Mengislamkan Jawa: Menurut Sejarawan Belanda dan Nusantara
1. Pendahuluan: Sebuah Pulau yang Tidak Diam
Pulau Jawa tidak pernah menjadi tanah kosong yang pasif menunggu peradaban datang. Ia adalah tanah yang hidup—di mana agama, kekuasaan, dan kebudayaan silih berganti mencari bentuk. Ketika Islam tiba, ia tidak datang dengan pedang, melainkan dengan pelita ilmu, lisan yang lembut, dan tangan yang bekerja.
Buku Mengislamkan Jawa karya M.C. Ricklefs (Islamization and Its Opponents in Java, 2006) memaparkan dengan tajam proses panjang ini—bukan sekadar perpindahan agama, tetapi transformasi peradaban. Ricklefs menolak pandangan simplistik bahwa Islam datang ke Jawa hanya karena perdagangan, melainkan sebagai kekuatan sosial dan spiritual yang terus berinteraksi dengan budaya lokal hingga membentuk “Islam Jawa” yang khas.
Namun di balik itu, Azyumardi Azra dan Mansur Suryanegara memberi kedalaman lain: bahwa Islamisasi di Jawa bukan sekadar hasil asimilasi budaya, melainkan strategi dakwah terencana yang digerakkan oleh jaringan ulama internasional dan visi politik tauhid. Di sinilah kisah Walisongo menemukan konteksnya, bukan sebagai dongeng mistik, tapi sebagai proyek peradaban.
---
2. Islamisasi Menurut Ricklefs: Antara Pengaruh dan Perlawanan
Ricklefs menulis bahwa proses Islamisasi Jawa berlangsung selama lima abad, dimulai sejak abad ke-14 hingga ke-19. Dalam pandangannya, Islam tidak langsung menggantikan sistem kepercayaan lama (Hindu-Buddha atau animisme), melainkan hidup berdampingan dan bernegosiasi dengannya. Hasilnya adalah sinkretisme — Islam yang “Jawa,” dan Jawa yang “Islam.”
Ricklefs membagi proses itu menjadi tiga tahap besar:
1. Tahap Penanaman Awal (abad ke-14–15)
Islam hadir melalui jalur perdagangan dan dakwah damai. Kota-kota pelabuhan seperti Gresik, Tuban, dan Demak menjadi pusat penyebaran pertama. Di sini, tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim dan Walisongo memainkan peran vital.
2. Tahap Integrasi dan Kekuasaan (abad ke-16–17)
Islam mulai menjadi kekuatan politik melalui Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram. Proses Islamisasi mulai menembus struktur sosial dan kekuasaan, menggantikan sisa-sisa Majapahit.
3. Tahap Tantangan dan Re-Islamisasi (abad ke-18–19)
Muncul gelombang baru Islamisasi dari pesantren dan tarekat. Para ulama menegaskan kembali nilai-nilai ortodoksi, menolak sinkretisme, dan melahirkan gerakan sosial keagamaan. Namun pada masa yang sama, muncul pula resistensi dari kalangan priyayi dan pengaruh kolonial Belanda.
Bagi Ricklefs, konflik batin dan sosial antara “Islam murni” dan “Jawa tradisional” menjadi ciri khas sejarah spiritual Jawa hingga masa modern.
---
3. Azyumardi Azra: Islamisasi sebagai Jaringan Intelektual
Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (1994) memberikan sudut pandang yang berbeda. Ia menegaskan bahwa Islamisasi Jawa bukanlah proses lokal yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari jaringan intelektual Islam global.
Para ulama Nusantara belajar di Haramain (Mekah dan Madinah), lalu kembali membawa pembaruan ilmu, tarekat, dan semangat tajdid. Mereka tidak hanya mengajarkan fikih dan tasawuf, tetapi juga etos perlawanan terhadap kezaliman. Dari sinilah muncul pesantren-pesantren awal di Jawa—bukan hanya pusat pendidikan agama, tetapi juga benteng sosial dan politik.
Menurut Azra, Walisongo harus dilihat dalam konteks jaringan ini. Mereka bukan hanya sembilan wali lokal, melainkan representasi misi dakwah internasional yang menyatukan spiritualitas, ilmu, dan politik. Dakwah mereka bukan sekadar Islamisasi kebudayaan, tapi transformasi dunia batin dan sosial masyarakat Jawa agar sesuai dengan prinsip tauhid dan keadilan sosial.
Dengan demikian, Islamisasi versi Azra lebih luas dari sekadar “sinkretisme” ala Ricklefs. Ia adalah proses ideologis yang cerdas, lembut, dan terstruktur—mengubah akidah sekaligus struktur kekuasaan.
---
4. Mansur Suryanegara: Islamisasi dan Jiwa Jihad Nusantara
Sementara itu, Prof. Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah menolak keras pandangan kolonial dan orientalis yang memisahkan Islam dari perlawanan politik. Ia menegaskan bahwa sejak awal Islamisasi, jiwa jihad melawan penindasan telah mengakar dalam dakwah para ulama.
Menurutnya, Kesultanan Demak adalah contoh paling awal dari sintesis antara dakwah, ilmu, dan jihad. Raden Patah bukan sekadar raja, tetapi murid Walisongo yang melanjutkan visi dakwah Rasulullah ï·º: membangun masyarakat tauhid dan menegakkan keadilan. Karena itu, Demak bukan kerajaan etnis Jawa, melainkan negara Islam pertama di Nusantara.
Demak memerangi Portugis di Malaka dan Sunda Kelapa bukan karena ekspansi ekonomi semata, tapi karena misi suci melawan penjajahan atas umat Islam. Dari Demak, lahir Banten dan Cirebon yang kelak meneruskan semangat itu menghadapi Belanda.
Mansur menulis, “Islam di Jawa tidak tumbuh dari akulturasi pasif, tetapi dari semangat dakwah yang menolak tunduk pada kekuasaan zhalim.”
Dengan kata lain, di tangan para wali dan kesultanan Islam, Islamisasi adalah juga perlawanan spiritual dan politik terhadap segala bentuk penjajahan—baik penjajahan akidah maupun penjajahan kolonial.
---
5. Dari Demak ke Banten: Dakwah yang Menjadi Kekuatan
Demak adalah mercusuar Islamisasi pertama yang mengubah wajah Jawa. Di bawah Raden Patah, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga, Islam tidak hanya disebarkan lewat pengajian, tapi juga melalui seni, sastra, dan ekonomi. Bahkan sistem pemerintahan Demak diilhami oleh konsep syura (musyawarah) dan keadilan Islam.
Namun ketika Demak melemah, Banten mengambil peran. Di bawah Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi pusat Islamisasi dan perdagangan internasional yang memadukan syariat, ilmu, dan ekonomi.
Ricklefs melihat Banten sebagai kerajaan kosmopolitan yang tetap memelihara tradisi lokal. Tapi Mansur dan Azra melihatnya sebagai benteng jihad ekonomi dan politik Islam yang menghadapi monopoli VOC Belanda. Ketika Sultan Ageng menolak tunduk kepada Belanda, ia tidak sekadar mempertahankan kekuasaan, tetapi menegakkan marwah Islam terhadap penindasan kafir asing.
---
6. Pesantren dan Ulama: Penjaga Jiwa Islamisasi
Dalam tahap berikutnya, pesantren menjadi kelanjutan misi Islamisasi yang dimulai Walisongo. Ricklefs mencatat bahwa abad ke-18 hingga 19 merupakan era kebangkitan re-Islamisasi, di mana pesantren seperti Tegalsari, Termas, dan Jampes menjadi pusat ortodoksi Islam.
Azyumardi Azra menafsirkan fenomena ini sebagai hasil dari konektivitas ulama Jawa dengan jaringan internasional Timur Tengah.
Sedangkan Mansur melihatnya sebagai bukti bahwa Islamisasi tidak pernah berhenti, hanya berganti medan: dari istana ke pesantren, dari pedang ke pena, dari perang fisik ke jihad ilmu.
Ulama seperti Kiai Mutamakkin, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi bukti bahwa ruh Islamisasi di Jawa adalah kesinambungan antara ilmu, tasawuf, dan perjuangan.
---
7. Dialektika Islam dan Kebudayaan Jawa
Salah satu kekuatan buku Mengislamkan Jawa adalah kemampuannya menunjukkan kompleksitas hubungan antara Islam dan budaya Jawa. Bagi Ricklefs, Islam di Jawa bukan Islam Arab, tapi Islam yang hidup di tanah Jawa, berbicara dalam bahasa simbol, dan berdialog dengan alam pikir lokal.
Namun bagi Azra dan Mansur, hal ini harus dipahami dengan hati-hati. Islam memang lentur terhadap budaya, tapi tidak tunduk padanya. Islamisasi Jawa berhasil bukan karena kompromi tanpa batas, melainkan karena kemampuan Islam menyucikan budaya tanpa mencabut akar kemanusiaannya.
Walisongo memahami hal ini dengan luar biasa. Mereka tidak menghancurkan candi, tapi mengubahnya menjadi pesantren. Mereka tidak menolak gamelan, tapi menanamkan nilai tauhid di dalamnya. Inilah seni dakwah yang membangun, bukan menghapus.
---
8. Kolonialisme dan Tantangan Islamisasi
Ricklefs menulis bahwa pada masa kolonial, Islam menghadapi dua tantangan besar: sekularisasi kolonial dan modernisme Barat. Pemerintah Belanda berusaha memisahkan Islam dari politik dan menekan kekuatan pesantren.
Namun seperti dicatat oleh Mansur Suryanegara, kebijakan itu justru memperkuat semangat jihad dan kemandirian umat. Dari pesantren-pesantren itulah lahir tokoh-tokoh perlawanan seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Haji Zainal Musthafa, dan Kiai Hasyim Asy’ari.
Islamisasi pun memasuki babak baru: dari dakwah menjadi perlawanan nasional.
---
9. Refleksi: Dari Islamisasi ke Kebangkitan Umat
Jika Ricklefs menutup kajiannya dengan menyoroti pergeseran antara “Islam santri” dan “Islam abangan,” maka refleksi Azra dan Mansur justru melihat harapan kebangkitan Islam di Jawa.
Islamisasi bukan masa lalu, tetapi proses yang terus berjalan. Setiap generasi Jawa akan terus mengalami pergulatan antara iman dan adat, antara globalisasi dan spiritualitas. Namun, sebagaimana diajarkan Walisongo, Islamisasi sejati bukan sekadar mengubah nama dan upacara, tetapi menghidupkan kesadaran tauhid dalam seluruh aspek kehidupan.
---
10. Penutup: Cahaya yang Tidak Pernah Padam
Sejarah Islamisasi Jawa adalah sejarah penyatuan langit dan bumi: iman dan budaya, ilmu dan kekuasaan, dakwah dan perjuangan.
Ricklefs mungkin melihatnya sebagai perjalanan sosial yang kompleks, tetapi bagi Azra dan Mansur, di balik kompleksitas itu ada satu garis lurus: nur Muhammad, cahaya dakwah yang menembus batas zaman.
Dari Demak hingga Banten, dari pesantren hingga perlawanan, Islam tidak sekadar hadir di Jawa — ia membentuk jiwa Jawa. Dan di setiap denyutnya, terpatri pesan abadi Walisongo:
> “Barangsiapa menanam Islam di tanah hati manusia, ia menanam pohon yang tidak akan pernah layu.”
0 komentar: