Membaca Gejolak Sejarah di Era Mataram Islam
1. Awal Sejarah: Dari Pesisir ke Pedalaman
Dalam penelusuran sejarah Jawa, baik De Graaf maupun Ricklefs sepakat bahwa Kesultanan Mataram bukanlah kerajaan yang lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari akar sejarah panjang — dari Islamisasi pesisir abad ke-15 yang dibawa oleh Walisongo, menuju Islam politik pedalaman abad ke-16.
De Graaf, dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, menggambarkan bahwa Mataram muncul di tengah kekosongan kekuasaan setelah Demak dan Pajang melemah. Ia menelusuri bagaimana Senapati, seorang bangsawan bawahan Pajang, memanfaatkan kekuatan spiritual dan politik lokal untuk menegakkan kekuasaan baru di pedalaman Jawa.
Bagi De Graaf, Mataram adalah fenomena politik: kelanjutan dari sistem kerajaan Jawa-Hindu yang diislamkan. Islam hadir sebagai legitimasi moral kekuasaan, tetapi struktur politiknya masih bersifat tradisional: ada wahyu keprabon (hak ilahi untuk memerintah), peran kiai dan ulama istana, serta ritual yang menggabungkan unsur lama dan baru.
Namun, Ricklefs, dalam Sejarah Islamisasi Jawa dan Islamisation and Its Opponents in Java, melihat dimensi yang lebih sosial dan ideologis. Bagi Ricklefs, Mataram bukan sekadar transformasi politik, melainkan puncak dari sintesis antara Islam dan budaya Jawa.
Ia menulis bahwa “pada masa Sultan Agung, Islam bukan lagi sekadar ajaran pesisir, tetapi telah menjadi sistem etika yang menyatu dalam tatanan kekuasaan, bahasa, dan seni istana.”
Dengan kata lain, De Graaf memandang bagaimana Mataram berdiri, sedangkan Ricklefs menjelaskan mengapa Mataram memiliki jiwa.
---
2. Panembahan Senapati: Sang Perintis Pedalaman
Panembahan Senapati Ingalaga adalah sosok yang menarik perhatian dua sejarawan ini.
De Graaf menggambarkannya dengan sangat rinci: seorang penguasa yang penuh strategi, menguasai diplomasi dan kekuatan spiritual. Ia menelusuri kisah-kisah mitologis Senapati, seperti pertemuannya dengan Ratu Kidul, bukan sebagai legenda kosong, tetapi sebagai simbol legitimasi. Dalam tafsir De Graaf, mitos itu menandai “penggabungan antara kekuasaan duniawi dan mistik sebagai alat kendali sosial.”
Namun, Ricklefs membaca mitos ini lebih dalam secara sosiologis. Ia melihatnya sebagai upaya Islam menegosiasikan budaya lama tanpa menghancurkannya. Islamisasi Jawa berjalan inklusif, bukan revolusioner.
Ricklefs menulis bahwa masyarakat Jawa abad ke-16 tidak meninggalkan kepercayaan lamanya secara tiba-tiba, melainkan “mengislamkan ulang” makna-makna lokal.
Dalam konteks ini, Senapati bukan hanya pendiri kerajaan, tapi mediator antara dunia lama dan dunia baru — antara Jawa dan Islam.
---
3. Sultan Agung: Puncak dan Paradox Mataram
Dalam pandangan De Graaf, masa Sultan Agung (1613–1645) adalah puncak kekuasaan Mataram.
Ia menulis buku Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, yang menggambarkan seorang penguasa dengan ambisi luar biasa: menaklukkan seluruh Jawa, menyerang Batavia (VOC), memperluas pengaruh hingga Madura dan Blambangan.
De Graaf menekankan strategi militer dan politik Agung, namun juga menyadari kontradiksi dalam ambisinya — “Sultan Agung lebih berhasil menaklukkan hati rakyat Jawa daripada menaklukkan Belanda.”
Sementara itu, Ricklefs membaca Sultan Agung bukan hanya sebagai penakluk, tetapi sebagai pemadu kebudayaan Islam dan Jawa.
Ia menguraikan bahwa Agung menegaskan identitas Mataram sebagai Islam kejawen: menulis kalender Jawa-Islam (perpaduan Hijriah dan Saka), mengislamkan ritual keraton, memperkuat peran ulama, namun tetap mempertahankan kosmologi Jawa.
Dalam pandangan Ricklefs, di sinilah kebesaran sekaligus paradoks Mataram: Islam masuk ke jantung kebudayaan, tetapi tidak seluruhnya mampu mengubah struktur kekuasaan feodal yang diwarisi dari masa Hindu-Buddha.
Jika De Graaf menyorot politik Sultan Agung yang gagal menaklukkan VOC, Ricklefs melihat spirit Sultan Agung yang berhasil menaklukkan hati umat Jawa — menjadikan Islam sebagai etika sosial baru yang melampaui senjata.
---
4. Mangkurat dan Keruntuhan: Dari Krisis Moral ke Kolonialisme
Setelah Sultan Agung wafat, Mataram perlahan runtuh. De Graaf menulis kisah tragis itu dalam Runtuhnya Istana Mataram, dengan nuansa yang lebih gelap.
Ia menggambarkan masa pemerintahan Amangkurat I (1646–1677) sebagai periode intrik, korupsi, dan kekejaman. Raja membunuh para ulama yang menentang, memenjarakan bangsawan, dan kehilangan dukungan rakyat.
Dalam tafsir De Graaf, inilah momen degenerasi politik Mataram, di mana kesetiaan berganti dengan ketakutan, dan agama dijadikan simbol, bukan kekuatan moral.
Ricklefs menafsirkan peristiwa ini dari sisi yang lebih sosial. Ia menulis bahwa setelah masa Sultan Agung, terjadi ketegangan antara Islam rakyat dan Islam istana.
Ulama yang dulunya dekat dengan kekuasaan mulai menjauh, muncul gerakan spiritual yang menolak absolutisme raja, dan pada akhirnya, kolonialisme VOC memanfaatkan celah ini untuk menguasai Jawa.
Bagi Ricklefs, kehancuran Mataram bukan sekadar politik, tapi kehilangan ruh.
Ketika nilai Islam yang hidup di hati rakyat tak lagi tercermin di istana, maka kekuasaan kehilangan legitimasi ilahinya.
---
5. Dua Cara Membaca Sejarah: Politik dan Jiwa
Kedua sejarawan ini memiliki gaya yang berbeda, tetapi saling melengkapi.
De Graaf adalah arsitek kronologi: ia membangun narasi dari data, arsip, dan dokumen VOC. Ia cermat dalam menggambarkan peristiwa, tahun, nama, dan kronologi perang.
Sedangkan Ricklefs adalah penafsir makna: ia menulis dengan kesadaran historis bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan dipahami oleh rakyatnya.
De Graaf menulis dari sisi luar istana, memotret pergolakan yang tampak.
Ricklefs menulis dari sisi dalam masyarakat, menelusuri dinamika iman dan identitas.
De Graaf menjelaskan bagaimana Mataram jatuh, Ricklefs menjelaskan mengapa Mataram tetap hidup dalam jiwa Islam Jawa.
---
6. Refleksi: Islam, Kekuasaan, dan Peradaban Jawa
Jika menelusuri dua karya besar ini dengan hati yang jernih, kita menemukan benang merah yang menggetarkan:
Bahwa Islamisasi Jawa tidak pernah berhenti di masjid atau pesantren, tetapi mengalir ke struktur politik, ekonomi, dan seni pemerintahan.
Walisongo meletakkan fondasi tauhid, Demak menegakkannya dalam negara, dan Mataram mewarisinya dalam kebudayaan.
Namun, setiap kali Islam hanya menjadi simbol legitimasi kekuasaan, dan tidak lagi menjadi ruh kepemimpinan, maka sejarah berulang: kemegahan berubah menjadi keruntuhan.
Kita belajar dari De Graaf bahwa politik tanpa moral adalah kerapuhan.
Dan kita belajar dari Ricklefs bahwa moral tanpa institusi adalah ketidakberdayaan.
Keduanya menuntun kita memahami bahwa peradaban Islam Jawa berdiri di antara dua kutub: iman dan kekuasaan, pesantren dan istana, spiritualitas dan strategi.
---
7. Penutup: Mataram sebagai Cermin Diri
Hari ini, ketika kita membaca kembali Mataram melalui mata dua sejarawan ini, kita sesungguhnya sedang membaca jiwa bangsa sendiri.
Sebab dalam setiap periode sejarahnya, selalu ada pertanyaan yang sama:
Apakah kekuasaan digunakan untuk menegakkan kebenaran, atau hanya membungkusnya?
Apakah Islam menjadi sumber keadilan, atau sekadar ornamen politik?
De Graaf memberi kita peta masa lalu, Ricklefs memberi kita cermin masa depan.
Keduanya sepakat — meski tak pernah menulisnya secara eksplisit — bahwa peradaban Islam tidak akan bertahan oleh kekuatan pedang, tetapi oleh kekuatan nurani.
Sebagaimana Sultan Agung menulis dalam petuahnya:
> “Negeri tidak akan kokoh dengan pasukan, jika hati rakyat tidak percaya kepada pemimpinnya.”
Dan sebagaimana Islam datang pertama kali ke Jawa: bukan dengan perang, tetapi dengan ilmu, akhlak, dan keteladanan.
0 komentar: