Ketika Militer Israel Tak Lagi Patuh Buta
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Perang bukan hanya ujian kekuatan, tapi juga ujian kejujuran antar mereka yang memegang senjata dan mereka yang memberi perintah.”
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, perang tak hanya berkecamuk di Gaza, tetapi juga di ruang-ruang tertutup kabinet Israel. Bukan ledakan roket atau peluncuran drone yang paling menentukan arah masa depan Israel, melainkan ledakan konflik internal—di antara Netanyahu, petinggi militer, dan Menteri Pertahanan. Dalam perang yang panjang, bukan hanya musuh eksternal yang menggerogoti stabilitas negara, tetapi juga krisis kepercayaan dari dalam.
Titik Ledak: Ketika Realitas Menghancurkan Retorika
Awalnya, Netanyahu tampak seperti pemimpin yang menemukan momentum untuk mempersatukan bangsa. Tapi cepat sekali realitas membalikkan narasi. Pihak militer—yang sejak awal menyadari beratnya medan Gaza—tidak diberi arah strategis yang jelas. Herzi Halevi, Kepala Staf IDF, menyampaikan bahwa pasukan mampu menghancurkan Hamas secara taktis, tetapi tak bisa bertahan tanpa visi politik jangka panjang.
Netanyahu, sebaliknya, menunda-nunda keputusan tentang "hari setelah" Hamas tumbang. Ia menolak setiap upaya membahas masa depan Gaza, dan itu memicu kekesalan terbuka dari Menhan Yoav Gallant.
“Tanpa strategi politik, kemenangan militer tidak akan berarti.” — Yoav Gallant, Maret 2024.
Kutipan itu bukan sekadar keluhan birokratis. Ia adalah peringatan dini atas kekacauan yang kini nyata: IDF kelelahan, target kabur, moral menurun, dan dunia internasional kian kritis.
Retakan Demi Retakan: Dari Kritik Hingga Pemutusan Dukungan
Kritik Gallant bukan hal baru. Pada 2023, ia pernah dipecat Netanyahu gara-gara menentang reformasi yudisial yang kontroversial. Kini, setelah tragedi 7 Oktober, Gallant kembali bersuara. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.
Herzi Halevi memberi tekanan moral dari militer: tentara bukan pion politik, dan rakyat menuntut hasil, bukan propaganda.
Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, dua mantan petinggi militer dalam kabinet perang, akhirnya mundur pada Juni 2024. Mereka kecewa: tidak ada strategi, tidak ada integritas.
Sementara itu, Netanyahu terus menjaga koalisinya dari keruntuhan—bukan dengan visi, tapi dengan kalkulasi: menjaga loyalitas ultra-Ortodoks, memanjakan sayap kanan ekstrem, dan menunda keputusan-keputusan strategis yang menentukan masa depan Gaza.
Politik vs Profesionalisme: Militer Menolak Jadi Kambing Hitam
Salah satu sumber utama konflik adalah upaya Netanyahu mengalihkan kesalahan awal perang ke IDF dan intelijen. Tapi tentara dan dinas keamanan tidak tinggal diam. Laporan demi laporan bocor ke media: betapa peringatan intelijen diabaikan, betapa Netanyahu sibuk dengan manuver politik internal saat bahaya sedang mengintai dari pagar Gaza.
IDF merasa dimanfaatkan—disuruh menang perang, tapi tanpa peta jalan. Disuruh bertempur, tapi tak diberi tahu untuk apa. Dan ketika tekanan internasional datang, justru mereka yang disalahkan atas kegagalan taktis dan “tindakan tidak proporsional”.
Ketegangan Memuncak: Kabinet Perang Ambruk
Puncaknya terjadi pada 9 Juni 2024, saat Gantz dan Eisenkot mundur dari kabinet perang. Keputusan ini mengirim pesan ke seluruh dunia: kabinet Netanyahu bukan tempat rasionalitas, melainkan arena penundaan dan pelarian tanggung jawab.
Herzi Halevi tetap bertahan, tapi dengan posisi kritis. Yoav Gallant masih Menhan, tapi sering mengabaikan garis perintah Netanyahu. Ini bukan lagi pemerintahan yang solid—ini adalah kapal yang para awaknya tak sepakat ke mana harus berlayar.
Mengapa Netanyahu Bertahan?
Karena politik.
Koalisi Netanyahu bergantung pada dukungan ultra-Ortodoks dan blok sayap kanan. Melepas Gaza ke otoritas Palestina akan memicu perpecahan koalisi. Memaksa anak-anak Haredi ikut wajib militer juga bisa menghancurkan pemerintahan.
Netanyahu memegang kekuasaan bukan karena stabilitas, tetapi karena keberaniannya menunda ledakan-ledakan politik. Ia bertahan, tapi tidak memimpin.
Bila Perang Berbalik ke Dalam
Konflik internal antara Netanyahu dan para petinggi pertahanan menunjukkan satu hal: militer tidak akan diam saat diseret dalam kebijakan buta. Dalam sejarah Israel, IDF selalu menjadi pilar kesatuan. Tapi kali ini, bahkan pilar itu mulai goyah.
Israel kini bukan hanya menghadapi Hamas. Ia menghadapi dilema moral, dilema strategis, dan dilema kepercayaan. Dan jika Netanyahu terus menolak mendengar suara dari mereka yang memahami perang lebih baik darinya—maka mungkin kekalahan Israel bukan datang dari Gaza, tapi dari kantor-kantor kekuasaan di Yerusalem sendiri.
0 komentar: