basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Kerinduan Bertemu Rasulullah saw dan Sahabatnya  Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- “Kami tidak merindukan surga karena buah-buahann...

Kerinduan Bertemu Rasulullah saw dan Sahabatnya

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

“Kami tidak merindukan surga karena buah-buahannya, tapi karena ingin bertemu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada.”
– Imam Hasan Al-Banna

Ada cinta yang tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia melampaui kehidupan dunia dan akhirat, menghubungkan hati dengan para kekasih Allah yang telah lama tiada. Itulah cinta kepada Rasulullah ï·º dan sahabat-sahabatnya. Kerinduan yang tak sekadar tentang kenikmatan surga, melainkan tentang perjumpaan dengan jiwa-jiwa suci yang dirindukan langit.

Kerinduan ini adalah energi spiritual. Bahkan menjelang ajal, para kekasih Allah menyambut kematian dengan damai, karena mereka tahu: kematian adalah gerbang pertemuan.


---

Utsman bin Affan: Janji Berbuka di Surga

Menjelang akhir hayatnya, rumah Khalifah Utsman bin Affan dikepung oleh para pemberontak. Meskipun ancaman mengelilinginya, Utsman tetap tenang, berpuasa dan memperbanyak ibadah. Malam sebelum syahid, ia bermimpi bertemu Rasulullah ï·º, Abu Bakar, dan Umar. Rasulullah bersabda, “Engkau akan berbuka puasa bersama kami esok hari di surga.”

Pagi harinya, Utsman ditikam, dan darah terus mengalir dari tubuhnya. Para sahabat memintanya berbuka untuk memperkuat diri. Tapi Utsman menjawab, “Aku telah berjanji akan berbuka bersama Rasulullah ï·º.” Dan pada hari itu juga, Utsman wafat dalam keadaan berpuasa, syahid, dan memenuhi janji surgawi.


---

Umar bin Abdul Aziz: Wajah Berseri Menuju Kekasih

Suatu malam, Umar bin Abdul Aziz tertidur dalam kelelahan. Ia baru saja menghabiskan malam dengan menulis surat kepada para gubernurnya, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan menunaikan amanat. Dalam tidurnya yang ringan, ia bermimpi.

Ia melihat sebuah rumah sederhana, bercahaya namun teduh. Di dalamnya, duduk Rasulullah ï·º, dikelilingi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz pun masuk dengan hati berdebar.

Rasulullah ï·º memandangnya dengan wajah penuh kasih. Lalu berkata:

"Ilaiya, ya Umar. Wahai Umar, kemarilah."

Ia mendekat, lalu Rasulullah ï·º berkata:

"Engkau akan datang kepada kami dalam waktu dekat. Dan engkau termasuk dari kami, wahai Umar."

Umar pun terbangun dengan tubuh gemetar. Malam itu juga ia menangis. Ia tahu, usianya akan segera berakhir. Tapi ia tidak takut, karena ia merasa telah berusaha memimpin dengan amanah dan takut kepada Allah.

Dan benar, hanya beberapa hari setelah mimpi itu, Umar bin Abdul Aziz wafat di usia 39 tahun. Ia meninggalkan dunia, namun namanya harum sepanjang zaman.


---

Imam Bukhari: Nama yang Dinanti

Ketika Imam Bukhari wafat, seorang ulama bermimpi melihat Rasulullah ï·º bersama para sahabat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dalam mimpi itu Rasulullah ï·º berkata, “Tunggulah, Muhammad bin Ismail (Bukhari) akan segera datang.”

Tak lama setelah mimpi itu, kabar wafatnya Imam Bukhari pun datang. Seakan mimpi itu menjadi isyarat bahwa para penghuni surga tengah menantinya. Bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena cintanya yang murni kepada Nabi dan para sahabat.


---

Cinta yang Menyatukan Dunia dan Akhirat

Rasulullah ï·º bersabda:

> "Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya." (HR. Bukhari-Muslim)



Ini bukan hanya janji, melainkan kunci. Cinta yang benar kepada Rasulullah ï·º akan membuahkan amal. Amal yang tulus akan membawa pada pertemuan di akhirat. Cinta itu tak cukup hanya dengan kata dan air mata, tapi harus dibuktikan dengan kesetiaan dan perjuangan.


---

Imam Hasan Al-Banna: Aku Ingin Bertemu Mereka

Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, adalah pecinta Rasulullah ï·º dan para sahabat sejati. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, beliau berkata:

> “Kami tidak menginginkan surga karena buah-buahannya, tapi karena ingin bertemu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada.”



Baginya, cinta kepada mereka adalah cinta yang menggerakkan, bukan sekadar nostalgia. Cinta yang melahirkan gerakan dakwah, membentuk ruh jihad, dan membangkitkan umat.


---

Mimpi Terakhir dan Kematian Syahid

Malam sebelum wafatnya, Hasan Al-Banna bermimpi bertemu Ali bin Abi Thalib. Dalam mimpi itu, Imam Ali berkata, “Wahai Hasan, urusanmu telah selesai. Engkau telah menyampaikan risalahmu. Allah telah menerimamu.”

Setelah terbangun, Hasan Al-Banna berkata, “Melihat Imam Ali dalam mimpi adalah tanda kematian syahid.” Dan benar. Pada 12 Februari 1949, beliau ditembak enam kali di depan kantor Ikhwanul Muslimin.

Meskipun terluka parah, beliau masih mengejar mobil penyerangnya dan menghafal nomor polisinya. Namun saat dilarikan ke rumah sakit, akses bantuan dihalangi. Beliau syahid dalam sunyi. Jenazahnya hanya diurus oleh ayah dan saudari perempuannya. Siapa pun yang ingin menyolatkannya ditangkap.


---

Pesan Terakhir: Jangan Lupakan Allah

Dalam pesan terakhirnya, Hasan Al-Banna berkata:

> “Aku tidak khawatir terhadap musuh-musuh kalian. Tapi aku khawatir jika kalian melupakan Allah dan hanya mengandalkan diri sendiri. Aku juga khawatir kalian melupakan ukhuwah.”



Itulah kerinduan yang tidak padam. Cinta yang menghidupkan ruh perjuangan bahkan setelah kematian.


---

Visi Masa Depan yang Terkabul

Pada tahun 1946, dalam wawancara dengan penulis Amerika Robert Jackson, Hasan Al-Banna berkata:

> “Aku sangat yakin bahwa Turki akan kembali kepada Islam. Dan tanda-tanda itu sudah mulai tampak.”

Empat tahun kemudian, Adnan Menderes terpilih sebagai perdana menteri melalui pemilu demokratis pada tahun 1950, mengalahkan Partai Rakyat Republik (CHP) yang didirikan oleh Mustafa Kemal Atatürk. Ia menjadi simbol kebangkitan politik rakyat, terutama umat Islam yang sebelumnya dibungkam oleh sekularisme radikal ala Kemalis.

Bagaimana dengan Turki sekarang? Partai sekuler runtuh sejak kemenangan partai Raffah 1998.


---

Menutup dengan Rindu

Kerinduan para kekasih Allah kepada Rasulullah ï·º dan para sahabat bukan sekadar kenangan sejarah. Itu adalah peta jalan spiritual yang menghubungkan dunia dan akhirat.

Hari ini, kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita juga merindukan Rasulullah? Apakah cinta kita padanya cukup kuat untuk membawa kita pada perjumpaan kelak?

Jika iya, maka buktikanlah dengan amal. Karena Rasulullah ï·º telah bersabda:

> “Engkau akan bersama orang yang kau cintai.”



Semoga Allah mempertemukan kita dengan Rasulullah ï·º, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para syuhada dalam surga-Nya. Amin.

Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Suatu hari, Rasulullah ï·º bersabda: > “Wahai Abdurrahman...

Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Suatu hari, Rasulullah ï·º bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sebab jika diberi karena permintaan, maka kamu akan dibiarkan sendiri. Tapi jika diberikan tanpa meminta, kamu akan diberi pertolongan.”



(HR. Bukhari dan Muslim)

Kepemimpinan, rupanya, bukanlah perkara ambisi. Ia bukan wilayah bagi mereka yang haus kekuasaan. Sabda Nabi itu adalah peringatan abadi: janganlah kepemimpinan diisi oleh orang-orang yang mengejarnya. Sebab kepemimpinan bukan kemuliaan, tapi ujian. Bukan panggung kemegahan, tapi jurang pertanggungjawaban.

Seleksi Kepemimpinan: Tradisi yang Dimulai Sejak Nabi ï·º

Perang Mu’tah mencatat satu pelajaran penting tentang seleksi kepemimpinan. Rasulullah ï·º sendiri menunjuk tiga panglima perang secara berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Bila satu gugur, maka yang lain menggantikannya. Ini bukan sekadar strategi militer. Ini adalah refleksi dari akurasi pandangan Nabi ï·º tentang siapa yang paling layak memimpin dalam kondisi genting.

Seleksi ini berlanjut bahkan setelah wafatnya Rasulullah ï·º. Ketika umat kebingungan pasca wafatnya sang Nabi, Umar bin Khattab tampil dengan kejernihan pikir dan keberanian jiwa. Ia menggenggam tangan Abu Bakar, lalu berkata:

> “Siapa yang lebih layak memimpin umat ini selain orang yang pernah menjadi imam salat kita ketika Nabi masih hidup?”



Logika Umar sederhana, tapi dalam: jika Abu Bakar diakui sebagai imam salat oleh Rasulullah ï·º, maka ia juga layak memimpin umat setelah kepergian sang Nabi. Maka dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Umar: Pemimpin yang Memilih dengan Hati dan Akal

Ketika giliran Umar bin Khattab memimpin, ia membawa standar seleksi kepemimpinan ke tingkat yang lebih mendalam. Baginya, memilih pemimpin bukan hanya soal popularitas, bukan pula karena hubungan pribadi atau kerajinan ibadah semata.

Ia melihat lebih dalam.

Ia mendengar lebih peka.

Ia menilai lebih jernih.

Bagi Umar, pemimpin adalah penentu arah zaman. Maka salah memilih berarti menghancurkan masa depan umat. Maka dari itu, ia menakar bukan hanya dari permukaan, tapi dari esensi karakter.

Menembus Kepalsuan: Ujian Makan, Safar, dan Uang

Umar punya tiga alat untuk menguji karakter seseorang. Ia sering berkata:

> “Jika kau ingin mengenal seseorang, makanlah bersamanya, lakukan perjalanan jauh dengannya, dan bertransaksilah dengannya.”



Saat makan, tampaklah kesederhanaan dan pengendalian diri. Saat safar, tampaklah kesabaran dan kepemimpinan. Saat bertransaksi, terbukalah kejujuran dan amanah. Ini bukan teori, tapi praktik. Umar melakukannya—salah satunya terhadap Ahnaf bin Qais, yang diuji lewat uang dan sikapnya terhadap masyarakat.

Pernah seseorang diberi uang oleh utusan Umar untuk diamati. Jika uang itu digunakan hanya untuk dirinya, ia dicoret dari daftar calon pejabat. Tapi bila uang itu dibagikan kepada orang miskin, maka namanya dinaikkan.

Huzaifah bin Al-Yaman: Barometer Kejujuran dan Kemunafikan

Umar tahu, wajah bisa menipu, ibadah bisa disandiwarakan. Maka ia meminta pendapat Huzaifah bin Al-Yaman—sahabat yang diberi amanah oleh Rasulullah ï·º untuk mengetahui nama-nama munafik.

“Apakah kau melihat tanda kemunafikan padanya?” tanya Umar.

Sebab Umar sadar, seorang munafik bisa jadi lebih sering ke masjid daripada orang jujur. Tapi mereka menyimpan racun dalam lisan dan kelicikan dalam janji. Maka Huzaifah menjadi semacam cermin batin yang membantu Umar menyaring tokoh-tokoh berwajah teduh tapi berhati gelap.

Belajar dari Penolakan Rasulullah kepada Abu Dzar

Kepemimpinan juga tentang kemampuan memikul beban. Umar mengambil pelajaran dari Rasulullah ï·º yang pernah menolak permintaan Abu Dzar al-Ghifari, meskipun ia seorang sahabat yang zuhud dan saleh.

Rasulullah ï·º bersabda:

> “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan kepemimpinan adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi yang menunaikannya dengan benar.”



(HR. Muslim)

Kepemimpinan bukan soal kesalehan pribadi semata, tapi keteguhan mental, kemampuan mengelola konflik, dan ketahanan terhadap godaan dunia. Umar paham itu.

Lihat Bagaimana Ia Memperlakukan Keluarganya

Umar punya standar yang mengejutkan: ia menilai calon pemimpin dari bagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya.

“Jika ia kasar kepada keluarganya,” kata Umar, “bagaimana mungkin ia akan lembut kepada rakyat?”

Sebab keluarga adalah tempat tanpa topeng. Di sanalah muncul watak asli. Jika seseorang tak bisa berlaku adil dan sabar terhadap yang paling dekat, bagaimana ia akan adil terhadap yang jauh?

Ilmu dan Waspada: Dua Pilar Seleksi

Bila ada dua orang sama-sama saleh, Umar akan memilih yang lebih berilmu. Sebab ilmu membuat seseorang bijak. Ia memahami realitas, bisa menimbang maslahat dan mafsadat, dan tidak mudah tertipu oleh godaan atau bisikan sesat.

Selain itu, Umar juga memilih mereka yang mampu mengenali keburukan. Ia berkata:

> “Manusia tidak akan selamat dari keburukan sampai ia mengenal keburukan itu sendiri.”



Pemimpin harus punya radar terhadap bahaya. Harus mampu mencium kebusukan dari jauh, dan tahu cara menghindarinya.

Kebijakan yang Menembus Zaman

Pilihan-pilihan Umar bukan hanya akurat, tapi tahan uji. Banyak pejabat yang ia angkat tetap bertahan hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ini bukti bahwa pilihan Umar bukan hasil kompromi politik, melainkan intuisi spiritual dan kecerdasan manajerial.

Menurut Umar, salah satu tanda bahwa Allah mencintai seorang pemimpin adalah dikelilinginya ia oleh orang-orang terbaik. Sebaliknya, pemimpin yang dikelilingi oleh penjilat dan penghasut adalah tanda bahwa ia sedang dibiarkan oleh Allah.

Wasiat Terakhir: Memilih Khalifah dengan Lembaga Syura

Menjelang wafat, Umar bin Khattab tidak menunjuk penerusnya secara langsung. Ia membentuk majelis syura beranggotakan enam sahabat mulia, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Umar ingin agar pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah, bukan warisan atau ambisi pribadi.

Ia berkata:

> “Jika ada dua yang berselisih, ikutilah pendapat mayoritas. Tapi jika tiga banding tiga, ikutilah pendapatnya Abdurrahman bin Auf.”



Dengan itu, Umar mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah hasil dari proses kolektif. Ia bukan warisan, bukan hadiah. Ia harus lahir dari keadilan dan akal sehat.

Untuk Nusantara: Kapan Kita Selektif Seperti Umar?

Negeri ini tak kekurangan orang yang pandai bicara, lihai bersilat kata, dan rajin memamerkan kesalehan. Tapi kita terlalu sering tertipu oleh tampilan luar. Kita lupa menilai seseorang di ruang-ruang kecil: saat ia lapar, saat ia marah, saat ia memegang uang.

Umar mengingatkan: seleksi pemimpin adalah akar dari semua perbaikan. Kesalahan pertama dalam kepemimpinan adalah membiarkan orang yang salah berada di lingkar kekuasaan. Maka perbaikan bangsa harus dimulai dari sini.

Bukan sekadar memilih siapa yang akan duduk di kursi tertinggi, tapi siapa yang akan duduk di sekelilingnya.

Kita butuh pemimpin yang tidak hanya rajin salat, tapi juga adil. Yang tidak hanya fasih bicara, tapi juga tabah diuji. Yang tidak hanya dermawan di depan kamera, tapi juga sabar dan tulus terhadap keluarganya.

Kita butuh pemimpin seperti yang dipilih Umar: kuat dan amanah, cerdas dan bersih, lembut dan berani.

Maka semoga dari lorong-lorong sunyi Nusantara ini, lahir kembali semangat Umar bin Khattab. Semangat untuk tidak silau pada wajah, tidak tunduk pada nama besar, dan tidak takut mengambil keputusan sulit demi kebaikan umat.

Semoga Allah melindungi bangsa ini dengan pemimpin yang benar.

Aamiin.

Berjiwa Kuantum atau Berjiwa Hancur? Oleh: Nasruloh Baksolahar --- Apa itu quantum? Dalam fisika, ia dikenal sebagai lompatan en...

Berjiwa Kuantum atau Berjiwa Hancur?

Oleh: Nasruloh Baksolahar


---

Apa itu quantum? Dalam fisika, ia dikenal sebagai lompatan energi, transisi tak terduga dari satu keadaan ke keadaan lain. Tapi bagaimana jika kita tarik ke ranah kejiwaan? Apakah mungkin jiwa juga mengalami lompatan seperti itu—melompat dari gelap ke terang, dari lalai ke sadar, dari beku ke hangatnya cinta Ilahi?

Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah jiwa kita melompat atau justru terjun bebas—menuju kehancuran?

Jangan berjiwa seperti Qorun dan Samiri. Mereka dulunya adalah pengikut Nabi Musa, bahkan bagian dari kelompok yang menyaksikan mukjizat agung. Tapi mereka terperangkap oleh kerakusan, ego, dan kepentingan dunia. Bahkan istri Nabi Nuh dan Luth, meskipun hidup di rumah para nabi, tidak terselamatkan.

Sebaliknya, lihatlah para ahli sihir Fir’aun yang justru bersujud kala kebenaran datang. Lihatlah istri Fir’aun, yang berdoa agar dibangunkan rumah di surga. Lihatlah pembesar istana yang menasihati Fir’aun dengan lembut dan penuh iman. Mereka adalah contoh jiwa-jiwa yang melompat. Jiwa yang mampu melawan arus, bahkan dari dalam sistem kekuasaan yang paling dzalim.

Mengapa jiwa kita tidak pernah melompat? Mengapa perjalanan jiwa kita seperti garis lurus, atau paling jauh hanya linier—datar, monoton, seolah tak bernyawa? Mengapa hari ini terasa sama seperti kemarin, atau bahkan lebih buruk? Kita tidak sedang diam, tapi juga tidak bergerak.

Padahal, modal manusia sama. Jiwa manusia memiliki struktur dan potensi yang serupa. Namun mengapa ada di antara kita yang mampu menempuh jalan para Waliyullah, sementara yang lain tenggelam dalam kelalaian?

Lihatlah Habib Al-Ajami. Dulunya rentenir, keras hati, jauh dari cahaya. Tapi ia berubah. Ia menempuh jalan panjang untuk membersihkan dirinya, hingga sejajar dengan Hasan Al-Bashri, sang ahli zuhud. Malik bin Dinar? Masa mudanya penuh dengan kegilaan dunia, musik, dan pesta malam. Tapi hatinya diguncang oleh kehilangan, oleh kerinduan, dan akhirnya oleh sebuah ayat suci.

Ayat itu adalah:

> "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?"
(QS. Al-Hadid: 16)



Ayat ini pula yang menyentuh Fudhail bin Iyad. Ia dulunya perampok yang ditakuti. Tapi suatu malam, saat hendak mencuri, ia mendengar orang membaca ayat yang sama. Ia terdiam. Jiwa yang keras itu retak. Lalu hancur. Lalu terlahir kembali.

> “Ya Allah, sungguh telah datang waktunya.” katanya dalam tangis yang panjang.



Lompatan itu tidak dimulai dari amal yang besar. Tapi dari kesadaran. Dari satu ayat. Dari satu titik hening yang membuka celah bagi cahaya.

Abu Hanifah? Awalnya hanya pedagang kain. Tapi pikirannya terusik oleh keinginan memahami hukum Allah. Ia belajar, mendalami, hingga menjadi salah satu imam terbesar dalam sejarah Islam.

Abdullah bin Mubarak? Ia dulunya pemuda yang larut dalam dunia dan wanita. Tapi hatinya terbalik. Mabuknya berubah—bukan karena dunia, melainkan karena cinta kepada Allah. Fudhail bin Iyad? Ia tinggalkan jalanan, menuju malam-malam sujud dan tangis. Mereka semua jatuh, tapi mereka juga bangkit. Mereka melompat. Sementara kita, apa yang kita lakukan dengan jatuh-jatuh kita?

Padahal, jiwa mereka sama dengan kita. Nafsu mereka tidak berbeda. Semua manusia diberi potensi dan bekal yang sama oleh Allah. Lalu, mengapa ada yang mencintai Allah dan Rasul-Nya setinggi langit, sedangkan kita tetap dingin dan hambar?

Mengapa sebagian orang menatap langit dan melihat Tuhan, sedang kita hanya melihat awan?

Muhammad bin Wasi pernah berkata:

> “Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah di dalamnya.”



Betapa tajam pandangannya, betapa bening hatinya. Kita? Kita melihat daun hanya daun, langit hanya biru, dan hidup hanya rutinitas.

Semua orang punya beban. Semua orang punya hutang. Tapi ketika Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail bin Iyad tentang hutangnya, ia menjawab:

> “Ya, hutang kepada Allah—yakni ketaatan kepada-Nya. Celakalah aku jika Allah memanggilku untuk mempertanggungjawabkan itu.”



Mengapa jawaban kita tak pernah seberat itu? Apakah karena kita terlalu ringan menjalani hidup ini?

Suatu ketika, Dzun Nun Al-Mishri melihat seorang nenek tua berjalan sendiri, membawa tongkat, mengenakan jubah dari bulu domba. Ia bertanya:

> “Dari mana dan hendak ke mana, Nek?”



Nenek itu menjawab:

> “Dari Allah dan menuju kepada Allah.”



Dzun Nun, sang sufi besar, terdiam. Tersentak oleh kalimat yang lebih dalam dari samudera. Sebab dalam jawaban itu terkandung seluruh makna perjalanan spiritual.

Lalu, kita? Dari mana dan hendak ke mana kita sebenarnya?

Setiap orang pernah bahagia dan sedih. Tapi apa yang menjadi sumber kebahagiaan dan kesedihan itu? Di situlah perbedaan kualitas jiwa terungkap.

Ahmad bin Masruq berkata:

> “Jika seseorang merasakan kegembiraan dari selain Allah, maka kegembiraan itu akan membuahkan kesusahan.”



Dan ia juga berkata:

> “Jika seseorang tidak akrab dengan pengabdian kepada Allah, maka keakrabannya akan membuahkan kesepian.”



Apakah definisi kita tentang bahagia dan sepi juga seperti itu?

Kita sering mengira bahwa jiwa tidak bisa melompat. Padahal jiwa bisa. Bukan dengan langkah kaki, tapi dengan kehendak yang bersih, hati yang jernih, dan kesadaran yang sadar penuh kepada Allah.

Lalu apa sebenarnya penghalangnya?

Ahmad bin Muhammad bin Sahl Al-Amuli menjawab:

> “Terlena dalam kebiasaan alamiah mencegah seseorang menjangkau derajat ruhani yang terpuji.”



Kebiasaan yang tak disaring. Kegiatan yang diulang tanpa makna. Makan, tidur, bekerja, berbicara—semua dijalani seperti robot. Maka ruh kita terpenjara dalam lingkaran itu. Kita tidak melompat. Kita hanya berputar di tempat.

Maka pertanyaannya: apakah kita berjiwa kuantum—yang meloncat, menembus batas, mendekat kepada Allah? Ataukah kita justru berjiwa hancur—yang terjun bebas, tapi bukan kepada ampunan, melainkan ke lembah kehampaan?

Lompatan itu tidak selalu indah. Kadang penuh luka. Tapi luka itulah yang membuka jendela.

Mungkin bukan karena kita tidak mampu melompat.

Tapi karena kita belum sungguh-sungguh ingin.

Memahami Kisah Kafirin dan Munafikin untuk Rekayasa Sosial Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mengapa Allah mengisahkan orang-orang kafi...

Memahami Kisah Kafirin dan Munafikin untuk Rekayasa Sosial

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Mengapa Allah mengisahkan orang-orang kafir dan munafik dalam Al-Qur’an? Bukankah Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang bertakwa? Maka mengapa ia justru penuh dengan narasi penentang, durhaka, dan pengkhianat? Jawabannya sederhana namun dalam: karena pelajaran tidak hanya lahir dari ketaatan, tetapi juga dari kedurhakaan.

Lihatlah sejarah. Kita tidak hanya belajar dari sahabat yang setia, tetapi juga dari musuh yang licik. Kita belajar dari keikhlasan Abu Bakar, tapi juga dari makar Abu Lahab. Kita bercermin pada ketaatan para malaikat, namun juga mengambil ibrah dari kesombongan Iblis.

Belajar dari Kafir: Jejak Pemikiran dan Struktur Kekuatan

Dalam surah Al-Kahfi, Allah mengisahkan seorang yang kafir, yang diberi kekayaan melimpah. Kebunnya dirancang dengan harmonis: ladang terbuka, aliran sungai, dan berbagai jenis pohon yang tersusun rapi. Ini bukan sekadar gambaran kekayaan. Ia adalah pelajaran tentang berpikir sistematis dan saintifik—bagaimana struktur ekonomi dibangun dari keragaman produk dan ketepatan manajemen. Sebuah sistem yang bisa dikaji oleh ahli finansial modern.

Kemudian lihat Fir’aun. Ia berdiri di atas pilar kekuatan militer. Haman—sang arsitek politik—mengatur strategi dan teknologi kekuasaan. Qarun memainkan peran sebagai penyokong logistik ekonomi. Sedangkan para ahli sihir bertugas membentuk citra spiritual, membungkus kekuasaan dengan aura mistis. Mereka bukan sekadar tokoh dalam cerita, tetapi representasi nyata dari bangunan kekuatan dunia: militer, birokrasi, ekonomi, dan propaganda.

Dalam tafsir al-Qurthubi dan Ibn Katsir disebutkan:

> “Seandainya Nabi Shaleh bukan dari golongan mereka sendiri, niscaya mereka langsung membunuhnya di awal seruan.”



Fanatisme kelompok menjadi pelindung bagi nyawa seorang Nabi. Artinya, dalam logika kekuasaan, identitas bisa menjadi tameng meski kebenaran ditolak. Ibnu Khaldun menyebut, kekuasaan bertumpu pada fanatisme (ashabiyyah). Jiwa kolektif ini bisa dimanfaatkan untuk menopang kekuasaan—baik atau buruk. Di tangan orang beriman, ashabiyyah menjadi kekuatan ukhuwah. Tapi di tangan orang durhaka, ia bisa menjelma menjadi kediktatoran.

Kekafiran: Bangunan Besar yang Akan Runtuh

Namun, kisah kafirin mengajarkan satu hukum langit yang tak pernah berubah: sekuat apapun mereka bersatu, sebanyak apapun kekayaan yang mereka hamburkan, kekafiran akan hancur pada waktunya. Sebab bangunan yang tidak disertai keimanan, ibarat rumah di tepi jurang.

Allah berfirman dalam Surah Al-Anfal ayat 36:

> "Sesungguhnya orang-orang kafir itu menginfakkan harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Maka mereka akan menginfakkannya, kemudian itu akan menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan."



Kekafiran akan terus berjuang memadamkan cahaya kebenaran. Mereka membangun sistem, menebar kekuatan, dan menancapkan pengaruh. Tapi semua itu seperti kabut: pekat namun mudah lenyap saat matahari terbit.

Munafik: Racun Dalam Tubuh Umat

Jika kafirin menyerang dari luar, maka munafikin menggrogoti dari dalam. Mereka adalah racun tersembunyi dalam tubuh umat. Wajah mereka tak asing, lidah mereka lihai mengutip ayat, dan gerak-gerik mereka seolah membela Islam. Namun sejatinya, mereka adalah pembelah barisan.

Surah Al-Munafiqun (63): 1–3 mencatat:

> "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, 'Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasul Allah.' Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta."



Munafik hadir bukan sebagai penentang yang terbuka, tapi penyusup dalam diam. Mereka ikut berperang, namun niatnya melemahkan semangat. Mereka ikut berjamaah, tapi hatinya bersama musuh. Mereka menyebar keraguan, memecah visi dakwah, dan menanamkan konflik internal.

Namun Al-Qur’an tidak hanya mengungkap siapa mereka. Tapi juga memberi panduan bagaimana menghadapi mereka: jangan percaya begitu saja pada ucapan mereka; uji komitmen mereka; waspadai manuver mereka; dan jika mereka terbukti berbahaya, maka jangan beri mereka ruang untuk membesar.

Kisah: Bukan Dongeng, tapi Peta Strategi

Semua kisah ini bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah peta. Sebuah strategi langit untuk membimbing perjalanan di bumi. Karena itu, Allah menyampaikan begitu banyak kisah kafirin dan munafikin—bukan untuk ditiru, tapi untuk diwaspadai, dan dalam beberapa kondisi, diarahkan.

Menariknya, tidak sedikit dari kafirin yang pada akhirnya menjadi pembela dakwah. Rasulullah ï·º sangat memahami psikologi mereka. Saat dakwah ditolak di Thaif, seorang kafir melindungi beliau. Dalam boikot di Makkah, sebagian dari mereka membantu secara diam-diam. Bahkan, Rasulullah ï·º memilih seorang kafir sebagai penunjuk jalan dalam hijrah ke Madinah. Sebagian menjadi sahabat sejati setelah memeluk Islam.

Dalam skala lebih luas, sejarah mencatat bahwa Kristen Koptik di Mesir mendukung pasukan Amr bin Ash saat membuka Mesir pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Mereka lebih percaya pada keadilan Islam daripada tirani Romawi. Mengapa? Karena mereka memahami jiwa Islam: keadilan, toleransi, dan keteguhan pada prinsip.

Menjelma Menjadi Pembela

Kisah kafirin dan munafikin juga menunjukkan bahwa manusia bisa berubah. Bahkan seteru paling keras sekalipun, bila disentuh dengan bijak dan sabar, bisa berbalik menjadi penolong dakwah. Umar bin Khattab dulunya pembenci Islam, namun berbalik menjadi tiang agama. Khalid bin Walid pernah menjadi komandan musuh, namun menjadi “Pedang Allah” setelah masuk Islam.

Maka, kisah-kisah itu tak boleh dibaca dengan kebencian membabi buta. Tapi juga dengan harapan. Bahwa siapa pun bisa diberi hidayah. Bahwa sekalipun mereka membangun kekuatan hari ini, Allah tetap pemilik takdir dan pembolak-balik hati.

Dari Kisah ke Kesadaran

Dari semua ini, kita belajar bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab ibadah, tapi juga kitab strategi. Ia mendidik bukan hanya untuk shalat dan puasa, tapi juga untuk memahami realitas, membangun visi, dan mengelola konflik.

Allah tidak menyusun Al-Qur’an seperti kitab undang-undang, tapi seperti pelayaran. Ada ombak kisah, ada pelabuhan hikmah, dan ada arah kiblat yang menuntun ke tujuan. Kita diajak tidak sekadar menjadi penghafal ayat, tapi juga penafsir zaman.

Kisah kafirin dan munafikin dalam Al-Qur’an adalah cahaya yang menyoroti sisi gelap dunia. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memperkuat langkah. Bahwa musuh selalu ada. Tapi yang lebih penting, bagaimana kita tetap tegak berdiri, mengakar dalam iman, dan memetik hikmah bahkan dari duri sekalipun.

Karena itu, jangan hanya membaca kisah sebagai cerita. Bacalah sebagai peta. Sebagai peringatan. Sebagai cermin. Karena di dalamnya ada strategi langit, untuk membangun dunia yang lebih terang.

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro Oleh: Nasruloh Baksolahar Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogy...

Gua Secang bagi Pangeran Diponegoro

Oleh: Nasruloh Baksolahar

Jika Anda berkunjung ke Candi Prambanan, di antara Klaten dan Yogyakarta, sempatkanlah singgah ke Istana Ratu Boko. Di sana, di atas sebuah bukit yang sunyi dan terbuka ke langit, berdiri reruntuhan istana yang menyimpan jejak sejarah spiritual yang lebih tua dari bayangan kita tentang kekuasaan. Bukan semata tentang tembok dan gerbang yang telah rapuh, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam—sebuah gua tersembunyi di jantung istana.

Mengapa ada gua dalam istana?

Gua itu bukan tempat pelarian, bukan pula ruang penyimpanan. Ia adalah altar keheningan. Tempat di mana seorang raja tidak lagi berbicara kepada rakyat, tetapi kepada Tuhannya. Tempat ia menggali kejernihan hati, menjernihkan tujuan, menata arah, dan menumbuhkan cahaya dalam kegelapan batin. Dari dalam gua itulah muncul kebijaksanaan yang menuntun kerajaan, bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan akal dan nurani.

Gua adalah ruang sunyi, tempat lahirnya wahyu dan strategi. Sebab, keheninganlah yang sering kali menjadi pintu paling jujur untuk menyentuh langit.

Sejarah Islam mencatat banyak gua sebagai saksi awal perubahan besar dunia. Gua Hira—tempat Nabi Muhammad ï·º menerima wahyu pertama, bukan sekadar ruang fisik, melainkan ruang penyucian hati dan pencarian makna yang panjang. Gua Tsur—tempat beliau bersembunyi bersama Abu Bakar saat hijrah, adalah bukti bahwa keselamatan jiwa lahir dari tempat tak terduga, dan pertolongan Allah lebih dekat dari yang dibayangkan. Bahkan dalam kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang bersembunyi dalam gua demi mempertahankan iman, menjadi simbol kekuatan keimanan yang mengalahkan zaman.

Gua-gua itu tidak bersuara, tapi sejarah bergetar dari sana. Sunyi mereka melahirkan takdir.

Gua Secang, di Bukit Selarong, adalah salah satunya. Jika gua di Ratu Boko menjadi ruang perenungan para raja kuno Jawa, maka Gua Secang adalah titik awal letusan spiritual dan militer yang mengguncang Jawa dan bahkan Eropa. Pangeran Diponegoro tidak memulai perjuangannya dari medan perang, tetapi dari dasar gua. Ia tidak menyusun barisan tentara di halaman istana, tetapi menyusun keteguhan hati di ruang sempit yang hanya muat satu tubuh dan satu doa.

Di gua itulah, sang pangeran mendengar dentang sunyi yang menyingkap kebusukan penjajahan. Ia mendengarkan denyut rakyatnya yang terluka. Ia berbicara dengan Tuhannya, merumuskan makna jihad yang bukan tentang ambisi, melainkan amanah. Di gua itu, ia menyucikan niat. Menelanjangi pamrih. Dan dari gua itu, keputusan besar dilahirkan: melawan.

Pangeran Diponegoro tidak terlahir sebagai pemberontak. Ia lahir sebagai bangsawan keraton, dengan seluruh hak atas kenyamanan dan kedudukan. Namun yang tak banyak orang pahami adalah bahwa api perjuangan bukan hanya menyala karena ketidakadilan luar, tetapi juga karena kejujuran batin. Kejujuran itulah yang menuntunnya ke Gua Secang.

Ia bisa saja memilih kenyamanan istana. Tapi ia memilih keheningan gua. Ia bisa saja menyusun siasat dari keraton, tapi ia justru menyiapkan revolusi dari balik semak dan cadas. Inilah keindahan jalan sunyi: melahirkan kekuatan yang tak bisa dihitung oleh senjata atau jumlah pasukan.

Peter Carey, dalam karya monumentalnya tentang Diponegoro, mencatat bahwa Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perang politik, melainkan perang spiritual. Perang menegakkan Islam sebagai jalan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam teks Malangyuda yang dikutip GWJ Drewes, tujuan utama Diponegoro adalah mengusir kekuasaan yang tak mengakui kebenaran Islam, dan menegakkan tatanan baru yang adil, berlandaskan syariat.

Maka dari gua itu, perang sabil dimulai. Sebuah perang yang bukan dilandasi kebencian, tapi cinta yang dalam kepada rakyat dan Tuhan. Sebuah perang yang tidak didesain oleh para penasihat militer, melainkan oleh hati yang terasah dalam zikir dan tafakur. Dari gua itu, bukan hanya senjata yang diasah, tapi kesadaran sejarah dan misi kenabian.

Keputusan melawan Belanda bukan tindakan spontan. Itu adalah buah dari kontemplasi panjang—sebuah revolusi yang berakar pada keikhlasan, bukan pada ambisi. Diponegoro tahu bahwa kekuatan militer Belanda jauh di atasnya. Tapi yang ia miliki adalah sesuatu yang tak bisa diukur: kekuatan ruhani.

Setiap strategi yang ia keluarkan lahir dari gua, bukan dari ruang sidang. Setiap keputusan militer adalah hasil semedi yang panjang, bukan rapat politik yang bising. Inilah bedanya kekuasaan yang dibangun di atas doa, dibandingkan dengan kekuasaan yang lahir dari intrik dan tipu daya.

Seratus tahun kemudian, dari 1830 ke 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Banyak yang melihat ini sebagai rentang sejarah biasa. Tapi bagi orang yang membaca jejak sunyi, ini adalah gema dari Gua Secang yang menembus abad. Dari gua itulah awal kehancuran VOC dimulai, bahkan ketika kekuatan senjata mereka masih mendominasi. Karena sejarah tidak selalu bergerak dengan sorak-sorai. Ia juga bisa bergerak dari bisikan dan air mata yang jatuh di tengah doa.

Apakah Diponegoro termasuk para pembaharu yang dijanjikan Allah dalam setiap abad? Mungkin. Bukankah ia telah menyambung estafet perjuangan Islam dengan keyakinan dan pengorbanan yang tulus? Bukankah ia telah menghidupkan ruh jihad ketika banyak yang tertidur dalam pesona dunia? Dan bukankah ia lebih memilih gua daripada singgasana, seperti para nabi dan orang-orang pilihan?

Gua bukan tempat pelarian. Ia adalah ruang kelahiran kembali. Setiap pemimpin sejati, sebelum melangkah ke kancah dunia, harus lebih dulu masuk ke dalam dirinya sendiri. Harus lebih dulu menundukkan egonya. Harus lebih dulu merumuskan ulang untuk siapa ia hidup dan mati.

Pangeran Diponegoro mengajarkan itu. Ia menunjukkan bahwa kekuatan terbesar tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam. Bahwa kemenangan sejati tidak dimulai dari medan perang, tetapi dari pertarungan batin yang dimenangkan dalam sunyi.

Dan seperti gua-gua lainnya yang dicatat sejarah, Gua Secang menjadi saksi. Bukan hanya bagi suara takbir yang menggema, tapi bagi doa yang lirih. Bukan hanya bagi strategi militer, tapi bagi air mata pertobatan dan cinta. Di sanalah jiwa pemimpin ditempa. Di sanalah sejarah dilahirkan.

Kini, di antara reruntuhan Ratu Boko dan bukit Selarong, dua gua yang terpisah zaman tapi bersatu dalam pesan. Bahwa kekuasaan sejati adalah buah dari keheningan. Bahwa pemimpin besar tidak dibentuk oleh gemerlap dunia, tapi oleh kesanggupan menatap langit dari dasar bumi.

Gua-gua itu tetap sunyi. Tapi sejarah telah membuktikan: dari sunyi mereka, suara keadilan bergema hingga kini.

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol ...

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol dan Portugal, tanah yang dahulu dikenal sebagai Andalusia?

Langkahkan kaki menuju Granada. Pandanglah Istana Al-Hambra. Sentuh dinding-dindingnya yang bisu, namun sesungguhnya berbicara. Dengarkan bisikan batu-batu yang terpahat. Di sanalah strategi kejayaan Islam masih hidup—bukan dalam bentuk bala tentara, melainkan dalam hikmah yang membungkus jejak sejarah.

“Laa Ghaaliba Illallaah.” Tiada kemenangan kecuali karena Allah. Kalimat itu bukan sekadar ukiran, melainkan nyawa peradaban yang menghidupkan Al-Hambra.

Kalimat tersebut menjadi semboyan Dinasti Bani Ahmar, Nasrid, yang memerintah Granada selama lebih dari dua abad. Sultan Muhammad I ibn Nasr, sang pendiri dinasti, menjadikannya landasan spiritual dan strategi politik. Di balik kaligrafi yang anggun, terpahat strategi yang bukan hanya merancang istana, tapi juga menaklukkan jiwa manusia.

Islam di Al-Hambra tidak dibangun hanya dengan batu, melainkan dengan iman yang mengakar. Arsitektur bukan sekadar keindahan, melainkan pernyataan tauhid. Setiap lengkung pintu, setiap jendela yang menghadap ke langit, setiap kubah yang menjulang—adalah doa yang dibentuk dalam geometri.

Dan ketika kita menyusuri lorong-lorongnya, seolah kita sedang membaca sejarah bukan dengan buku, tapi dengan ruang dan cahaya. Kita diajak kembali kepada akar kejayaan: bahwa kemenangan bukan karena jumlah, kekayaan, atau teknologi, melainkan karena kesucian tujuan dan keikhlasan jiwa.

Umar bin Khattab, pemimpin agung generasi awal, telah meletakkan fondasi strategi ini. Ketika melepas pasukan kaum Muslimin ke medan jihad, beliau berkata:

“Aku tidak mengirim kalian karena banyaknya jumlah kalian atau kekuatan kalian. Tapi aku mengirim kalian dengan doa karena kalian adalah pasukan Allah. Jangan berbuat dosa, karena dosa adalah sebab kekalahan. Aku lebih takut terhadap dosa-dosa kalian daripada kekuatan musuh kalian.”

Itulah strategi sejati. Sebuah strategi yang menjadikan takwa sebagai kekuatan utama, bukan senjata atau logistik. Ia menaklukkan hati sebelum menaklukkan wilayah. Dan itulah pula ruh yang mengalir dalam tembok-tembok Al-Hambra.

Al-Hambra menyimpan gema nubuwah Rasulullah ï·º tentang pasukan laut umat Islam. Ketika Ummu Haram bertanya kepada Rasulullah tentang pasukan pertama yang akan berperang di lautan, beliau menjawab:

"Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan adalah penghuni surga."

"Ya Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka?"

"Engkau termasuk bersama mereka."

Hadits ini bukan sekadar prediksi. Ia adalah undangan ilahiah untuk memasuki dimensi perjuangan yang belum pernah disentuh: lautan. Tantangan yang belum dikenal, namun telah disiapkan oleh Rasulullah dengan doa dan visi.

Dan sejarah pun mencatat: Khalifah Utsman bin Affan membuka jalan. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan membangunnya dengan sistematis. Ia mendirikan galangan kapal di pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Akka, Sur (Tirus), dan Arwad. Ia melatih tentara laut, merekrut para pejuang dari penduduk pesisir Syam yang telah akrab dengan laut, dan mengembangkan sistem logistik maritim untuk perjalanan panjang.

Strategi ini bukan sekadar perluasan wilayah. Ia adalah ekspansi iman. Laut bukan lagi penghalang dakwah, tetapi medan baru yang harus dilalui dengan iman dan kehati-hatian.

"Wahai laut," seolah mereka berkata, "engkau bukan akhir dari peradaban, engkau hanyalah awal dari misi kami yang lebih jauh."

Dari sinilah dimulai ekspedisi menuju Barat. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad muncul bukan sebagai penakluk biasa. Mereka membawa semangat Rasulullah dan warisan ruhani Umar bin Khattab. Ketika Thariq membakar kapal-kapalnya dan berkata kepada pasukannya bahwa di hadapan mereka adalah musuh dan di belakang mereka adalah lautan, ia sedang menanamkan satu hal: tawakkal yang absolut.

Islam masuk ke Eropa bukan dengan pemaksaan, tapi dengan pancaran keadilan. Di Andalusia, selama berabad-abad, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat berkembang di bawah naungan Islam. Kota-kota menjadi pusat keilmuan. Cordoba bersinar ketika Eropa masih tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan.

Namun semua itu berpulang kepada satu fondasi: "Laa Ghaaliba Illallaah."

Di dinding Al-Hambra, kalimat itu bukan hanya menjadi hiasan, tapi azimat spiritual yang membentengi peradaban. Ia mengingatkan para penguasa, tentara, dan rakyat bahwa kemenangan adalah milik Allah. Bahwa siapa pun yang menyombongkan diri akan dijatuhkan, dan siapa pun yang bergantung kepada Allah akan ditinggikan.

Maka tidak heran jika Al-Hambra bukan sekadar bangunan, tapi monumen spiritual. Ia menjadi pengingat, bahkan di tengah keterpurukan dan kejatuhan, bahwa kejayaan hakiki bukan pada dominasi politik semata, tetapi pada kesetiaan kepada nilai-nilai tauhid.

Dan pesan ini tidak berhenti di sana.

Jauh setelah Andalusia jatuh, gema "Laa Ghaaliba Illallaah" tetap sampai ke jantung dunia Islam. Seorang pemuda di Timur menyambutnya dengan semangat yang membara. Dialah Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kejayaan bukanlah hak eksklusif bangsa atau ras tertentu, melainkan milik siapa saja yang mengikatkan dirinya pada Allah.

Al-Fatih mewariskan pesan kepada putranya menjelang wafatnya:

"Ingatlah anakku, aku telah menaklukkan Konstantinopel, dan aku mewasiatkan padamu untuk terus menegakkan kalimat Allah di atas muka bumi. Jika engkau lalai, kehinaan akan menimpamu di dunia dan akhirat."

Apa makna dari semua ini?

Bahwa strategi kejayaan Islam tidak pernah berubah. Ia tidak bergantung pada jumlah pasukan, gemerlap senjata, atau arsitektur megah. Ia bertumpu pada satu kalimat:

"Laa Ghaaliba Illallaah."

Jika kalimat ini hidup dalam jiwa, maka tembok yang kokoh akan tumbuh bahkan di tengah badai. Jika kalimat ini dipahat dalam amal, maka sejarah akan menulis kejayaan bahkan di tengah kehancuran.

Hari ini, kita tidak sedang membangun istana seperti Al-Hambra. Tapi kita bisa membangun hati yang menjadi tempat tinggal bagi strategi yang sama. Kita bisa menjadikan rumah, sekolah, masjid, dan lembaga kita sebagai tempat-tempat di mana kalimat tauhid itu menjadi napas dan cahaya.

Dan jika suatu hari anak-anak kita bertanya, “Di mana kejayaan Islam berada?” Maka bawalah mereka bukan hanya ke Granada, tapi ke dalam jiwa yang telah diukir oleh keyakinan: bahwa tiada kemenangan kecuali karena Allah.

Karena yang sejati, tak pernah runtuh meski istananya runtuh. Yang sejati tetap bersinar, bahkan jika lampunya dipadamkan.

Dan Al-Hambra, dengan segala bisunya, tetap berkata:

“Tiada kemenangan kecuali karena Allah.”

TITIK KRITIS MANUSIA DALAM KISAH DI AL-QUR’AN Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ada momen dalam hidup ketika waktu terasa diam. Naf...

TITIK KRITIS MANUSIA DALAM KISAH DI AL-QUR’AN

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ada momen dalam hidup ketika waktu terasa diam. Nafas berhenti sejenak, dan dunia tampak menunggu. Saat itulah kita berada di sebuah titik—sebuah persimpangan batin—yang akan menentukan ke mana langkah berikutnya bermuara. Sebuah titik kritis.

Titik inilah yang oleh Al-Qur’an diceritakan berulang-ulang. Ia bukan sekadar kisah sejarah, tapi potret jiwa. Karena manusia tak pernah berubah sepenuhnya: ia tetap makhluk dengan kehendak, kegelisahan, dan keputusan. Dan dalam titik-titik tertentu, nasib hidupnya akan berpaling: ke cahaya, atau ke jurang.

Mari duduk sejenak dan renungkan bersama. Dalam kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, apa yang sesungguhnya ingin Allah tunjukkan? Di mana letak keputusan yang mengguncang takdir itu?

Saat panen siap dipetik.

Bayangkan: bertahun-tahun merawat pohon, mencangkul tanah, menyiram dan memupuk, lalu hasilnya melimpah ruah. Harusnya hati bersyukur. Tapi justru di saat itulah manusia diuji paling keras.

"Aku lebih banyak hartaku darimu. Aku lebih berpengaruh. Aku rasa kebun ini takkan pernah binasa. Bahkan kalau kiamat pun datang, aku pasti selamat."

Nada sombong itu muncul bukan saat kerja keras dilakukan. Tapi justru saat hasil datang.

Lalu datanglah pagi. Sang pemilik kebun lain bangun sebelum fajar. Ia mengajak teman-temannya diam-diam pergi ke kebun.

"Jangan beri tahu siapa pun. Jangan biarkan orang miskin tahu kita akan panen hari ini. Ini semua milik kita."

Tapi mereka lupa. Ada Tuhan yang melihat.

Ketika mereka sampai di kebun, mereka terkejut. Pohon-pohon yang rimbun semalam kini gosong, tanahnya tandus. Hasil yang mereka sembunyikan lenyap tanpa bekas.

Kisah ini adalah potret titik kritis. Bukan pada masa kerja keras, tapi saat menerima hasil. Saat limpahan dunia datang: apakah hati akan bersyukur, atau merasa menjadi tuhan kecil yang tak tersentuh?

Saat berada di puncak kekuasaan.

Qarun tidak diceritakan saat ia masih miskin. Al-Qur’an tidak mencatat langkah-langkah awalnya menjadi orang berada. Tetapi ketika ia sudah sangat kaya, ketika kunci-kunci gudangnya harus diangkat oleh beberapa orang kuat, barulah kisah itu dimulai.

"Sesungguhnya aku diberi harta ini karena ilmuku."

Ia tak menyebut nama Allah. Tak menyebut rahmat atau takdir. Ia merasa cukup oleh dirinya sendiri.

Dan bumi pun menelannya.

Begitu pula dengan para pembesar kaum. Mereka tidak diceritakan saat mereka masih berjuang mencari kekuasaan. Tapi ketika sudah duduk di singgasana. Ketika jubah mereka disanjung rakyat, dan ucapan mereka menjadi hukum.

"Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada salah satu dari pembesar kota kami?"

Inilah titik kritis para elit: saat kebenaran datang, tapi mereka menolaknya karena tidak sesuai struktur yang mereka bangun. Mereka ingin kebenaran tunduk pada mereka, bukan sebaliknya.

Namun ada raja yang lulus dari titik kritis ini.

Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dua nabi yang juga raja besar, justru menunjukkan kerendahan hati di tengah kekuasaan dan kekayaan.

Nabi Daud menangis saat menerima peringatan dari Allah. Ia tidak marah, tidak menyangkal. Ia langsung bersujud dan bertaubat.

Sedangkan Nabi Sulaiman, meski memiliki pasukan jin, manusia, dan burung—serta bisa berbicara dengan hewan—tetap berkata:

"Ini semua adalah karunia dari Tuhanku, untuk mengujiku: apakah aku bersyukur atau kufur."

Ia tidak mengklaim semua karena kepandaiannya. Tidak menyombongkan diri. Ia tahu, segala yang besar itu hanyalah titipan dan ujian.

Saat Nabi datang membawa risalah.

Ketika wahyu turun, ketika kebenaran disampaikan, manusia berhadapan langsung dengan cermin dirinya. Mau mengakui? Atau mencari seribu alasan untuk menolak?

Kaum Yahudi menolak Muhammad ï·º karena ia bukan dari kalangan mereka. Mereka berkata, "Mengapa bukan dari Bani Israil?" Padahal tanda-tanda kenabiannya sangat jelas.

Ini titik kritis yang paling tajam: sanggupkah seseorang merendahkan egonya, menjatuhkan egonya sendiri, untuk mengakui kebenaran dari Allah, walau datang dari luar ekspektasi?

Saat bisikan terdengar—dari malaikat atau setan.

Manusia tidak hidup dalam keheningan batin. Selalu ada suara. Selalu ada bisikan. Setiap keputusan besar sering kali lahir dari percakapan batin: siapa yang kita dengarkan?

Adam dan Hawa hanya mendengar satu kalimat:

"Tuhanmu tidak melarangmu dari pohon ini kecuali karena Dia tidak ingin kau menjadi malaikat atau kekal."

Lalu mereka makan. Dan turunlah mereka dari surga.

Yusuf pun pernah dihadapkan pada bisikan. Wanita itu telah menginginkannya. Dan Yusuf... hampir saja, seandainya ia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Maka Yusuf pun selamat, karena Allah menjaga hatinya.

Saat sakit, miskin, dan sendirian.

Tak banyak kisah seperti ini di Al-Qur’an. Tapi satu tokoh tampil penuh kemuliaan: Nabi Ayyub.

Ia kehilangan semua: harta, anak, tubuhnya dipenuhi penyakit. Teman menjauh. Istri nyaris putus asa.

Tapi Ayyub berseru lirih:

"Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit. Dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang dari segala penyayang."

Ia tidak menyalahkan. Ia tidak marah. Ia hanya mengadu dengan penuh kelembutan.

Itu titik kritisnya. Dan ia lulus.

Apa yang bisa kita ambil dari semua ini?

Titik kritis bukan hanya soal ujian berat. Ia bisa datang dalam bentuk keberhasilan. Bisa hadir dalam bentuk pujian. Bisa terselip dalam harta, jabatan, bahkan bisikan pikiran.

Di titik itulah jalan bercabang. Satu ke arah ketaatan. Satu ke arah kehancuran.

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus...”

Tuhan tidak menyuruh kita menang dalam semua hal. Tapi Dia ingin kita lulus dalam satu hal: menjaga hati di titik-titik genting itu.

Mungkin kita bukan pemilik kebun, bukan penguasa, bukan pula Nabi. Tapi setiap kita punya titik kritis masing-masing. Ada saat kita harus memutuskan: siapa yang kita dengar? Ke mana hati berpaling? Apa yang kita ucapkan? Kepada siapa kita bersandar?

Itulah saat di mana langit memperhatikan kita.

Dan semoga, kita mengambil keputusan yang membuat para malaikat berkata, “Inilah hamba-Mu yang lulus dari ujian...”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (563) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (490) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (251) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (235) Sirah Sahabat (152) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)