Empat Strategi Menghadapi Dajjal: Tafsir Interaktif Surat Al-Kahfi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Surat Al-Kahfi, yang dianjurkan Rasulullah ï·º untuk dibaca setiap Jumat, bukan sekadar wirid pelindung dari fitnah Dajjal. Ia adalah peta peradaban. Empat kisah dalam surat ini—Ashabul Kahfi, pemilik kebun mukmin, Nabi Khidir, dan Zulkarnain—bukan kisah pasif, melainkan strategi aktif dalam menghadapi berbagai dimensi krisis yang dibawa oleh arsitektur Dajjal.
Uniknya, Al-Kahfi tidak mengisahkan para nabi, melainkan hamba-hamba biasa yang diselamatkan oleh keistiqamahan iman, kejernihan akal, dan ketangguhan sosial mereka. Masing-masing menghadapi jenis fitnah yang berbeda, dan respons mereka menjadi model kontekstual menghadapi zaman. Berarti, tidak perlu sekelas nabi dan rasul untuk menghadapi fitnah Dajjal.
Menariknya, kritik dan strategi ini tidak hanya ditemukan dalam Al-Qur’an. Sejumlah pemikir Barat kontemporer—yang gelisah terhadap arsitektur dunia modern—tanpa sadar menegaskan hal-hal yang selaras. Surat Al-Kahfi bukan hanya petunjuk bagi Muslimin, tapi dapat dibaca sebagai kritik global atas kehancuran nilai dan sistem dunia hari ini.
1. Ashabul Kahfi: Menyelamatkan Iman dari Sistem yang Menindas
Ashabul Kahfi bukan sekadar pelarian. Mereka adalah kaum muda yang menyadari bahwa bertahan dalam sistem yang zalim berarti perlahan kehilangan jati diri. Maka mereka mundur, bukan karena takut, tetapi karena ingin menyelamatkan akar iman dari asimilasi paksa. Mereka membangun "gua iman", ruang sunyi tempat keimanan dipulihkan tanpa kompromi dengan tatanan yang rusak.
Hari ini, banyak pemikir Barat mengkritik hilangnya identitas otentik manusia akibat tekanan sistem modern. Charles Taylor dalam The Ethics of Authenticity (1991) menyebut bahwa “modernitas melahirkan masyarakat yang kehilangan keaslian, karena identitas dibentuk oleh tuntutan eksternal, bukan nilai internal.”
Begitu pula Herbert Marcuse, tokoh Mazhab Frankfurt, mengingatkan dalam One-Dimensional Man bahwa sistem modern memproduksi manusia seragam yang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mendalam.
Ashabul Kahfi mengajarkan bahwa mempertahankan iman dan identitas di zaman fitnah menuntut keberanian untuk menjauh dari arus, membangun komunitas alternatif, dan menyusun ulang nilai hidup—bukan dengan isolasi, tapi dengan hijrah batin yang sadar.
2. Pemilik Kebun Mukmin: Kritik Kelas terhadap Teologi Kapitalisme
Kisah dua sahabat dalam surat ini membawa kita pada realitas lain: ketika kekayaan dijadikan standar kebenaran. Seorang pemilik kebun besar merasa aman dan tak tergoyahkan oleh harta, sampai kawannya yang miskin mengingatkan: hidup bukan soal apa yang dimiliki, tapi kepada siapa kita bergantung.
Inilah kritik Al-Kahfi terhadap sistem kapitalistik. Dalam dunia modern, kekayaan bukan lagi alat, melainkan identitas. Kapitalisme menciptakan sistem nilai yang menukar makna hidup dengan harga barang.
Kritik ini juga bergema di Barat. David Graeber, antropolog dan aktivis, dalam Debt: The First 5,000 Years menunjukkan bagaimana utang dan sistem keuangan telah mengatur hidup manusia secara ideologis, bukan hanya ekonomi. Bahkan Naomi Klein dalam No Logo dan The Shock Doctrine memperlihatkan bagaimana kapitalisme global mengeksploitasi krisis untuk memperbesar kendali pasar atas jiwa manusia.
Sementara Ali Shariati pernah mengatakan, “Kapitalisme membesarkan tubuh dan mengerdilkan jiwa,” Zaid Shakir menyebut sistem ini sebagai agama baru dengan “teologi konsumen”. Keduanya menyentuh kenyataan bahwa kapitalisme tak lagi soal transaksi, tapi soal iman palsu yang menjadikan konsumsi sebagai ibadah.
Surat Al-Kahfi mengajarkan perlawanan sunyi: gaya hidup sederhana, kritik ekonomi-politik yang adil, dan pemulihan makna harta sebagai amanah, bukan identitas.
3. Nabi Khidir: Menggugat Budaya Instan, Membangun Visi Panjang
Saat Musa berguru kepada Khidir, ia mendapati bahwa tidak semua kebenaran bisa dibuktikan seketika. Khidir memutus tali perahu orang miskin, membunuh anak kecil, dan membangun tembok tanpa bayaran—semuanya tampak salah di permukaan, tapi menyimpan hikmah besar di akhir.
Dalam dunia digital, di mana instan dan viral menjadi ukuran kebenaran, kisah ini menjadi kritik tajam terhadap dunia yang kehilangan kesabaran dan kedalaman.
Byung-Chul Han, filsuf Korea-Jerman, dalam The Burnout Society dan The Transparency Society menyoroti bagaimana masyarakat modern tenggelam dalam kebutuhan akan kecepatan, keterbukaan total, dan produktivitas palsu. Ia menyebut kita hidup dalam “masyarakat kelelahan” yang menghancurkan visi jangka panjang.
Imam Al-Ghazali sudah mengingatkan, “Pemimpin sejati harus siap tidak populer demi masa depan yang lebih adil.” Maka Khidir mengajarkan bahwa membangun peradaban tidak bisa berdasarkan logika pasar atau algoritma media sosial. Ia butuh sabar, strategi sunyi, dan keyakinan pada hikmah Tuhan yang melampaui popularitas.
4. Zulkarnain: Membangun Sistem Sebelum Fitnah Meledak
Zulkarnain digambarkan sebagai pemimpin visioner. Ia membangun tembok untuk menahan kehancuran, bukan karena bahaya sudah menyerang, tetapi karena ia mampu membaca tanda-tanda zaman.
Model ini bertentangan dengan kepemimpinan hari ini yang reaktif, populis, dan sering kali justru memperparah krisis.
Noam Chomsky, dalam berbagai karyanya, menyebut bahwa kekuasaan modern sering kali “menggunakan krisis untuk memperluas kendali, bukan untuk melindungi rakyat.” Yuval Noah Harari juga memperingatkan dalam Homo Deus bahwa manusia modern sedang membangun infrastruktur global yang rapuh secara etis, meski tampak kuat secara teknologi.
Malcolm X pernah berkata, “Bangun sistem yang mencegah kejahatan lahir kembali.” Itu pula yang dilakukan Zulkarnain—ia tidak sekadar membantu, tapi membentuk struktur sosial yang kuat sebelum badai datang.
Hari ini, membangun benteng sosial berarti memperkuat lembaga dakwah, komunitas independen, ekonomi syariah, dan kebijakan distribusi yang adil—sebelum sistem kapitalisme-otoriter mengambil alih seluruh hidup kita.
Empat Pintu Fitnah, Empat Pilar Ketahanan
Surat Al-Kahfi membagi dunia dalam empat titik kerusakan utama. Dan setiap kisah adalah vaksin peradaban terhadap keruntuhan spiritual dan sosial umat manusia:
Asimilasi Identitas - Ashabul Kahfi
Kapitalisme Konsumtif - Pemilik Kebun Mukmin
Logika Instan - Nabi Khidir
Otoritarianisme Global - Zulkarnain
Empat model ini bukan narasi heroik untuk nostalgia. Ia adalah alat ukur: apakah kita sudah membangun “gua iman”, menggugat teologi harta, menyusun visi panjang, dan mendirikan tembok sosial sebelum fitnah meledak?
Bukan Sekadar Dibaca, Tapi Dihidupi
Surat Al-Kahfi adalah kitab strategi akhir zaman. Ia bukan hanya pelindung spiritual, tetapi juga ajakan untuk menghidupi perlawanan. Dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma, konsumerisme, dan penghapusan nilai-nilai ilahiah, kita perlu membaca Al-Kahfi bukan hanya sebagai doa, tapi sebagai desain peradaban.
Dajjal akan datang—baik sebagai figur maupun sistem. Tapi siapa yang menang bukan ditentukan oleh dia, melainkan oleh kita: apakah kita siap?
Kini saatnya memutuskan: menjadi korban zaman, atau peretas zaman?
https://islamposmedia.com/2025/07/15/4-strategi-menghadapi-dajjal-tafsir-interaktif-surat-al-kahfi/
0 komentar: