Sultan Salim I, Sakit pun Tetap Berjihad, Wafatnya Bersama Surat Yasin
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Langit sore itu menggantung berat di atas bentang kekaisaran Utsmani. Awan kelabu tak hanya menaungi langit Basra dan Edirne, tapi juga hati para pengikut Sultan Salim I. Angin berembus membawa aroma musim panas yang ganjil, seolah bumi tahu bahwa sebuah babak akan segera berakhir dalam sunyi dan luka.
Pada 17 Juli 1520, Sultan Salim I—yang dijuluki "Yavuz" (Si Tegas)—berdiri gagah di hadapan pasukannya. Matanya tajam memandang ke arah barat, ke tanah Ardanah yang hendak dibebaskan. Pasukan telah siap, pedang telah diasah, kuda-kuda telah menginjak tanah dengan semangat jihad. Namun tiba-tiba, seperti petir di siang hari, rasa sakit luar biasa menyerang bahu sang Sultan.
“Hasan,” panggilnya lirih di antara napas tertahan.
Hasan, pelayan dan sahabat setia Sultan, segera menghampiri. Ia membuka pakaian bagian belakang Sultan, dan matanya menangkap benjolan kecil sebesar biji merah. Warnanya tajam, kontras dengan kulit Sultan yang pucat. “Ini terlihat tidak biasa, Tuanku,” ucap Hasan khawatir.
“Akan hilang sendiri,” jawab Sultan, suaranya tegas namun melemah.
Malamnya, langit seolah menyesakkan bumi. Rasa sakit di punggung Sultan membakar seperti bara api. Ia terjaga sepanjang malam, tidak tidur, tidak mengeluh—hanya menatap langit dan menarik napas panjang seakan menahan badai dalam dadanya.
Menjelang subuh, ia mandi air hangat. Bisul di punggungnya kini membesar, memerah seperti luka yang menyala. Juru pijat dipanggil. Ia mencoba meredakan rasa sakit itu, tapi tak banyak membantu. Tabib berkata, “Ini Chirbangh, disebabkan oleh bakteri Ristaviloc. Belum ada obat yang bisa menyembuhkannya.”
Pagi hari menyapa dengan cahaya lembut, namun tubuh Sultan diguncang nyeri hebat. Para penasehat menyarankan agar pasukan dibatalkan. Tapi Sultan menatap mereka dan berkata:
“Aku telah berjanji kepada pasukanku. Aku bukan orang yang senang membatalkan janji.”
**
Pada 18 Juli, pasukan mulai bergerak menuju Ardanah. Suasana penuh tekad, namun langkah-langkah kuda terdengar berat karena rasa cemas. Sultan memimpin di atas kudanya, menahan rasa sakit yang tak terlukiskan. Alam seakan ikut bersedih—angin mengalun lirih, matahari meredup di balik awan.
Di tengah perjalanan, di sebuah lembah yang sunyi, tubuh Sultan tidak mampu lagi menahan beban. Ia jatuh lemah dari kudanya. Sebuah kemah kecil segera didirikan.
“Hasan…” bisiknya.
Hasan masuk dan melihat wajah Sultan yang pucat pasi. “Hampir saja aku menangis seperti anak kecil karena sakit ini,” ucap Sultan dengan mata memerah.
“Beristirahatlah, Tuanku,” kata Hasan. “Para tabib akan berusaha keras menyembuhkanmu.”
“Tidak,” jawabnya pelan. “Obat bagi sakit ini adalah kematian.”
**
Hari-hari berlalu, tubuh Sultan kian mengering. Sendi-sendi tubuhnya remuk, seolah tulangnya telah kehilangan bentuk. Tabib kehabisan akal. Alam sekitar terasa lebih sunyi, angin pun tak lagi riuh. Waktu seperti melambat, menunggu sesuatu yang agung.
Utusan dikirim ke Istana membawa kabar duka. Dalam perkemahan, Sultan memanggil Hasan lagi.
“Apa yang terjadi, Hasan?”
“Inilah waktu manusia berserah kepada Rabb-nya,” jawab Hasan lembut.
Beberapa jam kemudian, perdana menteri tiba di kemah. Sultan mencoba menyambutnya namun tak sanggup berdiri.
“Insya Allah, Sultan akan sembuh,” ujar perdana menteri.
Sultan menggeleng pelan. “Cukuplah ini. Aku sangat lelah. Rasa sakit ini terlalu berat. Kematian tampaknya akan mengakhirinya. Putraku Sulaiman akan menggantikanku. Terimalah dia sebagaimana kalian menerimaku.”
Ia pun memanggil Hasan lebih dekat.
“Wahai Hasan, bacakan aku surat Yasin.”
Hasan duduk di sampingnya. Dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh tak tertahan, ia mulai membaca:
Yaa Siin. Wal-Qur’aanil Hakiim...
Sultan mendengarkan dengan khidmat. Meski tubuhnya lemah, jiwanya kuat seperti batu karang. Ketika Hasan sampai pada ayat:
“Lahum fiihaa faakihatun wa lahum maa yadda’uun. Salaamun qawlam mir rabbir rahiim.”
Sultan menarik napas panjang dan menghembuskannya. Tubuhnya tenang. Matanya tertutup. Sebuah keheningan turun bersama rahmat langit.
Hasan menghentikan bacaannya. Ia memandang wajah Sultan, lalu memeluk tubuhnya yang sudah tak bernyawa. “Telah pergi seorang raja yang lebih mencintai jihad daripada nyawanya sendiri,” bisiknya.
Malam itu, Jumat 21 Agustus 1520, langit menangis dalam diam. Tanah Ardanah menjadi saksi bisu atas wafatnya seorang mujahid agung, yang berpulang di bawah bacaan Yasin dan dalam pangkuan doa-doa yang mengalir seperti air mata.
**
Sultan Salim I tak hanya meninggalkan tahta dan wilayah kekuasaan. Ia meninggalkan jejak keberanian, kesetiaan pada janji, dan cinta pada jihad yang tak pudar meski maut sudah menunggu. Bahkan dalam sakit yang tak tertahankan, ia memilih tetap berada di barisan depan.
Dan kini, jasadnya mungkin telah ditelan bumi, namun namanya kekal dalam lembar sejarah yang suci.
Siapa pun yang membaca kisahnya, akan bertanya dalam diam:
“Sudahkah aku seteguh itu dalam menepati janji kepada Allah?”
Langit kembali terang, seolah berkata: “Beginilah para pejuang berpulang—dengan mulia, dalam damai, dan bersama Al-Qur’an.”
Sumber:
Mahmud Mustafa Saad, Golden Stories, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: