangan seperti Dave Ramsey menyarankan 50-30-20 rule (50% kebutuhan, 30% keinginan, 20% tabungan/investasi). Prinsip ini sudah diajarkan Al-Qur’an sejak 14 abad lalu.


---

5. Waqi’iyah – Realistis dan Praktis

Islam bukan utopia, melainkan waqi’iyah—realistis. Ia memperhitungkan kelemahan manusia. Tidak semua orang wajib sedekah besar; yang penting sesuai kemampuan.

> “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)



Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepraktisan ini. Saat seorang sahabat ingin menyedekahkan seluruh hartanya, beliau melarang: “Tinggalkanlah ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta.”

Imam Malik menolak gaya zuhud ekstrem yang mengabaikan kebutuhan keluarga. Menurutnya, keadilan terhadap keluarga juga bagian dari ibadah.

Prinsip ini sejalan dengan cash flow management: membuat anggaran sesuai realitas, bukan fantasi. Banyak keluarga bangkrut bukan karena miskin, tapi karena pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Waqi’iyah mengingatkan: realistis itu kunci.


---

6. Istiqamah wa al-Tsabat – Konsisten dan Teguh

Islam menuntut konsistensi: istiqamah dalam prinsip, meski dunia berubah.

> “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Ahqaf: 13)



Abu Bakar tetap istiqamah menjaga amanah umat, meski ditentang ketika memerangi kaum murtad yang enggan membayar zakat. Ia tidak kompromi dengan sistem batil.

Jalaluddin Rumi menulis, “Istiqamah lebih mulia daripada seribu karamah.” Konsistensi dalam hal-hal sederhana—seperti menahan diri dari boros—lebih berharga daripada kejadian luar biasa.

Dalam keuangan, istiqamah berarti disiplin. Orang kaya bukan yang berpenghasilan besar, melainkan yang konsisten menabung, berinvestasi, dan bersedekah. Warren Buffett menyebut kunci kekayaan adalah consistency over intensity: konsisten dalam jangka panjang lebih kuat daripada usaha sesaat.


---

7. Harakah – Dinamis dan Revolusioner

Islam adalah agama harakah—bergerak, dinamis, dan mendorong perubahan sosial.

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)



Rasulullah ﷺ tidak hanya berdakwah di masjid, tetapi juga membangun pasar Madinah untuk membebaskan umat dari monopoli Yahudi. Pasar ini bukan hanya ruang dagang, tapi simbol revolusi ekonomi Islam.

Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah tanpa harta, tapi ia bangkit dengan kerja keras, jujur, dan profesional. Dalam waktu singkat, ia menjadi konglomerat tanpa meninggalkan keshalihan.

Prinsip ini sejalan dengan financial growth mindset: melihat uang sebagai sarana berkembang, bukan hanya bertahan hidup. Dinamika ekonomi digital, investasi halal, hingga wirausaha sosial adalah bentuk harakah dalam keuangan modern.


---

Kaya Tanpa Takut Miskin

Sayyid Qutb mengajarkan bahwa Islam bukan teori di atas kertas, melainkan jalan hidup. Rabbaniyah, insaniyah, syumuliyah, wasathiyah, waqi’iyah, istiqamah, dan harakah—tujuh karakter ini bukan sekadar konsep, melainkan peta jalan untuk hidup kaya secara makna.

Kaya bukan berarti tidak pernah kekurangan, tetapi hidup dengan prinsip yang membuat harta tidak menjadi tuan atas diri kita. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib: “Kekayaan sejati adalah hati yang qana’ah.”

Maka, pertanyaan “Tidak miskin dengan prinsip keuangan ini?” bukanlah janji kekayaan instan, melainkan ajakan untuk menapaki jalan Islam secara kaffah. Sebab, siapa yang berjalan bersama nilai ilahi, ia tidak akan miskin—baik di dunia, apalagi di akhirat.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)