Godfrey de Bouillon Sang Panglima Salib, dan Jejak Belgia dalam Pengakuan Palestina
Bayangan Masa Lalu di Baitul Maqdis
“Sejarah adalah cermin yang retak,” kata seorang sejarawan, “tetapi di dalam retakannya, kita melihat wajah kita sendiri.” Begitulah Palestina: tanah yang tidak pernah sepi dari klaim, darah, dan doa.
Di abad ke-11, tanah itu direbut oleh pasukan Salib Eropa di bawah kepemimpinan Godfrey de Bouillon, seorang bangsawan dari Lorraine yang wilayahnya kini masuk ke Belgia. Bersamanya ada sang adik, Baldwin I, yang kelak menjadi raja Yerusalem pertama. Nama keduanya masih bergema dalam catatan perang dan dalam ingatan sejarah Kristen Eropa.
Namun delapan abad kemudian, negeri kecil yang lahir di jantung Eropa modern itu—Belgia—justru menjadi bagian dari percaturan diplomasi yang berusaha memberi ruang hidup bagi bangsa Palestina. Seolah sejarah bergerak dalam lingkaran: dari penaklukan, menuju penyesalan, hingga pada akhirnya pencarian keadilan.
Al-Qur’an telah mengingatkan:
> “Dan mereka (Bani Israil) berkata: ‘Neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari yang dapat dihitung.’ Katakanlah: ‘Apakah kamu telah menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya? Ataukah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’”
(QS. Al-Baqarah [2]: 80).
Ayat ini menggema bukan hanya untuk Bani Israil, tetapi juga untuk siapa saja yang merasa memiliki hak kekal atas tanah suci. Sejarah membuktikan, siapa pun yang datang dengan kesombongan kekuasaan, akhirnya akan digulung oleh pergantian zaman.
---
1. Godfrey de Bouillon dan Baldwin I: Jejak Salib dari Tanah Belgia
Ketika Paus Urbanus II pada tahun 1095 menyerukan Perang Salib Pertama, Eropa terpecah antara kerinduan religius, kerakusan politik, dan kebutuhan ekonomi. Dari wilayah Lorraine—yang meliputi sebagian besar Belgia sekarang—lahir seorang tokoh yang kemudian disebut sejarawan sebagai “the most pious crusader”: Godfrey de Bouillon.
Menurut Jonathan Riley-Smith, sejarawan otoritatif Perang Salib, Godfrey dipandang sebagai figur yang menggabungkan kesalehan pribadi dengan ambisi politik. Ia menolak menyebut dirinya raja Yerusalem setelah penaklukan 1099, memilih gelar Advocatus Sancti Sepulchri—“Pelindung Makam Kudus.” Namun, sejarawan lain, seperti Steven Runciman, menilai sikap ini lebih sebagai strategi politik untuk menghindari kecemburuan Paus dan kaisar Eropa.
Sementara itu, adiknya, Baldwin I, berbeda jalan. Setelah Godfrey wafat pada 1100, Baldwin naik takhta sebagai Raja Yerusalem pertama. Ia memperluas kekuasaan Latin di Palestina, mengonsolidasikan kota-kota pesisir, dan menjadikan kerajaan Salib sebagai entitas politik yang kokoh selama beberapa dekade. Runciman menulis:
> “Without Baldwin I, the Kingdom of Jerusalem would have collapsed in its infancy; with him, it gained a spine and a crown.”
Artinya, dari rahim Belgia (dalam arti genealogis-politik), lahir dua figur pendiri kerajaan Kristen Latin di tanah Palestina. Mereka menorehkan jejak yang hingga kini menempel pada identitas Belgia, meski tak selalu disadari oleh warganya.
Namun, sejarah juga mencatat: penaklukan Yerusalem oleh Godfrey dan pasukannya dipenuhi darah. Menurut kronik Fulcher dari Chartres, ribuan Muslim dan Yahudi dibantai. Adegan itu meninggalkan luka sejarah yang dalam, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi relasi Timur dan Barat.
---
2. Belgia Modern dan Mandat Palestina
Melompat ke abad ke-20, peta dunia berubah. Kesultanan Utsmaniyah runtuh pada 1918. Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui Mandat Liga Bangsa-Bangsa. Belgia, meski tidak memegang mandat, ikut serta dalam perundingan-perundingan pasca-Perang Dunia I.
Sebagai negeri kecil dengan koloni besar di Afrika (Kongo, Rwanda, Burundi), Belgia memahami arti strategi kolonial. Ia tidak bisa absen dari pembahasan Timur Tengah, sebab posisi Arab berhubungan dengan jalur perdagangan global.
Di forum internasional, Belgia lebih sering menjadi pendukung suara Eropa kolektif ketimbang pemain independen. Namun sikapnya terhadap Palestina selalu terikat pada dilema moral: antara solidaritas Eropa dengan Israel, dan kesadaran historis bahwa tanah itu pernah direbut bangsawan mereka sendiri dengan pedang Salib.
---
3. Belgia dan PLO: Dari Keraguan ke Pengakuan Diplomatik
Ketika Palestine Liberation Organization (PLO) lahir tahun 1964, Belgia awalnya ragu. AS dan sekutu Eropa Barat menganggap PLO organisasi radikal. Tetapi realitas berubah pasca-Pertempuran Karameh (1968), ketika PLO di bawah Yasser Arafat menunjukkan daya juang.
Pada 1975, PBB mengakui PLO sebagai wakil sah bangsa Palestina. Belgia mengikuti garis Uni Eropa: memberi legitimasi politik, meski belum setingkat negara penuh.
Titik penting datang pada Deklarasi Venesia (1980). Uni Eropa—dengan Belgia sebagai salah satu penandatangan—menegaskan bahwa bangsa Palestina berhak menentukan nasib sendiri, dan PLO harus dilibatkan dalam proses damai.
Sejarawan Eropa mencatat, inilah saat ketika Barat untuk pertama kalinya secara kolektif mengakui Palestina sebagai aktor sah, bukan sekadar pengungsi atau masalah kemanusiaan. Bagi Belgia, ini juga berarti mengambil jarak dari sejarah kelam Perang Salib—dari bangsa yang dulu merebut Yerusalem dengan pedang, kini memberi ruang bagi Palestina di meja diplomasi.
---
4. Belgia dan Pengakuan Palestina: Hati-hati tapi Konsisten
Memasuki abad ke-21, isu pengakuan negara Palestina kembali menguat. Pada 2014, parlemen Belgia mengeluarkan resolusi yang mendesak pemerintah untuk mengakui Palestina sebagai negara. Langkah ini selaras dengan gelombang pengakuan di Eropa—Swedia bahkan sudah melakukannya secara resmi.
Namun pemerintah Belgia memilih berhati-hati. Alasannya jelas: Belgia tidak ingin sendirian, melainkan bergerak bersama Uni Eropa. Meskipun demikian, Belgia tetap konsisten pada solusi dua negara, mengecam perluasan pemukiman ilegal Israel, dan menyalurkan bantuan besar melalui UNRWA.
Kini, di awal 2020-an, Belgia berada di garis depan Eropa dalam mendukung Palestina secara diplomatik dan kemanusiaan, meski belum sampai pada pengakuan unilateral penuh.
---
5. Refleksi Ideologis: Dari Salib ke Solidaritas
Jika ditarik garis panjang:
Abad ke-11: bangsawan Belgia merebut Palestina, membentuk kerajaan Latin di atas darah dan api.
Abad ke-20–21: Belgia menjadi negara kecil yang mendukung hak bangsa Palestina di forum internasional.
Perjalanan ini menunjukkan paradoks sejarah. Belgia yang dulu ikut merampas, kini ikut memperjuangkan pengakuan.
Sejarawan Arab kontemporer, Ilan Pappé, menulis bahwa Eropa “tidak bisa melepaskan diri dari beban sejarahnya di Palestina—mulai dari Perang Salib, kolonialisme, hingga lahirnya Israel.” Belgia termasuk dalam lingkaran ini: ia punya utang moral.
Al-Qur’an mengingatkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13:
> “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
Ayat ini menegaskan: sejarah bukan sekadar perebutan tanah, tetapi ujian moral untuk belajar saling mengenal dan menegakkan keadilan.
---
Epilog: Bayangan Godfrey di Brussels
Bayangkan jika arwah Godfrey de Bouillon berjalan di jalanan Brussels hari ini. Ia mungkin akan terkejut mendengar parlemen Belgia mendesak pengakuan Palestina. Ia yang dulu menumpahkan darah demi menguasai Yerusalem, kini melihat keturunannya menyerukan perdamaian di tanah yang sama.
Sejarah memang tidak berulang persis, tetapi ia sering berirama. Dari pedang ke diplomasi, dari penaklukan ke pengakuan. Dan di tengah semua itu, Palestina tetap menjadi cermin bagi bangsa-bangsa—apakah mereka memilih jalan kesombongan, atau jalan keadilan.
0 komentar: