Pemilih Muda Yahudi Tak Setia Lagi pada Calon Pro-Israel yang Kental di Pemilihan Wali Kota New York
Gaza yang Mengetuk Jendela Manhattan
Apakah mungkin sebuah kota megah seperti New York—dengan lampu Times Square, deretan gedung pencakar langit, dan denyut bisnis Wall Street—ditentukan masa depannya oleh perang di Gaza, ribuan kilometer jauhnya?
Pertanyaan itu terdengar ganjil, tapi kenyataannya hari ini jawabannya: ya.
Ketika bom meledak di Rafah, ketika rumah-rumah Gaza hancur menjadi debu, getarannya terasa sampai ke jantung Manhattan. Tidak lagi sebagai berita luar negeri yang jauh, melainkan sebagai cermin moral bagi warga New York: apakah mereka masih bisa mendukung politisi yang membisu, atau bahkan membela, penindasan itu?
Di panggung inilah tiga tokoh tampil: Eric Adams, wali kota petahana yang tersungkur sebelum bertarung; Andrew Cuomo, mantan gubernur yang mencoba bangkit dari kubangan skandal; dan Zohran Mamdani, politisi muda progresif yang membawa suara Gaza ke jantung Bronx.
Ironi sejarah pun lahir: Gaza yang porak-poranda justru memiliki gema di kota paling berkuasa di Amerika.
---
Eric Adams: Sang Petahana yang Tersungkur
Eric Adams pernah dipandang sebagai wajah baru New York: polisi kulit hitam yang berhasil menurunkan angka kriminalitas, menggerakkan ekonomi pasca-pandemi, dan membangun jembatan dengan komunitas Yahudi. Ia bahkan hadir di sinagoga, memimpin doa, dan bersua dengan Netanyahu di sela Sidang Umum PBB.
“Terima kasih telah membela dunia Barat dan cara hidup kami,” ucapnya kepada Netanyahu.
Kata-kata itu, yang dulunya mungkin dianggap aman secara politik, kini menjadi bumerang. Publik muda New York—khususnya generasi milenial dan Gen-Z—tak lagi memandang Israel sebagai “benteng demokrasi.” Sebaliknya, mereka melihat gambar anak-anak Gaza yang terbaring tanpa rumah, lalu bertanya: mengapa wali kota mereka begitu akrab dengan seorang pemimpin yang dituduh melakukan genosida?
Profesor David Remnick dari Columbia University menulis:
> “Di New York, menjadi pro-Israel dulunya aman secara politik. Kini, itu bisa menjadi liabilitas, terutama bagi kandidat yang ingin memenangkan hati generasi muda.”
Adams memang tersandung kasus korupsi, tapi yang lebih menghantam citranya adalah sikapnya yang seolah menutup mata dari penderitaan Palestina. Ia tumbang bukan hanya karena hukum, tapi juga karena moralitas politik yang berubah di mata generasi baru.
---
Andrew Cuomo: Kebangkitan Sang Moderat
Di sisi lain, muncullah Andrew Cuomo. Politisi kawakan ini pernah menjadi bintang Demokrat, bahkan disebut-sebut sebagai calon presiden. Namun ia tumbang akibat tuduhan pelecehan seksual. Kini, ia kembali mencoba peruntungan.
Cuomo tidak sefanatik Adams dalam membela Israel. Ia mengambil posisi moderat: tetap pro-Israel, tapi sesekali mengkritik Netanyahu. “New York menghadapi kekuatan ekstremis yang ingin menghancurkan kota kita,” katanya, menyindir Mamdani.
Bagi komunitas Yahudi konservatif, Cuomo adalah pilihan aman. Ia tidak sepenuh hati mendukung Gaza, tapi juga tidak sekeras Adams yang menempel ke Netanyahu. Ruth Wisse, pakar Yahudi-Amerika, menyebut strategi semacam ini sebagai politik sandaran:
> “Ketika tokoh pro-Israel kehilangan legitimasi, komunitas Yahudi akan mencari figur moderat, yang setidaknya bisa menjamin keamanan mereka.”
Cuomo menawarkan stabilitas, bukan perubahan. Ia tampil seperti jembatan tua: tidak indah, tidak kokoh seperti dulu, tapi masih bisa dilalui oleh mereka yang takut pada arus deras perubahan.
---
Zohran Mamdani: Suara Gaza di Bronx
Lalu muncullah Zohran Mamdani. Politisi muda keturunan India-Uganda ini adalah sosok yang memecah pakem. Ia berbicara lantang:
“Netanyahu adalah seorang pelaku genosida. Jika ia datang ke New York, saya akan menangkapnya.”
Tentu, ia tahu wali kota tidak memiliki kewenangan semacam itu. Tapi kalimat itu lebih dari sekadar retorika: ia adalah deklarasi moral. Kata-katanya menggema di Brooklyn, Queens, dan Bronx—wilayah yang dipenuhi mahasiswa, pekerja imigran, dan komunitas muda Yahudi progresif yang sudah lama muak pada politik lama.
Profesor Noura Erakat, pakar hukum internasional, menyebut fenomena Mamdani sebagai radikalisasi moral:
> “Ketika institusi gagal menegakkan keadilan bagi Palestina, lahirlah politisi muda yang menjadikan Gaza bukan isu luar negeri, tapi isu moral kota mereka sendiri.”
Mamdani bukan hanya politisi. Ia adalah simbol generasi baru yang berani mengatakan: “cukup sudah.”
---
Komunitas Yahudi: Di Persimpangan Jalan
New York adalah rumah bagi komunitas Yahudi terbesar di dunia di luar Israel. Dari Wall Street hingga Broadway, pengaruh mereka begitu kuat. Tak heran bila sikap terhadap Israel selalu menjadi barometer politik kota ini.
Namun kini, peta berubah. Adams dicintai komunitas Yahudi konservatif, tapi generasi mudanya justru mendukung Mamdani. Survei menunjukkan paradoks: 37% Yahudi mendukung Mamdani, meski lebih dari separuh menyebutnya “antisemit.”
Bagaimana mungkin?
Sosiolog Jonathan Sarna dari Brandeis University menjelaskan:
> “Komunitas Yahudi bukan monolit. Generasi muda Yahudi Amerika semakin kritis terhadap Israel. Mereka tumbuh dengan nilai keadilan sosial, sehingga sulit menerima kebijakan Netanyahu. Dukungan mereka pada Mamdani adalah cermin perpecahan internal Yahudi sendiri.”
Di sinagoga-sinagoga progresif Brooklyn, doa bagi Yerusalem kini dibacakan dengan air mata untuk Gaza. Di ruang-ruang kelas Columbia dan NYU, mahasiswa Yahudi bergabung dengan Muslim dan Kristen dalam aksi solidaritas. Inilah wajah baru diaspora Yahudi: tidak lagi bersatu dalam pro-Israelisme, tapi terpecah oleh pertanyaan moral.
---
Dari Gaza ke New York: Cermin Dunia
Mari kita berhenti sejenak.
Bagaimana mungkin sebuah kota sebesar New York—dengan semua masalah lokalnya: kejahatan, perumahan, transportasi—terbelah oleh perang di tanah jauh bernama Gaza?
Jawabannya sederhana: karena dunia kini saling terhubung. Setiap bom di Rafah bergema di Manhattan. Setiap pidato Netanyahu di PBB menjadi perdebatan di kafe-kafe Brooklyn. Setiap video anak Palestina yang menangis, viral di TikTok dan Instagram anak muda Yahudi Amerika.
Profesor Noam Chomsky pernah mengingatkan:
> “Kebenaran tentang Palestina akan terus ditekan. Tapi di era digital, kebenaran itu menembus batas, bahkan ke ruang-ruang yang paling keras menolak mendengarnya.”
New York pun menjadi cermin dunia: sebuah kota di mana pertempuran moral global hadir di ballot box pemilihan lokal.
---
Epilog: Siapa yang Akan Menang?
Apakah Mamdani, dengan idealisme tajamnya, mampu benar-benar menaklukkan kursi wali kota?
Apakah Cuomo, dengan pengalamannya, bisa menjadi penengah?
Ataukah bayangan Adams masih akan menghantui, meski ia telah tersungkur?
Jawaban itu belum terungkap. Tapi satu hal pasti: Pemilihan Wali Kota New York 2025 bukan lagi sekadar soal tata kota, kriminalitas, atau ekonomi. Ia adalah bab kecil dari kisah besar: pertarungan moral antara kebenaran dan kekuasaan, antara Gaza dan Tel Aviv, yang kini menembus jantung Manhattan.
Dan di tengah hiruk pikuk Broadway, di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, gema Gaza seakan berbisik:
“Dunia tidak lagi bisa menutup mata. Bahkan di jantung Amerika, kebenaran dan ketidakadilan tetap berduel.”
0 komentar: