Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, ketika melihat dirinya cukup.”
(QS. Al-‘Alaq: 6–7)
Kekuasaan tak runtuh karena musuh dari luar. Ia hancur karena penyakit dari dalam: kerakusan, kesombongan, dan obsesi untuk menghancurkan musuh tanpa sisa. Sepanjang sejarah, tirani tak pernah lama. Bukan karena lemahnya senjata, tapi karena terlalu percaya diri pada senjata itu sendiri.
Dua tokoh dalam sejarah dan masa kini bisa menjadi cermin: Firaun, penguasa Mesir kuno, dan Netanyahu, pemimpin Israel modern. Keduanya berdiri di puncak kuasa, mengendalikan kekuatan militer, ekonomi, dan media. Tapi keduanya juga memperlihatkan gejala klasik dari keruntuhan: menguatkan kendali, tapi kehilangan kepercayaan; memenjarakan perbedaan, tapi dibelah oleh retakan internal.
Kerakusan Melemahkan Kekuasaan
Firaun memonopoli sumber daya Mesir, dibantu Qarun, si penguasa harta. Tapi justru kerakusan ini menciptakan ketimpangan sosial, ketakutan struktural, dan kemarahan rakyat. Kekuasaan yang hanya mengalir ke atas akan membusuk di atas, lalu retak ke bawah.
Netanyahu juga dibekingi oleh para oligark Yahudi global, elite ekonomi, dan perusahaan pertahanan. Tapi Gaza yang diratakan hingga ke fondasinya justru membuat Israel kehilangan simpati dunia, menguras anggaran, dan melemahkan ekonomi domestik. Kekuasaan yang rakus membakar apa saja—termasuk fondasinya sendiri.
Ketika kekuasaan mengubah semua menjadi miliknya, ia tak menyisakan tempat untuk menopang dirinya.
Kesombongan Menjadi Lubang Pertama di Dinding Kekuasaan
Firaun berkata:
“Akulah tuhan kalian yang tertinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)
Ia percaya kekuasaannya tak terbatas. Tapi justru karena terlalu yakin bahwa tak ada yang bisa mengalahkannya, ia menolak semua kritik. Bahkan ketika pejabat istana sendiri mengingatkan, ia tetap mengejar Musa sampai ke laut.
Netanyahu berkata:
“Tidak akan ada kekuasaan Palestina di Gaza selama saya hidup.” (2024)
Ia menolak semua usulan pasca-perang, bahkan dari Menteri Pertahanannya. Ia mengecam jenderal-jenderalnya, membungkam peringatan para analis. Tapi dari dalam sistemnya sendiri, kabinet perang runtuh, IDF bersuara, rakyat muak. Kesombongan tidak membuat langit tunduk—ia hanya membuat lantai tempat kita berdiri retak pelan-pelan.
Kesombongan itu seperti membangun istana megah di atas pasir: megah, tapi tak bertahan.
Penghancuran Total Justru Memunculkan Kekuatan Baru
Firaun ingin menghancurkan Musa, bahkan membunuh seluruh bayi Bani Israil demi mematikan benih kenabian. Tapi yang ia basmi justru melahirkan gelombang keimanan. Tongkat Musa mengalahkan sihir. Laut pun memilih Musa.
Netanyahu ingin menghancurkan Hamas hingga ke akar. Tapi setelah berbulan-bulan menggempur, dukungan terhadap Hamas di Gaza meningkat, resistensi tak padam, dan generasi baru pejuang lahir di bawah reruntuhan. Upaya mematikan justru melahirkan keyakinan.
Mereka yang menindas kebenaran dengan kekerasan, justru memberi cahaya baru bagi kebenaran itu untuk bersinar.
Diktator Tidak Pernah Menguatkan Kekuasaan
Firaun bukan hanya penguasa; ia adalah diktator spiritual, politis, dan simbolik. Tapi kekuasaan yang berdiri tanpa koreksi tak akan lama. Bahkan sihir pun tak bisa menutupi ketelanjangan otoritas. Ketika para ahli sihir sujud kepada Musa, dunia tahu bahwa Firaun bukan siapa-siapa.
Netanyahu bukan diktator secara formal. Tapi dalam praktik, ia bertindak tanpa mendengar. Ia abaikan nasihat, usulan, bahkan kritik internal. Ia bertahan bukan karena visi, tapi karena kekacauan koalisinya lebih takut jika ia tumbang.
Seorang diktator tak pernah kuat karena sendirinya. Ia hanya terlihat kuat karena semua orang takut bicara.
Mengapa Kekuasaan Besar Justru Runtuh dari Dalam?
Karena kekuasaan adalah ujian, bukan hak milik.
Karena kekuasaan tanpa moral hanya menciptakan kehancuran yang angkuh.
Karena saat semua orang takut pada pemimpin, tak ada yang berani berkata: “Itu jalan yang salah.”
Firaun tenggelam bukan karena Musa lebih kuat, tapi karena ia menolak peringatan dari dalam.
Netanyahu sedang digiring oleh sejarah ke jalan yang sama: menolak kritik, menyalahkan bawahan, dan menutup diri dari solusi.
Jika sejarah berulang, bukan Hamas yang akan menjatuhkan Netanyahu. Melainkan Netanyahu sendiri, yang menolak mendengar suara nurani dari dalam sistemnya.
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka.” (QS. Al-Qashash: 41)
0 komentar: