Genosida Gaza: Mengapa Para Penguasa Masih Tidak Tegas kepada Israel?
Langit Gaza telah lama kehilangan warna birunya. Ia kini berwujud abu-abu — bukan karena mendung, tetapi karena sisa-sisa ledakan yang menutupi langitnya dengan debu, duka, dan doa yang tak pernah berhenti naik. Dua tahun genosida berlalu, dan dunia masih terjebak di antara dua kata yang memalukan: “gencatan senjata.”
Bukan “keadilan,” bukan “pertanggungjawaban,” melainkan “jeda untuk bernapas, sebelum pembantaian berikutnya dimulai.”
Namun di balik itu, pertanyaan yang menampar hati kita justru bukan mengapa Israel begitu brutal. Dunia sudah tahu jawabannya. Yang lebih menakutkan adalah: mengapa para penguasa dunia — bahkan di negeri-negeri Muslim — masih tidak tegas kepada Israel, bahkan setelah darah dan tulang anak-anak Gaza berserakan di layar setiap rumah?
---
Dunia yang Menonton dari Kursi Kulit
Ketika berita gencatan senjata diumumkan, suara pembawa berita Al Jazeera bergetar. Ia bukan pembaca berita lagi, melainkan saksi yang menahan tangis. Ia telah menyebut nama-nama yang gugur — jurnalisnya sendiri, sahabat-sahabatnya sendiri — selama dua tahun. Dan kini, ia harus mengucap “gencatan senjata” seolah keadilan sudah tiba.
Namun siapa yang bisa percaya?
Ini bukan gencatan senjata pertama. Setiap jeda hanya menjadi interval antara dua babak kehancuran. Israel bisa memulai pembantaian lagi kapan saja — cukup dengan “alasan keamanan” yang dibuat dengan rapi oleh para penasihatnya di Washington dan London.
Sejarawan Palestina, Toufic Haddad, menulis:
“Gencatan senjata ini bukan kesempatan untuk menunggu dan menyaksikan apa yang terjadi, melainkan momen untuk melipatgandakan upaya mobilisasi akuntabilitas.”
Namun siapa yang berani menuntut akuntabilitas itu? Dunia, katanya, sedang menderita amnesia moral.
Lembaga internasional yang dahulu dibangun di atas luka Holocaust kini membisu saat genosida dilakukan oleh mereka yang mengaku mewarisi korban Holocaust itu.
---
Erdogan: “Kami Tidak Percaya Israel”
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, berbicara dengan nada hati-hati usai pertemuan di Sharm el-Sheikh. Ia menyebut rekam jejak Israel dalam pelanggaran gencatan senjata sebagai “buruk.”
“Israel memiliki rekam jejak yang buruk dalam hal pelanggaran gencatan senjata. Hal ini memaksa kami untuk lebih berhati-hati dan teliti,” ujarnya. “Jika ini berubah menjadi genosida lagi, Israel tahu konsekuensinya akan berat.”
Turki, yang selama dua tahun terakhir memutuskan sebagian hubungan dagang dan militer dengan Tel Aviv, kini menjadi mediator — posisi yang sulit dan berisiko. Erdogan tahu, setiap gencatan senjata adalah jebakan diplomatik: Israel bisa menggunakan waktu untuk memperbaiki kekuatan militernya, sementara Gaza dibiarkan kelaparan.
Maka kekhawatiran Turki bukan hanya soal apakah gencatan senjata ini akan bertahan, tapi apakah dunia akan kembali tertipu oleh kesan bahwa genosida sudah berakhir.
Karena dalam sejarah, Israel jarang melanggar gencatan senjata secara terbuka — mereka hanya mengubah bentuknya: dari bom menjadi blokade, dari rudal menjadi kelaparan, dari tank menjadi penghalang bantuan.
Gencatan senjata hanyalah pergantian metode penindasan.
---
Barat: Dari “Never Again” menjadi “Not Yet”
Dalam dua tahun terakhir, Barat — yang selalu bangga dengan narasi moral “Never Again” — justru menyingkap kemunafikan terdalamnya.
Daniel Lindley, kolumnis The New Arab, menulis dengan getir:
“Dua tahun genosida di Gaza menunjukkan betapa hampanya Barat yang bersumpah ‘tidak akan pernah lagi’. Kini, mereka berkata, ‘belum saatnya’ — Not Yet.”
Laporan PBB baru-baru ini yang menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida jauh lebih sulit diabaikan daripada sebelumnya. Namun pemerintahan Eropa tetap bungkam, karena untuk mengakui genosida berarti mengakui keterlibatan mereka sendiri: senjata, pendanaan, veto, dan propaganda.
Di sinilah dunia terbagi dua:
— Mereka yang menyebut kebenaran, dan kehilangan pekerjaan, izin siaran, atau visa.
— Dan mereka yang diam, dan mendapatkan promosi.
Kita hidup di masa ketika media lebih takut kehilangan pendapatan iklan daripada kehilangan nurani.
Dan di masa ketika “demokrasi liberal” menjadi topeng baru kolonialisme lama.
---
Keheningan Para Penguasa Muslim
Namun bagian paling menyakitkan tidak datang dari Barat, melainkan dari negeri-negeri yang seharusnya menyebut “La ilaha illallah” dengan bangga.
Di antara menara-megara kaca dan istana marmer, para pemimpin Muslim berbicara dengan suara lembut: “Kami prihatin.”
Mereka menyumbang sebagian dana kemanusiaan, mengirim pernyataan, bahkan menyelenggarakan konferensi. Tapi di balik semua itu, tidak ada keputusan politik yang mengguncang dunia.
Tidak ada pemutusan hubungan diplomatik besar-besaran. Tidak ada embargo minyak. Tidak ada penolakan pelabuhan.
Hanya doa, dan itu pun diucapkan sambil tersenyum dalam jamuan makan malam bersama duta besar negara pendukung genosida.
Mengapa?
Karena sistem dunia modern menjadikan mereka bagian dari jaringan yang sama — jaringan utang, kontrak, keamanan, dan pengakuan internasional.
Mereka takut kehilangan kursi, lebih daripada kehilangan kehormatan.
Padahal Al-Qur’an telah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)
---
Dari Kolonialisme Lama ke Kolonialisme Digital
Genosida Gaza bukan sekadar pembunuhan fisik, melainkan juga penghapusan makna.
Israel tidak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga menarget sekolah, perpustakaan, dan bahkan jaringan komunikasi — agar bangsa Palestina kehilangan narasinya sendiri.
Mereka ingin agar dunia hanya mengenal Gaza melalui kamera milik tentara.
Namun sesuatu yang tidak mereka duga terjadi: dunia berubah menjadi saksi langsung.
Jutaan orang di seluruh dunia menonton pembantaian itu tanpa perantara, dan akhirnya menolak untuk bungkam.
Gerakan Free Palestine kini bukan lagi slogan, melainkan bahasa moral baru umat manusia.
Di jalan-jalan London, Madrid, Jakarta, Istanbul, dan New York, suara anak muda bergema:
“If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor.”
Dan dunia yang dulu hanya tahu Gaza dari berita kini mengenal wajah-wajahnya — anak-anak dengan nama, bukan sekadar angka.
Inilah perang naratif, dan Gaza sedang memenangkannya.
---
Gaza: Di Mana Sunatullah Bekerja dalam Gelap
Namun di balik semua analisis politik dan kekecewaan moral itu, ada hal yang lebih dalam, yang tak bisa dijelaskan oleh teori hubungan internasional.
Mengapa Gaza tidak hancur?
Bukankah 67.000 jiwa telah gugur? Bukankah listrik padam, air habis, tanah hancur, dan langit gelap?
Namun entah mengapa, Gaza masih hidup. Anak-anak masih menghafal Al-Qur’an di tenda, para ibu masih membagikan roti, dan para pejuang masih mengangkat kepala meski darah belum kering.
Kuncinya adalah sunatullah tentang kesabaran dan kebangkitan.
Allah berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu?”
(QS. Al-Baqarah: 214)
Di balik setiap genosida, selalu ada seleksi Ilahi: siapa yang beriman karena dunia, dan siapa yang beriman karena Allah.
Mereka yang berdiam diri, kehilangan bagian dari sejarahnya.
Mereka yang berdiri, meski sendiri, menjadi saksi sejarah itu.
Gaza adalah madrasah ruhani tempat Allah menguji kesetiaan umat Islam di abad ke-21.
Setiap rudal yang jatuh menjadi ujian bagi dunia:
apakah kita masih manusia, atau hanya algoritma yang lewat di layar?
---
Para Penguasa dan Cermin Sejarah
Kita sering bertanya: mengapa penguasa tidak tegas?
Jawabannya mungkin bukan hanya karena politik, tapi karena jiwa yang telah kehilangan orientasi spiritualnya.
Dalam sejarah Islam, para khalifah dahulu takut pada doa orang tertindas. Umar bin Khattab menangis di malam hari karena takut seekor keledai pun tergelincir di jalan.
Tapi kini, para penguasa modern tidak gentar meski ribuan anak mati setiap hari — karena hati mereka sudah dikelilingi oleh penjaga, bukan oleh rasa malu.
Inilah yang dimaksud oleh Sayyid Qutb:
“Ketika umat Islam berhenti menegakkan keadilan karena Allah, Allah akan menegakkan keadilan tanpa mereka — dengan menggantikan mereka.”
Dan mungkin, Gaza adalah tanda bahwa Allah sedang menulis ulang sejarah umat ini — bukan melalui istana, tetapi melalui reruntuhan.
---
Dunia yang Sedang Diadili
Kini dunia berada di persimpangan besar.
Jika genosida Gaza dibiarkan tanpa akuntabilitas, dunia sedang menandatangani surat kematian moralnya sendiri.
Teknologi pembunuhan yang diuji di Gaza akan digunakan di tempat lain: di Asia, di Afrika, di negeri-negeri miskin yang dianggap “tidak relevan.”
Itulah yang diingatkan oleh Toufic Haddad:
“Preseden yang ditimbulkan oleh genosida Gaza merupakan awal dari masa depan yang mengerikan jika tidak diperhitungkan.”
Gaza adalah laboratorium kekerasan global. Jika tidak ada akuntabilitas, maka genosida akan menjadi kebijakan luar negeri yang sah — hanya perlu alasan keamanan, sertifikat sekutu, dan lisensi ekspor senjata.
Dan dari situ, manusia akan kehilangan makna “tidak pernah lagi.”
Yang tersisa hanya “akan terjadi lagi.”
---
Dari Kesunyian Menuju Keadilan
Tetapi sejarah tidak berhenti di tangan para diktator. Ia selalu punya jalan sunyi di mana kebenaran tumbuh dari bawah.
Lihatlah anak-anak yang kini menjadi yatim. Mereka tidak akan melupakan wajah pelaku genosida ini.
Lihatlah mahasiswa di Barat yang menolak membayar uang kuliah kepada universitas yang bekerja sama dengan industri senjata.
Lihatlah para jurnalis muda yang berani menulis kebenaran, meski kehilangan kariernya.
Mereka inilah pewaris sejarah baru.
Bukan penguasa yang takut kehilangan kursi, tetapi manusia yang takut kehilangan nurani.
---
Epilog: Allah Tidak Pernah Netral
Gencatan senjata boleh datang dan pergi. Konferensi bisa disusun, resolusi bisa disepakati, tapi takdir sejarah selalu berpihak pada mereka yang berjuang menegakkan kebenaran.
Ketika Firaun menenggelamkan Bani Israil, Allah tidak menurunkan pasukan malaikat untuk menyelamatkan mereka dengan segera. Ia menunda, hingga air laut menjadi saksi kezaliman itu sendiri.
Begitu pula kini: dunia sedang dibiarkan melihat cermin dirinya sendiri — apakah ia masih punya rasa malu.
Dan bagi para penguasa yang diam, sejarah hanya menunggu waktu.
Bukan rakyat yang akan menjatuhkan mereka, tetapi keheningan mereka sendiri.
“Janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)
Gaza hari ini adalah ujian terakhir bagi nurani dunia — dan bagi umat Islam, ia adalah panggilan yang tak bisa lagi diabaikan.
Maka, ketika kita bertanya,
“Mengapa penguasa masih tidak tegas kepada Israel?”
Jawabannya mungkin bukan karena mereka tidak tahu kebenaran,
tetapi karena mereka takut — kepada dunia — lebih daripada mereka takut kepada Allah.
Dan kelak, sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang membunuh,
tetapi siapa yang diam.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif