Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel?
Dari Madinah ke New York
Di sebuah hotel mewah di jantung Manhattan, bendera Suriah berkibar berdampingan dengan bendera Amerika. Kamera wartawan menyorot langkah Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa yang baru saja tiba untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sisinya, berdiri Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio. Seakan dunia sedang menyaksikan halaman baru dari sejarah Timur Tengah—halaman yang ditulis dengan tinta diplomasi, tetapi juga dengan bayangan perang yang masih basah.
Sharaa berbicara dengan nada hati-hati, kadang tegas, kadang ragu. Ia menyebut “kedaulatan Suriah” sebagai garis merah, tetapi juga membuka pintu bagi kesepakatan keamanan dengan Israel. Ucapan itu terdengar seperti gema dari lembaran lama sejarah: Rasulullah ï·º di Madinah, duduk bersama para pemuka Yahudi, menandatangani Piagam Madinah. Perjanjian ditulis, pena digores, dan kesepakatan tercatat.
Pertanyaannya kini: apakah strategi Rasulullah ï·º itu bisa menjadi cermin bagi Suriah hari ini?
---
Sejarah Rasulullah ï·º dan Perjanjian dengan Yahudi
Mari kita kembali ke Madinah abad ke-7. Rasulullah ï·º baru saja hijrah dari Mekah, membawa kaum Muhajirin yang terusir dari rumah dan harta. Di Madinah, beliau menemukan kaum Anshar yang setia menyambut. Namun, ada juga komunitas Yahudi—Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzhah—yang telah lama menetap di sana.
Beliau tidak memilih jalan konfrontasi langsung. Rasulullah ï·º menandatangani Piagam Madinah, sebuah dokumen yang disebut oleh sebagian sejarawan sebagai “konstitusi tertulis pertama di dunia.”
Intinya jelas:
Kaum Muslim dan Yahudi hidup berdampingan.
Masing-masing bebas menjalankan agamanya.
Jika Madinah diserang, semua wajib membela bersama.
Tidak boleh ada pengkhianatan atau aliansi sepihak dengan musuh.
Namun, sejarah membuktikan: tidak semua Yahudi menepati perjanjian itu.
Bani Qaynuqa’ mengkhianati kesepakatan dengan melecehkan seorang perempuan Muslimah. Mereka pun diusir dari Madinah.
Bani Nadhir merencanakan pembunuhan Rasulullah ï·º. Mereka pun diusir.
Bani Qurayzhah, dalam Perang Khandaq, bersekutu dengan Quraisy dan berkhianat di saat paling genting. Akhirnya mereka ditumpas habis.
Di sinilah letak strategi Rasulullah ï·º:
Beliau tidak menolak perjanjian. Beliau bahkan memulai dengan diplomasi. Tetapi beliau juga tidak pernah membiarkan perjanjian jadi tameng pengkhianatan. Ada garis batas: hidup bersama boleh, tetapi begitu dikhianati, tindakan tegas diambil.
---
Suriah di Bawah Bayang-Bayang Israel
Kini, mari kita kembali ke abad ke-21. Suriah dan Israel secara formal masih dalam keadaan perang. Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel sejak 1967, masih menjadi luka menganga.
Sharaa berkata di New York:
> “Saya berharap akan tercapai kesepakatan yang menjaga kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran keamanan Israel. Tetapi pertanyaan besarnya: apakah Israel benar-benar peduli pada keamanan, ataukah mereka punya rencana ekspansionis?”
Kata-kata itu ibarat gema dari sejarah panjang pengkhianatan. Suriah tahu, Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, tetapi berkali-kali melanggarnya lewat invasi militer dan ekspansi pemukiman.
Lebih dari 1.000 kali, pesawat tempur Israel menghujani bom ke tanah Suriah. Infrastruktur militer dihancurkan, bahkan kamp pengungsi tak luput dari serangan. Kini, Suriah mencoba jalur baru: meja perundingan. Tetapi bisakah perjanjian dengan Israel dipandang sebagai jalan keluar, atau justru jebakan?
---
Membaca Strategi — Antara Sirah dan Realpolitik
Mari kita bayangkan: jika Rasulullah ï·º berada di meja itu, apa yang akan beliau lakukan?
Pertama, beliau akan menandatangani perjanjian jika itu bisa memberi ruang bernapas bagi umat. Piagam Madinah adalah contohnya. Bagi Rasulullah ï·º, diplomasi bukan tanda kelemahan, tetapi strategi untuk mengatur tempo perlawanan.
Kedua, beliau tidak akan menyerahkan kedaulatan. Perjanjian boleh dibuat, tetapi garis merah tetap jelas: tidak ada kompromi pada wilayah kaum Muslimin. Ketika Yahudi berkhianat, Rasulullah ï·º tidak segan mengambil langkah keras.
Ketiga, beliau selalu memadukan diplomasi dengan kekuatan real. Piagam Madinah berhasil bukan hanya karena ada tinta di atas kertas, tetapi karena Rasulullah ï·º memiliki kekuatan militer dan persatuan umat yang bisa menekan pihak Yahudi untuk menghormati perjanjian.
Pertanyaan reflektif untuk Suriah kini: apakah Suriah memiliki daya tekan yang cukup untuk menegakkan perjanjian dengan Israel? Tanpa kekuatan, perjanjian hanya akan jadi selembar kertas kosong.
---
Suriah Pasca-Assad — Harapan atau Jebakan?
Sharaa adalah wajah baru Suriah. Ia lahir dari medan perang, mantan komandan jihad yang menggulingkan Bashar al-Assad. Kini ia berdiri di panggung dunia, berbicara dengan bahasa diplomasi. Dunia menyambutnya dengan tepuk tangan.
Tetapi Israel tidak hanya menunggu perjanjian. Israel melihat kesempatan. Dengan Hizbullah dilemahkan, dengan Iran terusir dari Suriah, Israel kini ingin memastikan Suriah tidak lagi jadi ancaman.
Dalam hal ini, Suriah berada di persimpangan:
Jika ia menandatangani perjanjian tanpa kekuatan, ia akan bernasib seperti Bani Qaynuqa’ dan Nadhir—dijebak, lalu disingkirkan.
Jika ia membangun kekuatan sambil berdiplomasi, ia mungkin bisa meniru strategi Rasulullah ï·º: menggunakan perjanjian sebagai batu loncatan, bukan akhir perjalanan.
---
Diplomasi yang Dibalut Luka Gaza
Sharaa tidak lupa menyebut Gaza. Ia berkata:
> “Ada kemarahan besar atas apa yang terjadi di Gaza, bukan hanya di Suriah, tetapi di seluruh dunia. Dan tentu saja, ini berdampak pada posisi kami terhadap Israel.”
Inilah paradoks diplomasi Arab modern: di satu sisi, ada dorongan untuk menandatangani perjanjian demi stabilitas. Di sisi lain, ada luka Palestina yang terus berdarah, yang membuat setiap perjanjian dengan Israel terasa seperti pengkhianatan.
Sejarah Rasulullah ï·º memberi jawaban: diplomasi tidak harus berarti menyerah. Diplomasi bisa menjadi strategi, asal ada kekuatan untuk menekan.
---
Pertanyaan Ideologis
Kini, mari kita bertanya lebih jauh:
Apakah Suriah akan menandatangani perjanjian seperti Piagam Madinah?
Apakah Suriah siap mengambil tindakan tegas jika Israel melanggar?
Apakah Suriah punya kekuatan militer, politik, dan moral untuk menekan Israel?
Rasulullah ï·º mengajarkan: perjanjian bukan tujuan, perjanjian hanyalah sarana. Tujuan sejati adalah menjaga kehormatan, kedaulatan, dan kejayaan umat.
Jika Suriah hanya mengejar stabilitas jangka pendek, perjanjian itu akan rapuh. Tetapi jika ia membangun strategi jangka panjang—memperkuat rakyatnya, menghidupkan kembali perlawanan, dan menyiapkan diri menghadapi pengkhianatan—maka perjanjian itu bisa menjadi jalan menuju kekuatan baru.
---
Dialog Imajinatif
Mari kita dengarkan seolah ada percakapan lintas zaman.
Sharaa berkata di New York:
“Kami ingin kesepakatan yang menjamin kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran Israel.”
Seakan Rasulullah ï·º menjawab dari Madinah:
“Kesepakatan itu baik. Tetapi ingatlah, wahai Sharaa, bahwa Yahudi di Madinah pun pernah berjanji, lalu berkhianat. Janganlah engkau tertipu oleh manisnya kata-kata, jika engkau tidak punya kekuatan untuk menegakkan keadilan.”
Sharaa terdiam. Sorotan lampu konferensi menyorot wajahnya. Apakah ia mendengar gema sejarah itu?
---
Epilog: Jalan di Persimpangan
Sejarah memberi pelajaran, tetapi politik hari ini menuntut keputusan. Suriah kini berada di titik krusial. Perjanjian dengan Israel bisa berarti stabilitas, tetapi juga bisa menjadi jerat.
Rasulullah ï·º telah menunjukkan strategi: berdamai ketika perlu, bertindak tegas ketika dikhianati, dan selalu memastikan bahwa diplomasi tidak pernah berdiri sendirian tanpa kekuatan.
Maka, pertanyaan bagi kita hari ini:
Apakah Suriah akan memilih jalan Rasulullah ï·º—menjadikan perjanjian sebagai strategi dengan kekuatan menekan—atau jalan raja-raja Arab sebelumnya yang menandatangani perjanjian tanpa daya, hanya untuk akhirnya dipermainkan Israel?
Sejarah akan mencatat jawabannya.
0 komentar: