basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Republik Ruhani Giri: Warisan Kekuasaan Islam yang Disembunyikan Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah selalu punya kecende...

Republik Ruhani Giri: Warisan Kekuasaan Islam yang Disembunyikan Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah selalu punya kecenderungan berpihak pada suara paling nyaring, bukan pada pengaruh paling dalam. Itulah sebabnya Kesultanan Demak kerap disebut sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Tapi jauh sebelum Demak membangun menara dan istana, dari atas sebuah bukit sunyi di Gresik, seorang wali, saudagar, dan pemimpin ruhani telah lebih dahulu mendirikan model kekuasaan Islam yang nyaris terlupakan: Republik Ruhani Giri.

Dialah Raden Paku, lebih dikenal sebagai Sunan Giri, yang memerintah dengan gelar Prabu Satmata—"Raja Bermata Suci". Bukan raja dalam arti kekuasaan mutlak, tetapi pemimpin dengan penglihatan tajam, jernih, dan dituntun wahyu. Sejarah kita terlalu senyap dalam menyebutnya. Padahal, ia bukan sekadar Walisanga—ia adalah raja Islam pertama di Jawa, dalam arti kepemimpinan politik, ekonomi, dan spiritual yang terstruktur.



Giri: Negara Mini yang Berdiri Tanpa Menumpahkan Darah

Tahun 1487, ketika Majapahit mulai runtuh oleh kebusukan dalam, dan Blambangan menggigil sebagai benteng terakhir Hindu-Jawa, Sunan Giri mendirikan Giri Kedaton. Bukan dengan perang atau perebutan istana, melainkan dengan membangun pusat ilmu, dakwah, dan jaringan dagang. Giri tak dilahirkan dari perebutan, tapi dari keruntuhan.

Buya Hamka menyebut Giri sebagai “kerajaan agama” yang tak mampu dihapuskan Majapahit. Mustakim mencatat Giri sebagai entitas politik otonom sejak 1487. Di masa itu, kekuasaan politik yang tidak punya tentara nyaris mustahil. Tapi Giri justru memperlihatkan cara lain: legitimasi moral, keilmuan, dan ruhaniyah bisa lebih ampuh daripada seribu pedang.

Sementara kekuasaan lain sibuk menaklukkan, Giri mengakar ke dalam hati umat, bukan ke atas peta kekuasaan.



Struktur Pemerintahan Giri: Syariat, Hikmah, dan Pelayanan

Giri bukan sekadar pesantren besar. Ia adalah negara mini spiritual. Di dalamnya terdapat:

Bangsal: pusat pemerintahan dan perumusan hukum.

Puri: tempat tinggal keluarga, ruang tradisi, dan lembaga pendidikan elite.

Giri dijalankan bukan oleh dinasti penguasa, melainkan oleh ulama, saudagar, dan santri senior. Sistemnya tidak mengenal kasta feodal. Legitimasi lahir dari khidmah (pelayanan), ta’dzim (penghormatan), dan syura (musyawarah). Ia menjalankan bentuk proto-republik spiritual yang berakar kuat pada syariat dan tradisi masyarakat maritim.

Dalam istilah modern, model ini dekat dengan "spiritual commonwealth"—pemerintahan yang dijalankan secara kolektif dengan otoritas religius sebagai pusat etika dan aturan, bukan alat kekuasaan represif.



Demak dan Giri: Dua Jalan Kekuasaan Islam di Awal Jawa

Demak tampil dengan simbol kejayaan Majapahit: masjid agung, tombak pusaka, ekspansi ke Ternate dan Malaka. Tapi semua itu tak punya legitimasi penuh tanpa restu Giri. Raden Patah sendiri naik tahta setelah mendapat pengesahan dari Sunan Giri. Demak kuat secara simbolik, tapi Giri kuat secara ruhani.

Mataram Islam melanjutkan pola sentralisasi kekuasaan. Tapi bahkan Sultan Agung pun mengakui pentingnya Giri sebagai pusat ruhani yang tak bisa dipisahkan dari struktur kekuasaan Islam Jawa.

H.J. de Graaf menyebut Giri sebagai semacam pontifikat di Jawa. M.C. Ricklefs menulis, tanpa pengesahan Giri, tidak ada raja Islam yang sah di mata umat. Giri bukan sekadar otoritas spiritual. Ia adalah lembaga politik suci yang memberi ruh kepada kekuasaan.



Ekspansi Tanpa Perang: Diplomasi Santri dan Saudagar

Cara Giri memperluas pengaruhnya sangat khas:

1. Mengirim murid-muridnya ke daerah strategis, dari Kalimantan hingga Maluku.

2. Mengembangkan jaringan dagang yang menghubungkan pesantren-pesantren pesisir dengan jalur rempah dan pelabuhan-pelabuhan strategis.

3. Menjadi pusat legitimasi kekuasaan bagi para adipati dan calon sultan.

Jejak Giri masih terasa hingga kini di Wajo, Buton, Ternate, dan Bima. Di tempat-tempat itu, Islam masuk bukan lewat pasukan, tetapi lewat nasihat, naskah, dan nikmat perniagaan.

Giri mengajarkan: kekuatan bukanlah soal teritorial, tapi pengaruh dan kepercayaan. Sebuah prinsip yang lebih tahan zaman dibanding kemenangan militer sesaat.



Mengapa Giri Dilupakan? Siapa yang Diuntungkan?

Sejarah kolonial dan nasional sama-sama abai terhadap Giri. Kolonialisme tak menyukai model kepemimpinan spiritual yang tak bisa dikendalikan. Nasionalisme modern lebih menyukai narasi heroik yang dapat dijadikan simbol negara, bukan pesantren sunyi yang tak punya bala tentara.

Giri terlalu hening untuk masuk buku sejarah sekolah. Terlalu dalam untuk dipahami oleh penguasa yang hanya sibuk menata kekuatan formal.



Bisakah Giri Diterapkan di Zaman Kini?

Di tengah dunia yang dibanjiri krisis legitimasi, korupsi, dan kekeringan moral, Giri justru tampil sebagai model alternatif paling relevan.

Bayangkan sistem yang:

Mengedepankan hikmah, bukan histeria.

Menyebarkan kepemimpinan lewat ilmu, bukan uang.

Menata umat melalui ta’dzim, bukan dominasi.

John Rawls menyebut model seperti ini sebagai "overlapping consensus"—nilai-nilai religius yang bisa hidup berdampingan dalam ruang publik.
Alasdair MacIntyre menyebutnya sebagai komunitas berbasis keutamaan (virtue ethics)—di mana struktur kekuasaan muncul dari karakter, bukan kalkulasi.

Model Giri bukan model puritan yang anti-kemajuan. Ia adalah gagasan futuristik yang belum diberi panggung.



Republik Ruhani: Warisan Masa Lalu, Solusi Masa Depan

Giri bukan sekadar situs sejarah. Ia adalah visi kenegaraan Islam yang orisinil, adil, dan mengakar.
Bukan bayang-bayang Demak. Bukan pelengkap silsilah Walisanga. Tapi model utuh kepemimpinan Islam berbasis masyarakat, bukan monarki.

Saat dunia sibuk membangun kekuasaan dengan algoritma dan senjata, Giri memberi pelajaran bahwa pengaruh sejati lahir dari ketenangan, ilmu, dan keberkahan.

Dan dari atas bukit sunyi itu, sejarah berbisik:
Inilah kekuasaan Islam yang dibangun tanpa pedang, tapi mengubah arus zaman.
Prabu Satmata bukan hanya raja. Ia adalah ruh dari kekuasaan yang bijak.



Saatnya Membaca Ulang Sejarah

Republik Ruhani Giri bukan sisa masa lalu. Ia adalah konsep masa depan.
Ia mengajarkan bahwa negara bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling patut dipercaya.
Bukan soal kontrol, tapi soal pengaruh yang lahir dari khidmat.

Di tengah reruntuhan Majapahit dan kegelisahan Blambangan, berdirilah satu poros baru peradaban Islam.
Dan di sana, di atas bukit Giri, duduk seorang pemimpin yang dilupakan sejarah:

Prabu Satmata Raja Islam pertama di tanah Jawa, pendiri republik ruhani Nusantara.

Seruan Jihad dari Mekah: Warisan Langit untuk Keturunan Mataram Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Jangan sangka mereka yang gugur di j...

Seruan Jihad dari Mekah: Warisan Langit untuk Keturunan Mataram

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

“Jangan sangka mereka yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan...”
(QS. Al-Baqarah: 154)




Ketika Pedang Patah oleh Perjanjian

Tahun 1755, kerajaan Mataram—yang dulu jadi pusat perlawanan Islam terbesar di tanah Jawa—dipecah oleh tangan asing lewat Perjanjian Giyanti. Di atas kertas, perjanjian ini tampak seperti kesepakatan damai antara dua pangeran Jawa: Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I). Namun sejatinya, inilah strategi kolonial paling licik yang pernah diterapkan Belanda: memecah kekuatan ruhani dan militer Islam dari dalam.

Dengan satu tinta, jihad melawan kafir penjajah berubah menjadi konflik saudara. Semangat perlawanan tercerai-berai. Para bangsawan lebih sibuk mengamankan takhta daripada melawan musuh agama. Jiwa Mataram runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena kehilangan arah.

Dan ketika Jawa terpecah... langit tidak tinggal diam.



Mekah Mendengar Jeritan Jawa

Jauh di tanah Hijaz, di tengah komunitas pelajar dan ulama Nusantara di Tanah Suci—komunitas Jawi—seorang ulama besar dari Palembang menyimak tragedi itu dengan luka dalam dada. Ia adalah Syeikh Abdul Shamad al-Palimbani, murid dari para ulama besar Mekkah, penulis kitab tasawuf, sekaligus pemilik hati yang terus memikirkan tanah air yang diinjak penjajah.

Menurut sejarawan Prof. Azyumardi Azra, masyarakat Jawi di Hijaz sejak abad ke-17 telah menjadi jaringan intelektual dan spiritual trans-nasional. Mereka menyerap ilmu Islam di Mekah dan Madinah, lalu menjadi pembawa gagasan pembaruan dan jihad melawan kolonialisme ke seluruh Nusantara.

Melalui jalur jamaah haji, surat-surat pelaut, dan murid-muridnya dari Sumatra hingga Banten, Palimbani menyusun risalah jihad. Tapi ia tidak hanya menulis kitab. Ia mengirim surat langsung kepada para raja keturunan Mataram—yang terpecah oleh Giyanti tapi masih menyimpan bara sejarah.



Surat untuk Sultan: Membangkitkan Ruh yang Terbelah

Salah satu surat dikirimkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono I, sang pangeran yang baru saja dinobatkan pasca-Giyanti. Palimbani tahu: politik telah menjerat sang sultan, tapi ruhnya masih bisa disentuh.

“Allah telah menjanjikan para sultan akan masuk surga karena keberanian mereka melawan musuh agama.”
“Jangan anggap mereka yang gugur sebagai mati. Mereka hidup di sisi Tuhan.”

Bersama surat itu, ia mengirim air zam-zam. Bukan sebagai hadiah biasa, melainkan sebagai simbol kesucian asal perjuangan. Dalam Islam, zam-zam adalah saksi air mata Hajar, pengorbanan ibu yang ditinggal di padang tandus. Maka di tengah padang politik penuh tipu daya, air zam-zam adalah ajakan kembali ke fitrah keberanian.



Panji dari Langit untuk Paku Negara

Surat lainnya ditujukan kepada Pangeran Paku Negara, pemimpin sejajar yang juga lahir dari pecahan Mataram. Kali ini Palimbani lebih tegas. Ia memuji keberanian sang pangeran dan mengirimkan panji jihad dari Tanah Suci.

“Panji ini adalah jimat jihad, yang akan membawa kemenangan bagi siapa yang bertarung dengan iman dan keadilan.”

Dalam sejarah Islam, panji (al-liwā’) bukan hanya kain berkibar. Ia adalah simbol ruh perlawanan dan legitimasinya. Panji Rasulullah ﷺ—al-‘Uqāb—menjadi pusat arah pasukan. Selama panji tegak, pasukan belum kalah. Maka Palimbani tidak mengirim senjata, tapi arah. Ia bukan hendak membakar tubuh, tapi menyalakan ruh.



Surat yang Dihancurkan, Tapi Jiwanya Meledak

Belanda segera sadar: surat ini lebih berbahaya dari senjata. Mereka menyitanya, menerjemahkan ke bahasa Jawa dan Belanda, lalu membakarnya. Tapi seperti kisah Al-Kahfi dan wahyu langit: api tak bisa membakar semangat yang lahir dari iman.

Beberapa dekade kemudian, bara itu menyala kembali. Pangeran Diponegoro, cicit dari dinasti yang sama, bangkit dengan menyebut jihad. Ia tak pernah membaca surat itu. Tapi mungkin, ia merasakannya.

“Inilah saatnya aku mati syahid di tangan Belanda, atau Belanda hancur dari tanah Jawa.”

Perang Diponegoro (1825–1830) adalah perang terbesar di Nusantara pada abad ke-19. Ia bukan bangkit dengan artileri, tapi dengan keyakinan ruhani. Maka sangat mungkin, api jihad Diponegoro berasal dari bara yang dikirim dari Masjidil Haram.



Mengapa Bukan Senjata?

Kenapa Palimbani tak mengirim senjata?

Karena ia tahu, Mekah bukan gudang senjata, tapi sumur makna. Ia bukan hendak mengalahkan Belanda dengan mesiu, tapi menyusup ke relung jiwa para penguasa yang telah lama dilemahkan oleh politik.

Menurut Azyumardi Azra, para ulama Jawi memainkan peran penting sebagai “broker ideologis dan spiritual” yang menginspirasi pembaruan Islam dan jihad lokal. Mereka tak punya meriam, tapi punya teks dan doa yang menembus batas sensor penjajah.



Tradisi Mekah–Mataram Sejak Sebelum Palimbani

Syeikh Palimbani bukan pelopor tunggal. Ia pewaris jaringan lama. Sejak era Sultan Agung Mataram, hubungan ruhani dengan Hijaz sudah terjalin. Dalam catatan sejarah, Sultan Agung mengirim Kyai Wiryokusumo ke Mekah untuk memperkuat legitimasi Islam pemerintahannya.

Bahkan ulama besar seperti Sunan Gunung Jati juga tercatat memiliki hubungan spiritual dengan Tanah Suci. Maka, surat Palimbani bukan inovasi, tetapi kelanjutan tradisi: ketika Mekah dan Jawa bersatu, lahirlah perlawanan yang tak bisa dihentikan.



Warisan yang Tak Bisa Dirampas

Syeikh Palimbani membuktikan: jihad bukan hanya darah dan pedang. Ia adalah surat, air suci, panji, doa, dan keberanian ruhani. Ia adalah arsitek tak terlihat dari perlawanan besar yang akan datang.

Belanda membakar suratnya. Tapi mereka gagal mencegah satu hal: Jihad itu menetas dalam jiwa generasi setelahnya.

Kini, surat itu sampai kepada kita—bukan lewat pos, tapi lewat sejarah yang hidup. Dan kini, giliran kita membalas surat itu.

Bukan ke melawan Belanda, tapi mengisi masa depan.
Bukan saja dengan tinta, tapi dengan karya.
Bukan dengan zam-zam semata, tapi dengan peluh perjuangan.



Surat yang Tak Pernah Sampai, Tapi Selalu Hidup

Palimbani pernah menulis:

“Berusahalah karena takut kepada Allah, bukan karena nasib buruk. Maka kamu akan melihat langit tanpa awan, dan bumi tanpa noda.”

Surat itu mungkin tidak pernah sampai ke tangan para sultan. Tapi kini, ia sampai ke hati kita—yang membaca dengan iman dan tekad untuk meneruskan amanah zaman.

Dan mungkin...
itulah memang tujuannya sejak awal.

Agar Tidak Pikun, Jadilah Seperti Thawus Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Orang alim tidak akan pernah menjadi pikun.” —Putra Thawus ...


Agar Tidak Pikun, Jadilah Seperti Thawus

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Orang alim tidak akan pernah menjadi pikun.”
—Putra Thawus bin Kaisan

Sore itu sunyi. Abu Abdullah Asy-Syam berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Ia datang bukan untuk berbincang ringan, tapi untuk bertanya—dan belajar—pada seorang ulama besar: Thawus bin Kaisan.

Saat pintu terbuka, keluarlah seorang lelaki tua. Geraknya perlahan, wajahnya teduh.

“Aku menduga ia adalah Thawus,” kisah Asy-Syam.

“Apakah Tuan Thawus?” tanyanya sopan.

"Bukan," jawab lelaki itu. “Aku putranya.”

Asy-Syam tak bisa menyembunyikan kekagetannya. “Kalau begitu... ayah Anda pasti sudah pikun?”

Tapi sang anak menatapnya lurus. Kata-katanya pendek, tapi mengandung kejutan:

“Kamu berkata begitu? Orang alim tidak akan pernah menjadi pikun.”

Diam. Sejenak, kata-kata itu menggantung di udara. Seolah mengajukan pertanyaan kepada kita semua:

Benarkah ilmu bisa menjaga seseorang dari kepikunan?
Apakah hati yang dipenuhi cahaya pengetahuan akan tetap jernih, bahkan saat raga mulai renta?

Tak lama, Asy-Syam pun dipersilakan masuk. Ia duduk di hadapan Thawus. Sosok itu memang telah tua, tapi sorot matanya tetap tajam. Perkataannya mengalir, tidak melemah oleh usia.

“Bertanyalah… dan bicaralah dengan singkat,” ujar Thawus.
“Jika kau mau, aku akan mengajarkan Al-Qur’an, Taurat, dan Injil dalam satu majelis ini.”

Asy-Syam terdiam. Apa yang hendak ditanyakan, ketika sang guru menawarkan samudera hikmah?

Lalu Thawus melanjutkan:

“Takutlah kepada Allah!
Jangan takut kepada siapa pun selain-Nya.
Berharaplah kepada-Nya, lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya.
Dan sukailah sesuatu untuk orang lain sebagaimana kamu menyukainya untuk dirimu sendiri.”


Kita mungkin bertanya dalam hati: bagaimana bisa seseorang di usia senja tetap terang hati dan jernih pikirannya seperti Thawus?

Apakah kita bisa menempuh jalan yang sama?

Jawabannya: bisa. Tapi dengan syarat.


1. Isi Waktu Luang dengan Ilmu

Seorang lelaki pernah bertanya kepada Ibnu Mubarak,
“Wahai Abu Abdurrahman, aku punya waktu luang. Haruskah aku membaca Al-Qur’an, atau menuntut ilmu lain?”

Ibnu Mubarak tak menjawab langsung. Ia bertanya balik,
“Apakah kau membaca sebagian ayat Al-Qur’an saat shalat?”

“Ya,” jawab lelaki itu.

“Kalau begitu,” kata Ibnu Mubarak,
“gunakan waktu luangmu untuk menuntut ilmu, karena dengan ilmu-lah kamu akan memahami Al-Qur’an.”

Kita sering merasa cukup hanya dengan bacaan. Tapi ilmu bukan sekadar hafalan. Ia adalah pemahaman. Tanpanya, Al-Qur’an hanya tinggal suara di lidah—bukan cahaya dalam hidup.


2. Tinggalkan Gaya Hidup Santai

Ibnu Hatim Ar-Razi pernah belajar di Mesir selama tujuh bulan. Siangnya belajar, malamnya menelaah. Ia bahkan tak sempat menyentuh kuah makanan.

Suatu hari, mereka membeli ikan untuk sang guru yang sakit. Tiga hari berlalu, ikan itu belum juga disentuh. Mereka pun memakannya sendiri.

Sang guru tersenyum dan berkata:

“Ilmu tidak bisa didapatkan dengan bersantai ria.”

Coba lihat diri kita. Berapa banyak waktu terbuang untuk hal yang tak perlu? Kita ingin berilmu… tapi tak sanggup menahan kantuk. Kita ingin mengerti… tapi tak mau meninggalkan kenyamanan. Apakah bisa?


3. Rendahkan Hati di Hadapan Guru

Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah mengundang Imam Malik ke istana untuk mengajarinya ilmu. Tapi Imam Malik menolak.

“Sesungguhnya ilmu itu didatangi,” tegasnya.

Apa yang dilakukan sang khalifah? Ia datang sendiri ke rumah Imam Malik. Berdiri di depan pintu. Menunggu dengan rendah hati.

Ia sadar: ilmu tidak turun kepada orang yang merasa tinggi.
Ilmu tidak datang kepada yang hanya menunggu.
Ilmu adalah anugerah bagi yang mau melangkah.


4. Gunakan Masa Muda Sebelum Terlambat

Ibnu Al-Jauzy pernah berkata,
“Dulu aku ingin hidup seperti kerabatku—menumpuk harta, menikmati dunia. Tapi aku sadar: waktu muda terlalu berharga untuk dihabiskan pada dunia yang fana.”

Maka ia pun mengisi hari-harinya dengan ilmu.

Kini, siapa yang tak kenal nama Ibnu Al-Jauzy? Kitab-kitabnya terus dibaca dari abad ke abad. Ia memilih jalan ilmu—dan Allah menjaga namanya.

Lalu bagaimana kita? Apakah masa muda hanya akan berlalu dengan hiburan dan gelak tawa?


5. Melangkahlah, Meski Jauh dan Melelahkan

Abu Al-Ashbagh dari Sevilla tak puas belajar di negerinya. Ia berjalan ke Cordova, menyeberangi laut ke Mekah, Yaman, Syam, hingga Baghdad.

Bukan karena ilmu langka. Tapi karena jiwanya haus akan hikmah.

Ilmu tak mengenal batas jarak.
Ilmu tak mengenal lelah.
Ilmu datang kepada mereka yang mencari—bukan yang menunggu.



Penutup

Menjadi seperti Thawus bukanlah mimpi kosong. Ia bukan sekadar kisah kuno. Ia adalah bukti hidup bahwa ilmu bisa menjadi penjaga akal, penyegar jiwa, dan penuntun hati.

Thawus tak pikun.
Karena setiap hari hidupnya disirami ilmu.
Karena lidahnya sibuk dengan dzikir.
Karena pikirannya sibuk mengingat Allah, bukan mengeluh tentang dunia.

Maka jika kau ingin tetap bening hingga usia senja,
ingin tetap jernih di tengah zaman yang keruh,
dan ingin akhirmu penuh cahaya…

Jadilah seperti Thawus.
Bukan karena ia luar biasa,
Tapi karena ia memilih jalan ilmu,
Sebelum semuanya terlambat.



Sumber:
Mahmud Musafa Sa’ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar.

"Jika Saya Punya 3.000 Orang Seperti Mereka” Ketika Panglima Dunia Kagum pada Keberanian Pasukan Muslimin Oleh: Nasrulloh B...


"Jika Saya Punya 3.000 Orang Seperti Mereka”

Ketika Panglima Dunia Kagum pada Keberanian Pasukan Muslimin

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Dalam sejarah militer modern, sejumlah jenderal dunia tercengang bukan oleh keunggulan teknologi atau strategi perang yang rumit, melainkan oleh keberanian spiritual pasukan Muslimin. Dari Bosnia hingga Gaza, dari pegunungan Afghanistan hingga Perang Korea, muncul pola yang tak berubah: ruh jihad yang hidup menjadi kunci kemenangan yang tak terukur oleh radar militer.

Kisah paling ikonik datang dari tahun 1948. Dalam Perang Arab-Israel pertama, seorang jenderal Inggris—yang menjadi penasihat militer bagi Israel—menyaksikan pertukaran jenazah antara pasukan relawan Mesir dan tentara Yahudi. Ia memperhatikan bahwa semua pejuang Muslim gugur dengan luka tembak di dada, bukan di punggung. Tak satu pun melarikan diri. Lalu ia berkata:

“Jika saya punya 3.000 orang seperti mereka, dunia bisa saya taklukkan.”

Pernyataan itu mencerminkan satu hal: keberanian spiritual bukanlah romantisme kosong. Ia adalah kekuatan yang membuat musuh tertegun.



Bosnia: Perlawanan dari Negara Muda

Ketika Yugoslavia pecah di awal 1990-an, Bosnia-Herzegovina menjadi salah satu republik yang menyatakan kemerdekaan. Namun Serbia—yang mewarisi kekuatan militer Yugoslavia—merespons dengan kekerasan brutal. Antara 1992 hingga 1995, umat Islam Bosnia menjadi sasaran genosida sistematis.

Yang mengejutkan dunia, pasukan relawan Bosnia—yang minim pelatihan dan perlengkapan—mampu bertahan, bahkan melakukan serangan balasan yang efektif. Mereka mempertahankan Sarajevo dan memukul mundur milisi Serbia dari wilayah strategis.

Sejarawan Marko Attila Hoare dalam How Bosnia Armed (2004) mencatat bahwa "meskipun kekuatan militer Serbia jauh lebih besar, perlawanan Bosnia dibangun atas semangat jihad dan keyakinan religius yang tak goyah bahkan di tengah penderitaan."

Kemenangan mereka bukan semata karena senjata, tapi karena ruh.



Afghanistan: Kuburan bagi Imperium

Afghanistan telah menjadi simbol paling kuat dalam sejarah militer Muslim modern. Pada 1979, Uni Soviet menginvasi negeri itu dengan kekuatan besar. Namun mujahidin lokal—yang sebagian hanyalah petani dan pelajar bersarung—menjadi batu sandungan yang tak bisa dihancurkan. Mereka bertempur dari gua-gua, lereng gunung, dan desa-desa terpencil, bersenjatakan semangat jihad dan harapan akan surga.

Setelah 10 tahun perang, Uni Soviet mundur dengan kekalahan telak. Lebih dari 15.000 tentaranya tewas.

Amerika Serikat mengulangi kesalahan yang sama. Dengan dalih memerangi terorisme, mereka menginvasi Afghanistan pada 2001 dan tinggal selama 20 tahun. Tapi seperti Uni Soviet, mereka pun hengkang pada 2021 secara diam-diam, meninggalkan pangkalan militer dan peralatan perang dalam kekacauan.

Steve Coll dalam Ghost Wars (2004) menyebut bahwa “keyakinan spiritual dan keberanian tanpa pamrih dari mujahidin menjadikan mereka musuh paling sulit bagi kekuatan adidaya.” Afghanistan, katanya, bukan hanya kuburan imperium—tapi juga saksi hidup bahwa iman bisa mengalahkan imperium.



Palestina 1948: Ketika Dunia Melihat Keberanian

Tahun 1948 adalah tahun penting dalam sejarah Palestina. Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, dan negara-negara Arab pun terlibat dalam perang terbuka. Salah satu momen paling dikenang terjadi ketika relawan Mesir dan Palestina bertempur melawan tentara Israel yang didukung Inggris.

Saat dilakukan pertukaran jenazah, seorang jenderal Inggris memperhatikan bahwa para syuhada Muslim semuanya gugur dengan luka di dada, tanpa satu pun yang tertembak di punggung. Ia lalu berkata:

“Jika saya punya 3.000 orang seperti mereka, saya bisa menaklukkan dunia.”

Harun Yahya dalam Palestine: Peace Not Apartheid (2001) mencatat momen ini sebagai simbol betapa pasukan Muslimin memiliki keberanian untuk maju, bukan mundur. Bagi mereka, mati syahid adalah kemenangan, bukan kekalahan.



Pasukan Turki di Korea: Sajadah di Tengah Perang

Perang Korea (1950–1953) adalah salah satu perang besar di Asia Timur yang melibatkan kekuatan global, termasuk PBB. Di antara sekutu yang bergabung, pasukan Turki tampil mencolok.

Dikenal sebagai tentara yang tak pernah menyerah dan sangat religius, pasukan Turki menolak hiburan malam, tidak menyentuh alkohol, dan menghabiskan waktu luangnya dengan shalat dan dzikir.

Jenderal Douglas MacArthur dalam Reminiscences (1951) menulis bahwa pasukan Turki adalah "yang paling bermoral dan paling berani." Mereka tak hanya bertempur, tapi juga berdakwah secara sunyi.

Bahkan setelah perang usai, pemerintah Korea Selatan mendokumentasikan peninggalan spiritual mereka: sebuah masjid kayu kecil di Suwon yang dibangun oleh pasukan Turki sebagai rumah ibadah selama perang berlangsung.



Gaza: Warisan yang Masih Hidup

Saat ini, semangat yang sama menyala di Gaza. Meski dikepung, diblokade, dan dibombardir, pejuang Palestina tidak menyerah. Mereka bertempur dengan senjata rakitan, tanpa perlindungan udara, dan dalam kondisi kemanusiaan yang nyaris mustahil.

Namun mereka tetap bertahan. Tetap tersenyum. Tetap menyeru: “Allahu Akbar.”

Max Blumenthal dalam The Palestine Laboratory (2023) menulis, “Gaza adalah satu-satunya tempat di dunia di mana orang tua menangis bahagia ketika anaknya gugur sebagai syuhada.”

Mereka tak hanya menjadi simbol perlawanan, tapi juga bukti bahwa ruh jihad tak mati meski dunia mencibir. Gaza hari ini memiliki mental yang diinginkan oleh para panglima perang dunia, bukankah terbukti mencabik-cabik  tentara IDF yang dikenal terbaik di dunia? 



Ruh Jihad: Yang Tak Terdeteksi Radar

Dalam dunia militer modern, keberanian biasanya dikaitkan dengan jumlah senjata, pelatihan tempur, dan strategi. Tapi pasukan Muslimin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar: niat yang tulus dan visi akhirat.

Lawrence Wright dalam The Looming Tower (2006) menyimpulkan bahwa “yang membuat perbedaan dalam konflik-konflik ini bukan taktik atau teknologi, melainkan kekuatan spiritual yang melebihi insting bertahan hidup.”



Dunia Masih Mendengar Kalimat Itu

Dunia hari ini mungkin tidak lagi bertempur dengan peluru dan bayonet. Tapi perang terus berlangsung—dalam bentuk budaya, narasi, dan ideologi. Kita diserang oleh konsumerisme, hiburan kosong, dan algoritma yang membuat kita lupa tujuan hidup.

Namun ruh itu belum padam. Dan mungkin, jika seorang panglima berkata lagi:

“Jika saya punya 3.000 orang seperti mereka…”

Yang dimaksud bukan lagi para pejuang di medan perang konvensional. Tapi kita—generasi yang hidup dengan visi, keberanian, dan keyakinan. Generasi yang tak hanya sibuk mempercantik profil, tapi membangun peradaban. Yang tak sekadar scroll media sosial, tapi menggenggam dunia dengan nilai.

Agar Solusi Lebih Dahulu Hadir Oleh: Nasrulloh Audit  Nabi Nuh berdiri sendiri. Ditertawakan, dihina, dianggap gila. Tapi ia tet...

Agar Solusi Lebih Dahulu Hadir

Oleh: Nasrulloh Audit 

Nabi Nuh berdiri sendiri. Ditertawakan, dihina, dianggap gila. Tapi ia tetap setia membangun perahu, bukan karena tahu kapan hujan akan turun, bukan karena mengerti datangnya banjir, tapi karena ia taat kepada Rabb-nya. Ia hanya tunduk—bukan pada logika manusia, tapi pada wahyu dari langit.

Kita ini siapa? Hanya manusia. Hanya tahu hari ini. Bahkan sedetik ke depan, tak ada yang bisa menjamin. Maka bagaimana menghadapi hari esok yang penuh teka-teki? Bagaimana menghindari malapetaka yang tak terlihat? Jawabannya hanya satu: taat kepada Allah SWT.

Sebab Dia-lah yang menulis seluruh skenario kehidupan. Dia yang mengatur arah zaman, arus sejarah, bahkan hembusan angin dan gelombang laut. Sementara kita hanya pengembara yang tak tahu rute. Maka jika ingin selamat di jalan yang gelap ini, ikuti petunjuk-Nya. Taatilah Dia.

Lihatlah Nabi Yusuf. Difitnah. Dikhianati saudara. Dilempar ke sumur. Dijual sebagai budak. Dipenjara karena kejahatan yang tak ia lakukan. Tapi apa yang dia lakukan? Bertahan. Berserah. Berpegang teguh pada agama ayah dan kakeknya—Nabi Yakub, Nabi Ishaq, dan Nabi Ibrahim. Ia tak menggugat. Ia tak berontak. Ia hanya istiqamah dalam ketaatan.

Puluhan tahun ia digulung badai. Tapi ia tahu, fajar akan datang. Musim akan berganti. Takdir Allah tak pernah salah. Barangsiapa taat, tinggal meneguhkan sabar. Sebab badai tidak kekal, tapi ketaatan akan memanggil pertolongan sebelum badai menghantam.

Nabi Nuh membuat perahu sebelum banjir datang. Solusi itu hadir di awal, bukan setelah bencana terjadi. Itulah keajaiban dari ketaatan. Allah membimbing hamba-Nya menjemput solusi lebih dulu, bahkan saat manusia belum tahu bahwa masalah akan datang.

Nabi Yusuf diberi kemampuan menafsir mimpi sejak awal. Keahlian itu tampak sia-sia, tak berguna di tengah liku-liku hidupnya. Tapi ketika waktunya tiba, ilmu itu menjadi kunci penyelamat umat. Solusinya telah disiapkan jauh hari sebelum tantangan tiba.

Inilah hukum langit:
Bukan masalah yang memanggil solusi.
Tapi ketaatan yang mendatangkan solusi sebelum masalah.
Bukan musibah yang menyadarkan manusia,
Tapi iman yang membimbing manusia sebelum musibah menampar.

Jika ingin menang di hari esok, jangan menunggu tanda-tanda datangnya badai. Bangunlah perahu hari ini. Siapkan bekal hari ini. Taatilah Allah hari ini. Sebab, ketika badai benar-benar datang, hanya mereka yang sudah bersiap dalam ketaatan yang akan bertahan.

link Empat Strategi Menghadapi Dajjal: Tafsir Interaktif Surat Al-Kahfi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Surat Al-Kahfi, yang dianjurk...

link

Empat Strategi Menghadapi Dajjal: Tafsir Interaktif Surat Al-Kahfi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Surat Al-Kahfi, yang dianjurkan Rasulullah ﷺ untuk dibaca setiap Jumat, bukan sekadar wirid pelindung dari fitnah Dajjal. Ia adalah peta peradaban. Empat kisah dalam surat ini—Ashabul Kahfi, pemilik kebun mukmin, Nabi Khidir, dan Zulkarnain—bukan kisah pasif, melainkan strategi aktif dalam menghadapi berbagai dimensi krisis yang dibawa oleh arsitektur Dajjal.

Uniknya, Al-Kahfi tidak mengisahkan para nabi, melainkan hamba-hamba biasa yang diselamatkan oleh keistiqamahan iman, kejernihan akal, dan ketangguhan sosial mereka. Masing-masing menghadapi jenis fitnah yang berbeda, dan respons mereka menjadi model kontekstual menghadapi zaman. Berarti, tidak perlu sekelas nabi dan rasul untuk menghadapi fitnah Dajjal.

Menariknya, kritik dan strategi ini tidak hanya ditemukan dalam Al-Qur’an. Sejumlah pemikir Barat kontemporer—yang gelisah terhadap arsitektur dunia modern—tanpa sadar menegaskan hal-hal yang selaras. Surat Al-Kahfi bukan hanya petunjuk bagi Muslimin, tapi dapat dibaca sebagai kritik global atas kehancuran nilai dan sistem dunia hari ini.



1. Ashabul Kahfi: Menyelamatkan Iman dari Sistem yang Menindas

Ashabul Kahfi bukan sekadar pelarian. Mereka adalah kaum muda yang menyadari bahwa bertahan dalam sistem yang zalim berarti perlahan kehilangan jati diri. Maka mereka mundur, bukan karena takut, tetapi karena ingin menyelamatkan akar iman dari asimilasi paksa. Mereka membangun "gua iman", ruang sunyi tempat keimanan dipulihkan tanpa kompromi dengan tatanan yang rusak.

Hari ini, banyak pemikir Barat mengkritik hilangnya identitas otentik manusia akibat tekanan sistem modern. Charles Taylor dalam The Ethics of Authenticity (1991) menyebut bahwa “modernitas melahirkan masyarakat yang kehilangan keaslian, karena identitas dibentuk oleh tuntutan eksternal, bukan nilai internal.”

Begitu pula Herbert Marcuse, tokoh Mazhab Frankfurt, mengingatkan dalam One-Dimensional Man bahwa sistem modern memproduksi manusia seragam yang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalam.

Ashabul Kahfi mengajarkan bahwa mempertahankan iman dan identitas di zaman fitnah menuntut keberanian untuk menjauh dari arus, membangun komunitas alternatif, dan menyusun ulang nilai hidup—bukan dengan isolasi, tapi dengan hijrah batin yang sadar.



2. Pemilik Kebun Mukmin: Kritik Kelas terhadap Teologi Kapitalisme

Kisah dua sahabat dalam surat ini membawa kita pada realitas lain: ketika kekayaan dijadikan standar kebenaran. Seorang pemilik kebun besar merasa aman dan tak tergoyahkan oleh harta, sampai kawannya yang miskin mengingatkan: hidup bukan soal apa yang dimiliki, tapi kepada siapa kita bergantung.

Inilah kritik Al-Kahfi terhadap sistem kapitalistik. Dalam dunia modern, kekayaan bukan lagi alat, melainkan identitas. Kapitalisme menciptakan sistem nilai yang menukar makna hidup dengan harga barang.

Kritik ini juga bergema di Barat. David Graeber, antropolog dan aktivis, dalam Debt: The First 5,000 Years menunjukkan bagaimana utang dan sistem keuangan telah mengatur hidup manusia secara ideologis, bukan hanya ekonomi. Bahkan Naomi Klein dalam No Logo dan The Shock Doctrine memperlihatkan bagaimana kapitalisme global mengeksploitasi krisis untuk memperbesar kendali pasar atas jiwa manusia.

Sementara Ali Shariati pernah mengatakan, “Kapitalisme membesarkan tubuh dan mengerdilkan jiwa,” Zaid Shakir menyebut sistem ini sebagai agama baru dengan “teologi konsumen”. Keduanya menyentuh kenyataan bahwa kapitalisme tak lagi soal transaksi, tapi soal iman palsu yang menjadikan konsumsi sebagai ibadah.

Surat Al-Kahfi mengajarkan perlawanan sunyi: gaya hidup sederhana, kritik ekonomi-politik yang adil, dan pemulihan makna harta sebagai amanah, bukan identitas.



3. Nabi Khidir: Menggugat Budaya Instan, Membangun Visi Panjang

Saat Musa berguru kepada Khidir, ia mendapati bahwa tidak semua kebenaran bisa dibuktikan seketika. Khidir memutus tali perahu orang miskin, membunuh anak kecil, dan membangun tembok tanpa bayaran—semuanya tampak salah di permukaan, tapi menyimpan hikmah besar di akhir.

Dalam dunia digital, di mana instan dan viral menjadi ukuran kebenaran, kisah ini menjadi kritik tajam terhadap dunia yang kehilangan kesabaran dan kedalaman.

Byung-Chul Han, filsuf Korea-Jerman, dalam The Burnout Society dan The Transparency Society menyoroti bagaimana masyarakat modern tenggelam dalam kebutuhan akan kecepatan, keterbukaan total, dan produktivitas palsu. Ia menyebut kita hidup dalam “masyarakat kelelahan” yang menghancurkan visi jangka panjang.

Imam Al-Ghazali sudah mengingatkan, “Pemimpin sejati harus siap tidak populer demi masa depan yang lebih adil.” Maka Khidir mengajarkan bahwa membangun peradaban tidak bisa berdasarkan logika pasar atau algoritma media sosial. Ia butuh sabar, strategi sunyi, dan keyakinan pada hikmah Tuhan yang melampaui popularitas.



4. Zulkarnain: Membangun Sistem Sebelum Fitnah Meledak

Zulkarnain digambarkan sebagai pemimpin visioner. Ia membangun tembok untuk menahan kehancuran, bukan karena bahaya sudah menyerang, tetapi karena ia mampu membaca tanda-tanda zaman.

Model ini bertentangan dengan kepemimpinan hari ini yang reaktif, populis, dan sering kali justru memperparah krisis.

Noam Chomsky, dalam berbagai karyanya, menyebut bahwa kekuasaan modern sering kali “menggunakan krisis untuk memperluas kendali, bukan untuk melindungi rakyat.” Yuval Noah Harari juga memperingatkan dalam Homo Deus bahwa manusia modern sedang membangun infrastruktur global yang rapuh secara etis, meski tampak kuat secara teknologi.

Malcolm X pernah berkata, “Bangun sistem yang mencegah kejahatan lahir kembali.” Itu pula yang dilakukan Zulkarnain—ia tidak sekadar membantu, tapi membentuk struktur sosial yang kuat sebelum badai datang.

Hari ini, membangun benteng sosial berarti memperkuat lembaga dakwah, komunitas independen, ekonomi syariah, dan kebijakan distribusi yang adil—sebelum sistem kapitalisme-otoriter mengambil alih seluruh hidup kita.



Empat Pintu Fitnah, Empat Pilar Ketahanan

Surat Al-Kahfi membagi dunia dalam empat titik kerusakan utama. Dan setiap kisah adalah vaksin peradaban terhadap keruntuhan spiritual dan sosial umat manusia:

Asimilasi Identitas - Ashabul Kahfi
Kapitalisme Konsumtif - Pemilik Kebun Mukmin
Logika Instan - Nabi Khidir
Otoritarianisme Global - Zulkarnain

Empat model ini bukan narasi heroik untuk nostalgia. Ia adalah alat ukur: apakah kita sudah membangun “gua iman”, menggugat teologi harta, menyusun visi panjang, dan mendirikan tembok sosial sebelum fitnah meledak?



Bukan Sekadar Dibaca, Tapi Dihidupi

Surat Al-Kahfi adalah kitab strategi akhir zaman. Ia bukan hanya pelindung spiritual, tetapi juga ajakan untuk menghidupi perlawanan. Dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma, konsumerisme, dan penghapusan nilai-nilai ilahiah, kita perlu membaca Al-Kahfi bukan hanya sebagai doa, tapi sebagai desain peradaban.

Dajjal akan datang—baik sebagai figur maupun sistem. Tapi siapa yang menang bukan ditentukan oleh dia, melainkan oleh kita: apakah kita siap?

Kini saatnya memutuskan: menjadi korban zaman, atau peretas zaman?

https://islamposmedia.com/2025/07/15/4-strategi-menghadapi-dajjal-tafsir-interaktif-surat-al-kahfi/


Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh?  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Perang, bagi sebagian bangsa, ...

Ketika Madinah Tumbuh di Tengah Perang: Mengapa Sebagian Kota Runtuh? 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang, bagi sebagian bangsa, adalah awal kehancuran. Tapi bagi Madinah, perang justru menjadi percikan yang menyalakan obor peradaban. Ketika kota-kota besar seperti Mekah, Persia, dan Romawi kehilangan napas karena konflik berkepanjangan, Madinah—yang kecil dan terancam dari segala arah—malah tumbuh menjadi poros dunia baru. Bagaimana mungkin kota yang dikepung musuh, terlibat perang hampir setiap tahun, justru berkembang menjadi pusat spiritual, militer, dan sosial?

Bukankah pertempuran menguras tenaga, waktu, dan sumber daya? Ya, kecuali jika pertempuran itu dipimpin oleh visi langit, bukan ambisi bumi.

Madinah: Kota yang Berjuang dan Bertumbuh

Sejak tahun kedua hijrah, Madinah nyaris tak pernah bebas dari ancaman perang: Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Tabuk—deretan pertempuran yang seharusnya membuat kota ini bangkrut secara ekonomi dan psikologis. Namun realitas berkata lain. Madinah tidak hanya bertahan, tapi bangkit. Rahasianya?

Allah menurunkan konsep pembagian tugas yang sangat penting:

“Tidak sepatutnya bagi seluruh orang mukmin pergi (berperang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mendalami agama, dan agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali, supaya mereka bisa menjaga diri.”
(QS At-Taubah: 122)

Inilah model pertahanan spiritual dan peradaban: sebagian berperang, sebagian mendalami ilmu. Madinah tidak seluruhnya ditarik ke medan tempur. Ada yang bertani, ada yang berdagang, ada yang belajar dan mengajarkan wahyu, ada yang mengatur pasar, ada yang menjadi guru, dan ada yang menyusun strategi.

Pertempuran bukan penghambat kehidupan, tapi bagian dari sistem ketahanan Madinah yang utuh dan adaptif.



Sementara Itu, Mekah Redup dan Retak dari Dalam

Bandingkan dengan Mekah, kota yang secara ekonomi lebih kuat, namun mentalitasnya rapuh. Di bawah kuasa oligarki Quraisy, Mekah mengandalkan tiga hal:

1. Simbol keagamaan (Ka’bah)
2. Dominasi dagang
3. Retorika keturunan dan kehormatan suku

Namun semua itu tidak cukup melindungi kota dari kehancuran moral dan sosial. Ketika Islam datang dengan tawaran nilai, ilmu, dan keadilan sosial, mereka menolak. Dan penolakan terhadap kebenaran selalu melahirkan stagnasi. Bahkan ketika Perang Badar dan Uhud pecah, Mekah tidak tumbuh dalam semangat, tetapi justru tenggelam dalam kebencian dan dendam. Hasilnya: ekonomi mereka stagnan, kaum miskin tetap tertindas, dan generasi muda—seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash—lebih tertarik pada kekuatan Islam daripada kejayaan Quraisy.



Persia dan Romawi: Bangsa Besar yang Tumbang oleh Perang Tanpa Jiwa

Sebelum Islam, dua kekuatan dunia—Romawi dan Persia—terlibat perang panjang (602–628 M) yang melemahkan keduanya. Perang mereka bersifat imperialis dan egoistik: soal wilayah, balas dendam, dan kebanggaan dinasti. Rakyat sengsara, ekonomi anjlok, dan spiritualitas hampa.

Di Persia, pemberontakan internal dan penggulingan 14 raja dalam 4 tahun memperlihatkan keruntuhan sistem.

Di Romawi, korupsi birokrasi, penurunan loyalitas militer, dan krisis iman dalam gereja melumpuhkan stabilitas.

Keduanya menjadi raksasa yang kelelahan. Maka ketika Islam datang dengan visi tauhid, keadilan, dan sistem zakat, banyak rakyat wilayah jajahan justru menyambut pasukan Muslim sebagai pembebas, bukan penjajah.



Israel dan Gaza: Kemenangan yang Justru Melemahkan

Kita menyaksikan ironi sejarah berulang hari ini. Israel, negara dengan kekuatan militer modern, teknologi tinggi, dan dukungan besar dari Amerika dan Eropa, justru semakin rapuh setelah berperang melawan Gaza.

Sejak invasi Gaza pasca 7 Oktober 2023, Israel menghadapi:

Kehancuran ekonomi: sektor pariwisata anjlok, anggaran perang membengkak, pertumbuhan ekonomi hanya 0,3% (terendah dalam dua dekade).

Kerusakan sosial: lebih dari 200.000 warga Israel mengungsi dari wilayah utara dan selatan.

Krisis politik: konflik antara Netanyahu, militer, dan rakyat sipil memicu protes besar-besaran di Tel Aviv.

Kemunduran citra global: 60+ negara menyerukan gencatan senjata, kampanye boikot meningkat tajam.

Trauma psikologis: ratusan tentara mengalami PTSD, dan masyarakat hidup dalam ketakutan roket dan penyusupan.

Israel menang secara militer di atas kertas, tapi kalah secara moral, politik, dan spiritual. Gaza mungkin hancur secara fisik, tapi seperti Madinah dulu, yang kecil dan terblokade bisa menang karena memiliki arah, iman, dan tekad kolektif.



Apa Bedanya Madinah dengan Mekah, Persia, Romawi, dan Israel?

1. Madinah membangun dengan visi langit, bukan dominasi dunia.
2. Pertempuran diatur, bukan membabi buta.
3. Ilmu dan iman tetap dijaga di tengah perang.
4. Ekonomi dijalankan secara adil, tidak eksploitatif.
5. Masyarakat dilibatkan, bukan diperalat.
6. Ketahanan spiritual jadi pusat kekuatan.



Pertempuran Bisa Membunuh Atau Melahirkan Peradaban

Perang bukan hanya soal senjata. Perang adalah ujian visi dan nilai. Madinah membuktikan bahwa pertempuran bisa menjadi jalan pertumbuhan jika dipimpin oleh orang-orang yang sabar, jujur, dan memiliki misi agung. Tapi perang bisa menjadi jalan kematian ketika hanya dipenuhi ambisi, dendam, dan kekosongan spiritual.

Di zaman modern, Israel memperlihatkan bahwa teknologi dan senjata tak cukup membuatmu menang. Ketika rakyatmu tak percaya lagi pada pemerintah, dan dunia memalingkan wajah karena kezalimanmu, maka bom sekuat apapun tidak akan menguatkanmu.

Sedangkan Gaza, seperti Madinah dulu, menunjukkan bahwa kota yang terlihat lemah bisa menjadi pusat perlawanan dan peradaban jika didorong oleh nilai, pengorbanan, dan solidaritas.



Penutup

Madinah tidak menang karena perangnya. Tapi karena visi Rasulullah ﷺ yang membagi peran, menanam ilmu, membangun sistem, dan menginspirasi jiwa-jiwa. Kota itu tumbuh bukan dari reruntuhan musuh, tapi dari kebangkitan ruhani para sahabat.

Kini sejarah seolah mengulang. Gaza, seperti Madinah, dikepung dan dibombardir. Tapi mereka tetap melahirkan pemuda-pemuda berani, pemikir, dan syuhada. Sementara itu, kekuatan dunia yang menyerang mereka mulai kehilangan semangat, narasi, dan legitimasi.

Maka siapa pun yang memimpin kota hari ini, belajarlah dari Madinah: bahwa kota yang bertumbuh bukanlah yang bebas dari perang, tetapi yang tahu untuk apa mereka bertahan, dan kepada siapa mereka berserah.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (7) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (550) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (14) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (241) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (506) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (250) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (229) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)