Genosida Tak Membuat Menyerah: Mengapa Meluluhlantahkan Sipil Gaza Tak Bisa Mengalahkan Hamas? Membedah Buku Bombing to Win
---
Pendahuluan: Langit yang Membawa Janji dan Mimpi Palsu
Sejak manusia pertama kali melihat pesawat terbang melintas di langit, lahirlah sebuah keyakinan baru: kekuasaan tidak lagi hanya ditentukan oleh pasukan di darat atau kapal di laut, melainkan juga oleh burung-burung besi yang mampu menghujani kota dari angkasa. Para jenderal menyebutnya revolusi militer, para politisi menyebutnya jalan pintas menuju kemenangan, sementara para akademisi meramalkannya sebagai wajah perang masa depan yang lebih cepat, lebih bersih, dan lebih murah.
Namun sejarah punya selera humor yang pahit. Dari Dresden hingga Hanoi, dari Baghdad hingga Gaza, langit memang dipenuhi ledakan, tetapi bumi tetap dipenuhi perlawanan. Gedung-gedung hancur, tapi tekad manusia bertahan. Tubuh-tubuh roboh, namun kehendak untuk melawan justru tumbuh.
Di tengah ironi itu, Robert A. Pape, profesor ilmu politik dari Universitas Chicago, menulis bukunya Bombing to Win: Air Power and Coercion in War (1996). Ia mengajukan pertanyaan yang sederhana namun mendasar: apakah benar serangan udara bisa memaksa musuh menyerah? Atau jangan-jangan, membunuh sipil dari langit hanyalah ilusi kemenangan yang terus dipelihara?
---
Mitos Kemenangan dari Udara
Mari kita mulai dari mitos yang paling tua: bahwa menghancurkan kota berarti menghancurkan semangat bangsa. Strategi ini dikenal dengan istilah punishment.
Bayangkan kota sebagai jantung. Jika jantung itu berhenti berdetak, tubuh pasti roboh. Demikianlah logika para perancang strategi udara. Karena itu, pada Perang Dunia II, sekutu menurunkan ratusan ribu ton bom ke kota-kota Jerman. Dresden terbakar, Hamburg luluh lantak, Berlin rata dengan tanah.
Di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki menjadi puncak teror sekaligus puncak teknologi. Dua bola api menghanguskan lebih dari seratus ribu jiwa hanya dalam hitungan detik. Dunia tercengang, seolah bukti mutlak bahwa udara memang bisa memutuskan perang.
Namun sejarah tidak sesederhana itu. Jerman tetap berperang sampai tentara Soviet menembus jantung Berlin. Jepang menyerah bukan semata karena bom atom, melainkan karena kombinasi blokade laut, serangan darat yang makin mendekat, dan terutama keputusan geopolitik Uni Soviet yang masuk ke medan Asia.
Apa artinya? Bahwa membunuh sipil dari udara bukanlah jalan cepat menuju kemenangan. Alih-alih membuat rakyat menekan pemimpinnya, justru seringkali menyalakan solidaritas baru. Luka kolektif berubah menjadi bahan bakar perlawanan.
---
Empat Jalan Udara
Pape lalu merinci empat strategi utama yang selama ini dijalankan kekuatan udara:
1. Punishment (Hukuman): menyerang sipil agar moral runtuh.
2. Risk (Risiko Bertahap): meningkatkan eskalasi sedikit demi sedikit agar musuh menyerah sebelum kehancuran total.
3. Denial (Penolakan): menghancurkan target militer dan logistik, sehingga lawan benar-benar tak mampu bertarung.
4. Decapitation (Pemenggalan): membunuh pemimpin atau menghancurkan pusat komando.
Dari keempatnya, Pape menemukan satu pola jelas: hanya denial yang punya peluang nyata. Punishment gagal, risk gagal, decapitation hampir selalu gagal. Menghancurkan kekuatan tempur lawan—itulah satu-satunya strategi udara yang kadang berhasil.
---
Jejak Sejarah: Dari Eropa hingga Teluk Persia
Sejarah modern adalah laboratorium terbuka untuk menilai efektivitas bom.
Perang Dunia II: Pemboman besar-besaran di Jerman gagal membuat rakyat menyerah. Jepang menyerah bukan karena sipilnya takut, melainkan karena kekuatan militer lumpuh dan geopolitik berubah.
Korea: AS membombardir Korea Utara, tetapi Pyongyang tetap berdiri berkat dukungan Cina.
Vietnam: Operasi Rolling Thunder menjadi pelajaran pahit. Infrastruktur Vietnam Utara hancur, tetapi kehendak Hanoi tak pernah patah.
Teluk 1991: contoh keberhasilan denial. Serangan udara AS menghancurkan sistem pertahanan Irak, membuka jalan bagi pasukan darat merebut Kuwait dengan cepat.
Bosnia 1995: NATO menarget pasukan Serbia di lapangan, bukan sipil. Hasilnya nyata: Serbia mundur.
Dari Eropa hingga Asia, dari Teluk Persia hingga Balkan, pola yang sama berulang: membunuh sipil tidak pernah efektif, melemahkan militer mungkin berhasil.
---
Mengapa Membunuh Sipil Gagal?
Pape memberi jawaban yang sekaligus logis dan manusiawi: karena warga sipil bukanlah aktor rasional yang bisa menekan pemerintah di tengah perang.
Justru dalam kondisi ancaman eksternal, rakyat cenderung semakin loyal kepada negara. Fenomena ini dikenal dengan istilah rally ’round the flag effect.
Blitz Jerman ke London pada 1940 adalah contoh klasik. Kota terbakar, ribuan tewas, tetapi bukannya menyerah, warga Inggris justru semakin mendukung Winston Churchill. Mereka merasa berjuang bukan hanya untuk pemerintah, tapi untuk martabat bangsa.
Demikian pula di Gaza hari ini. Ribuan rumah rata, ratusan ribu mengungsi, puluhan ribu tewas. Tetapi apakah rakyat Gaza meninggalkan Hamas? Tidak. Justru mereka semakin yakin bahwa mereka sedang dizalimi, dan karena itu, bertahan adalah satu-satunya pilihan yang bermartabat.
---
Teknologi dan Ilusi Kontrol
Politisi di Washington, London, atau Tel Aviv sering tergoda oleh janji teknologi. Bom pintar, drone tak berawak, rudal presisi—semuanya terdengar modern, efisien, dan “bersih.” Mereka membayangkan perang yang bisa dimenangkan dari layar komputer tanpa korban di pihak sendiri.
Namun teknologi hanyalah alat. Ia tidak bisa menggantikan strategi. Senjata paling canggih sekalipun, jika diarahkan ke target yang salah, akan sia-sia. Lebih buruk lagi, jika yang hancur justru rumah sakit, sekolah, atau masjid, maka efek politiknya meluas jauh melebihi efek militer.
Sejarah berulang kali membuktikan: tidak ada bom yang benar-benar “pintar” ketika diarahkan pada manusia yang sedang mempertahankan martabatnya.
---
Gaza: Cermin Tragis Teori Pape
Jika ada contoh mutakhir dari tesis Pape, Gaza adalah cerminnya.
Lebih dari ratusan ribu bom dijatuhkan. Infrastruktur runtuh, kamp pengungsi porak-poranda, rumah sakit tak lagi berdiri. Namun apakah Hamas runtuh? Tidak. Apakah semangat perlawanan hilang? Justru semakin kokoh.
Mungkin Hamas melemah secara militer, tetapi identitas perlawanan Palestina justru semakin mengakar dalam kesadaran kolektif. Setiap reruntuhan rumah adalah pengingat, setiap jenazah anak-anak adalah seruan moral, setiap malam tanpa listrik adalah pengajaran diam-diam: bahwa melawan adalah bagian dari hidup.
Persis seperti yang Pape tulis: menghukum sipil tidak pernah mengakhiri perang. Yang lahir hanyalah dendam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
---
Ilusi Decapitation
Israel juga sering mengandalkan strategi decapitation: membunuh komandan, menghancurkan markas, bahkan menarget keluarga pemimpin Hamas. Tetapi sejarah menunjukkan: organisasi perlawanan selalu lebih kuat daripada individunya.
Pemimpin gugur, yang lain menggantikannya. Di Vietnam, di Irak, di Afghanistan, pola yang sama berulang. Pemenggalan justru sering membuat lawan semakin keras kepala. Kematian seorang pemimpin berubah menjadi bahan bakar narasi heroik.
Di Gaza, setiap pemimpin yang gugur justru diabadikan dalam mural, dalam doa, dalam nyanyian anak-anak pengungsi. Mereka tidak mati, mereka berubah menjadi simbol.
---
Refleksi: Apa yang Benar-Benar Mengakhiri Perang?
Pertanyaan yang tersisa kemudian: kalau bom tidak bisa, lalu apa yang bisa mengakhiri perang?
Jawaban Pape tegas: perang berakhir ketika kemampuan militer lawan benar-benar lumpuh, atau ketika ada jalan politik yang bisa diterima kedua belah pihak.
Artinya, kemenangan sejati bukan hanya menghancurkan, melainkan juga menawarkan masa depan. Tanpa solusi politik yang adil, bom hanyalah instrumen penundaan. Ia tidak menutup perang, hanya menggantinya dengan babak baru yang lebih getir.
---
Dimensi Moral: Antara Strategi dan Kemanusiaan
Di balik analisis yang dingin, buku Pape mengandung gema moral yang kuat. Ia mengingatkan bahwa menyerang sipil bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak bermoral. Membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua atas nama strategi adalah kejahatan yang dibungkus ilusi.
Bom bisa meruntuhkan bangunan, tapi tidak bisa meruntuhkan gagasan. Ia bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa membunuh mimpi.
Sejarah membuktikan: kehendak untuk merdeka lebih keras daripada beton, lebih tahan lama daripada baja, dan lebih kuat daripada ledakan apapun.
---
Penutup: Gaza dan Langit yang Berdarah
Bombing to Win adalah buku tentang strategi, tetapi pada akhirnya juga tentang batas kekerasan manusia. Ia membongkar ilusi bahwa langit bisa memutuskan akhir perang.
Hari ini, Gaza berdiri sebagai bukti hidup. Langitnya gelap oleh bom, tanahnya merah oleh darah, tetapi semangatnya tetap menyala.
Maka mari kita tarik pelajaran:
Jangan tertipu oleh janji kemenangan instan dari udara.
Ingatlah bahwa teknologi tanpa strategi adalah kesia-siaan.
Sadari bahwa perang hanya berakhir dengan keadilan, bukan dengan pembantaian.
Langit Gaza boleh saja dikuasai Israel. Tapi bumi Gaza, dengan seluruh darah dan air matanya, telah membuktikan satu hal: membunuh sipil dari udara tidak pernah bisa mengalahkan Hamas, apalagi menghapus perlawanan Palestina.
Dan dalam kebenaran pahit itu, suara Robert Pape kembali bergema: bom tidak pernah bisa memenangkan perang yang sejatinya adalah perang tentang martabat manusia.
0 komentar: