Dari Diplomasi hingga Sepak Bola: Israel Mulai Menjadi Negara Paria
Sebuah Negeri yang Kian Menyendiri
Bayangkan sebuah negeri yang dahulu dielu-elukan sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah, kini perlahan-lahan berdiri sendirian di panggung global. Suara musik yang dulu mengalun dari panggung Eurovision mulai ditingkahi nada sumbang boikot. Stadion-stadion yang dulu menyambut para pemain dengan sorak-sorai, kini mulai menutup pintunya. Ruang diplomasi yang biasanya penuh dengan sekutu, kini berubah menjadi ruang sepi yang penuh tatapan curiga.
Inilah Israel hari ini.
Perang yang digencarkan di Gaza, disertai derita kemanusiaan yang tak terperi, bukan hanya menumpahkan darah, melainkan juga meneteskan racun yang perlahan-lahan mengisolasi negara itu. Dari meja-meja perundingan PBB, hingga gelanggang olahraga dan festival budaya, nama Israel kini tak lagi disebut dengan hormat, melainkan dengan amarah, kecewa, bahkan jijik.
Al-Qur’an sudah sejak lama mengingatkan:
> “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya di negeri itu; padahal mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-An‘am: 123)
Tipu daya Israel—baik militer, politik, maupun propaganda—mulai berbalik menjerat dirinya sendiri.
---
Diplomasi yang Membeku
Di ruang-ruang kaca markas besar PBB di New York, suara kecaman terhadap Israel semakin nyaring. Bukan hanya dari negara-negara yang sejak lama bersuara kritis, melainkan juga dari mereka yang dulu berdiri di sisinya.
Uni Eropa—mitra dagang terbesar Israel—bahkan mengusulkan sanksi dengan menangguhkan sebagian perjanjian perdagangan bebas. Langkah ini, bila disetujui, bukan sekadar sinyal diplomasi, melainkan pukulan telak bagi ekonomi Israel.
Netanyahu mengaku getir: “Negeri ini menghadapi semacam isolasi yang dapat berlangsung lama.”
Kata-kata itu, bila direnungkan, seolah menggema dengan firman Allah:
> “Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, lalu datanglah azab Kami menimpa negeri itu di waktu malam, atau di kala mereka beristirahat di tengah hari.” (QS. Al-A‘raf: 4)
Isolasi adalah permulaan. Kehancuran biasanya datang setelahnya.
---
Ekonomi yang Terkikis
Dana kekayaan negara Norwegia—yang terbesar di dunia—melepaskan portofolio di Israel, bukan karena alasan bisnis, melainkan alasan moral. Gaza terlalu pekat dengan darah untuk bisa diabaikan.
Embargo senjata dari Prancis, Italia, Belanda, Spanyol, Inggris menutup jalur pasokan. Israel terpaksa bersandar pada industri persenjataan domestik. Netanyahu menyerukan “berdikari” di bidang militer, tapi itu lebih terdengar seperti teriakan seorang yang terjebak di ruang sempit.
Al-Qur’an menyinggung mereka yang merasa kokoh dengan kekayaan dan kekuasaan, padahal semuanya rapuh:
> “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An‘am: 44)
Israel pernah merasa pintunya terbuka lebar. Kini pintu-pintu itu satu per satu ditutup dunia.
---
Seni yang Menolak Diam
Musik dan seni rupa, yang biasanya berdiri di atas panggung universal, kini ikut bersuara. Festival musik di Belgia membatalkan konser konduktor Israel. Eurovision terancam boikot. Hollywood melahirkan gerakan baru—aktor dan sutradara dunia menolak bekerja sama dengan institusi Israel.
Bagaimana seni bisa netral ketika luka Gaza terpampang di layar ponsel dunia?
Sejarah mengajarkan bahwa seni sering kali menjadi suara hati nurani. Al-Qur’an menggambarkan penyair yang tersesat, tapi juga menyebut ada segolongan yang benar-benar membela kebenaran:
> “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan? Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh...” (QS. Asy-Syu‘ara: 224–227)
Seni memilih keberpihakan. Dan kali ini, keberpihakan itu bukan pada rezim yang menindas, melainkan pada rakyat yang tertindas.
---
Olahraga yang Memalingkan Wajah
Di Spanyol, jalan raya dilumpuhkan demonstran untuk menghentikan balapan La Vuelta karena partisipasi tim Israel. UEFA berhadapan dengan tekanan agar Israel dikeluarkan dari sepak bola Eropa.
Sejarah terasa berulang. Afrika Selatan apartheid dulu pun dipukul telak lewat boikot olahraga. Dunia tidak hanya memutus hubungan politik dan dagang, tetapi juga menutup lapangan pertandingan.
> “Dan betapa banyaknya negeri yang lebih kuat dari negerimu (wahai Muhammad) yang telah mengusirmu; Kami binasakan mereka, maka tidak ada seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. Muhammad: 13)
Kekuatan militer bukan jaminan kemenangan abadi. Ketika olahraga, seni, diplomasi, dan ekonomi menutup pintu, sebuah bangsa kehilangan oksigen moral.
---
Bayang-Bayang Afrika Selatan
Gerakan BDS yang lahir dari Palestina kini menggaung di seluruh dunia. Dulu ia berjalan sunyi, kini ia berderap dengan langkah besar.
Ilan Baruch, mantan duta besar Israel untuk Afrika Selatan, berkata: “Simbol lebih berpengaruh daripada angka.” Ia tahu, tekanan moral bisa lebih melumpuhkan daripada serangan rudal.
Inilah bayang-bayang apartheid yang kembali menghantui. Afrika Selatan pada akhirnya runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena dikucilkan dunia. Israel kini berdiri di jalan yang sama.
---
Ketakutan yang Mengendap
Netanyahu hidup dalam bayang-bayang surat perintah ICC. Ia terbang ke PBB pun harus memutar jalur, takut dicekal di langit Eropa.
Ironis, seorang pemimpin yang mengaku mewakili bangsa yang kuat, kini hidup dalam ketakutan diplomatik.
Al-Qur’an menyebutkan, inilah balasan bagi orang zalim:
> “Maka janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)
Penundaan bukanlah pengampunan. Penundaan adalah jebakan.
---
Epilog: Ketika Dunia Memalingkan Wajah
Mungkin Israel masih punya Amerika Serikat, sekutu yang setia berdiri di sisinya. Tetapi sejarah membuktikan, sekutu pun bisa goyah.
Diplomasi retak. Ekonomi terkikis. Seni menjauh. Olahraga menutup pintu.
Dunia perlahan menulis kisah baru: tentang negeri yang dulunya dielu-elukan, kini dijauhi.
Al-Qur’an menutup dengan gambaran yang meneguhkan hati kaum tertindas:
> “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 139)
Gaza, dengan semua luka dan reruntuhannya, tetap tegak. Dan Israel, meski berderet senjata, perlahan menjadi negeri paria yang ditinggalkan dunia.
Sejarah sekali lagi menunjukkan: sebuah negara bisa bertahan dengan senjata, tetapi tidak bisa hidup sendirian di panggung dunia.
0 komentar: