Firaun yang Kokoh Saja Tak Bisa, Apalagi Netanyahu yang Hancur di Dalam?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Kekuasaan bisa terlihat kokoh dari luar—dikelilingi pasukan, dipuja para elite, dilindungi harta dan propaganda. Tapi sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang menolak kebenaran, berakhir dalam kehinaan. Firaun adalah lambang keangkuhan absolut. Ia bukan hanya raja Mesir, tapi simbol sistem penindasan yang sempurna—di mana militer, ekonomi, birokrasi, dan media tunduk pada satu kehendak: menolak wahyu.
Namun, bahkan kekuatan sebesar itu pun tak sanggup membungkam kebenaran yang dibawa Nabi Musa. Maka hari ini, ketika Benjamin Netanyahu berkuasa dengan militer tercanggih, dukungan dunia Barat, dan parlemen penuh loyalis, pertanyaannya sederhana: jika Firaun yang kokoh saja tak mampu mengalahkan Nabi Musa, bagaimana mungkin Netanyahu yang hancur di dalam bisa menghancurkan Gaza?
Kekuasaan Firaun: Oligarki yang Menjadi Mesin Penindasan
Firaun tak berdiri sendiri. Ia dikelilingi lingkaran oligarki:
Haman, sang teknokrat kekuasaan, mengendalikan proyek besar dan pengaruh struktural.
Qarun, elit ekonomi dan simbol kerakusan harta, menopang kekuasaan dengan kekayaan.
Ahli sihir, pengendali opini publik, mengubah kenyataan menjadi ilusi.
Pejabat istana, birokrat patuh yang lebih takut kehilangan jabatan daripada membela kebenaran.
Ketika Nabi Musa datang dengan risalah Tauhid dan pembebasan Bani Israil, seluruh sistem ini dikerahkan untuk menindasnya. Firaun menggiring rakyat dengan narasi manipulatif:
“Sesungguhnya dia (Musa) adalah penyihir ulung, yang ingin mengeluarkan kalian dari negeri ini dengan sihirnya. Maka apa yang kalian perintahkan?” (QS. Asy-Syu‘arā’: 35-36)
Satu narasi dibangun: Musa adalah ancaman bagi stabilitas, agama, dan bangsa.
Dakwah Musa di Tengah Istana Tirani
Musa berdakwah bukan di pinggir jalan, tapi di tengah istana. Ia menatap langsung ke mata penguasa dan berkata:
“Sampaikanlah kepada Firaun: Sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 16)
Tapi bukan argumen yang dijawab Firaun—melainkan ancaman. Ketika tongkat Musa berubah menjadi ular besar, Firaun memanggil seluruh ahli sihir untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya.
Pertarungan itu terjadi di depan publik. Tapi ketika Musa mengalahkan mereka, para ahli sihir justru sujud:
“Kami beriman kepada Tuhan Musa dan Harun.” (QS. Thaha: 70)
Firaun pun murka. Kekalahan logika dan spiritual ini dibalas dengan kekerasan. Ia menyiksa mereka yang percaya. Tapi iman sudah menembus ilusi.
Suara Nurani dari Dalam Istana
Salah satu dari kalangan istana, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “lelaki mukmin dari keluarga Firaun,” memberanikan diri memberi kritik:
“Apakah kamu akan membunuh seseorang hanya karena dia berkata ‘Tuhanku adalah Allah’? Jika ia berdusta, dosanya atasnya. Tapi jika ia benar, bukankah kita yang binasa?” (QS. Ghafir: 28)
Namun Firaun tuli terhadap kritik. Ia tetap mengejar Musa, hingga akhirnya ia sendiri—bukan utusannya—memimpin pengejaran ke Laut Merah. Dan di sanalah dia tenggelam.
Netanyahu: Kuat dari Luar, Retak dari Dalam
Netanyahu hari ini juga mengendalikan sistem kekuasaan:
IDF sebagai Haman: kekuatan militer supercanggih
Elite ekonomi dan miliarder Zionis sebagai Qarun
Media dan propaganda global sebagai ahli sihir modern
Koalisi sayap kanan dan ultra-Ortodoks sebagai pejabat istana
Tapi semua itu kini retak. Sejak 7 Oktober 2023, Netanyahu kehilangan kepercayaan para jenderalnya. Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengkritik keras kebijakan perang yang tak jelas. Kepala Staf IDF, Herzi Halevi, menyuarakan kegelisahan: tentara bertempur tanpa arah politik.
Gantz dan Eisenkot mundur dari kabinet perang. IDF kehilangan semangat. Anggaran runtuh. Moral menurun. Peperangan tanpa visi berubah menjadi konflik internal.
Jika Firaun Saja Gagal, Bagaimana dengan Netanyahu?
Firaun gagal menghadapi Musa—bukan karena Musa punya kekuatan fisik yang lebih besar, tetapi karena Musa membawa kebenaran yang tak bisa dibungkam. Para ahli sihir, pejabat istana, bahkan sebagian rakyat Mesir, menyaksikan bahwa Musa tak bisa dikalahkan dengan narasi kebohongan.
Hari ini, Netanyahu pun dihadapkan pada kebenaran yang tak bisa dikalahkan: perlawanan Gaza bukan sekadar perang fisik, tapi perang moral. Ketika Netanyahu menyalahkan tentara, menolak kritik, dan terus memaksakan kehendaknya, ia sedang mengulangi tragedi Firaun: mengejar musuh sampai ke laut, padahal sudah diperingatkan oleh suara nurani dari dalam.
Penutup:
Kekuasaan Firaun runtuh bukan karena rakyat memberontak, tapi karena kebenaran yang ditekan terlalu lama akhirnya bangkit dari tempat yang tak disangka: dari istana, dari ahli sihir, dari laut.
Netanyahu pun mungkin akan tenggelam bukan karena roket dari Gaza, tapi karena ia menolak mendengar suara jenderalnya, menterinya, rakyatnya, bahkan sejarah.
“Maka pada hari itu, tak ada penolong bagi Firaun, dan ia termasuk orang-orang yang binasa.” (QS. Al-Qashash: 41)
0 komentar: