basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab Pasar: Denyut Tua Kehidupan Pasar adalah ruang paling tua dalam pe...


Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab

Pasar: Denyut Tua Kehidupan

Pasar adalah ruang paling tua dalam peradaban manusia. Sejak manusia mengenal pertukaran, pasar menjadi tempat bertemunya kebutuhan dan keinginan, jerih payah dan harapan. Di sana, orang bukan hanya menjual barang, tetapi juga bertukar ide, membangun kepercayaan, bahkan menegakkan martabat.

Seorang pakar perilaku konsumen, Philip Kotler, menyebut pasar sebagai laboratorium kebutuhan manusia. Sementara dalam pandangan para ulama, pasar adalah madrasah kehidupan, tempat orang diuji dalam kejujuran, kesabaran, dan amanah. Ibn Khaldun menegaskan dalam al-Muqaddimah, bahwa perputaran ekonomi di pasar adalah pilar peradaban. Tanpa pasar yang sehat, sebuah masyarakat akan rapuh.

Namun Islam tidak melihat pasar semata sebagai urusan perut atau laba. Pasar adalah ruang moral. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata di tengah keramaian:

> “Janganlah ada yang berdagang di pasar kami ini kecuali orang yang paham hukum jual beli. Jika tidak, ia bisa terjerumus dalam riba—baik sadar maupun tidak.”



Kalimat itu adalah pagar. Umar ingin menegaskan: ilmu sebelum ke pasar. Barang siapa masuk pasar tanpa ilmu, ia bisa tergelincir. Pasar bukan ruang netral, tetapi tempat iman diuji.


---

Abdurrahman bin Auf: Permintaan Sederhana

Mari kita berjalan sejenak ke Madinah, tahun hijrah pertama. Seorang Muhajir bernama Abdurrahman bin Auf datang dengan langkah ringan namun hati penuh luka. Ia tinggalkan Mekah, tanah kelahirannya, beserta seluruh harta yang ia miliki. Kini ia hanya membawa iman.

Rasulullah ﷺ mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar kaya raya. Sa’ad dengan tulus berkata:

> “Aku punya dua kebun, dua istri, dan harta yang melimpah. Ambillah separuh darinya, dan pilihlah salah satu istriku untuk engkau nikahi setelah aku ceraikan.”



Betapa besar pengorbanan Sa’ad. Tetapi jawaban Abdurrahman menorehkan sejarah:

> “Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”



Kalimat emas ini menjadi warisan peradaban. Abdurrahman tidak meminta harta, tidak menggantungkan hidup pada belas kasihan. Ia memilih jalan kemandirian.

Dan benar, ia pun pergi ke pasar Bani Qainuqa’, memulai dari kecil: menjual keju, minyak samin, dan kain. Tidak lama kemudian, ia mampu menikah dengan mahar emas seberat biji kurma. Inilah saksi bahwa langkah kecil di pasar bisa melahirkan kejayaan besar.


---

Umar bin Khattab: Jangan Menunggu Emas dari Langit

Kisah lain muncul dari sosok Umar. Ia bukan hanya pengawas pasar, tetapi juga guru keras bagi generasi muda.

Suatu kali ia memasuki masjid, mendapati sekelompok pemuda berdiam diri sepanjang hari. Mereka berkata, “Kami bertawakal kepada Allah.” Umar menatap tajam lalu berkata:

> “Keluarlah dari masjid ini! Jangan kalian berdusta atas nama tawakal. Allah tidak akan menghujankan emas dari langit.”



Bagi Umar, doa tanpa kerja hanyalah dalih kemalasan. Tawakal harus disertai ikhtiar. Ia lalu mengingatkan firman Allah dalam QS. Yusuf (12:55), ketika Nabi Yusuf berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”



Ayat itu, bagi Umar, adalah legitimasi: bekerja, mengelola, mengupayakan rezeki adalah bagian dari ibadah.


---

Mengapa Harus ke Pasar?

Kisah Abdurrahman dan Umar memberi jawaban: karena pasar adalah simbol nyata kehidupan.

1. Memahami Konsumen.
Pasar melatih kita membaca kebutuhan manusia. Kotler menulis: “Bisnis adalah menciptakan nilai dan memuaskan kebutuhan.” Abdurrahman mempraktikkannya: ia menjual apa yang dibutuhkan orang Madinah, bukan apa yang ia sukai.


2. Melihat Kesenjangan.
Pasar memperlihatkan ruang kosong. Joseph Schumpeter menyebutnya entrepreneurial opportunity. Ada celah, ada peluang. Umar mengingatkan: barang siapa pandai berdagang, jadilah pedagang yang handal.


3. Membangun Mental Tahan Banting.
Pasar keras: ada tawar-menawar, ada penolakan. Tetapi di situlah jiwa ditempa. Umar menolak generasi malas, sebab pasar mengajarkan arti keringat, kegagalan, dan kebangkitan.




---

Pasar sebagai Sekolah Jiwa

Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “The purpose of business is to create a customer.” Artinya, inti bisnis bukan pada barang, melainkan pada manusia. Pasar adalah sekolah terbaik, karena di sana kita belajar langsung dari perilaku manusia:

Mengamati daya beli masyarakat.

Menyesuaikan harga.

Memberi pelayanan yang membuat orang kembali.


Inilah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak menunggu modal besar, tidak menunggu bangunan megah, tetapi langsung turun ke pasar dengan barang sederhana. Ia belajar dari interaksi nyata, bukan teori kosong.


---

Pesan Umar: Jangan Jadi Beban

Umar mengutip sabda Nabi ﷺ:

> “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”



Bagi Umar, ini bukan sekadar soal sedekah. Ini prinsip hidup: jadilah produktif, memberi, bukan meminta. Jika kita malas bekerja, kita akan menjadi beban. Jika kita berusaha, kita akan menjadi pemberi.

Psikologi modern mendukung ini. Albert Bandura menyebut konsep self-efficacy: rasa percaya diri lahir ketika seseorang mampu mengendalikan hidupnya. Pasar, dengan segala kerasnya, adalah ruang membangun kepercayaan diri.


---

Dialog Reflektif: Jika Umar dan Abdurrahman Hidup Hari Ini

Bayangkan jika Umar bin Khattab berjalan di pasar modern. Mungkin ia akan berkata:

“Periksa timbangan digitalmu. Jangan menipu dengan angka.”

“Jangan menimbun barang impor demi permainan harga.”

“Jangan menutupi cacat barang dengan cahaya toko yang terang.”


Dan bila Abdurrahman bin Auf hidup di era digital, mungkin kalimatnya adalah:

“Tunjukkan kepadaku di mana marketplace.”
Ia akan berjualan online, membaca tren konsumen, tetapi tetap menjaga kejujuran dan amanah.



---

Refleksi untuk Kita

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah kita melihat pasar sebagai ruang moral, bukan sekadar laba?

Sudahkah kita meniru Abdurrahman yang berani memulai dari nol, tanpa menggantungkan diri?

Sudahkah kita mendengar teguran Umar, agar tidak bersembunyi di balik doa tanpa usaha?


Pasar hari ini bisa berarti banyak: pasar tradisional, mall, marketplace digital, media sosial, atau komunitas. Tetapi esensinya sama: tempat manusia saling membutuhkan, dan tempat kita bisa memberi nilai.


---

Penutup: Jalan Menuju Pasar

“Mulai berbisnis, pergilah ke pasar.”
Kalimat ini bukan sekadar ajakan berdagang, tetapi panggilan jiwa. Abdurrahman bin Auf tidak meminta harta, tetapi meminta pasar. Umar bin Khattab tidak memuji doa kosong, tetapi mengirim pemuda ke pasar. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:

> “Amal yang paling baik adalah bekerja dengan tangannya sendiri.”



Islam tidak mengajarkan kemiskinan sebagai kemuliaan, tetapi kemandirian sebagai kehormatan. Pasar adalah sekolah, dan setiap Muslim dipanggil untuk belajar di sana.

Mungkin pasar terlihat keras, penuh gesekan, penuh risiko. Tetapi dari pasar pula lahir keberanian, martabat, dan berkah rezeki. Karena emas tidak turun dari langit. Ia lahir dari tangan yang bekerja, dari keringat yang jujur, dan dari doa yang bergerak bersama usaha.

Prinsip Mengelola Perut dalam Keuangan Pribadi dan Bisnis Pernahkah kita merenung bahwa perut yang ada di tubuh kita ternyata me...


Prinsip Mengelola Perut dalam Keuangan Pribadi dan Bisnis


Pernahkah kita merenung bahwa perut yang ada di tubuh kita ternyata memiliki kesamaan prinsip dengan cara kita mengelola keuangan, baik pribadi maupun bisnis? Rasulullah ﷺ dengan jernih memberikan petunjuk tentang bagaimana perut seharusnya diatur. Dan ternyata, ketika prinsip itu disandingkan dengan ilmu manajemen modern, ada garis merah yang sangat jelas: mengendalikan perut sama halnya dengan mengendalikan harta.

Perut sebagai Simbol Pengendalian Diri

Perut adalah pusat kebutuhan paling dasar manusia. Ia menerima segala yang kita masukkan—baik yang sehat maupun yang beracun. Tidak heran, Al-Qur’an mengingatkan:

> “Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘raf [7]: 31)



Ayat ini, meski tampak sederhana, sesungguhnya adalah prinsip manajemen hidup. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menekankan bahwa larangan berlebih-lebihan (isrāf) tidak hanya berlaku pada makan dan minum, tetapi juga pada semua aspek kehidupan, termasuk harta.

Rasulullah ﷺ menegaskan:

> “Tidaklah anak Adam memenuhi bejana yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk udara.” (HR. Tirmidzi)



Hadits ini bukan sekadar etika makan. Ia adalah panduan proporsionalitas—sebuah prinsip yang di dunia manajemen keuangan dikenal dengan budget allocation atau proportional spending rule.

Empat Prinsip Mengelola Perut

1. Kontrol asupan → Tidak semua yang ada di depan mata harus dimakan.


2. Prioritas kebutuhan → Dahulukan yang bergizi dan halal, bukan hanya yang lezat.


3. Disiplin waktu → Makan teratur, bukan sembarangan.


4. Kesadaran dampak → Apa yang masuk ke perut memengaruhi energi, pikiran, dan bahkan kualitas ibadah.



Perut yang tak terkendali menimbulkan penyakit. Sama halnya dengan keuangan yang tak terkendali, ia melahirkan tekanan hidup, kecemasan, bahkan kebangkrutan.


---

Keuangan Pribadi: Perut Kedua Manusia

Kalau perut adalah wadah makanan, maka dompet adalah “perut finansial” manusia. Ia bisa sehat jika terkelola, atau sakit jika dibiarkan mengikuti hawa nafsu.

Dalam literatur keuangan modern, konsep ini disebut Personal Financial Management—manajemen keuangan pribadi. Prinsip-prinsipnya sejalan dengan apa yang diajarkan Islam sejak 14 abad lalu:

1. Kendalikan pengeluaran
– Bedakan kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Inilah inti dari teori consumption smoothing dalam ekonomi: jangan membiarkan pengeluaran mengikuti nafsu sesaat.


2. Seimbang
– Sisihkan sebagian untuk kebutuhan harian, sebagian untuk tabungan dan investasi, sebagian lagi untuk berbagi (charity). Dalam literatur modern, dikenal dengan 50/30/20 rule—50% untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, 20% untuk tabungan.


3. Rencana jangka panjang
– Hari ini menentukan masa depan. Konsep long-term financial planning menegaskan bahwa keuangan harus diarahkan untuk pendidikan, pensiun, dan warisan.


4. Disiplin & kesadaran
– Hidup sederhana adalah kunci. Allah ﷻ berfirman:

> “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra [17]: 26–27)





Ekonom terkenal, Thomas J. Stanley, dalam bukunya The Millionaire Next Door menegaskan bahwa orang-orang yang benar-benar mapan secara finansial justru hidup sederhana, bukan bermewah-mewahan. Prinsip ini persis dengan ajaran Rasulullah ﷺ tentang menghindari isrāf dan tabdzīr.


---

Bisnis: Perut Sosial Ekonomi

Jika keuangan pribadi adalah “perut individu”, maka bisnis adalah “perut kolektif” yang menampung kebutuhan banyak orang—karyawan, konsumen, investor, bahkan masyarakat.

Dalam literatur manajemen, hal ini dikenal dengan Corporate Financial Management—pengelolaan keuangan bisnis. Prinsipnya mirip dengan keuangan pribadi, hanya skalanya lebih luas:

1. Kontrol pemasukan & pengeluaran
– Disebut cash flow management. Jika arus kas bocor, bisnis akan sakit meski penjualannya besar.


2. Prioritas kebutuhan
– Investasi pada hal yang produktif, bukan gaya hidup perusahaan. Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “Efficiency is doing things right; effectiveness is doing the right things.” Efisiensi tanpa arah hanya akan membuang energi.


3. Disiplin waktu & strategi
– Bisnis butuh perencanaan matang: produksi, distribusi, pemasaran. Tanpa disiplin, pasar akan merebut peluang.


4. Kesadaran dampak
– Bisnis bukan hanya tentang laba. Dalam konsep modern disebut Corporate Social Responsibility (CSR)—memberikan manfaat sosial, menjaga lingkungan, dan menumbuhkan keberkahan.




---

Benang Merah: Dari Perut ke Bisnis

Ada pola yang jelas:

Perut penuh → tubuh lemah.

Keuangan penuh utang → hidup tercekik.

Bisnis rakus ekspansi → cepat besar, cepat tumbang.


Sebaliknya:

Perut sehat → tubuh kuat.

Keuangan sehat → hidup tenang.

Bisnis sehat → tumbuh berkelanjutan.


Maka, siapa yang mampu mengelola perutnya, biasanya juga mampu mengelola hartanya. Dan siapa yang mampu mengelola keuangan pribadinya, lebih siap mengelola bisnis.


---

Analogi Liris: Tiga Sepertiga

Rasulullah ﷺ mengajarkan keseimbangan perut: sepertiga makanan, sepertiga minum, sepertiga udara. Jika kita bawa analogi ini ke keuangan, hasilnya luar biasa.

Dalam keuangan pribadi:
– Sepertiga untuk kebutuhan hidup.
– Sepertiga untuk tabungan & investasi.
– Sepertiga untuk kebaikan & fleksibilitas.

Dalam bisnis:
– Sepertiga untuk operasional.
– Sepertiga untuk reinvestasi.
– Sepertiga untuk cadangan & distribusi laba.


Inilah yang dalam manajemen modern disebut balanced allocation—membagi porsi secara proporsional agar semua aspek kehidupan mendapat ruang.


---

Analogi Kedua: Makan Ketika Lapar, Berhenti Sebelum Kenyang

Prinsip Nabi ﷺ ini sesungguhnya adalah dasar dari sustainable growth dalam ekonomi.

Dalam keuangan pribadi: belanjalah ketika perlu, berhentilah sebelum habis.

Dalam bisnis: ekspansi ketika siap, bukan karena serakah ingin meraih semua.


Banyak perusahaan besar tumbang karena rakus ekspansi. Kasus Lehman Brothers (2008) menjadi pelajaran: terlalu kenyang oleh kredit subprime membuatnya runtuh. Sama halnya dengan tubuh yang terlalu kenyang, akhirnya kolaps.


---

Hikmah dan Refleksi

Bayangkan, jika setiap Muslim mengelola perutnya dengan benar, tubuh akan sehat, ibadah khusyuk, pikiran jernih. Begitu pula jika setiap Muslim mengelola keuangan dengan benar, hidup akan tenang, tidak mudah terlilit utang, dan mampu berbagi.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan: “Perut adalah pangkal segala penyakit, dan pengendalian perut adalah kunci segala kebaikan.” Pernyataan ini relevan bukan hanya untuk kesehatan jasmani, tetapi juga kesehatan finansial.

Dalam dunia modern, pakar keuangan Dave Ramsey sering berkata: “Personal finance is 80% behavior and 20% head knowledge.” Kunci keuangan bukan sekadar pengetahuan, tapi pengendalian diri—persis seperti pesan Rasulullah ﷺ tentang perut.


---

Penutup: Mengelola Nafsu, Mengelola Arah

Perut adalah ladang ujian. Keuangan adalah cabang darinya. Bisnis adalah perluasan skala. Dan semuanya kembali pada satu kata: pengendalian nafsu.

Allah ﷻ berfirman:

> “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134)



Jika kita mampu menahan amarah, tentu lebih mampu menahan lapar. Jika kita mampu menahan lapar, tentu lebih mampu menahan nafsu belanja. Dan jika kita mampu menahan nafsu belanja, tentu lebih siap mengelola bisnis dengan bijak.

Maka, mengelola perut bukan hanya urusan dapur, tetapi juga urusan masa depan. Dari perut yang sehat lahirlah keuangan yang sehat, dari keuangan yang sehat lahirlah bisnis yang sehat, dan dari bisnis yang sehat lahirlah masyarakat yang sejahtera.


---

Dengan begitu, ternyata sabda Nabi ﷺ tentang perut bukan hanya panduan kesehatan jasmani, tetapi juga dasar manajemen keuangan dan bisnis modern.

Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab Pasar: Denyut Tua Kehidupan Pasar adalah ruang paling tua dalam pe...


Carilah Pasar: Jejak Abdurrahman bin Auf dan Umar bin Khattab

Pasar: Denyut Tua Kehidupan

Pasar adalah ruang paling tua dalam peradaban manusia. Sejak manusia mengenal pertukaran, pasar menjadi tempat bertemunya kebutuhan dan keinginan, jerih payah dan harapan. Di sana, orang bukan hanya menjual barang, tetapi juga bertukar ide, membangun kepercayaan, bahkan menegakkan martabat.

Seorang pakar perilaku konsumen, Philip Kotler, menyebut pasar sebagai laboratorium kebutuhan manusia. Sementara dalam pandangan para ulama, pasar adalah madrasah kehidupan, tempat orang diuji dalam kejujuran, kesabaran, dan amanah. Ibn Khaldun menegaskan dalam al-Muqaddimah, bahwa perputaran ekonomi di pasar adalah pilar peradaban. Tanpa pasar yang sehat, sebuah masyarakat akan rapuh.

Namun Islam tidak melihat pasar semata sebagai urusan perut atau laba. Pasar adalah ruang moral. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata di tengah keramaian:

> “Janganlah ada yang berdagang di pasar kami ini kecuali orang yang paham hukum jual beli. Jika tidak, ia bisa terjerumus dalam riba—baik sadar maupun tidak.”



Kalimat itu adalah pagar. Umar ingin menegaskan: ilmu sebelum ke pasar. Barang siapa masuk pasar tanpa ilmu, ia bisa tergelincir. Pasar bukan ruang netral, tetapi tempat iman diuji.


---

Abdurrahman bin Auf: Permintaan Sederhana

Mari kita berjalan sejenak ke Madinah, tahun hijrah pertama. Seorang Muhajir bernama Abdurrahman bin Auf datang dengan langkah ringan namun hati penuh luka. Ia tinggalkan Mekah, tanah kelahirannya, beserta seluruh harta yang ia miliki. Kini ia hanya membawa iman.

Rasulullah ﷺ mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar kaya raya. Sa’ad dengan tulus berkata:

> “Aku punya dua kebun, dua istri, dan harta yang melimpah. Ambillah separuh darinya, dan pilihlah salah satu istriku untuk engkau nikahi setelah aku ceraikan.”



Betapa besar pengorbanan Sa’ad. Tetapi jawaban Abdurrahman menorehkan sejarah:

> “Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu. Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”



Kalimat emas ini menjadi warisan peradaban. Abdurrahman tidak meminta harta, tidak menggantungkan hidup pada belas kasihan. Ia memilih jalan kemandirian.

Dan benar, ia pun pergi ke pasar Bani Qainuqa’, memulai dari kecil: menjual keju, minyak samin, dan kain. Tidak lama kemudian, ia mampu menikah dengan mahar emas seberat biji kurma. Inilah saksi bahwa langkah kecil di pasar bisa melahirkan kejayaan besar.


---

Umar bin Khattab: Jangan Menunggu Emas dari Langit

Kisah lain muncul dari sosok Umar. Ia bukan hanya pengawas pasar, tetapi juga guru keras bagi generasi muda.

Suatu kali ia memasuki masjid, mendapati sekelompok pemuda berdiam diri sepanjang hari. Mereka berkata, “Kami bertawakal kepada Allah.” Umar menatap tajam lalu berkata:

> “Keluarlah dari masjid ini! Jangan kalian berdusta atas nama tawakal. Allah tidak akan menghujankan emas dari langit.”



Bagi Umar, doa tanpa kerja hanyalah dalih kemalasan. Tawakal harus disertai ikhtiar. Ia lalu mengingatkan firman Allah dalam QS. Yusuf (12:55), ketika Nabi Yusuf berkata:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”



Ayat itu, bagi Umar, adalah legitimasi: bekerja, mengelola, mengupayakan rezeki adalah bagian dari ibadah.


---

Mengapa Harus ke Pasar?

Kisah Abdurrahman dan Umar memberi jawaban: karena pasar adalah simbol nyata kehidupan.

1. Memahami Konsumen.
Pasar melatih kita membaca kebutuhan manusia. Kotler menulis: “Bisnis adalah menciptakan nilai dan memuaskan kebutuhan.” Abdurrahman mempraktikkannya: ia menjual apa yang dibutuhkan orang Madinah, bukan apa yang ia sukai.


2. Melihat Kesenjangan.
Pasar memperlihatkan ruang kosong. Joseph Schumpeter menyebutnya entrepreneurial opportunity. Ada celah, ada peluang. Umar mengingatkan: barang siapa pandai berdagang, jadilah pedagang yang handal.


3. Membangun Mental Tahan Banting.
Pasar keras: ada tawar-menawar, ada penolakan. Tetapi di situlah jiwa ditempa. Umar menolak generasi malas, sebab pasar mengajarkan arti keringat, kegagalan, dan kebangkitan.




---

Pasar sebagai Sekolah Jiwa

Peter Drucker, bapak manajemen modern, berkata: “The purpose of business is to create a customer.” Artinya, inti bisnis bukan pada barang, melainkan pada manusia. Pasar adalah sekolah terbaik, karena di sana kita belajar langsung dari perilaku manusia:

Mengamati daya beli masyarakat.

Menyesuaikan harga.

Memberi pelayanan yang membuat orang kembali.


Inilah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak menunggu modal besar, tidak menunggu bangunan megah, tetapi langsung turun ke pasar dengan barang sederhana. Ia belajar dari interaksi nyata, bukan teori kosong.


---

Pesan Umar: Jangan Jadi Beban

Umar mengutip sabda Nabi ﷺ:

> “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”



Bagi Umar, ini bukan sekadar soal sedekah. Ini prinsip hidup: jadilah produktif, memberi, bukan meminta. Jika kita malas bekerja, kita akan menjadi beban. Jika kita berusaha, kita akan menjadi pemberi.

Psikologi modern mendukung ini. Albert Bandura menyebut konsep self-efficacy: rasa percaya diri lahir ketika seseorang mampu mengendalikan hidupnya. Pasar, dengan segala kerasnya, adalah ruang membangun kepercayaan diri.


---

Dialog Reflektif: Jika Umar dan Abdurrahman Hidup Hari Ini

Bayangkan jika Umar bin Khattab berjalan di pasar modern. Mungkin ia akan berkata:

“Periksa timbangan digitalmu. Jangan menipu dengan angka.”

“Jangan menimbun barang impor demi permainan harga.”

“Jangan menutupi cacat barang dengan cahaya toko yang terang.”


Dan bila Abdurrahman bin Auf hidup di era digital, mungkin kalimatnya adalah:

“Tunjukkan kepadaku di mana marketplace.”
Ia akan berjualan online, membaca tren konsumen, tetapi tetap menjaga kejujuran dan amanah.



---

Refleksi untuk Kita

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah kita melihat pasar sebagai ruang moral, bukan sekadar laba?

Sudahkah kita meniru Abdurrahman yang berani memulai dari nol, tanpa menggantungkan diri?

Sudahkah kita mendengar teguran Umar, agar tidak bersembunyi di balik doa tanpa usaha?


Pasar hari ini bisa berarti banyak: pasar tradisional, mall, marketplace digital, media sosial, atau komunitas. Tetapi esensinya sama: tempat manusia saling membutuhkan, dan tempat kita bisa memberi nilai.


---

Penutup: Jalan Menuju Pasar

“Mulai berbisnis, pergilah ke pasar.”
Kalimat ini bukan sekadar ajakan berdagang, tetapi panggilan jiwa. Abdurrahman bin Auf tidak meminta harta, tetapi meminta pasar. Umar bin Khattab tidak memuji doa kosong, tetapi mengirim pemuda ke pasar. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:

> “Amal yang paling baik adalah bekerja dengan tangannya sendiri.”



Islam tidak mengajarkan kemiskinan sebagai kemuliaan, tetapi kemandirian sebagai kehormatan. Pasar adalah sekolah, dan setiap Muslim dipanggil untuk belajar di sana.

Mungkin pasar terlihat keras, penuh gesekan, penuh risiko. Tetapi dari pasar pula lahir keberanian, martabat, dan berkah rezeki. Karena emas tidak turun dari langit. Ia lahir dari tangan yang bekerja, dari keringat yang jujur, dan dari doa yang bergerak bersama usaha.

Bisnis Sang Pencari Kayu Bakar: Dimulai dari Menjual Perabotan Rumah yang Menganggur “Bisnis itu butuh modal besar.” “Kalau tida...


Bisnis Sang Pencari Kayu Bakar: Dimulai dari Menjual Perabotan Rumah yang Menganggur

“Bisnis itu butuh modal besar.”
“Kalau tidak punya barang berharga, dari mana memulainya?”

Kalimat-kalimat semacam itu kerap meluncur dari bibir orang yang merasa terkunci dalam lingkaran kekurangan. Seolah pintu usaha hanya terbuka bagi mereka yang sudah punya tabungan menumpuk, aset besar, atau akses permodalan.

Namun sebuah kisah yang diajarkan Rasulullah ﷺ justru membalik anggapan itu. Kisah ini sederhana, tetapi mengandung manajemen modal yang membumi sekaligus abadi. Ia mengajarkan bahwa modal pertama tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa dimulai dari apa yang ada di rumah sendiri.

Mari kita ikuti perjalanan seorang pemuda Ansar yang belajar langsung dari Rasulullah ﷺ tentang bagaimana memulai usaha—bukan dengan pinjaman, bukan dengan belas kasihan, tetapi dengan keberanian untuk menggerakkan apa yang ada.


---

Pemuda Ansar yang Datang Meminta

Suatu siang, seorang pemuda dari kalangan Ansar datang kepada Rasulullah ﷺ. Wajahnya menggambarkan kesulitan. Nafasnya berat, sorot matanya penuh harap. Ia meminta sesuatu—entah uang, makanan, atau bantuan lain—untuk mencukupi kebutuhannya.

Rasulullah ﷺ menatapnya lembut. Pertanyaan yang keluar bukan tentang apa yang ia inginkan, melainkan apa yang ia miliki.
“Apakah engkau punya sesuatu di rumahmu?”

Pemuda itu terdiam sejenak, merenung. Lalu ia menjawab pelan,
“Ya. Ada selembar kain alas—setengahnya kami gunakan, setengahnya jadi alas duduk. Dan sebuah wadah untuk minum.”

Hanya itu. Dua barang yang sederhana. Bahkan mungkin, dalam pandangan orang lain, tak berharga. Tetapi di mata Rasulullah ﷺ, di situlah letak pintu modal.

“Bawa keduanya ke mari,” sabda beliau.


---

Dari Perabot Rumah Menjadi Modal

Pemuda itu pulang, lalu kembali dengan membawa kain dan wadah minum yang lusuh. Dua benda biasa yang tadinya hanya tersimpan di rumah, kini digenggam penuh harap.

Rasulullah ﷺ mengangkat barang itu, lalu melelangnya di hadapan para sahabat.
“Siapa yang mau membeli kedua barang ini?”

Seorang sahabat menyahut, “Aku, dengan harga satu dirham.”
Namun Rasulullah ﷺ tidak berhenti. Beliau menawar:
“Siapa yang mau menambah, menjadi dua atau tiga dirham?”

Sahabat lain pun menyahut, “Aku, dengan dua dirham.”

Barang itu pun terjual. Rasulullah ﷺ menyerahkan dua dirham itu kepada si pemuda.
“Belilah makanan dengan satu dirham untuk keluargamu. Dan belilah kapak dengan satu dirham lainnya. Lalu bawalah kapak itu kemari.”

Begitulah, kain dan wadah minum yang tadinya tak bernilai, berubah menjadi makanan untuk keluarga dan sebuah alat produksi.


---

Modal Ada di Rumah

Pelajaran pertama dari kisah ini begitu jelas: modal usaha sering kali ada di sekitar kita, bahkan di dalam rumah kita sendiri.

Perabot yang tak terpakai, perhiasan kecil yang tersimpan, atau barang yang sudah jarang dipakai—semuanya bisa menjadi pintu masuk untuk usaha. Masalahnya bukan pada ketiadaan modal, tetapi pada kebiasaan kita yang memandang remeh apa yang sudah ada.

Peter Drucker, bapak manajemen modern, pernah menulis: “The best way to predict the future is to create it.” Masa depan tidak menunggu datangnya modal besar, tetapi diciptakan dari langkah-langkah kecil yang dilakukan sekarang.

Ulama kontemporer pun sejalan dengan ini. Syekh Ali Jum’ah, misalnya, menegaskan bahwa salah satu bentuk keberkahan harta adalah ketika seseorang mampu memanfaatkannya, sekecil apa pun, untuk kebaikan dan kemandirian.


---

Konsumsi dan Investasi: Dua Sayap

Rasulullah ﷺ tidak menyerahkan seluruh hasil lelang untuk makanan. Beliau membaginya: satu dirham untuk konsumsi, satu dirham untuk investasi.

Ada keseimbangan di sini. Uang yang habis untuk makanan memang menyelamatkan keluarga dari lapar, tetapi tidak berputar. Sedangkan uang yang ditukar dengan kapak, berubah menjadi alat produksi yang melahirkan nilai tambah.

Robert Kiyosaki, dalam Rich Dad Poor Dad, menekankan hal serupa: konsumsi akan habis sekali pakai, sementara aset—meski sederhana seperti kapak—akan menghasilkan uang baru.

Inilah prinsip keuangan modern yang diajarkan Rasulullah ﷺ sejak 14 abad lalu: jangan habiskan seluruh pendapatan untuk konsumsi; sisihkan sebagian untuk aset produktif.


---

Alat Produksi Harus Menghasilkan

Pemuda itu kembali dengan kapak yang baru dibelinya. Rasulullah ﷺ mengambil sebatang kayu, lalu menunjukkan cara menggunakannya. “Pergilah, bekerjalah mencari kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu selama lima belas hari.”

Kapak itu bukan pajangan, bukan simpanan. Ia harus menghasilkan. Maka pemuda itu pun berangkat. Hari demi hari ia gunakan kapaknya untuk menebang kayu, mengikat, mengangkut, dan menjualnya di pasar.

Lima belas hari kemudian, ia kembali dengan wajah berseri. Di tangannya ada sepuluh dirham. Rasulullah ﷺ tersenyum. “Belanjakan sebagian untuk makanan, sebagian lagi untuk pakaian.”

Kemudian beliau menutup dengan kalimat yang sarat makna:
“Bekerja seperti ini lebih baik daripada engkau meminta-minta. Sesungguhnya meminta hanya boleh bagi orang fakir yang sangat, atau karena hutang yang menjerat, atau denda yang amat berat.”


---

Proses dan Konsistensi

Sepuluh dirham itu tidak datang dalam semalam. Pemuda itu harus bekerja lima belas hari penuh. Kayu tidak berubah menjadi dirham tanpa tenaga yang menebang, mengikat, dan menjual.

Pelajaran penting: hasil besar butuh proses dan konsistensi.

Jim Collins menyebutnya flywheel effect: momentum besar lahir dari dorongan kecil yang konsisten. Rasulullah ﷺ mengajarkan hal itu dalam bahasa yang sederhana: ayunkan kapakmu, ulangi setiap hari, dan rezeki akan terkumpul sedikit demi sedikit.


---

Bisnis sebagai Ujian Jiwa

Namun inti kisah ini bukan hanya tentang bagaimana mendapatkan uang, melainkan tentang kehormatan jiwa. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa bekerja—meski sekadar mencari kayu bakar—lebih mulia daripada meminta-minta.

Beliau tidak sekadar mengajarkan teknik ekonomi, tetapi menanamkan harga diri. Bahwa setiap manusia diberi kemampuan untuk menghasilkan, dan kemuliaan terletak pada usaha, bukan pada belas kasihan.

Imam Al-Ghazali pernah berkata: “Janganlah engkau mengira rezeki itu datang dari makhluk, sebab hakikatnya ia datang dari Allah. Maka bekerjalah, agar engkau tidak hina di hadapan manusia.”


---

Membagi Hasil dengan Bijak

Sepuluh dirham yang didapat pemuda itu tidak untuk dihamburkan. Rasulullah ﷺ membimbingnya agar membagi: sebagian untuk kebutuhan pokok, sebagian untuk pakaian, dan sisanya tentu bisa terus diputar dalam usaha.

Dalam ilmu keuangan modern, ini disebut money management: bagaimana mengelola pemasukan agar tetap tumbuh. Pakar keuangan Syariah, Muhammad Syafii Antonio, menekankan pentingnya prinsip alokasi yang seimbang antara kebutuhan harian, investasi, dan sedekah.

Dengan kata lain, uang dari aset menganggur tidak hanya menghidupi, tetapi juga bisa menjadi jalan berbagi.


---

Refleksi untuk Kita

Mari kita merenung sejenak.
Berapa banyak barang di rumah yang tidak terpakai?
Berapa banyak keterampilan kecil yang bisa diasah?
Berapa banyak waktu yang bisa dipakai untuk bekerja, alih-alih mengeluh?

Kisah pemuda Ansar ini memberi pola sederhana sekaligus abadi:

1. Gunakan apa yang ada di rumah. Jangan meremehkan barang kecil.


2. Seimbangkan konsumsi dan investasi. Jangan habiskan semua untuk makan hari ini.


3. Pastikan alat produksi menghasilkan. Kapak bukan pajangan, tapi alat.


4. Berproses dengan konsistensi. Sepuluh dirham lahir dari lima belas hari kerja.


5. Jaga kehormatan dengan bekerja. Lebih mulia daripada meminta-minta.




---

Penutup: Dari Kapak ke Kehormatan

Bekerja dengan kapak mungkin tampak kecil. Tetapi dari situlah lahir keteguhan hati, keteraturan keuangan, dan kemandirian. Dari kapak itu, pintu rezeki terbuka, dan kehormatan jiwa terjaga.

Siapa sangka, kain lusuh dan wadah minum yang dianggap sepele, ketika dikelola dengan bijak, bisa berubah menjadi modal usaha yang menyelamatkan sebuah keluarga?

Maka pertanyaan untuk kita: sudahkah kita melihat “kapak” kita masing-masing? Sudahkah kita berani mengayunkannya?

Karena sesungguhnya, bisnis tidak selalu dimulai dari modal besar. Kadang, ia hanya butuh satu kapak, dan keberanian untuk mengayunkannya.

Genosida Gaza: Mengapa Para Penguasa Masih Tidak Tegas kepada Israel? Langit Gaza telah lama kehilangan warna birunya. Ia kini b...


Genosida Gaza: Mengapa Para Penguasa Masih Tidak Tegas kepada Israel?

Langit Gaza telah lama kehilangan warna birunya. Ia kini berwujud abu-abu — bukan karena mendung, tetapi karena sisa-sisa ledakan yang menutupi langitnya dengan debu, duka, dan doa yang tak pernah berhenti naik. Dua tahun genosida berlalu, dan dunia masih terjebak di antara dua kata yang memalukan: “gencatan senjata.”
Bukan “keadilan,” bukan “pertanggungjawaban,” melainkan “jeda untuk bernapas, sebelum pembantaian berikutnya dimulai.”

Namun di balik itu, pertanyaan yang menampar hati kita justru bukan mengapa Israel begitu brutal. Dunia sudah tahu jawabannya. Yang lebih menakutkan adalah: mengapa para penguasa dunia — bahkan di negeri-negeri Muslim — masih tidak tegas kepada Israel, bahkan setelah darah dan tulang anak-anak Gaza berserakan di layar setiap rumah?


---

Dunia yang Menonton dari Kursi Kulit

Ketika berita gencatan senjata diumumkan, suara pembawa berita Al Jazeera bergetar. Ia bukan pembaca berita lagi, melainkan saksi yang menahan tangis. Ia telah menyebut nama-nama yang gugur — jurnalisnya sendiri, sahabat-sahabatnya sendiri — selama dua tahun. Dan kini, ia harus mengucap “gencatan senjata” seolah keadilan sudah tiba.

Namun siapa yang bisa percaya?
Ini bukan gencatan senjata pertama. Setiap jeda hanya menjadi interval antara dua babak kehancuran. Israel bisa memulai pembantaian lagi kapan saja — cukup dengan “alasan keamanan” yang dibuat dengan rapi oleh para penasihatnya di Washington dan London.

Sejarawan Palestina, Toufic Haddad, menulis:

“Gencatan senjata ini bukan kesempatan untuk menunggu dan menyaksikan apa yang terjadi, melainkan momen untuk melipatgandakan upaya mobilisasi akuntabilitas.”

Namun siapa yang berani menuntut akuntabilitas itu? Dunia, katanya, sedang menderita amnesia moral.
Lembaga internasional yang dahulu dibangun di atas luka Holocaust kini membisu saat genosida dilakukan oleh mereka yang mengaku mewarisi korban Holocaust itu.


---

Erdogan: “Kami Tidak Percaya Israel”

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, berbicara dengan nada hati-hati usai pertemuan di Sharm el-Sheikh. Ia menyebut rekam jejak Israel dalam pelanggaran gencatan senjata sebagai “buruk.”

“Israel memiliki rekam jejak yang buruk dalam hal pelanggaran gencatan senjata. Hal ini memaksa kami untuk lebih berhati-hati dan teliti,” ujarnya. “Jika ini berubah menjadi genosida lagi, Israel tahu konsekuensinya akan berat.”

Turki, yang selama dua tahun terakhir memutuskan sebagian hubungan dagang dan militer dengan Tel Aviv, kini menjadi mediator — posisi yang sulit dan berisiko. Erdogan tahu, setiap gencatan senjata adalah jebakan diplomatik: Israel bisa menggunakan waktu untuk memperbaiki kekuatan militernya, sementara Gaza dibiarkan kelaparan.

Maka kekhawatiran Turki bukan hanya soal apakah gencatan senjata ini akan bertahan, tapi apakah dunia akan kembali tertipu oleh kesan bahwa genosida sudah berakhir.

Karena dalam sejarah, Israel jarang melanggar gencatan senjata secara terbuka — mereka hanya mengubah bentuknya: dari bom menjadi blokade, dari rudal menjadi kelaparan, dari tank menjadi penghalang bantuan.
Gencatan senjata hanyalah pergantian metode penindasan.


---

Barat: Dari “Never Again” menjadi “Not Yet”

Dalam dua tahun terakhir, Barat — yang selalu bangga dengan narasi moral “Never Again” — justru menyingkap kemunafikan terdalamnya.
Daniel Lindley, kolumnis The New Arab, menulis dengan getir:

“Dua tahun genosida di Gaza menunjukkan betapa hampanya Barat yang bersumpah ‘tidak akan pernah lagi’. Kini, mereka berkata, ‘belum saatnya’ — Not Yet.”

Laporan PBB baru-baru ini yang menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida jauh lebih sulit diabaikan daripada sebelumnya. Namun pemerintahan Eropa tetap bungkam, karena untuk mengakui genosida berarti mengakui keterlibatan mereka sendiri: senjata, pendanaan, veto, dan propaganda.

Di sinilah dunia terbagi dua:
— Mereka yang menyebut kebenaran, dan kehilangan pekerjaan, izin siaran, atau visa.
— Dan mereka yang diam, dan mendapatkan promosi.

Kita hidup di masa ketika media lebih takut kehilangan pendapatan iklan daripada kehilangan nurani.
Dan di masa ketika “demokrasi liberal” menjadi topeng baru kolonialisme lama.


---

Keheningan Para Penguasa Muslim

Namun bagian paling menyakitkan tidak datang dari Barat, melainkan dari negeri-negeri yang seharusnya menyebut “La ilaha illallah” dengan bangga.

Di antara menara-megara kaca dan istana marmer, para pemimpin Muslim berbicara dengan suara lembut: “Kami prihatin.”
Mereka menyumbang sebagian dana kemanusiaan, mengirim pernyataan, bahkan menyelenggarakan konferensi. Tapi di balik semua itu, tidak ada keputusan politik yang mengguncang dunia.

Tidak ada pemutusan hubungan diplomatik besar-besaran. Tidak ada embargo minyak. Tidak ada penolakan pelabuhan.
Hanya doa, dan itu pun diucapkan sambil tersenyum dalam jamuan makan malam bersama duta besar negara pendukung genosida.

Mengapa?
Karena sistem dunia modern menjadikan mereka bagian dari jaringan yang sama — jaringan utang, kontrak, keamanan, dan pengakuan internasional.
Mereka takut kehilangan kursi, lebih daripada kehilangan kehormatan.

Padahal Al-Qur’an telah memperingatkan:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)


---

Dari Kolonialisme Lama ke Kolonialisme Digital

Genosida Gaza bukan sekadar pembunuhan fisik, melainkan juga penghapusan makna.
Israel tidak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga menarget sekolah, perpustakaan, dan bahkan jaringan komunikasi — agar bangsa Palestina kehilangan narasinya sendiri.
Mereka ingin agar dunia hanya mengenal Gaza melalui kamera milik tentara.

Namun sesuatu yang tidak mereka duga terjadi: dunia berubah menjadi saksi langsung.
Jutaan orang di seluruh dunia menonton pembantaian itu tanpa perantara, dan akhirnya menolak untuk bungkam.
Gerakan Free Palestine kini bukan lagi slogan, melainkan bahasa moral baru umat manusia.

Di jalan-jalan London, Madrid, Jakarta, Istanbul, dan New York, suara anak muda bergema:

“If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor.”
Dan dunia yang dulu hanya tahu Gaza dari berita kini mengenal wajah-wajahnya — anak-anak dengan nama, bukan sekadar angka.

Inilah perang naratif, dan Gaza sedang memenangkannya.


---

Gaza: Di Mana Sunatullah Bekerja dalam Gelap

Namun di balik semua analisis politik dan kekecewaan moral itu, ada hal yang lebih dalam, yang tak bisa dijelaskan oleh teori hubungan internasional.
Mengapa Gaza tidak hancur?

Bukankah 67.000 jiwa telah gugur? Bukankah listrik padam, air habis, tanah hancur, dan langit gelap?
Namun entah mengapa, Gaza masih hidup. Anak-anak masih menghafal Al-Qur’an di tenda, para ibu masih membagikan roti, dan para pejuang masih mengangkat kepala meski darah belum kering.

Kuncinya adalah sunatullah tentang kesabaran dan kebangkitan.

Allah berfirman:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu?”
(QS. Al-Baqarah: 214)

Di balik setiap genosida, selalu ada seleksi Ilahi: siapa yang beriman karena dunia, dan siapa yang beriman karena Allah.
Mereka yang berdiam diri, kehilangan bagian dari sejarahnya.
Mereka yang berdiri, meski sendiri, menjadi saksi sejarah itu.

Gaza adalah madrasah ruhani tempat Allah menguji kesetiaan umat Islam di abad ke-21.
Setiap rudal yang jatuh menjadi ujian bagi dunia:
apakah kita masih manusia, atau hanya algoritma yang lewat di layar?


---

Para Penguasa dan Cermin Sejarah

Kita sering bertanya: mengapa penguasa tidak tegas?
Jawabannya mungkin bukan hanya karena politik, tapi karena jiwa yang telah kehilangan orientasi spiritualnya.

Dalam sejarah Islam, para khalifah dahulu takut pada doa orang tertindas. Umar bin Khattab menangis di malam hari karena takut seekor keledai pun tergelincir di jalan.
Tapi kini, para penguasa modern tidak gentar meski ribuan anak mati setiap hari — karena hati mereka sudah dikelilingi oleh penjaga, bukan oleh rasa malu.

Inilah yang dimaksud oleh Sayyid Qutb:

“Ketika umat Islam berhenti menegakkan keadilan karena Allah, Allah akan menegakkan keadilan tanpa mereka — dengan menggantikan mereka.”

Dan mungkin, Gaza adalah tanda bahwa Allah sedang menulis ulang sejarah umat ini — bukan melalui istana, tetapi melalui reruntuhan.


---

Dunia yang Sedang Diadili

Kini dunia berada di persimpangan besar.
Jika genosida Gaza dibiarkan tanpa akuntabilitas, dunia sedang menandatangani surat kematian moralnya sendiri.
Teknologi pembunuhan yang diuji di Gaza akan digunakan di tempat lain: di Asia, di Afrika, di negeri-negeri miskin yang dianggap “tidak relevan.”

Itulah yang diingatkan oleh Toufic Haddad:

“Preseden yang ditimbulkan oleh genosida Gaza merupakan awal dari masa depan yang mengerikan jika tidak diperhitungkan.”

Gaza adalah laboratorium kekerasan global. Jika tidak ada akuntabilitas, maka genosida akan menjadi kebijakan luar negeri yang sah — hanya perlu alasan keamanan, sertifikat sekutu, dan lisensi ekspor senjata.

Dan dari situ, manusia akan kehilangan makna “tidak pernah lagi.”
Yang tersisa hanya “akan terjadi lagi.”


---

Dari Kesunyian Menuju Keadilan

Tetapi sejarah tidak berhenti di tangan para diktator. Ia selalu punya jalan sunyi di mana kebenaran tumbuh dari bawah.

Lihatlah anak-anak yang kini menjadi yatim. Mereka tidak akan melupakan wajah pelaku genosida ini.
Lihatlah mahasiswa di Barat yang menolak membayar uang kuliah kepada universitas yang bekerja sama dengan industri senjata.
Lihatlah para jurnalis muda yang berani menulis kebenaran, meski kehilangan kariernya.

Mereka inilah pewaris sejarah baru.
Bukan penguasa yang takut kehilangan kursi, tetapi manusia yang takut kehilangan nurani.


---

Epilog: Allah Tidak Pernah Netral

Gencatan senjata boleh datang dan pergi. Konferensi bisa disusun, resolusi bisa disepakati, tapi takdir sejarah selalu berpihak pada mereka yang berjuang menegakkan kebenaran.

Ketika Firaun menenggelamkan Bani Israil, Allah tidak menurunkan pasukan malaikat untuk menyelamatkan mereka dengan segera. Ia menunda, hingga air laut menjadi saksi kezaliman itu sendiri.
Begitu pula kini: dunia sedang dibiarkan melihat cermin dirinya sendiri — apakah ia masih punya rasa malu.

Dan bagi para penguasa yang diam, sejarah hanya menunggu waktu.
Bukan rakyat yang akan menjatuhkan mereka, tetapi keheningan mereka sendiri.

“Janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)

Gaza hari ini adalah ujian terakhir bagi nurani dunia — dan bagi umat Islam, ia adalah panggilan yang tak bisa lagi diabaikan.

Maka, ketika kita bertanya,
“Mengapa penguasa masih tidak tegas kepada Israel?”
Jawabannya mungkin bukan karena mereka tidak tahu kebenaran,
tetapi karena mereka takut — kepada dunia — lebih daripada mereka takut kepada Allah.

Dan kelak, sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang membunuh,
tetapi siapa yang diam.

Apa Respon Tepi Barat dan Gaza atas Pelucutan Senjata Hamas? Di sebuah teras rumah batu kuno di kota Ramallah, suara lonceng mas...


Apa Respon Tepi Barat dan Gaza atas Pelucutan Senjata Hamas?

Di sebuah teras rumah batu kuno di kota Ramallah, suara lonceng masjid terdengar lembut di gemuruh sirene militer malam. Seorang ibu menatap anaknya yang baru pulang dari kamp pelatihan—matanya mencerminkan kecemasan dan penantian. “Mengapa ia masih harus belajar memegang senjata?” tanya sang ibu. “Bukankah kita ingin merdeka dalam damai?”

Anak itu hanya menunduk. Di dalam dadanya, pertanyaan itu bergemuruh.
Hari ini, sebuah survei terbaru dari Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) mengungkap bahwa sekitar 70 % warga Palestina menolak pelucutan senjata Hamas — termasuk hampir 80 % warga di Tepi Barat dan 55 % di Gaza. 

Apa yang tersembunyi di balik angka itu? Apakah ini sekadar ekspresi kemarahan dan keputusasaan? Atau sebuah sinyal yang lebih dalam: bahwa senjata, bagi sebagian besar rakyat Palestina, bukan hanya alat perang — tetapi simbol harapan yang tak boleh dilucuti?


---

1. Suara rakyat yang menolak penyerahan alat perjuangan

Sore itu, di Nablus, sekelompok pemuda duduk di halaman sekolah berhias grafiti “Kebebasan atau Mati”. Seorang di antaranya, Yusuf, memberanikan diri bertanya:

“Kenapa kita harus menyerahkan senjata ketika musuh tak pernah menyerah menembus rumah-rumah kita?”

Jawaban-jawaban dalam jajak pendapat menyiratkan jawaban yang sama: meskipun perang meletus dan korban berjatuhan, mayoritas warga percaya bahwa tanpa senjata, mereka akan kehilangan bargaining-power, akan kehilangan suara. PCPSR mencatat bahwa bahkan ketika disodorkan skenario damai dari rencana perdamaian Amerika Serikat, mayoritas tetap pesimis. Sekitar 62 % warga Palestina tidak yakin rencana tersebut akan mengakhiri perang selamanya. 

Dalam dialog reflektif: senjata itu mungkin beban, tapi pula jaminan — jaminan bahwa suara mereka tak sepenuhnya diabaikan oleh dunia.


---

2. Kenapa Tepi Barat “tak bersenjata” dan apa hasilnya

“Tepi Barat”—wilayah yang diduduki sejak 1967, tetapi berbeda dari Gaza dalam satu hal mencolok: tidak punya sayap bersenjata yang diakui seperti Hamas di Gaza. Namun, apakah kondisi “tanpa senjata” berarti damai? Tidak.

Wilayah ini dipenuhi pemeriksaan, pemukiman, pembongkaran rumah, dan bentrokan harian. Meski tak berbunyi senapan propaganda yang sama, rakyat masih hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. Jajak pendapat menunjukkan bahwa justru di Tepi Barat penolakan terhadap pelucutan senjata Hamas paling tinggi — sekitar 80 %. 

Dialog pun muncul:

“Kami tak punya senjata besar,” kata seorang warga kamp pengungsi di Jenin. “Tapi kami punya batu, dan kami punya ingatan. Bila senjata di Gaza dilucuti tapi kami tetap di Tepi Barat yang terkepung, apa bedanya?”
Sang ibu menanggapi: “Kalau damai tanpa senjata, kenapa anak-anak kita masih menembus pos pemeriksaan setiap hari?”

Refleksi ini membuat kita melihat bahwa kenyamanan damai tanpa kekuatan minimal, untuk sebagian warga, terasa semu. Tanpa senjata atau alat pertahanan apapun, negeri pendudukan terasa lebih menekan — dan luka‐lukanya lebih dalam.


---

3. Pelajaran dari sejarah: apa yang terjadi dengan PLO dan pelucutan senjata

Untuk memahami penolakan ini, penting kita sejarahkan pelucutan senjata pada aktor sebelumnya: PLO. Pada era 1990-an, setelah First Intifada dan perjanjian Oslo, PLO mulai proses transformasi dari gerakan bersenjata ke aktor politik—dan sebagian “menyerahkan” peran militer. 

Pada saat itu, banyak orang berharap bahwa “membawa senjata ke meja diplomasi” akan membuka pintu penyelesaian. Tapi kenyataannya: proses perdamaian tersendat, pemukiman terus bertambah, harapan merdeka bergeser. Sejarawan mencatat bahwa pelucutan senjata PLO terjadi ketika “kompromi tanpa kejelasan” muncul — dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan. 

Maka, penolakan terhadap pelucutan senjata Hamas bukan sekadar pilihan saat ini — ia juga dipengaruhi oleh ingatan kolektif bahwa pelucutan tanpa jaminan konkret berakhir dengan kerugian. Rakyat berkata: “Kami sudah menyerah senjata; kemudian apa? Kami masih di bawah blokade, tetap di bawah pendudukan.”


---

4. Krisis kepercayaan terhadap lembaga dan rencana perdamaian

Dialog berubah menjadi lirih di sudut kafe kecil di Ramallah. Seorang guru mengusap kopi hangat, lalu kata-kata keluar:

“Rencana perdamaian datang dan pergi. Kami sudah lelah mendengar janji tanpa implementasi.”

Survei PCPSR menunjukkan bahwa 67 % warga di Tepi Barat dan 54 % di Gaza tidak yakin rencana Trump akan mengakhiri perang selamanya.  Mereka tak hanya skeptis soal persenjataan Hamas; mereka skeptis terhadap seluruh perangkat perdamaian yang dipromosikan dunia luar.

Rasa frustrasi terhadap ‎Fatah dan ‎Palestinian Authority (PA) semakin mendalam: hanya 23 % yang puas dengan kinerja Presiden ‎Mahmoud Abbas. Sementara di tengah itu, dukungan terhadap Hamas meningkat — 35 % warga Palestina mendukung Hamas dan hanya 24 % mendukung Fatah. 

Ketika institusi kepercayaan runtuh, senjata pun dipandang sebagai “jaminan minimal” — bukan karena orang ingin perang, tapi karena mereka merasa tak punya pilihan lain.


---

5. “Senjata” sebagai simbol dan bukan hanya alat

Dialog dengan seorang pemuda di Gaza memperjelas:

 “Senjata kami bukan untuk menyerang dunia, tapi untuk bertahan. Bila kami dilucuti senjata dan dunia tetap diam ketika rumah-rumah kami diratakan, maka damai kami hanyalah delusi.”



Senjata dalam konteks ini bukan semata fisik — ia adalah simbol perlindungan, simbol keadilan yang tertunda, dan simbol keberadaan yang tak mau dihapuskan.

Ketika warga menolak disarmament Hamas, mereka menolak pula gagasan bahwa “akan aman” bila senjata mereka lepas; karena kenyataannya, sejak 1967 hingga kini, keamanan mereka tetap rapuh. Mereka telah melihat bagaimana upaya ‎PLO tanpa senjata seringkali tak membawa perlawanan struktural terhadap pendudukan.

Seorang analis kolonialisme pemukiman menulis: “Ketika populasi asli kehilangan kemampuan mempertahankan diri—fisik atau sosial—maka kolonisasi tak hanya berupa pemukiman fisik, tapi pemukiman memori dan identitas.” 

Jadi, senjata menjadi bagian dari identitas yang dipertahankan—meski sebagian besar masyarakat tetap berharap damai, mereka takut damai yang datang lewat menyerah.


---

6. Kenapa mayoritas bukan minoritas dalam konteks ini

Ketika kita melihat angka-angka: hampir tujuh dari sepuluh menolak pelucutan senjata, ini bukan suara minoritas yang keras. Ini cerminan suara rakyat yang luas — meski sering tak terdengar dalam konferensi diplomatik dan perjanjian internasional.

Dialog di sebuah kamp pengungsi menyatakan:

 “Kami tak memilih perang. Tapi bila damai datang dengan syarat kami tak punya daya untuk mempertahankan hidup kami, maka damai itu bukan pilihan — tapi kekalahan.”

Rasa suara yang tak punya pilihan inilah yang mendorong penolakan. Meski Hamas pun banyak kritiknya, mayoritas menilainya sebagai aktor yang paling menggambarkan keberanian rakyat — dan paling dipercaya dibanding lembaga resmi yang dianggap lama “bernegosiasi tapi tak memukul mundur pendudukan”.


---

7. Refleksi: Apa arti damai tanpa perlindungan?

Mari kita renungkan:
Damai tanpa senjata — apa itu? Jika pihak pendudukan masih memiliki kontrol penuh, mobilitas dibatasi, pemukiman terus diperluas, dan check-point tetap berdiri, maka damai seperti apa yang diraih?
Seorang ibu di Tepi Barat berkata:

“Anak saya harus melewati pos pemeriksaan tiap hari untuk sekolah. Senjata dia tak pegang. Tapi apakah hidupnya lebih aman?”

Kondisi ini mendorong pertanyaan reflektif: Apakah “pelucutan senjata” adalah bentuk nyata perdamaian — atau justru tanda bahwa rakyat telah mengendurkan kekuatan tawarnya? Untuk banyak warga, penolakan terhadap pelucutan adalah panggilan: “Jangan harap kami pasrah.”


---

8. Mengaitkan dengan sejarah PLO: pelajaran yang terlupa

Seperti yang kita lihat dari perjalanan PLO, proses transisi dari senjata ke politik tanpa disertai perubahan struktural menghasilkan frustrasi. Dalam studi sejarah, pelucutan senjata mereka berlangsung ketika konsesi datang — tapi hak kembali tak nyata, pemukiman tak berhenti. 

Maka, suara hari ini juga mengandung warisan sejarah: “Kami tak akan mengulangi kesalahan kami sebelumnya.” Senjata bukan sekadar alat kekerasan, tetapi juga penjaga harapan—meskipun harapan itu rapuh.


---

9. Jalan ke depan: antara rezim “tanpa senjata” dan hak untuk bertahan

Jika kita berbicara tentang jalan ke depan, maka dialog kita harus lebih dalam:

Apa makna penyerahan senjata dalam konteks pendudukan dan kolonialisme pemukiman?

Bagaimana damai bisa dibangun tanpa rasa aman minimal?

Apakah lembaga politik Palestina sekarang mampu menjamin keamanan dan keadilan jika senjata dilepas?

Bagaimana masyarakat mengartikulasikan rasa keadilan dan pertahanan mereka dalam realitas kekuasaan yang timpang?


Dalam dialog yang muncul di kafe kecil, seorang aktivis muda berkata:

“Damai yang dipaksakan tanpa struktur yang adil adalah medan perang lain.”

Refleksi ini mengajak kita memahami: damai, perlucutan senjata, dan normalisasi bukan proses teknis semata—bahkan mungkin lebih persoalan kepercayaan dan kekuatan tawar.


---

10. Penutup: Bisu-nya senjata dan bicara rakyat

Di malam yang sunyi, ketika suara lonceng kembali meredup dan lampu lampu jalan menyala perlahan di Ramallah, kita mendengar bisik-bisik rakyat:

“Kami menolak menyerah senjata bukan karena kami menginginkan perang. Kami menolak karena kami takut damai yang datang lewat menyerah justru menjadi penjajahan yang lebih lembut.”

Angka-angka survei itu — 70 % menolak pelucutan senjata, 80 % di Tepi Barat — bukan sekadar statistik. Ia adalah gema hati jutaan warga yang hidup di bawah pendudukan, yang sehari-hari menyaksikan bahwa senjata bukan sekadar konflik, tetapi kondisi ketidak-setaraan.

Dalam kisah ini, kita belajar bahwa ketika rakyat memilih mempertahankan senjata, mereka sedang memilih untuk mempertahankan hak untuk bicara, hak untuk hidup bebas dari bayang-bayang kekerasan struktural. Jika kita ingin memahami konflik ini secara utuh, maka kita harus ikut mendengar suara yang tak suka menyerah—bukan karena mencari perang, tetapi karena takut akan damai yang merampas kehormatan.

“Damai yang kita cari bukan hanya bebas dari bom, tetapi bebas dari rasa dilecehkan.”

Dan di situlah, senjata menjadi metafora—bukan hanya alat perang, tetapi surat tuntutan: “Kami ingin diakui, kami ingin dibela, kami ingin hidup sebagai manusia yang setara.”
Dalam dialog-dialog malam itu, nampak pesan yang sama:

Bila senjata itu dilepas tanpa keadilan, maka senjata tersebut akan digantikan oleh penjajahan yang lebih sunyi.

Dan mungkin, itulah alasan utama mengapa mayoritas warga Palestina menolak pelucutan senjata Hamas hari ini — bukan karena mereka haus darah, tetapi karena mereka belum menemukan damai yang mau mendengar jeritan mereka.

Makna Turki bagi Gaza dan  Makna Gaza bagi Turki I. Langit yang Retak di Atas Bosporus Sore itu, azan magrib menggema di atas Bo...



Makna Turki bagi Gaza dan  Makna Gaza bagi Turki


I. Langit yang Retak di Atas Bosporus

Sore itu, azan magrib menggema di atas Bosporus. Dari menara-menara masjid yang menatap laut Marmara, gema takbir terdengar seperti doa yang dikirimkan ke arah selatan — ke Gaza.
Sebuah negeri kecil yang kini menjadi nisan bagi puluhan ribu jiwa.

Di ruang kerjanya di Istana Dolmabahçe, Recep Tayyip Erdoğan menatap peta besar Timur Tengah. Di sana, Gaza bukan sekadar titik kecil di pinggir Laut Tengah. Ia adalah luka terbuka di tubuh umat Islam, sekaligus kesempatan strategis bagi Turki.

“Gaza bukan hanya Palestina,” katanya suatu kali. “Ia adalah ujian bagi dunia Islam, dan ujian bagi kami di Turki — apakah kami masih memiliki hati.”

Tapi bagi sebagian pengamat, terutama di Barat, kalimat itu terdengar seperti strategi geopolitik yang disamarkan dalam bahasa moral.

Zvi Bar’el, kolumnis senior Haaretz, menulis tajam:

“Jalan Turki menuju hegemoni Timur Tengah melewati Gaza.”

Ia menuduh Ankara menggunakan penderitaan Gaza sebagai tangga untuk naik ke panggung besar politik regional. Namun bagi rakyat Turki, kalimat Bar’el justru dibaca terbalik:

“Jalan Gaza menuju kebebasan mungkin melewati Turki.”

Dan di antara dua tafsir itulah, sejarah kini menulis bab baru yang pelik — antara amanah dan ambisi, antara iman dan kepentingan, antara politik dan nurani.


---

II. Dari Damaskus ke Gaza: Bayang Ottoman yang Panjang

Sejak jatuhnya Kekhalifahan Ottoman tahun 1924, wilayah Palestina tak pernah lepas dari imaji sejarah Turki. Di masa Sultan Abdulhamid II, Palestina dijaga ketat agar tidak jatuh ke tangan kolonialis Zionis. Namun ketika kekaisaran runtuh, tanah itu lepas — dan luka itu diwariskan ke generasi berikutnya.

Kini, seratus tahun setelahnya, Turki di bawah Erdoğan seperti ingin menegakkan kembali kehormatan yang hilang.
Ia berbicara dengan nada seorang khalifah yang belum diangkat secara resmi, tapi diakui secara batin oleh jutaan Muslim yang kehilangan arah kepemimpinan.

“Jika dunia Arab bungkam terhadap Gaza, maka Turki akan bersuara,” katanya di hadapan parlemen Ankara.
Dan ketika ia menuduh Israel sebagai “negara teroris” dan menyerukan pengadilan internasional, tepuk tangan menggema panjang — bukan hanya dari rakyatnya, tapi dari umat di berbagai negeri Muslim.

Namun di balik tepuk tangan itu, diplomasi Turki berjalan tenang dan terencana.
Ia berbicara langsung dengan Donald Trump, lalu dengan Qatar, Mesir, dan Iran. Ia meyakinkan Hamas untuk menerima draft gencatan senjata. Ia juga menawarkan pasukan penjaga perdamaian multinasional dengan partisipasi Turki.

Israel menolak mentah-mentah.
Tapi seperti yang dicatat Bar’el di Haaretz:

“Penolakan Israel belum tentu berarti apa-apa jika Washington setuju.”

Karena pada akhirnya, di Timur Tengah, yang mengendalikan pasca-perang bukanlah yang menang di medan tempur — melainkan yang menguasai meja rekonsiliasi.


---

III. Gaza sebagai Pintu ke Panggung Baru

Dalam pandangan banyak analis, Gaza adalah laboratorium geopolitik abad ke-21.
Bukan sekadar wilayah perang, tapi ruang kosong yang akan menentukan siapa yang berhak mendefinisikan “keamanan Timur Tengah”.

Turki melihat peluang besar di sini.
Sejak 2011, Ankara aktif di berbagai zona konflik:

Libya, dengan dukungan militer kepada pemerintah Tripoli.

Suriah, dengan operasi lintas perbatasan terhadap milisi Kurdi.

Azerbaijan, dengan dukungan penuh dalam perang Nagorno-Karabakh.

Somalia, dengan pelatihan militer dan investasi infrastruktur.


Kini, Gaza adalah bab berikutnya.
Kehadiran Turki di sana bukan hanya untuk “membantu Palestina”, tetapi untuk menjadi bagian dari arsitektur keamanan regional.

Profesor Galip Dalay dari Chatham House mengatakan,

 “Turki memahami bahwa pengaruh di Timur Tengah tidak hanya berasal dari kekuatan militer, tetapi dari siapa yang hadir ketika debu perang mereda.”

Dan di sinilah Turki ingin berada — di tengah reruntuhan Gaza, bukan sekadar membawa bantuan, tapi membawa legitimasi.


---

IV. Amerika, Israel, dan Dilema Teluk

Masalahnya, jalan ke Gaza tidak hanya melewati perbatasan Rafah, tapi juga koridor Washington.
Hubungan Erdoğan dan Trump dikenal pribadi dan pragmatis. Trump menghormati Erdoğan sebagai pemimpin “keras tapi efektif”. Dan di tengah isolasi internasional terhadap Israel akibat serangan brutalnya, Washington mungkin membutuhkan mediator yang masih bisa bicara dengan kedua belah pihak.

Namun Israel menolak keras.
Netanyahu mengatakan:

 “Kami mengendalikan keamanan kami, dan kami telah menjelaskan bahwa Israel tidak akan menerima pasukan internasional yang dipimpin oleh Turki.”

Pernyataan itu mencerminkan ketakutan lama: bahwa Turki bisa mengembalikan pengaruh Ottoman di jantung dunia Arab, memotong dominasi Israel, dan menggoyahkan keseimbangan yang dijaga Barat selama puluhan tahun.

Sementara itu, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab juga canggung.
Mereka melihat Turki bukan sebagai penyelamat Gaza, tapi sebagai rival ideologis yang ingin mengklaim kepemimpinan dunia Islam dari tangan Arab.

Maka, di balik derita Gaza, terselip persaingan sunyi antara tiga poros:

Israel dan Barat, penjaga status quo.

Turki dan Qatar, poros Islam populis yang pro-Palestina.

Saudi dan UEA, poros konservatif yang berhitung dingin atas setiap langkah.



---

V. Gaza: Simbol atau Strategi?

“Apakah Turki benar-benar tulus membela Gaza?”
Pertanyaan ini menggema di ruang-ruang analisis.

Sebagian menjawab ya:
Turki menampung ribuan pengungsi Palestina, mengirim bantuan medis dan logistik, dan menanggung biaya pendidikan bagi anak-anak Gaza. Lembaga seperti IHH, TIKA, dan Kızılay menjadi wajah kemanusiaan Turki yang paling konsisten.

Namun sebagian lainnya melihat niat politik di baliknya:
Gaza memberi Turki posisi moral yang kuat di dunia Muslim, sekaligus membuka jalan untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.

Profesor Ilan Pappé, sejarawan Israel di University of Exeter, menulis dalam sebuah wawancara:

“Erdoğan memainkan dua peran sekaligus: khalifah moral bagi umat, dan negarawan realistis yang mencari pengaruh geopolitik. Keduanya tidak harus bertentangan, tapi batasnya sangat tipis.”

Di sini, moral dan strategi bertemu — atau berbenturan.
Dan Gaza menjadi panggung tempat keduanya diuji.


---

VI. Ketika Amanah Bertemu Ambisi

Dalam tradisi Islam, kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi amanah.
Namun sejarah Islam juga mencatat, dari Andalusia hingga Baghdad, bahwa amanah tanpa kekuatan hanya melahirkan tangisan, sementara kekuatan tanpa amanah melahirkan kezaliman.

Turki tampak berusaha menyeimbangkan keduanya.
Di satu sisi, ia berbicara tentang “umat” dan “martabat”.
Di sisi lain, ia menandatangani kontrak pembangunan pasca-perang yang bernilai miliaran dolar.

Apakah itu hipokrisi, atau justru realisme?
Seorang diplomat Turki yang tak ingin disebut namanya berkata kepada Middle East Eye:

> “Kami membantu Gaza karena itu benar, tapi kami juga tahu bahwa dunia hanya menghargai mereka yang kuat. Kami harus hadir di meja, bukan di pinggir.”

Kata-kata itu, sederhana tapi jujur, menggambarkan dilema Turki hari ini — mencoba menunaikan amanah tanpa kehilangan posisi strategis.


---

VII. Cermin di Reruntuhan Gaza

Setiap malam, berita dari Gaza memenuhi layar-layar di Istanbul. Gambar anak-anak di antara puing memicu air mata dan amarah. Tapi bagi sebagian warga Turki, gambar-gambar itu juga membangkitkan rasa tanggung jawab yang dalam: seolah Gaza adalah bagian dari rumah mereka sendiri.

“Gaza adalah ujian bagi jiwa kita,” kata seorang ulama Sufi di Bursa. “Jika kita diam ketika darah tertumpah di sana, maka seluruh ibadah kita kehilangan ruh.”

Namun, ujian yang sama juga berlaku bagi pemimpin.
Apakah mereka benar-benar menangis karena Gaza, atau karena kehilangan kesempatan politik di Gaza?

Erdoğan sendiri tampak memahami ambiguitas itu. Dalam sebuah pidato di Konya ia berkata:

“Kami tidak akan menggunakan Gaza untuk membesarkan diri. Kami akan membesarkan diri agar bisa menolong Gaza.”

Kalimat itu terdengar seperti doa yang berusaha menyeimbangkan antara cinta dan kekuasaan.


---

VIII. Gaza, Turki, dan Takdir Sejarah

Dari semua negeri yang bersuara untuk Gaza, hanya Turki yang mampu berbicara keras tanpa sepenuhnya kehilangan akses diplomatik.
Qatar punya uang, tapi kecil dalam militer.
Iran punya milisi, tapi miskin legitimasi internasional.
Mesir punya perbatasan, tapi lemah secara politik.

Hanya Turki yang memiliki ketiganya:
kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kredibilitas moral di mata rakyat Muslim.

Mungkin karena itu, sebagaimana disimpulkan Zvi Bar’el,

“Hegemoni Timur Tengah hari ini tidak lagi tentang siapa yang menaklukkan, tetapi siapa yang mampu hadir di Gaza.”

Bagi Turki, Gaza bukan sekadar titik di peta; ia adalah poros spiritual dan politik yang bisa menentukan arah baru dunia Islam setelah satu abad terpecah.


---

IX. Epilog: Doa yang Menjadi Strategi

Di malam yang dingin di Istanbul, ribuan orang berkumpul di depan Masjid Hagia Sophia. Mereka menyalakan lilin dan mengibarkan bendera Palestina. Di antara mereka, seorang anak kecil memegang papan bertuliskan:

“Dari Turki untuk Gaza — bukan karena politik, tapi karena iman.”

Mungkin di sanalah letak kebenaran yang tak bisa dijelaskan oleh teori geopolitik mana pun: bahwa di balik strategi, masih ada air mata; di balik diplomasi, masih ada doa; dan di balik ambisi, masih ada amanah.

Turki bagi Gaza bukan hanya tentang siapa yang akan membangun pelabuhan baru atau siapa yang mengatur gencatan senjata.
Turki bagi Gaza adalah pertanyaan tentang apa arti kekuasaan ketika dunia kehilangan nurani, dan apa arti iman ketika ia bertemu dengan strategi.


---

“Gaza tidak butuh penyelamat,” tulis seorang jurnalis muda di Istanbul.
“Ia butuh saudara yang kuat — dan semoga Turki benar-benar memilih menjadi itu.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (1) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (14) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)