Bodoh Sejarah, Buntu Solusi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
“Wahai Amirul Mukminin, mengapa para sahabat berbeda pendapat?”
Pertanyaan itu suatu kali diajukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Ia tersenyum, tidak terkejut. Ia tahu, pertanyaan seperti itu muncul dari kegelisahan mereka yang ingin menyederhanakan kehidupan: seragam, lurus, tanpa dinamika.
Tapi Umar menjawab dengan penuh hikmah:
> “Saya tidak suka jika para sahabat Nabi Muhammad ﷺ tidak berselisih pendapat. Karena kalau mereka tidak berselisih, tidak akan ada keringanan bagi umat. Mereka itu para pemimpin. Jika salah satu dari mereka mengambil suatu pendapat, maka saya akan mengikutinya.”
(Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, no. 1437)
Bagi Umar bin Abdul Aziz, perbedaan bukan ancaman. Ia adalah kekayaan. Ia adalah bintang-bintang di malam gelap. Tidak saling memadamkan, justru bersama memberi cahaya.
---
Mari bayangkan satu momen dalam sejarah: wabah melanda wilayah Syam. Umar bin Khattab, sang khalifah, telah sampai di Sargh—sebuah tempat di perbatasan. Kabar datang: wabah menjalar, menakutkan. Apa yang harus dilakukan?
Abdurrahman bin Auf angkat bicara. Ia berkata kepada Umar:
> “Aku memiliki ilmu tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kalian mendengar wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di negeri itu, maka jangan keluar darinya, lari darinya.’”
(HR. al-Bukhari no. 5728, Muslim no. 2219)
Umar merenung. Kemudian memutuskan: tidak jadi memasuki Syam. Ia pulang ke Madinah.
Apakah itu kelemahan? Bukan. Itu ketundukan kepada ilmu. Kepada pengalaman Rasulullah. Kepada sejarah.
---
Kini kita menyadari, keputusan itu menjadi fondasi awal protokol karantina dalam sejarah Islam. Dalam bahasa modern, itu adalah lockdown. Dan semua itu berasal dari teladan sejarah—bukan teori baru.
Apakah kita bisa belajar jika para sahabat tidak berselisih, tidak saling memberi pandangan?
Kita tahu Abu Ubaidah bin Jarrah adalah panglima tertinggi di Syam. Ia tidak ingin meninggalkan pasukannya meskipun Umar memintanya kembali ke Madinah. Dan Umar pun tidak memaksanya. Sikap ini mengajarkan integritas dan adab dalam kepemimpinan: ketika perintah logika bertemu dengan keberanian nurani.
---
Rasulullah ﷺ bersabda:
> "Sesungguhnya setiap umat memiliki orang yang paling dipercaya. Dan orang yang paling dipercaya dari umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah."
(HR. al-Bukhari no. 3744, Muslim no. 2419)
Aminu hadzihil ummah.
Abu Ubaidah adalah simbol amanah, kesetiaan, dan keteguhan. Tapi sejarah juga mencatat: ketika karakter yang dibutuhkan berubah—ketika kondisi medan perang menuntut gaya kepemimpinan yang lain—Umar mengganti panglima dari Khalid bin Walid ke Abu Ubaidah.
Dan Khalid? Tidak ada pemberontakan. Tidak ada protes. Tidak ada “drama politik”.
Ia tunduk. Ia setia. Karena ia tidak berjuang untuk Umar, tapi untuk Islam.
---
Sejarah bukan hanya catatan, ia adalah guru. Bahkan konflik besar dalam sejarah Islam pun menyimpan hikmah.
> Seandainya Sayyidina Ali, Siti Aisyah, dan Muawiyah tidak pernah berselisih, mungkinkah umat hari ini belajar bagaimana mengelola konflik internal?
> Seandainya Hasan bin Ali tidak menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, akankah kita memahami pentingnya rekonsiliasi nasional demi menjaga dakwah?
Ya. Bahkan dari luka sejarah, tumbuh pelajaran.
Bahkan dari pecah belah, bisa lahir peta kebijaksanaan.
---
Namun, hari ini kita jauh dari cara berpikir itu. Kita sibuk meratapi perbedaan tanpa memahami esensinya. Kita sibuk bertengkar, tapi lupa belajar dari masa lalu.
Kebodohan terbesar kita hari ini adalah kebodohan terhadap sejarah sendiri.
> Ketika buta sejarah, kita pun buntu dalam mencari solusi.
Padahal solusi sudah lama ada. Telah tertulis, telah tercatat, telah diteladankan.
Apakah kita tidak malu kepada generasi terdahulu?
---
Yusuf Al-Qaradawi, dalam Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Tarikh wa Turats, berkata:
> “Sejarah bukan hanya catatan masa lalu. Ia adalah gudang pengalaman manusia, tempat kita mengambil ibrah dan pelajaran. Siapa yang tidak belajar dari sejarah, akan jatuh ke lubang yang sama seperti orang-orang sebelumnya.”
Sejarah, bagi Qaradawi, adalah cermin. Ia bukan tempat bersedih, tapi tempat mengkaji realitas. Ia bukan mitos, tapi alat ukur: mengapa kita mundur? Bagaimana kita bangkit?
---
Muhammad Shalabi, sejarawan besar, berkata dalam Tarikh al-Umam al-Islamiyah:
> “Sejarah adalah cermin tempat umat bercermin. Dengan sejarah, kita tahu kapan kita bangkit, dan kapan kita jatuh—dan mengapa.”
Jatuh dan bangkit, katanya, punya sebab. Dan sebab itu dapat dibaca—jika kita mau membuka buku sejarah, bukan sekadar buku motivasi.
---
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair dari India, menulis dengan nada getir:
> “They read history, not to reform the future, but to glorify the past.”
Mereka membaca sejarah bukan untuk membentuk masa depan, tapi hanya untuk memuliakan masa lalu.
Dan juga:
> “The past is not dead matter, it is living. The past must be understood to mold the future.”
Masa lalu bukanlah benda mati. Ia hidup. Ia harus dipahami, agar kita bisa membentuk masa depan.
Iqbal kecewa pada kaum Muslim yang sibuk dengan nostalgia, bukan perbaikan. Ia ingin sejarah dijadikan bahan bakar, bukan beban.
---
Buya Hamka, ulama dan pujangga besar Nusantara, dalam Sejarah Umat Islam menulis:
> “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarahnya. Dan umat Islam, bila hendak bangkit, harus kembali meneliti sejarah Islam—bukan hanya sebagai dongeng, tapi sebagai pelajaran hidup.”
Dan dalam Tafsir Al-Azhar, Buya menekankan:
> “Allah menyebutkan kisah-kisah dalam Al-Qur’an agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Sejarah adalah pelajaran, bukan hiburan.”
---
Lalu kita, hari ini, sedang apa?
Apakah kita menjadikan sejarah sebagai pelajaran? Atau sekadar pajangan?
Apakah kita menyerap hikmah dari sahabat, tabi’in, dan ulama? Atau sekadar mengutip nama mereka untuk membenarkan ego kita?
Apakah kita menyadari bahwa sejarah itu jantung dari kebangkitan?
---
Mari kita jujur:
Kita sering menyalahkan keadaan, menyalahkan musuh, menyalahkan takdir. Tapi jarang menyalahkan kebodohan kita sendiri atas sejarah.
> Bodoh sejarah = buntu solusi.
Paham sejarah = terbuka jalan keluar.
Umar bin Khattab tidak asal bertindak. Ia bertanya. Ia belajar. Ia merujuk pada sejarah Rasulullah. Ia tidak merasa cukup dengan jabatan.
Rasulullah sendiri, sebelum membuat keputusan penting dalam perang, meminta pendapat sahabat. Karena sejarah itu bukan monolog. Tapi dialog yang berisi nurani, kebijaksanaan, dan tanggung jawab.
---
Penutup:
Keempat tokoh besar yang disebut di atas—Yusuf Al-Qaradawi, Muhammad Shalabi, Muhammad Iqbal, dan Buya Hamka—bersepakat dalam satu simpulan:
> “Sejarah bukan sekadar memori kolektif. Sejarah adalah referensi strategis dalam memecahkan masalah umat.”
Dan jika kita masih gagal hari ini, bisa jadi karena kita menjauh dari kitab sejarah—yang seharusnya menjadi petunjuk.
Maka, mari kita kembali.
Bukan untuk memuja masa lalu. Tapi agar kita bisa menyusun masa depan.
Karena yang tidak belajar dari sejarah, pasti akan menjadi bagian dari kegagalan yang terus diulang—tanpa akhir.
0 komentar: