Makna Turki bagi Gaza dan Makna Gaza bagi Turki
I. Langit yang Retak di Atas Bosporus
Sore itu, azan magrib menggema di atas Bosporus. Dari menara-menara masjid yang menatap laut Marmara, gema takbir terdengar seperti doa yang dikirimkan ke arah selatan — ke Gaza.
Sebuah negeri kecil yang kini menjadi nisan bagi puluhan ribu jiwa.
Di ruang kerjanya di Istana Dolmabahçe, Recep Tayyip Erdoğan menatap peta besar Timur Tengah. Di sana, Gaza bukan sekadar titik kecil di pinggir Laut Tengah. Ia adalah luka terbuka di tubuh umat Islam, sekaligus kesempatan strategis bagi Turki.
“Gaza bukan hanya Palestina,” katanya suatu kali. “Ia adalah ujian bagi dunia Islam, dan ujian bagi kami di Turki — apakah kami masih memiliki hati.”
Tapi bagi sebagian pengamat, terutama di Barat, kalimat itu terdengar seperti strategi geopolitik yang disamarkan dalam bahasa moral.
Zvi Bar’el, kolumnis senior Haaretz, menulis tajam:
“Jalan Turki menuju hegemoni Timur Tengah melewati Gaza.”
Ia menuduh Ankara menggunakan penderitaan Gaza sebagai tangga untuk naik ke panggung besar politik regional. Namun bagi rakyat Turki, kalimat Bar’el justru dibaca terbalik:
“Jalan Gaza menuju kebebasan mungkin melewati Turki.”
Dan di antara dua tafsir itulah, sejarah kini menulis bab baru yang pelik — antara amanah dan ambisi, antara iman dan kepentingan, antara politik dan nurani.
---
II. Dari Damaskus ke Gaza: Bayang Ottoman yang Panjang
Sejak jatuhnya Kekhalifahan Ottoman tahun 1924, wilayah Palestina tak pernah lepas dari imaji sejarah Turki. Di masa Sultan Abdulhamid II, Palestina dijaga ketat agar tidak jatuh ke tangan kolonialis Zionis. Namun ketika kekaisaran runtuh, tanah itu lepas — dan luka itu diwariskan ke generasi berikutnya.
Kini, seratus tahun setelahnya, Turki di bawah ErdoÄŸan seperti ingin menegakkan kembali kehormatan yang hilang.
Ia berbicara dengan nada seorang khalifah yang belum diangkat secara resmi, tapi diakui secara batin oleh jutaan Muslim yang kehilangan arah kepemimpinan.
“Jika dunia Arab bungkam terhadap Gaza, maka Turki akan bersuara,” katanya di hadapan parlemen Ankara.
Dan ketika ia menuduh Israel sebagai “negara teroris” dan menyerukan pengadilan internasional, tepuk tangan menggema panjang — bukan hanya dari rakyatnya, tapi dari umat di berbagai negeri Muslim.
Namun di balik tepuk tangan itu, diplomasi Turki berjalan tenang dan terencana.
Ia berbicara langsung dengan Donald Trump, lalu dengan Qatar, Mesir, dan Iran. Ia meyakinkan Hamas untuk menerima draft gencatan senjata. Ia juga menawarkan pasukan penjaga perdamaian multinasional dengan partisipasi Turki.
Israel menolak mentah-mentah.
Tapi seperti yang dicatat Bar’el di Haaretz:
“Penolakan Israel belum tentu berarti apa-apa jika Washington setuju.”
Karena pada akhirnya, di Timur Tengah, yang mengendalikan pasca-perang bukanlah yang menang di medan tempur — melainkan yang menguasai meja rekonsiliasi.
---
III. Gaza sebagai Pintu ke Panggung Baru
Dalam pandangan banyak analis, Gaza adalah laboratorium geopolitik abad ke-21.
Bukan sekadar wilayah perang, tapi ruang kosong yang akan menentukan siapa yang berhak mendefinisikan “keamanan Timur Tengah”.
Turki melihat peluang besar di sini.
Sejak 2011, Ankara aktif di berbagai zona konflik:
Libya, dengan dukungan militer kepada pemerintah Tripoli.
Suriah, dengan operasi lintas perbatasan terhadap milisi Kurdi.
Azerbaijan, dengan dukungan penuh dalam perang Nagorno-Karabakh.
Somalia, dengan pelatihan militer dan investasi infrastruktur.
Kini, Gaza adalah bab berikutnya.
Kehadiran Turki di sana bukan hanya untuk “membantu Palestina”, tetapi untuk menjadi bagian dari arsitektur keamanan regional.
Profesor Galip Dalay dari Chatham House mengatakan,
“Turki memahami bahwa pengaruh di Timur Tengah tidak hanya berasal dari kekuatan militer, tetapi dari siapa yang hadir ketika debu perang mereda.”
Dan di sinilah Turki ingin berada — di tengah reruntuhan Gaza, bukan sekadar membawa bantuan, tapi membawa legitimasi.
---
IV. Amerika, Israel, dan Dilema Teluk
Masalahnya, jalan ke Gaza tidak hanya melewati perbatasan Rafah, tapi juga koridor Washington.
Hubungan ErdoÄŸan dan Trump dikenal pribadi dan pragmatis. Trump menghormati ErdoÄŸan sebagai pemimpin “keras tapi efektif”. Dan di tengah isolasi internasional terhadap Israel akibat serangan brutalnya, Washington mungkin membutuhkan mediator yang masih bisa bicara dengan kedua belah pihak.
Namun Israel menolak keras.
Netanyahu mengatakan:
“Kami mengendalikan keamanan kami, dan kami telah menjelaskan bahwa Israel tidak akan menerima pasukan internasional yang dipimpin oleh Turki.”
Pernyataan itu mencerminkan ketakutan lama: bahwa Turki bisa mengembalikan pengaruh Ottoman di jantung dunia Arab, memotong dominasi Israel, dan menggoyahkan keseimbangan yang dijaga Barat selama puluhan tahun.
Sementara itu, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab juga canggung.
Mereka melihat Turki bukan sebagai penyelamat Gaza, tapi sebagai rival ideologis yang ingin mengklaim kepemimpinan dunia Islam dari tangan Arab.
Maka, di balik derita Gaza, terselip persaingan sunyi antara tiga poros:
Israel dan Barat, penjaga status quo.
Turki dan Qatar, poros Islam populis yang pro-Palestina.
Saudi dan UEA, poros konservatif yang berhitung dingin atas setiap langkah.
---
V. Gaza: Simbol atau Strategi?
“Apakah Turki benar-benar tulus membela Gaza?”
Pertanyaan ini menggema di ruang-ruang analisis.
Sebagian menjawab ya:
Turki menampung ribuan pengungsi Palestina, mengirim bantuan medis dan logistik, dan menanggung biaya pendidikan bagi anak-anak Gaza. Lembaga seperti IHH, TIKA, dan Kızılay menjadi wajah kemanusiaan Turki yang paling konsisten.
Namun sebagian lainnya melihat niat politik di baliknya:
Gaza memberi Turki posisi moral yang kuat di dunia Muslim, sekaligus membuka jalan untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.
Profesor Ilan Pappé, sejarawan Israel di University of Exeter, menulis dalam sebuah wawancara:
“ErdoÄŸan memainkan dua peran sekaligus: khalifah moral bagi umat, dan negarawan realistis yang mencari pengaruh geopolitik. Keduanya tidak harus bertentangan, tapi batasnya sangat tipis.”
Di sini, moral dan strategi bertemu — atau berbenturan.
Dan Gaza menjadi panggung tempat keduanya diuji.
---
VI. Ketika Amanah Bertemu Ambisi
Dalam tradisi Islam, kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi amanah.
Namun sejarah Islam juga mencatat, dari Andalusia hingga Baghdad, bahwa amanah tanpa kekuatan hanya melahirkan tangisan, sementara kekuatan tanpa amanah melahirkan kezaliman.
Turki tampak berusaha menyeimbangkan keduanya.
Di satu sisi, ia berbicara tentang “umat” dan “martabat”.
Di sisi lain, ia menandatangani kontrak pembangunan pasca-perang yang bernilai miliaran dolar.
Apakah itu hipokrisi, atau justru realisme?
Seorang diplomat Turki yang tak ingin disebut namanya berkata kepada Middle East Eye:
> “Kami membantu Gaza karena itu benar, tapi kami juga tahu bahwa dunia hanya menghargai mereka yang kuat. Kami harus hadir di meja, bukan di pinggir.”
Kata-kata itu, sederhana tapi jujur, menggambarkan dilema Turki hari ini — mencoba menunaikan amanah tanpa kehilangan posisi strategis.
---
VII. Cermin di Reruntuhan Gaza
Setiap malam, berita dari Gaza memenuhi layar-layar di Istanbul. Gambar anak-anak di antara puing memicu air mata dan amarah. Tapi bagi sebagian warga Turki, gambar-gambar itu juga membangkitkan rasa tanggung jawab yang dalam: seolah Gaza adalah bagian dari rumah mereka sendiri.
“Gaza adalah ujian bagi jiwa kita,” kata seorang ulama Sufi di Bursa. “Jika kita diam ketika darah tertumpah di sana, maka seluruh ibadah kita kehilangan ruh.”
Namun, ujian yang sama juga berlaku bagi pemimpin.
Apakah mereka benar-benar menangis karena Gaza, atau karena kehilangan kesempatan politik di Gaza?
ErdoÄŸan sendiri tampak memahami ambiguitas itu. Dalam sebuah pidato di Konya ia berkata:
“Kami tidak akan menggunakan Gaza untuk membesarkan diri. Kami akan membesarkan diri agar bisa menolong Gaza.”
Kalimat itu terdengar seperti doa yang berusaha menyeimbangkan antara cinta dan kekuasaan.
---
VIII. Gaza, Turki, dan Takdir Sejarah
Dari semua negeri yang bersuara untuk Gaza, hanya Turki yang mampu berbicara keras tanpa sepenuhnya kehilangan akses diplomatik.
Qatar punya uang, tapi kecil dalam militer.
Iran punya milisi, tapi miskin legitimasi internasional.
Mesir punya perbatasan, tapi lemah secara politik.
Hanya Turki yang memiliki ketiganya:
kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kredibilitas moral di mata rakyat Muslim.
Mungkin karena itu, sebagaimana disimpulkan Zvi Bar’el,
“Hegemoni Timur Tengah hari ini tidak lagi tentang siapa yang menaklukkan, tetapi siapa yang mampu hadir di Gaza.”
Bagi Turki, Gaza bukan sekadar titik di peta; ia adalah poros spiritual dan politik yang bisa menentukan arah baru dunia Islam setelah satu abad terpecah.
---
IX. Epilog: Doa yang Menjadi Strategi
Di malam yang dingin di Istanbul, ribuan orang berkumpul di depan Masjid Hagia Sophia. Mereka menyalakan lilin dan mengibarkan bendera Palestina. Di antara mereka, seorang anak kecil memegang papan bertuliskan:
“Dari Turki untuk Gaza — bukan karena politik, tapi karena iman.”
Mungkin di sanalah letak kebenaran yang tak bisa dijelaskan oleh teori geopolitik mana pun: bahwa di balik strategi, masih ada air mata; di balik diplomasi, masih ada doa; dan di balik ambisi, masih ada amanah.
Turki bagi Gaza bukan hanya tentang siapa yang akan membangun pelabuhan baru atau siapa yang mengatur gencatan senjata.
Turki bagi Gaza adalah pertanyaan tentang apa arti kekuasaan ketika dunia kehilangan nurani, dan apa arti iman ketika ia bertemu dengan strategi.
---
“Gaza tidak butuh penyelamat,” tulis seorang jurnalis muda di Istanbul.
“Ia butuh saudara yang kuat — dan semoga Turki benar-benar memilih menjadi itu.”
0 komentar: