Paradoks Palestina: Dari Perang Salib hingga Pasca Genosida, Antara Eropa dan Penguasa Arab
Sejarah Palestina adalah cermin pergulatan panjang antara penindasan dan perlawanan, antara kolonialisme dan kemerdekaan. Dalam lebih dari seribu tahun terakhir, tanah ini menjadi pusat perebutan kekuasaan dan makna: dari Perang Salib abad pertengahan hingga genosida modern di Gaza. Namun, paradoks terbesar justru terlihat hari ini: Palestina semakin menang di hati rakyat dunia, tetapi masih terhalang di meja politik internasional. Artikel ini akan menelusuri dinamika tersebut, dari era Perang Salib hingga pasca-genosida, dengan pandangan sejarawan, sosiolog, dan pakar geopolitik.
---
Palestina dalam Bayang-Bayang Perang Salib
Eropa sebagai Penjajah
Ketika Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib pertama pada 1095, Eropa bersatu atas nama agama untuk merebut Yerusalem dari tangan Muslim. Narasi yang dipakai kala itu mirip dengan yang terus berulang: bahwa Eropa datang sebagai “pembebas” dan “pelindung”. Perang Salib menjadi simbol kolonialisme dini, di mana agama dijadikan legitimasi penaklukan.
Sejarawan Karen Armstrong menulis bahwa Perang Salib membentuk imajinasi kolektif Barat: Palestina bukan sekadar tanah, tetapi simbol keabadian identitas Kristen Eropa. Narasi ini bertahan hingga era modern dan memengaruhi sikap Eropa terhadap pembentukan Israel.
Dunia Islam dan Dunia Arab
Sementara itu, dunia Islam mengalami kebangkitan solidaritas melawan pasukan Salib. Tokoh seperti Salahuddin al-Ayyubi bukan hanya panglima militer, tetapi juga simbol persatuan. Solidaritas Arab-Muslim kala itu lahir dari perpaduan identitas agama dan kesadaran geopolitik: mempertahankan jantung dunia Islam dari penjajahan asing.
---
Dari Kolonialisme Modern hingga 1948
Mandat Inggris dan Penjajahan Baru
Setelah Perang Dunia I, Palestina jatuh ke tangan Inggris melalui sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa. Inilah fase kolonialisme modern. Inggris menjadi mediator proyek Zionis, sementara rakyat Palestina kehilangan tanahnya secara perlahan. Deklarasi Balfour 1917 memperkuat legitimasi Israel, dan imajinasi Perang Salib kembali hidup dalam bentuk baru: Eropa sebagai penjamin “tanah janji” bagi orang Yahudi.
Dunia Arab dan Palestina
Pada periode ini, masyarakat Arab sudah bangkit dalam gelombang nasionalisme. Mereka mendukung Palestina, tetapi kepentingan negara masing-masing sering memecah. Perpecahan politik Arab membuat proyek Zionis melaju cepat.
---
1948: Nakba dan Awal Paradoks
Pada 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaan, sementara lebih dari 700.000 rakyat Palestina terusir dari tanah mereka. Peristiwa ini disebut Nakba — malapetaka nasional.
Masyarakat Arab: turun ke jalan mendukung Palestina. Solidaritas rakyat menguat, tetapi kekalahan militer negara Arab dalam perang 1948 memperlihatkan lemahnya koordinasi politik.
Masyarakat Eropa: masih larut dalam rasa bersalah Holocaust, sehingga dukungan pada Israel sangat kuat. Pemerintah Eropa menyuplai senjata, sementara suara pro-Palestina dianggap ekstrem.
Sejarawan Rashid Khalidi menilai sejak awal ada jurang antara rakyat dan negara. Rakyat Arab membela Palestina, negara Arab sibuk dengan stabilitas internal. Rakyat Eropa terbelah, tetapi negara Eropa mendukung Israel sepenuhnya.
---
Perang Dingin: Palestina sebagai Simbol Global
Dalam Perang Dingin, Palestina menjadi simbol pertarungan ideologi.
Uni Soviet dan blok Timur mendukung perlawanan Palestina.
AS dan Eropa Barat menjadi sponsor utama Israel.
Namun, paradoks tetap sama: masyarakat dunia bersimpati pada penderitaan Palestina, tetapi politik negara besar menutup ruang kemerdekaan. Demonstrasi mahasiswa, aktivis gereja, dan gerakan kiri di Eropa mulai menyuarakan Palestina, namun tak cukup mengubah kebijakan negara.
---
Intifada dan Perubahan Narasi
Intifada Pertama (1987–1993)
Gambar anak-anak melawan tank dengan batu mengubah persepsi dunia. Solidaritas rakyat Eropa mulai bergeser: Palestina dilihat bukan sekadar isu Arab, tetapi isu kemanusiaan.
Intifada Kedua (2000–2005)
Kekerasan Israel yang masif membuat simpati makin besar. Namun, pasca-9/11, narasi “terorisme” kembali dipakai untuk mendeligitimasi perlawanan Palestina.
---
Genosida Gaza dan Titik Balik Opini Publik
Masyarakat Eropa
Genosida Gaza membuka mata publik Eropa. Ratusan ribu orang turun ke jalan di London, Paris, Berlin, hingga Roma. Media sosial memperlihatkan realitas tanpa sensor.
Sosiolog Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai politik jaringan: solidaritas transnasional lahir dari konektivitas digital, melawan narasi resmi negara.
Negara Eropa
Beberapa negara mulai berubah: Spanyol, Irlandia, Norwegia, dan Slovenia mengakui Palestina. Tekanan publik membuat isu ini tak bisa lagi diabaikan. Namun, ikatan strategis dengan AS tetap menahan mayoritas pemerintah Eropa dari perubahan besar.
Masyarakat Arab
Rakyat Arab makin vokal, protes di Kairo, Rabat, dan Amman menunjukkan bahwa Palestina tetap pusat identitas politik kawasan. Namun, negara Arab cenderung pasif:
Teluk mempertahankan normalisasi demi ekonomi.
Mesir dan Yordania membatasi peran karena takut destabilisasi domestik.
Geopolitikus Abdel Bari Atwan menilai: “Rakyat Arab lebih maju satu langkah daripada pemerintahannya. Jalanan Arab mendukung perlawanan, tapi rezim Arab masih terkunci pada kompromi.”
---
Paradoks Politik: Eropa Bergerak, Arab Membeku
Pasca-genosida, terlihat paradoks yang jelas:
Eropa, yang dahulu benteng narasi pro-Israel, mulai terbelah. Rakyat mendorong pengakuan Palestina, sebagian pemerintah mengikuti.
Arab, yang dulu pusat dukungan resmi, kini stagnan di level negara meski rakyat tetap vokal.
Dengan kata lain, Eropa berubah dari bawah (grassroots ke negara), sementara Arab stagnan di atas (negara tidak mengikuti rakyatnya).
---
Analisis Akademik
Perspektif Sosiologi
Di Eropa, solidaritas Palestina kini berakar pada nilai kemanusiaan universal, bukan lagi pada identitas agama. Di Arab, dukungan rakyat tetap kuat secara emosional, namun oligarki politik membatasi dampaknya.
Perspektif Sejarah
Memori kolektif bergeser. Holocaust yang dulu jadi alasan absolut untuk membenarkan Israel kini tidak lagi menghapus fakta genosida baru terhadap Palestina.
Perspektif Geopolitik
Palestina kini berada di persimpangan:
Eropa mulai sadar, tetapi masih terkunci pada Washington.
Arab tetap terjebak kompromi rezim.
Rakyat global menjadikan Palestina simbol keadilan transnasional.
---
Kesimpulan Reflektif
Sejak Perang Salib hingga genosida modern, Palestina selalu menjadi cermin paradoks global.
Dulu Eropa datang sebagai penjajah, kini rakyat Eropa berdiri membela Palestina.
Dulu Arab bersatu melawan Salib, kini negara-negara Arab lebih sibuk dengan kompromi, sementara rakyat mereka tetap berteriak untuk Palestina.
Paradoks itu dapat diringkas: Palestina semakin menang di hati rakyat dunia, tetapi masih terhalang di meja politik internasional.
Dengan demikian, sejarah Palestina bukan sekadar sejarah sebuah bangsa, tetapi sejarah dunia: bagaimana kekuatan, ideologi, dan moralitas saling bertarung di atas tanah yang kecil namun bermakna besar bagi seluruh umat manusia.
0 komentar: