Raja Zulkarnain dalam Filologi Melayu
Prolog: Ketika Mitos Menjadi Bahasa Kekuasaan
Dalam dunia Melayu klasik, mitos bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah bahasa legitimasi, alat yang menenun kekuasaan dengan kesucian, darah raja dengan cahaya langit. Di antara mitos paling abadi yang menembus zaman itu adalah kisah Iskandar Zulkarnain, sosok agung yang disebut dalam Al-Qur’an (QS. Al-Kahfi: 83–98) sebagai raja yang “diberi kekuasaan di bumi” dan “menempuh perjalanan ke arah matahari terbit dan terbenam”.
Bagi bangsa Arab, Zulkarnain adalah simbol raja ideal yang bijak dan menegakkan keadilan. Namun, bagi dunia Melayu-Islam, terutama sejak abad ke-15, figur ini menjelma menjadi Raja Zulkarnain, leluhur mitologis dari para penguasa, pembuka jalan bagi terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam seperti Melaka, Aceh, dan Johor.
Dalam Sejarah Melayu (Sulalat al-Salatin), kisah itu ditulis dengan penuh kemegahan: “Maka adalah raja yang bernama Iskandar Zulkarnain itu menaklukkan segala negeri, daripada Maghrib sampai ke Mashriq. Maka dari keturunannya datanglah segala raja yang besar-besar di dunia ini.”
Dengan kalimat seperti ini, sebuah identitas politik lahir — bukan sekadar pengakuan atas darah keturunan, melainkan simbol bahwa kekuasaan Melayu berakar dari wahyu, dari sejarah Islam universal.
Namun, apakah kisah ini hanya mitos? Ataukah ia adalah cermin dari cara umat Melayu memahami dirinya di tengah perubahan sejarah?
Pertanyaan itulah yang dijawab secara tajam oleh dua sejarawan Islam Nusantara terkemuka: Jajat Burhanudin dan Azyumardi Azra.
---
Islamisasi dan Filologi Melayu: Menyapa Dunia yang Berlapis
Kedua tokoh ini membaca teks Melayu bukan semata sebagai karya sastra, tetapi sebagai dokumen kebudayaan. Dalam pandangan mereka, hikayat, silsilah, dan sejarah istana adalah arena di mana Islam, tradisi lokal, dan politik bernegara saling bertemu.
Azyumardi Azra, dalam karya-karyanya tentang jaringan ulama dan Islamisasi Nusantara, melihat bahwa kisah-kisah seperti Zulkarnain merupakan bagian dari arus besar transmisi budaya Islam dari Timur Tengah dan India ke dunia Melayu. Melalui ulama, pedagang, dan penulis, cerita Qur’ani dan legenda Islam diterjemahkan menjadi bagian dari identitas lokal.
Sedangkan Jajat Burhanudin, dalam bukunya Ulama dan Kekuasaan di Nusantara, menunjukkan bahwa teks-teks Melayu yang menyebut Zulkarnain adalah instrumen politik dan spiritual. Ia bukan hanya kisah, melainkan simbol yang digunakan oleh istana untuk memperkuat wibawa dan legitimasi raja.
Dengan kata lain, filologi Melayu tidak bisa dibaca tanpa memahami kekuasaan. Setiap kata dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain atau Sejarah Melayu adalah gema dari pertarungan antara agama, budaya, dan ambisi manusia.
---
Jajat Burhanudin: Zulkarnain sebagai Bahasa Kekuasaan
Bagi Jajat Burhanudin, Zulkarnain adalah arsitektur imajinatif kekuasaan Islam Melayu. Dalam narasi istana, raja Melayu bukan sekadar penguasa duniawi, tetapi juga zill Allah fi al-alam — bayangan Allah di bumi. Untuk mengokohkan klaim itu, diperlukan silsilah yang mulia, dan Zulkarnain menjadi figur yang sempurna: raja yang disebut Al-Qur’an, pembela keadilan, penakluk bangsa kafir, dan pelindung umat.
Dalam salah satu analisisnya, Burhanudin menulis bahwa raja-raja Melayu “meminjam simbol Islam untuk menjadikan kekuasaan mereka tampak sakral, tetapi tetap berpijak pada adat.” Islam, dalam pengertian ini, bukan hanya agama ritual, tetapi bahasa politik yang memberi bentuk pada cara kekuasaan dijalankan.
Lihatlah bagaimana dalam Sejarah Melayu, keturunan raja-raja Palembang dikisahkan berasal dari Bukit Siguntang, tempat turunnya keturunan Iskandar Zulkarnain. Maka raja yang berkuasa tidak hanya menjadi anak manusia, tetapi juga anak sejarah ilahi.
Burhanudin membaca ini bukan sebagai “penipuan sejarah”, melainkan sebagai cara masyarakat Melayu memahami kekuasaan secara spiritual. Ia menulis:
> “Raja tidak dilihat sekadar manusia, tetapi cermin dari langit yang memantulkan cahaya Tuhan di bumi.”
Dalam pandangan ini, mitos Zulkarnain menjadi alat komunikasi antara dunia langit dan dunia manusia. Sebuah metafora yang menyatukan iman, budaya, dan politik dalam satu bahasa.
---
Azyumardi Azra: Zulkarnain sebagai Jembatan Budaya Islam
Azyumardi Azra membaca legenda Zulkarnain dari sisi lain. Ia tidak terlalu fokus pada legitimasi kekuasaan, tetapi pada perjalanan ide dan transmisi budaya Islam.
Menurutnya, kisah Zulkarnain masuk ke dunia Melayu melalui jaringan ulama dan naskah yang menyebar dari India, Persia, dan Arab. Dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain, tokoh ini menjadi representasi dari raja ideal Islam yang berilmu, berakhlak, dan berdaulat.
Bagi Azra, adopsi terhadap figur Zulkarnain menunjukkan kemampuan Islam Melayu untuk mengislamkan simbol lama tanpa menghapus akar lokalnya. Dengan cara ini, dunia Melayu menjadi bagian dari kosmos Islam tanpa kehilangan ke-Melayu-annya.
Azra menulis bahwa hikayat-hikayat seperti ini adalah “jembatan kultural yang menghubungkan peradaban Islam dengan kebudayaan Nusantara.” Di dalamnya, kisah Al-Qur’an bertemu dengan adat raja, dan bahasa Arab dipeluk dalam aksara Jawi.
Dalam perspektif Azra, penggunaan tokoh seperti Zulkarnain bukanlah bentuk imitasi, tetapi kreativitas budaya Islam lokal. Dunia Melayu tidak menyalin Timur Tengah, tetapi menafsir ulangnya dengan rasa dan sejarah sendiri.
---
Zulkarnain: Antara Mitos dan Sejarah
Baik Azra maupun Burhanudin sepakat bahwa sosok Zulkarnain dalam teks Melayu tidak dapat dipahami secara literal. Ia bukan klaim genealogis yang dapat diverifikasi secara ilmiah, melainkan konstruksi simbolik — semacam “sandi sejarah” yang memuat nilai dan arah peradaban.
Dalam tradisi filologi, hal ini dikenal sebagai “genealogi sakral”: cara suatu masyarakat membangun jati diri melalui mitos keturunan dari tokoh ilahi atau legendaris. Dalam tradisi Arab, kabilah Quraisy mengklaim garis keturunan dari Nabi Ibrahim; dalam tradisi Eropa, raja-raja mengklaim turunan dari dewa-dewi; dalam dunia Melayu, para raja mengaitkan diri dengan Zulkarnain.
Tetapi, yang menarik adalah fungsi sosial dan spiritual dari mitos itu. Dalam masyarakat Melayu-Islam, raja dipandang sebagai penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Maka, mengaitkan dirinya dengan Zulkarnain berarti mengambil tanggung jawab kosmik: menegakkan keadilan, menjaga agama, dan menata dunia.
Di sinilah nilai reflektifnya.
Mitos Zulkarnain bukan sekadar legitimasi kekuasaan, tetapi juga tuntutan moral. Seorang raja yang mengaku keturunan Zulkarnain dituntut untuk meniru keadilan dan ketakwaannya.
Seperti yang tercermin dalam ayat Al-Qur’an:
> “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberinya jalan untuk mencapai segala sesuatu...”
(QS. Al-Kahfi: 84)
Ayat ini bukan hanya menegaskan kekuasaan, tetapi juga amanah. Zulkarnain menaklukkan dunia bukan dengan keserakahan, melainkan dengan keadilan. Dan nilai itulah yang dijadikan cermin oleh para raja Melayu.
---
Simbolisme dan Politik Identitas
Dari sudut pandang politik, kedua sejarawan ini melihat bahwa legenda Zulkarnain memainkan peran strategis dalam membentuk identitas kolektif.
Burhanudin menekankan bahwa melalui simbol-simbol Islam seperti Zulkarnain, kekuasaan lokal menjadi tampak universal. Raja yang sebelumnya hanya memerintah wilayah kecil menjadi bagian dari sejarah besar Islam. Dengan kata lain, mitos ini adalah strategi globalisasi spiritual dalam bentuk pra-modern.
Sementara Azra melihatnya sebagai upaya internalisasi nilai Islam. Ketika nama “Iskandar Shah” atau “Zulkarnain Shah” muncul dalam gelar raja-raja Melaka dan Aceh, itu menunjukkan bahwa Islam bukan lagi agama asing, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas istana dan rakyat.
Keduanya sepakat bahwa mitos ini memiliki daya cipta yang besar. Ia menulis sejarah bukan dengan pena fakta, tetapi dengan pena makna.
---
Dari Istana ke Naskah: Teks sebagai Cermin Zaman
Bukti filologis paling nyata dari kehadiran Zulkarnain dalam tradisi Melayu adalah teks-teks seperti:
Hikayat Iskandar Zulkarnain (abad ke-16)
Sejarah Melayu / Sulalat al-Salatin
Hikayat Aceh dan Tuhfat al-Nafis
Dalam teks-teks ini, Zulkarnain tampil sebagai sosok penakluk yang saleh, penyebar agama, dan pelindung umat manusia dari Ya’juj dan Ma’juj. Namun yang lebih penting, ia berperan sebagai prototipe raja Islam Melayu — berilmu, adil, dan dikelilingi ulama.
Burhanudin membaca teks ini sebagai “peta kekuasaan simbolik” yang menunjukkan bagaimana Islam dijadikan sumber wibawa.
Sedangkan Azra melihatnya sebagai “peta spiritual” — naskah-naskah itu membentuk cara masyarakat Melayu memahami dunia dan sejarahnya sendiri.
Dua pandangan ini, jika dipadukan, menunjukkan bahwa filologi Melayu bukan hanya studi tentang teks, tetapi studi tentang jiwa: bagaimana bangsa menulis dirinya melalui kisah dan iman.
---
Refleksi: Jejak Zulkarnain dalam Diri Melayu
Apabila kita menatap lebih jauh, kisah Zulkarnain sebenarnya menggambarkan pergulatan abadi manusia Melayu: antara takdir dan ikhtiar, antara sejarah dan iman.
Zulkarnain adalah raja penjelajah. Ia menempuh batas dunia, bukan demi kekuasaan, tetapi untuk menegakkan keadilan. Itulah pesan spiritual yang menjadi dasar bagi para penulis Melayu ketika mengadaptasi kisahnya: bahwa kekuasaan sejati bukanlah milik darah, tetapi milik nurani yang tunduk kepada Allah.
Dalam konteks kini, pandangan Burhanudin dan Azra mengingatkan kita bahwa memahami sejarah tidak cukup dengan mengumpulkan fakta. Kita perlu membaca makna-makna yang tersembunyi di balik mitos. Karena di sanalah bangsa menyembunyikan harapannya.
Seperti halnya Zulkarnain yang membangun tembok untuk melindungi manusia dari Ya’juj dan Ma’juj, demikian pula para ulama dan penulis Melayu membangun “tembok makna” — untuk melindungi nilai Islam di tengah arus zaman.
---
Penutup
Zulkarnain dalam filologi Melayu adalah lebih dari sekadar sosok sejarah; ia adalah simbol peradaban.
Ia menjelma dalam bahasa Jawi, hidup dalam hikayat, diucapkan dalam khutbah, dan dijadikan nama raja.
Melalui dirinya, dunia Melayu memandang dirinya sebagai bagian dari sejarah Islam universal — sebuah dunia yang berpusat pada iman, keadilan, dan pengetahuan.
Jajat Burhanudin mengajarkan kita membaca Zulkarnain sebagai bahasa kekuasaan,
sedangkan Azyumardi Azra mengajarkan kita membacanya sebagai bahasa budaya dan spiritualitas.
Dan di antara keduanya, kita menemukan keseimbangan:
sebuah pandangan bahwa mitos tidak menipu, melainkan menuntun.
Maka, sebagaimana firman Allah dalam Al-Kahfi:
> “Katakanlah: Aku akan bacakan kepadamu cerita tentang dia (Zulkarnain).”
(QS. Al-Kahfi: 83)
Ayat ini bukan sekadar undangan membaca kisah,
tetapi juga ajakan untuk membaca diri sendiri —
karena dalam setiap kisah Zulkarnain,
tercermin pula kisah manusia Melayu
yang mencari Tuhan di antara sejarah dan kekuasaan.
0 komentar: