Genosida dalam Hukum Internasional: Ketika Dunia Menutup Mata
> “Barang siapa membunuh seorang manusia—bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi—maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)
Ada saat ketika kata-kata kehilangan maknanya, ketika “hukum internasional” terdengar seperti doa tanpa iman, dan “hak asasi manusia” berubah menjadi jargon tanpa nyawa. Gaza adalah saksi dari kematian makna itu. Di sana, manusia dihancurkan, hukum dibungkam, dan dunia memilih diam.
Dua tahun genosida di Gaza bukan sekadar perang. Ia adalah ujian moral terbesar peradaban modern — ujian bagi bangsa-bangsa yang mengaku beradab, bagi institusi hukum yang dibanggakan, dan bagi nurani manusia yang kini nyaris padam.
---
1. Ketika Definisi Menjadi Daging dan Darah
Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1948) mendefinisikan genosida sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.”
Definisi itu, di atas kertas, terdengar dingin. Tetapi di Gaza, definisi itu menjadi hidup — dan berdarah.
> “Membunuh dan melukai anggota kelompok, mencegah kelahiran, serta menciptakan kondisi kehidupan yang dirancang untuk mengakibatkan kehancuran fisik kelompok itu.”
(Pasal II, Konvensi Genosida)
Semua tindakan itu kini terjadi di Gaza:
Lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk puluhan ribu anak-anak.
Hampir 170.000 orang terluka, banyak di antaranya kehilangan anggota tubuh.
Hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi, sebagian besar kehilangan rumah.
Blokade bantuan kemanusiaan membuat ratusan ribu orang kelaparan, sementara rumah sakit dikepung dan dihancurkan.
Kehidupan kolektif bangsa Palestina di Gaza diruntuhkan: pertanian, pendidikan, bahkan air bersih menjadi barang langka.
Inilah yang dimaksud Craig Mokhiber, mantan pejabat tinggi PBB, ketika ia berkata:
> “Genosida bukanlah angka. Ia adalah kehancuran atas kemampuan suatu bangsa untuk hidup, mencintai, dan mewariskan masa depan.”
---
2. Hukum yang Dibuat untuk Dilupakan
Kita sering memuja “hukum internasional” seolah ia adalah dewa penegak keadilan. Padahal, ia hanyalah perjanjian di atas kertas — tanpa roh, tanpa senjata, tanpa keberanian.
Konvensi Genosida 1948 memang mengikat 153 negara, termasuk Amerika Serikat, Israel, dan seluruh kekuatan Eropa. Namun pasal yang paling penting—“Setiap Negara Pihak wajib mencegah dan menghukum genosida”—hanya tinggal slogan.
ICJ (Mahkamah Internasional) di Den Haag telah memerintahkan Israel pada Januari 2024 untuk mencegah tindakan genosida, dan dua bulan kemudian agar membuka jalur bantuan tanpa hambatan. Tapi apa hasilnya?
Israel mengabaikan. Dunia membisu.
Tank terus bergerak, pesawat terus mengebom, dan anak-anak terus mati.
Hukum yang seharusnya menjadi pelindung manusia kini hanya menjadi saksi bisu pembantaiannya.
> “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh api neraka.”
(QS. Hud: 113)
---
3. Ketika Dunia Menjadi Komplis
Ada perbedaan antara tidak tahu dan tidak peduli. Dunia tidak bisa berdalih tidak tahu. Setiap bom yang dijatuhkan Israel terekam satelit, setiap tangisan anak Gaza tersiarkan langsung ke layar ponsel dunia.
Namun diamnya negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, menjadikan mereka bukan hanya penonton — tetapi komplices (penyerta kejahatan).
Susan Akram dari Universitas Boston menjelaskan:
> “Begitu tindakan diidentifikasi sebagai genosida, semua negara pihak konvensi wajib bertindak untuk menghentikannya. Diam berarti melanggar hukum internasional itu sendiri.”
Artinya, mereka yang mendiamkan atau tetap menyalurkan senjata kepada pelaku, sejatinya ikut serta dalam kejahatan itu.
Sebab dalam genosida, netralitas bukanlah kebaikan; ia adalah pengkhianatan.
---
4. Ketika Dunia Tak Lagi Punya Jiwa
Setiap generasi memiliki cermin untuk menguji kemanusiaannya. Bagi abad ke-20, itu adalah Holocaust dan Rwanda. Bagi abad ke-21, itu adalah Gaza.
Namun perbedaannya mencolok. Dahulu, dunia bersumpah “tidak akan pernah lagi.” Kini, dunia berkata “mungkin nanti saja.”
Dulu, genosida terjadi dalam bayangan. Kini, ia disiarkan langsung, dengan komentar dan grafik yang rapi.
Apakah ini peradaban?
Ketika dunia lebih sibuk memperdebatkan definisi daripada menghentikan darah?
Ketika manusia menonton kehancuran bangsa lain seperti menonton serial dokumenter?
Profesor Ernesto Verdeja mengingatkan:
> “Pencegahan genosida tidak boleh menunggu putusan hukum. Ia harus dimulai dari kesadaran moral, dari keberanian untuk menyebut kejahatan dengan namanya.”
Dan namanya di Gaza — adalah genosida.
---
5. Dunia yang Menutup Mata atas Dosa Sendiri
Ironinya, istilah “genosida” diciptakan oleh Raphael Lemkin, seorang pengacara Yahudi-Polandia yang kehilangan keluarganya dalam Holocaust. Ia bermimpi agar dunia tak lagi membiarkan kehancuran serupa.
Namun kini, bangsa yang lahir dari luka Holocaust justru menjadi pelaku kejahatan yang sama atas bangsa lain.
Di sinilah tragedi moral terbesar manusia modern:
ketika yang pernah tertindas berubah menjadi penindas,
ketika korban sejarah menjadi pelaku sejarah,
dan ketika rasa bersalah masa lalu digunakan untuk membenarkan kejahatan masa kini.
> “Apabila mereka berkuasa, mereka berbuat kerusakan di bumi dan menghancurkan tanam-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.”
(QS. Al-Baqarah: 205)
---
6. Keadilan yang Tertunda, Tapi Tidak Hilang
Benar bahwa Mahkamah Internasional bergerak lamban. Benar bahwa Dewan Keamanan lumpuh oleh veto. Tapi sejarah tidak lupa.
Rezim yang membunuh akan tumbang — bukan hanya oleh hukum manusia, tapi oleh hukum alam dan hukum Allah.
Nelson Mandela pernah berkata:
> “Kebebasan kami tidak akan pernah lengkap sebelum Palestina merdeka.”
Kini, kebebasan dunia pun tak akan pernah lengkap sebelum keadilan ditegakkan di Gaza. Sebab genosida bukan hanya kejahatan terhadap satu bangsa, tapi terhadap seluruh hati manusia.
---
7. Dari Gaza, Dunia Belajar Arti Keadilan
Barangkali inilah paradoks yang Tuhan tunjukkan kepada dunia: bahwa bangsa yang paling hancur justru menjadi saksi paling kuat atas kehancuran moral dunia.
Dari reruntuhan Gaza, lahir pertanyaan yang mengguncang fondasi peradaban:
Apa arti hukum, jika ia tak melindungi yang tertindas?
Apa arti hak asasi, jika hanya berlaku bagi yang kuat?
Dan apa arti kemanusiaan, jika ia berhenti di perbatasan politik?
Gaza memaksa dunia bercermin — dan melihat wajahnya sendiri yang tak lagi manusiawi.
---
Epilog: Hukum Langit yang Tak Pernah Lalai
Dunia boleh menutup mata, tapi langit tidak.
> “Dan janganlah kamu sangka bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)
Genosida di Gaza mungkin belum berakhir, tetapi sejarah belum selesai menulis bab terakhirnya. Hukum manusia mungkin lumpuh, tapi hukum langit tetap tegak — dan setiap darah yang tumpah akan menjadi saksi di hari pembalasan.
Maka tanggung jawab itu kini berpindah:
dari ruang sidang Den Haag ke hati nurani setiap manusia.
Dari pasal-pasal konvensi ke doa-doa di sepertiga malam.
Dari retorika politik ke keberanian moral untuk berkata:
“Cukup. Gaza bukan medan perang. Gaza adalah ujian nurani dunia.”
0 komentar: