basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Dari Reagan ke Trump: Janji Kosong Amerika dan Dilema Palestina Janji yang Tak Pernah Terealisasi Sejarah Palestina adalah sejar...



Dari Reagan ke Trump: Janji Kosong Amerika dan Dilema Palestina


Janji yang Tak Pernah Terealisasi

Sejarah Palestina adalah sejarah luka yang ditulis ulang dengan pena asing. Setiap kali ada perjanjian, rakyat Palestina dipaksa berharap, tetapi setiap kali pula mereka dikecewakan. Dari janji Ronald Reagan pada 1982, euforia Perjanjian Oslo 1993, hingga rencana Donald Trump tahun 2020 yang disebut “Deal of the Century”, pola yang sama berulang: korban dijadikan tersangka, penjajah dilegitimasi, dan kebenaran dikubur di meja perundingan.

Al-Qur’an sudah mengingatkan:

> “Apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)



Namun, bagaimana bila perdamaian hanya menjadi jebakan? Bagaimana jika yang disebut “perdamaian” hanyalah selubung untuk memperkuat penjajahan?


---

Janji Reagan: “Palestinian Homeland”

Pada tahun 1982, usai perang Lebanon yang menghancurkan PLO, Presiden AS Ronald Reagan mengumumkan sebuah inisiatif damai. Ia berbicara tentang “Palestinian homeland”, rumah bagi bangsa Palestina, meski tidak pernah menyebut negara. Retorika itu sekilas memberi harapan, tetapi para analis, termasuk sejarawan Rashid Khalidi, menyebutnya hanya “karpet retorika” yang menutupi strategi sebenarnya: memperkuat Israel, menundukkan PLO, dan menyingkirkan aspirasi Palestina ke ruang abu-abu.

Reagan berhasil membuka jalan bagi Israel untuk menghindari isolasi internasional, sementara rakyat Palestina tetap tercerai-berai. Dalam ingatan kolektif Palestina, janji itu sama kosongnya dengan suara yang lenyap tertiup angin Laut Tengah.


---

Oslo 1993: Euforia yang Memabukkan

Sepuluh tahun setelah pidato Reagan, Oslo lahir. Dunia melihat foto ikonik: Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan di Gedung Putih, dengan Bill Clinton tersenyum di tengah. Gambar itu menjadi simbol harapan baru. Tetapi Oslo juga menjadi jebakan besar.

Edward Said, intelektual Palestina terkemuka, menyebut Oslo sebagai “instrument of Palestinian surrender”. Kenapa? Karena Oslo tidak menyebutkan akhir penjajahan, tidak menyentuh masalah pemukiman ilegal, tidak menjamin hak kembali pengungsi, dan tidak menegaskan batas-batas negara Palestina.

PLO terjebak dalam euforia legitimasi internasional, sementara Israel mendapatkan pengakuan resmi tanpa perlu mengakhiri pendudukan. Dalam istilah politolog Avi Shlaim, “Israel mendapat pengakuan tanpa konsesi, Palestina mendapat otoritas tanpa kedaulatan.”

Al-Qur’an menyinggung sikap seperti ini dalam firman-Nya:

> “Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9)




---

Trump dan “Deal of the Century”

Donald Trump melangkah lebih jauh dari pendahulunya. Ia menyebut rencananya sebagai “kesepakatan abad ini”. Dalam realitasnya, itu adalah penyerahan total Palestina.

Poin-poin utamanya:

1. Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel.


2. Tidak ada hak kembali bagi pengungsi Palestina.


3. Pemukiman ilegal dilegitimasi.


4. Negara Palestina boleh ada, tetapi tanpa kedaulatan penuh—lebih mirip “bantustan” seperti di Afrika Selatan era apartheid.


5. Hamas harus dilucuti sebelum Gaza bisa disebut “damai”.



Profesor Rashid Khalidi menyebut rencana Trump sebagai “puncak dari satu abad kolonialisme.” Sementara Richard Falk, pakar hukum internasional, menegaskan bahwa kesepakatan ini “bukan damai, tetapi perwujudan dominasi satu bangsa atas bangsa lain.”

Trump tidak bersembunyi di balik retorika. Ia terang-terangan memihak Israel, seolah Palestina hanyalah gangguan kecil bagi proyek geopolitik Timur Tengah.


---

PLO dan Hamas: Dua Jalan, Satu Dilema

PLO terjebak dalam jebakan Oslo. Mereka mendapatkan struktur otoritas, bendera, dan kursi di PBB, tetapi kehilangan kendali nyata atas tanah. Kini, Hamas menghadapi dilema serupa: apakah mereka akan terjebak dalam rencana Trump seperti PLO di Oslo, atau memilih jalan lain yang lebih getir namun bermartabat?

Di Gaza, Hamas adalah simbol perlawanan. Tetapi dunia Barat mendefinisikan mereka sebagai teroris. Perjanjian Trump menuntut Hamas melucuti senjata, menyerahkan kendali keamanan, dan berubah menjadi semacam otoritas administratif tanpa daya.

Pertanyaan besar muncul: akankah Hamas mengulang kesalahan PLO? Ataukah mereka akan menolak “damai” ala Trump yang sejatinya adalah jerat politik?


---

Analisis Para Pakar

Rashid Khalidi (sejarawan): Oslo adalah awal dari “penjara terbesar di dunia terbuka” yang bernama Gaza. Trump hanya mempertebal dinding penjara itu.

Edward Said (intelektual): Oslo adalah “bencana moral” karena mengubah korban menjadi mitra seolah setara dengan penjajah.

Richard Falk (hukum internasional): Deal of the Century adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, karena melegitimasi pemukiman ilegal.

Avi Shlaim (sejarawan Israel): Israel sejak awal tidak berniat memberi negara bagi Palestina; semua perjanjian hanyalah strategi penundaan.



---

Korban Menjadi Tersangka

Tragedi paling besar dari semua perjanjian ini adalah narasi yang terbalik: korban dijadikan tersangka, penjajah dijadikan “pencari damai.”

Ketika anak-anak Gaza menolak tunduk, mereka disebut ekstremis. Ketika rakyat Palestina bertahan, mereka dituduh radikal. Sementara Israel yang merampas tanah, menghancurkan rumah, dan membunuh ribuan warga sipil, tetap diperlakukan sebagai “demokrasi yang sah.”

Al-Qur’an telah menyinggung fenomena pembalikan narasi ini:

> “Dan mereka (orang-orang kafir) membungkus yang benar dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)




---

Refleksi: Bisakah Sejarah Berulang?

Jika Oslo adalah jebakan, apakah rencana Trump adalah jebakan berikutnya? Hamas kini berada di persimpangan yang sama. Perjanjian yang terlihat manis, tetapi berisi racun.

Di satu sisi, Hamas lelah dengan blokade, kehancuran, dan penderitaan Gaza. Ada godaan untuk meraih “napas lega” meski sebentar. Di sisi lain, menyerah pada rencana Trump berarti kehilangan hak-hak asasi bangsa Palestina untuk selamanya.

Sejarawan Ilan Pappé mengingatkan: “Setiap kali Palestina menerima janji damai Barat, mereka kehilangan lebih banyak tanah, lebih banyak martabat, dan lebih banyak masa depan.”


---

Epilog: Jalan yang Pahit tapi Bermartabat

Perjalanan sejarah Palestina adalah perjalanan penuh luka. Dari janji Reagan yang hampa, Oslo yang mengecewakan, hingga Deal of the Century yang brutal, semuanya menunjukkan satu hal: Amerika bukan mediator, melainkan sponsor penjajahan.

Kini, bola ada di tangan Hamas dan generasi muda Palestina. Mereka bisa mengulang kesalahan PLO, atau memilih jalan pahit yang penuh perlawanan.

Dan dalam keyakinan orang-orang beriman, janji Allah lebih kokoh daripada janji Washington:

> “Dan sungguh, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (bahwa) bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)



Sejarah manusia mungkin berulang, tetapi janji Allah tidak pernah ingkar. Palestina mungkin dikhianati dunia, tetapi tidak pernah ditinggalkan oleh langit.

Menanggalkan Keris Mpu Gandring, Cara Menenggelamkan Penjajah Israel?  Prolog: Gelombang yang Tak Terlihat Ada gelombang yang ta...


Menanggalkan Keris Mpu Gandring, Cara Menenggelamkan Penjajah Israel? 


Prolog: Gelombang yang Tak Terlihat

Ada gelombang yang tak tercatat dalam peta angkatan laut mana pun. Ia bukan gelombang ombak yang menggulung kapal, bukan pula gelombang peluru yang dimuntahkan meriam. Gelombang ini lahir dari dada manusia, dari doa-doa mustadh’afin, dari jeritan anak-anak yang kehilangan ayahnya, dan dari nurani yang terbangun di jalanan kota-kota dunia.

Gelombang itu pula yang ditakuti oleh para tiran: gelombang yang tidak bisa mereka tembak dengan drone, tidak bisa mereka kepung dengan tank, dan tidak bisa mereka tenggelamkan dengan kapal perang.

Ketika kita membaca Al-Qur’an, kita mendapati kisah Firaun yang ditelan laut, kaum Ashabul Ukhdud yang dihancurkan gelombang api, atau kaum-kaum yang binasa tanpa satu pun pasukan dunia mengangkat pedang untuk menjatuhkan mereka. Gelombang sejarah tidak selalu lahir dari senjata. Kadang ia datang dari laut, kadang dari bumi, kadang dari kesadaran yang tiba-tiba bangkit di hati manusia.

Hari ini, di Gaza, kita melihat gelombang itu mulai meninggi.


---

Gelombang dalam Al-Qur’an

Firaun tidak kalah di medan perang. Ia kalah di laut. Bukan oleh panah Bani Israil, bukan oleh pedang Musa, tetapi oleh gelombang yang diperintahkan Allah.

> “Maka Kami hukumlah dia (Firaun) dan tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang zalim itu.”
(QS. Al-Qashash: 40)



Ashabul Ukhdud juga binasa bukan karena senjata. Mereka menghukum orang beriman dengan parit api, tetapi gelombang murka Allah turun, dan sejarah hanya mencatat bahwa mereka musnah.

> “Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab neraka dan bagi mereka azab (pula) kebakaran.”
(QS. Al-Buruj: 10)



Dari dua kisah ini, kita belajar: penghancur kezaliman sering datang bukan dalam bentuk pasukan manusia, melainkan dalam bentuk gelombang Ilahi yang sulit diprediksi.


---

Bukan Pedang, Bukan Keris

Sejarah Nusantara pun menyimpan simbol: keris Mpu Gandring yang meneteskan darah, melahirkan dendam tak berkesudahan. Dari Singasari ke Majapahit, darah terus mengalir, bukan karena musuh asing, tapi karena senjata yang disalahgunakan.

Pelajaran ini relevan bagi dunia hari ini: penghentian pembantaian bukan selalu berarti menambah senjata, melainkan berhenti meneteskan darah yang sia-sia. Gelombang penghancur penjajah bisa lahir bukan dari peluru tambahan, melainkan dari solidaritas global, dari tekad manusia untuk berkata: “Cukup sudah darah yang menetes.”


---

Gelombang Gaza

Israel mengepung Gaza dengan segala cara: dari laut, udara, darat. Rumah sakit dihancurkan, sekolah dibom, masjid dijadikan target, bahkan kantor-kantor diplomatik asing dan perwakilan PBB pun tidak luput dari serangan. Ratusan ribu tentara reguler dan cadangan dikerahkan, seolah-olah Gaza adalah kerajaan besar, padahal hanya sepotong tanah sempit yang dipenuhi pengungsi.

Mereka mengulang strategi Quraisy di Mekah: mengepung rumah Nabi ﷺ dengan para pemuda bersenjata, agar pembunuhan dianggap tanggung jawab bersama, agar darah tak bisa dituntut. Bedanya, hari ini Israel melakukannya terhadap jutaan jiwa, dengan mengatasnamakan “keamanan nasional.”

Sejarawan Sirah, Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, pernah menulis bahwa makar Quraisy saat itu adalah puncak keputusasaan mereka menghadapi dakwah Rasulullah ﷺ. Demikian pula Israel kini: makin brutal, makin tak rasional, tanda bahwa mereka sedang kehabisan akal menghadapi keteguhan Gaza.


---

Gelombang Dunia

Tetapi lihatlah apa yang terjadi setelah serangan terhadap Armada Sumud Flotilla. Kapal-kapal bantuan yang membawa relawan dari puluhan negara dicegat, satu per satu diserbu kapal perang Israel. Namun, yang muncul bukanlah kemenangan Israel, melainkan gelombang baru yang mengguncang Eropa.

Di Napoli, ribuan orang menutup stasiun kereta api, menghentikan perjalanan ribuan penumpang. Di Roma, polisi mengepung Termini karena massa menolak bubar. Di Milan, Turin, Florence, hingga Livorno, para buruh memblokade pelabuhan. Serikat pekerja CGIL menyebut agresi Israel sebagai “masalah serius,” lalu menyerukan pemogokan massal.

Di Jerman, stasiun pusat Berlin ditutup demonstran. Di Irlandia, senator Chris Andrews ditahan Israel, memicu amarah pemerintah. Di kota-kota lain: Athena, Istanbul, Tunis, Paris, Barcelona, Brussels—gelombang rakyat memenuhi jalanan.

Ini adalah gelombang yang sama yang dulu menenggelamkan Firaun: bukan pedang, bukan tombak, melainkan gelombang massa yang bergerak karena nurani.


---

Gelombang Nurani vs Gelombang Senjata

Sejarawan Barat, Montgomery Watt, pernah menyebut hijrah Nabi ﷺ sebagai “titik balik sejarah dunia,” sebab makar Quraisy gagal dan strategi Nabi justru membuka jalan peradaban. Demikian juga, setiap kali Israel menekan Gaza, yang lahir justru gelombang dukungan global yang tak pernah mereka perhitungkan.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi menulis: “Setiap penindas pada akhirnya akan kalah bukan hanya oleh perlawanan orang beriman, tapi oleh beban kezaliman yang ditolak nurani umat manusia.”

Gelombang ini nyata: survei di Barat menunjukkan semakin banyak generasi muda menolak Israel, media sosial dipenuhi suara yang tak bisa dibungkam, serikat pekerja internasional memblokade perdagangan mereka, bahkan para jenderal IDF sendiri mulai meragukan kemenangan.


---

Charlie Kirk, Oposisi Israel, dan Suara dari Dalam

Gelombang itu bahkan dirasakan oleh mereka yang semula membela Israel. Charlie Kirk, komentator konservatif Amerika, menulis surat yang bernada getir: ia mengakui Israel semakin kehilangan simpati dunia. Di dalam negeri Israel sendiri, oposisi politik dan sejumlah jenderal cadangan IDF mulai terang-terangan menentang kebijakan Netanyahu.

Mereka mulai merasakan gelombang yang tak bisa dihentikan: gelombang delegitimasi. Sebab dunia tidak lagi menelan narasi “membela diri” ketika yang terlihat adalah bayi-bayi terbunuh dan kota-kota hancur rata.


---

Ayat dan Janji Langit

Al-Qur’an menegaskan janji ini:

> “Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)



Dan lagi:

> “Mereka membuat makar, dan Allah pun membuat makar. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.”
(QS. Ali Imran: 54)



Maka gelombang ini sejatinya adalah makar Allah: suara rakyat dunia, keteguhan Palestina, dan runtuhnya legitimasi moral Israel.


---

Epilog: Gelombang yang Tak Pernah Reda

Firaun mungkin menyangka laut adalah sekutunya. Israel mungkin mengira senjata nuklir adalah bentengnya. Tetapi sejarah selalu membuktikan: yang menenggelamkan bukan peluru, melainkan gelombang yang diperintahkan langit.

Hari ini gelombang itu bernama Gaza. Ia kecil, sempit, terkepung, tapi dari sanalah gelombang keteguhan lahir, menular ke Napoli, Berlin, Dublin, Istanbul, hingga Jakarta.

Dan ketika gelombang itu sudah meninggi, tak ada kapal perang, tank, atau pesawat tempur yang bisa menahannya. Sebab gelombang itu bukan hanya gelombang air, melainkan gelombang nurani, doa, dan janji Allah bahwa kebenaran selalu akan menang, meski tirani sementara tampak perkasa.

Obliteration Doctrine dan Logika AI Penjajah Israel dalam Bumihangus Gaza --- 1. Gaza sebagai Cermin Dunia Gaza hari ini bukan s...

Obliteration Doctrine dan Logika AI Penjajah Israel dalam Bumihangus Gaza


---

1. Gaza sebagai Cermin Dunia

Gaza hari ini bukan sekadar sebuah wilayah sempit di tepi Laut Tengah. Ia telah berubah menjadi cermin besar yang memantulkan wajah kemanusiaan kita. Setiap bom yang jatuh di sana, setiap reruntuhan sekolah, setiap rumah sakit yang hancur, adalah pertanyaan yang dilemparkan kepada dunia: apakah kita masih punya nurani?

Di langit Gaza, drone berputar bagai kawanan burung besi. Di bumi, tank-tank merayap sambil menabur debu kehancuran. Di balik layar, algoritma dingin bekerja, memilih target tanpa rasa, mengolah data tanpa doa, lalu mengirimkan koordinat kepada rudal yang akan memusnahkan sebuah keluarga dalam hitungan detik.

Dan di sinilah kita berjumpa dengan istilah yang dipaparkan oleh Dan Steinbock: Obliteration Doctrine — sebuah doktrin penghancuran total, bukan sekadar melawan kombatan, tapi meremukkan seluruh ruang kehidupan lawan. Sebuah cara berpikir yang ingin menjadikan Gaza tak layak huni, tak layak hidup, tak layak dikenang.


---

2. Doktrin Penghancuran Total

Steinbock menyebut, Obliteration Doctrine bekerja dengan lima pilar utama:

1. Scorched-earth — bumi hangus, penghancuran infrastruktur vital: rumah sakit, sekolah, listrik, air, jalan. Tujuannya bukan sekadar melemahkan lawan, tapi membuat masyarakat tak mungkin hidup normal.


2. Collective punishment — hukuman kolektif. Sebuah kampung dibom karena ada seorang kombatan di sana. Sebuah rumah dihancurkan karena salah satu penghuninya dicurigai. Bukan lagi individu yang dihukum, melainkan seluruh komunitas.


3. Area bombing — serangan kawasan, bukan titik. Rudal dan bom dijatuhkan bukan pada target spesifik, tetapi menyapu seluruh blok kota.


4. Cultural genocide — penghapusan jejak budaya: perpustakaan, universitas, arsip sejarah, bahkan masjid dan gereja ikut jadi sasaran. Identitas kolektif dipangkas agar generasi mendatang kehilangan pijakan.


5. Instrumentalisasi kelaparan — blokade pangan, obat, dan bantuan. Kelaparan dijadikan senjata untuk menekan jutaan orang agar tunduk.



Inilah wajah doktrin itu. Sebuah rencana sistematis untuk membuat Gaza tidak sekadar kalah, tetapi lenyap.

Profesor Richard Falk, pakar hukum internasional dan mantan pelapor khusus PBB untuk Palestina, pernah berkata:

> “Gaza adalah eksperimen sosial terbesar di abad ini: bagaimana menundukkan sebuah populasi lewat pengepungan, blokade, dan hukuman kolektif.”




---

3. Logika AI: Perang Tanpa Nurani

Jika doktrin ini adalah kerangka besar, maka AI adalah mesinnya.

a) Targeting by Algorithm

Laporan investigatif The Guardian (2024) mengungkap adanya sistem berbasis AI yang digunakan Israel, dijuluki Habsora (“Injil”). Sistem ini menggabungkan citra satelit, metadata komunikasi, dan rekaman drone. Algoritma kemudian menghasilkan daftar ribuan target hanya dalam waktu singkat.

Seorang perwira anonim dalam wawancara dengan +972 Magazine mengakui:

> “Dulu, butuh waktu berhari-hari bagi intelijen manusia untuk memverifikasi satu target. Kini, AI bisa memberi ratusan target dalam semalam.”



Tapi pertanyaan besar muncul: apakah algoritma peduli siapa yang ada di dalam rumah itu? Anak-anak? Pasien? Orang tua?

b) Optimisasi Efektivitas

AI didesain untuk efisiensi operasional: jumlah target yang bisa dihantam, kecepatan serangan, perhitungan logistik. Namun, seperti diingatkan pakar AI militer Paul Scharre dalam bukunya Army of None, “otomasi memperbesar skala, tapi sekaligus memperbesar potensi salah.”

c) Hilangnya Akuntabilitas

Siapa yang bertanggung jawab ketika sebuah algoritma salah sasaran? Apakah programmer? Komandan yang menekan tombol? Atau politisi yang memberi perintah?

Inilah bahaya besar: AI membuat kejahatan massal bisa terjadi tanpa wajah pelaku yang jelas. Dalam dunia hukum, akuntabilitas kabur; dalam dunia moral, nurani hilang.

Al-Qur’an mengingatkan:

> “Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11).



Bukankah inilah persis yang kita saksikan? Mesin pembunuh dipasarkan sebagai “teknologi presisi” padahal jejaknya adalah puing dan darah.


---

4. Hukum Internasional yang Lumpuh

Obliteration Doctrine seharusnya bisa dihentikan oleh hukum internasional. Tetapi kenyataannya? Lembaga hukum global lumpuh.

Konvensi Jenewa 1949 jelas melarang:

serangan terhadap sipil,

penggunaan kelaparan sebagai senjata,

penghancuran infrastruktur non-militer.


Namun, laporan Komisi HAM PBB menunjukkan pola pelanggaran berulang.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pernah membuka penyelidikan, tetapi terbentur politik veto, lobi negara besar, dan sulitnya akses lapangan.

Profesor William Schabas, pakar hukum genosida, menulis:

> “Kejahatan paling parah sering terjadi bukan karena hukum tak ada, tetapi karena hukum tak ditegakkan. Gaza adalah contohnya.”



Di sinilah dunia terjebak: aturan ada, tapi impunitas lebih kuat.


---

5. Kritik dan Batas Analisis

Ada yang menganggap istilah “Obliteration Doctrine” hanyalah retorika politis. Israel sendiri mengklaim serangan mereka ditujukan untuk melawan Hamas, bukan rakyat sipil.

Namun, seperti dicatat oleh ilmuwan militer Martin van Creveld (Universitas Hebrew, Yerusalem), “Israel tidak bisa membedakan antara Hamas dan Gaza, karena struktur sosial-politik yang melebur. Setiap serangan besar pasti meluas ke sipil.”

Artinya, meski Israel membantah doktrin itu, realitas di lapangan menunjukkan pola sistematis yang sulit disangkal.


---

6. Gaza dalam Cermin Al-Qur’an

Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan tentang kaum yang hancur karena kezaliman mereka sendiri.

> “Maka masing-masing mereka Kami azab karena dosanya: di antara mereka ada yang Kami timpakan angin ribut, ada yang ditimpa suara keras, ada yang Kami benamkan dalam bumi, dan ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Al-‘Ankabut: 40).



Bukankah sejarah ini berulang? Mesir Fir’aun, Romawi yang zalim, bahkan Quraisy yang mengepung rumah Nabi ﷺ. Semua memakai logika yang sama: hapus lawan dengan segala cara.

Tetapi sejarah memberi jawaban: tiada kekuasaan zalim yang kekal.


---

7. Jalan Keluar: Tindakan dan Kesadaran

Apa yang bisa dilakukan dunia?

1. Penegakan hukum: rujukan kasus Gaza ke ICC/ICJ, investigasi independen, litigasi universal oleh negara pihak.


2. Embargo senjata & AI: hentikan pasokan komponen kritis bagi sistem drone, algoritma targeting, dan senjata presisi.


3. Sanksi bertarget: kepada pejabat, komandan militer, perusahaan penyokong.


4. Diplomasi rakyat: dokumentasi, kampanye global, boikot sipil.


5. Kesadaran moral: mendidik generasi bahwa teknologi tanpa etika adalah pedang bermata dua.



Seorang pakar AI etika, Kate Crawford, menulis:

> “Setiap dataset punya bias, dan setiap algoritma punya dampak politik. AI bukan netral; ia memperbesar struktur kekuasaan yang ada.”



Dengan kata lain, jika algoritma dipakai oleh penjajah, maka ia akan memperbesar penjajahan.


---

8. Penutup Liris: Cahaya yang Tak Bisa Dipadamkan

Gaza kini mungkin terlihat sebagai reruntuhan. Jalan-jalan hancur, rumah sakit roboh, anak-anak bermain di bawah bayangan drone. Namun, ada sesuatu yang tak bisa dihancurkan oleh bom, algoritma, atau doktrin militer: iman dan harapan manusia.

Al-Qur’an memberi janji:

> “Janganlah kamu menyangka bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42).



Obliteration Doctrine mungkin ingin memadamkan Gaza, tapi Gaza justru menjelma menjadi api moral dunia. Setiap reruntuhan di sana menjadi saksi, bahwa teknologi tanpa nurani hanyalah jalan singkat menuju kehancuran diri.

Sejarah akan mencatat: di abad AI ini, manusia pernah mencoba memakai algoritma untuk memusnahkan sebuah bangsa. Tapi sejarah juga akan mencatat: cahaya tak bisa dipadamkan. Gaza tetap hidup, dalam doa, dalam perjuangan, dalam nurani umat manusia.

Genosida yang Mengubah DNA: Warisan Luka Gaza bagi Generasi Pengantar: Luka yang Menyusup Hingga ke Sel Di Gaza, bom jatuh bukan...


Genosida yang Mengubah DNA: Warisan Luka Gaza bagi Generasi

Pengantar: Luka yang Menyusup Hingga ke Sel

Di Gaza, bom jatuh bukan hanya merobohkan bangunan. Ledakan itu menembus udara, bercampur dengan debu, menyusup ke paru-paru anak-anak, dan diam-diam menorehkan luka yang tak terlihat: pada sel, pada gen, pada warisan biologis manusia.

Kita terbiasa memandang perang sebagai peristiwa sosial, politik, atau ekonomi. Namun Gaza memperlihatkan wajah lain dari genosida: ia merambah ke tingkat molekuler, ke ruang tersembunyi tubuh manusia, di mana kode kehidupan diwariskan dari orang tua kepada anak.

Apakah mungkin perang mewariskan luka kepada generasi yang belum lahir?
Apakah genosida Israel di Gaza sedang menulis ulang DNA rakyat Palestina?

Al-Qur’an sejak lama telah memperingatkan:

> “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfāl: 25)



Ayat ini menyingkap kenyataan: kehancuran tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga anak-anak, generasi, bahkan tanah yang diinjak. Perang meneteskan racunnya tidak hanya pada tubuh, tapi pada warisan genetis umat manusia.


---

Bagian I: Setan Perang dan Jejaknya Lintas Generasi

Perang adalah salah satu tipu daya setan. Ia bukan hanya memicu pertumpahan darah hari ini, tetapi menanamkan benih kehancuran di hari esok. Setan sendiri berkata dalam Al-Qur’an:

> “Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan menghiasi (kejahatan) bagi mereka di muka bumi dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)



Di Gaza, tipu daya itu bukan lagi sekadar retorika. Racun dari ledakan, trauma psikologis, dan lapar yang kronis menjadi warisan genetik. Epigenetika — cabang ilmu yang mempelajari perubahan ekspresi gen akibat faktor lingkungan — menjelaskan bahwa stres, polusi, dan kekerasan bisa mengaktifkan atau mematikan gen tertentu.

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pernah berpesan bahwa dosa dan kezaliman meninggalkan bekas bukan hanya pada jiwa pelakunya, tetapi juga pada keturunannya. Kini, sains menguatkan intuisi spiritual itu: perang dapat menggoreskan luka pada DNA.


---

Bagian II: Dari Perang ke Gen – Epigenetika dan Luka yang Diwariskan

Ilmu genetika klasik mengajarkan bahwa sifat diwariskan melalui DNA yang stabil. Namun, epigenetika menunjukkan lapisan lain: lingkungan dapat menempelkan “cap” pada gen, menentukan apakah ia aktif atau tertidur.

Stres kronis, malnutrisi, paparan logam berat dari bom — semua ini adalah realitas sehari-hari di Gaza. Dr. Ahmed Issa, dokter anak Palestina, menemukan bahwa trauma perang pada anak-anak Gaza meninggalkan jejak biologis yang dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental anak-cucu mereka.

> “Anak-anak Gaza tidak hanya mewarisi kesulitan sosial dan ekonomi, tetapi mereka juga membawa warisan perang dalam DNA mereka,” kata Dr. Ahmed.



Dalam hadits, Nabi ﷺ mengajarkan doa perlindungan untuk anak-anak:

> “Aku memohon perlindungan untukmu berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan, binatang berbisa, dan dari pandangan mata yang jahat.” (HR. Bukhari)



Doa itu adalah tameng spiritual. Namun bagaimana jika dunia membiarkan setan perang menanam racunnya dalam gen anak-anak Gaza?


---

Bagian III: Holocaust dan Vietnam – Warisan Luka dalam Sejarah

Genosida bukan peristiwa baru. Penelitian terhadap anak-cucu penyintas Holocaust menunjukkan mereka memiliki kadar hormon stres lebih tinggi akibat perubahan epigenetik. Mereka tidak hidup pada era Nazi, tetapi tubuh mereka masih menyimpan memori perang.

Jika lebih dari 80 tahun kemudian, generasi ketiga Holocaust masih membawa luka itu, bagaimana dengan rakyat Gaza yang terus-menerus hidup dalam perang?

Perang Vietnam memberikan bukti lain. Penggunaan Agent Orange mencemari tanah dan air, menyebabkan cacat lahir hingga generasi berikutnya. Dari spina bifida hingga cacat jantung, luka itu diwariskan bahkan setelah perang berakhir.

Apakah Gaza sedang ditakdirkan menjadi Vietnam kedua?


---

Bagian IV: Gaza – Laboratorium Paksa untuk Perubahan Genetik

Reruntuhan bangunan, asap hitam, udara beracun, air yang tercemar — Gaza telah menjadi laboratorium paksa, tempat eksperimen kejam berlangsung.

Um Ahmed, seorang ibu Gaza, bercerita bahwa ketika rumahnya hancur dibom saat ia hamil tujuh bulan, bayi dalam kandungannya menendang lebih keras. Setelah lahir, bayinya menangis tanpa henti. Seolah trauma itu diwariskan sejak dalam rahim.

Dokter epigenetika, Dr. Samer Al Khaldi, menegaskan: racun bom melewati plasenta, mengubah gen janin, meningkatkan risiko cacat lahir dan keguguran. Foto bayi-bayi Gaza dengan kelainan wajah dan tubuh adalah bukti hidup.

> “Menghirup zat-zat ini tidak hanya membahayakan ibu, tetapi juga melewati plasenta ke janin,” ujarnya.



Bagi pria, paparan racun memengaruhi sperma, mewariskan kerusakan kepada anak-anak yang belum lahir. Anak-anak Gaza lahir dengan risiko kanker lebih tinggi, membawa jejak perang bahkan sebelum mereka bisa berbicara.

Al-Qur’an mencatat doa Nabi Zakaria:

> “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri, dan Engkaulah sebaik-baik yang mewarisi.” (QS. Al-Anbiya: 89)



Doa ini menggema di Gaza: bagaimana generasi bisa lahir dengan sehat jika perang mewariskan kerusakan dalam DNA mereka?


---

Bagian V: Angka Kanker dan Luka yang Tertunda

Ledakan bom menghasilkan logam berat dan karsinogen yang menetap di tanah dan udara. Paparan berulang terhadap zat ini meningkatkan risiko kanker darah, limfoma, dan penyakit tiroid.

Dr. Haitham Awadh, ahli onkologi Palestina, memperingatkan:

> “Generasi mendatang akan membayar harga atas polusi ini.”



Kanker sering muncul beberapa dekade setelah paparan. Artinya, anak-anak Gaza hari ini mungkin baru akan jatuh sakit saat dewasa. Luka itu menunggu dalam sunyi, bersembunyi dalam DNA.


---

Bagian VI: Tanggung Jawab Dunia – Luka Biologis sebagai Amanah

Perang di Gaza mengajarkan dunia bahwa genosida bukan hanya persoalan politik, tetapi biologis. Luka itu diwariskan, menyentuh anak-anak yang belum lahir, yang bahkan belum tahu apa arti perang.

Allah mengingatkan:

> “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33)



Membiarkan genosida berarti membiarkan generasi yang belum lahir dibunuh secara perlahan.

Ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa dosa terbesar adalah yang merusak masa depan umat, karena ia memutus rahmat Allah dari generasi mendatang. Apa yang terjadi di Gaza hari ini adalah contoh paling nyata.


---

Penutup: Harapan di Tengah Luka Genetik

Namun tidak semua luka epigenetik bersifat permanen. Penelitian menunjukkan nutrisi yang baik, dukungan psikologis, dan lingkungan yang sehat dapat memperbaiki sebagian perubahan.

Di sinilah harapan. Bahwa meski Israel menulis racun dalam DNA rakyat Gaza, Allah tetap menanamkan kekuatan regenerasi dan kesembuhan. Bahwa doa, dzikir, dan perlawanan spiritual mampu menjadi tameng.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat, maka ia menyembuhkan dengan izin Allah.” (HR. Muslim)



Mungkin Gaza sedang menunggu dunia, bukan hanya untuk menghentikan bom, tetapi juga untuk membangun kembali kesehatan biologis dan spiritual mereka.

Gaza telah mengajarkan kita satu hal: perang tidak hanya membunuh hari ini, tetapi berusaha merampas masa depan. Namun sejarah juga menunjukkan: bangsa yang terluka paling dalam sering kali melahirkan kekuatan yang tak tergoyahkan.

Dan mungkin, dari DNA yang diukir oleh luka, akan lahir generasi yang membawa perlawanan yang lebih murni — generasi yang, dengan izin Allah, menutup bab panjang kezaliman.

Sumber:
https://www.newarab.com/features/how-israels-genocide-rewriting-gazans-epigenetic-code

Membaca Diplomasi Rahasia Amerika–Israel tentang Palestina: Berakhir Sia-Sia --- Prolog: Bisikan di Balik Pintu Tertutup Seorang...


Membaca Diplomasi Rahasia Amerika–Israel tentang Palestina: Berakhir Sia-Sia


---

Prolog: Bisikan di Balik Pintu Tertutup

Seorang sahabat pernah berbisik lirih kepada Rasulullah ﷺ, lalu turunlah ayat yang menyinggung tentang bisikan-bisikan itu. Bukan karena bisikan itu penting, tetapi karena ia menyimpan makna: ada pembicaraan manusia yang bisa menumbuhkan kebaikan, ada pula yang hanya menambah luka.

Sejak itu, Al-Qur’an mengajarkan satu istilah yang terus hidup: najwā. Bisikan rahasia. Percakapan tertutup. Pertemuan kecil yang diselubungi misteri.

Hari ini, kata itu kembali terasa nyata ketika kita membaca berita: “Washington dan Tel Aviv menggelar pembicaraan rahasia tentang Gaza.” “Gedung Putih dan Yerusalem berunding diam-diam soal Tepi Barat.” Seakan-akan dunia bergerak di balik pintu tertutup.

Padahal sejarah Palestina adalah bukti nyata bagaimana bisikan rahasia telah berkali-kali menentukan nasib sebuah bangsa. Dari Sykes–Picot hingga Oslo, dari Deklarasi Balfour hingga Deal of the Century, rakyat Palestina selalu menjadi objek perbincangan, tetapi tak pernah diundang duduk di meja perundingan.

Apakah dunia lupa, atau memang pura-pura tidak peduli?

Di sinilah Al-Qur’an terasa segar kembali. Surat al-Mujādilah ayat 7–10 seakan menyingkap panggung gelap diplomasi modern, sambil berbisik kepada kita: “Jangan takut. Allah ada di setiap najwā. Tidak ada satupun bisikan yang luput dari pendengaran-Nya.”


---

Najwā dalam al-Qur’an: Ayat yang Mengintip Panggung Rahasia

Mari kita dengarkan kembali firman Allah dalam Surat al-Mujādilah:

Ayat 7:
“Tidakkah engkau perhatikan bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempat, antara lima orang melainkan Dia-lah yang keenam, dan tidak (pula) antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia bersama mereka di manapun mereka berada.”

Ayat 8: Allah mencela orang-orang yang berbisik-bisik tentang dosa, permusuhan, dan pembangkangan kepada Rasul.

Ayat 9: Allah memperingatkan orang beriman agar tidak meniru pola itu, tetapi menjadikan bisikan untuk kebaikan, takwa, dan rekonsiliasi.

Ayat 10: Allah menegaskan bahwa bisikan jahat hanyalah tipu daya setan untuk menakut-nakuti orang beriman. Mereka tidak akan membahayakan kecuali dengan izin Allah.


Betapa jernih pesan ini. Bahwa ruang rapat yang diselimuti rahasia bukanlah ruang kosong: Allah adalah saksi, Allah adalah peserta yang tak bisa disingkirkan. Setiap strategi yang lahir dari niat menindas, pada akhirnya akan runtuh oleh skenario-Nya.


---

Sejarah Najwā Eropa dan Amerika tentang Palestina

Kini mari kita menoleh ke sejarah. Setiap peristiwa besar tentang Palestina hampir selalu lahir dari bisik-bisik rahasia.

1. Perjanjian Sykes–Picot (1916)
Sebuah kesepakatan rahasia Inggris–Prancis untuk membagi-bagi Timur Tengah seperti kue. Palestina bahkan belum lahir sebagai negara, tetapi sudah diatur nasibnya tanpa bertanya pada penduduknya.


2. Deklarasi Balfour (1917)
Sebuah surat singkat dari Menteri Luar Negeri Inggris kepada pemimpin Zionis. Kalimatnya manis: “mendukung tanah air bagi bangsa Yahudi.” Tapi di baliknya ada lobi panjang dan pertemuan rahasia, yang sama sekali tidak melibatkan orang Palestina.


3. Konferensi San Remo (1920)
Di sebuah kota kecil di Italia, para pemenang perang dunia memutuskan Palestina sebagai “mandat” Inggris. Lagi-lagi, tidak ada kursi untuk rakyat Palestina.


4. Camp David (1978)
Mesir dan Israel duduk di meja negosiasi. Amerika menjadi mediator. Hasilnya: Mesir mendapatkan kembali Sinai, tapi Palestina ditinggalkan sendirian. Bisikan yang mengkhianati solidaritas.


5. Oslo (1993)
Rahasia di Norwegia, kemudian diumumkan dengan gemerlap. Dunia menyebutnya “kesepakatan damai.” Palestina diberi otoritas semu, tetapi tanahnya tetap dicaplok sedikit demi sedikit.


6. Deal of the Century (2019)
Dirancang Jared Kushner, menantu Donald Trump. Rapat-rapat rahasia digelar di Washington dan Tel Aviv. Isinya: melegalkan pencaplokan, memberi sedikit “bantuan ekonomi” sebagai pengganti tanah air.



Inilah daftar panjang najwā modern: pertemuan-pertemuan yang hanya menguntungkan penguasa, dan melukai yang lemah.


---

Najwā yang Dikecam: Membaca Amerika dan Israel dalam Cermin Al-Qur’an

Ayat-ayat al-Mujādilah seakan mengomentari langsung isi meja perundingan Washington.

Ayat 7: Allah hadir di setiap rapat. Tidak ada draft perjanjian yang luput dari pengawasan-Nya.

Ayat 8: Inilah isi bisikan Amerika–Israel: dosa (menghalalkan pencaplokan), permusuhan (blokade Gaza, bombardir), dan pembangkangan terhadap Rasul (menolak keadilan yang diajarkan Islam).

Ayat 9: Umat Islam dilarang meniru pola itu. Jika kita berbisik, hendaklah untuk kebaikan, menolong yang tertindas, memperkuat persaudaraan.

Ayat 10: Ayat ini seakan menyapa Gaza: “Jangan takut pada rapat rahasia musuh. Itu hanyalah tipu daya setan. Mereka tidak akan melukai kecuali dengan izin Allah.”



---

Refleksi Teologis: Allah Hadir di Ruang yang Tertutup

Mari kita bayangkan: sebuah ruangan oval di Gedung Putih. Lampu kristal menyala, pintu tertutup rapat, hanya ada Presiden Amerika, Perdana Menteri Israel, dan segelintir penasihat. Mereka membicarakan peta, angka, strategi militer, proyek ekonomi.

Mereka merasa aman. Tidak ada kamera. Tidak ada publik.

Namun Al-Qur’an mengoreksi persepsi itu. “Allah bersama mereka.” Allah adalah “orang keempat” dalam ruangan itu. Ia mendengar setiap kata, mengetahui setiap niat, bahkan menulis ulang sejarah di luar jangkauan mereka.

Di Gaza, bom mungkin jatuh. Di Tepi Barat, tembok mungkin dibangun. Tapi di langit, ada skenario lain yang sedang dipersiapkan.


---

Najwā sebagai Pola Sejarah

Sejarah mengajarkan, pola ini berulang.

Di zaman Rasulullah ﷺ, orang-orang munafik sering berkumpul berbisik-bisik di pojok rumah, menyusun rencana untuk melemahkan umat. Hari ini, mereka duduk di ruang rapat modern dengan laptop dan peta digital.

Pola sama, hanya ruang yang berbeda.

Inilah kekuatan Al-Qur’an: menyingkap tabiat manusia lintas zaman. Bahwa bisikan rahasia selalu hadir, tetapi Allah juga selalu hadir untuk membongkar dan membalikkan.


---

Pelajaran bagi Dunia Islam

Ada tiga pelajaran penting yang lahir dari ayat-ayat ini:

1. Terang Melawan Gelap
Musuh berbisik di ruang tertutup, tetapi umat harus melawan dengan solidaritas terbuka. Demonstrasi, advokasi, flotilla, boikot—semua ini adalah cahaya melawan kegelapan diplomasi.


2. Najwā yang Terpuji
Bisikan tidak selalu buruk. Ayat 9 memerintahkan agar orang beriman menjadikan bisikan untuk kebaikan. Artinya, kita juga perlu strategi, diskusi rahasia, pertemuan kecil—tetapi untuk menyelamatkan, bukan menindas.


3. Ketenangan Spiritual
Ayat 10 memberi peneguhan: makar itu ada, tetapi tak akan melukai tanpa izin Allah. Itulah sebabnya rakyat Gaza masih tersenyum, meski dunia seakan bersekongkol melawan mereka.




---

Suara Pakar: Perspektif Hubungan Internasional

Rashid Khalidi, sejarawan Palestina, menulis: “Setiap perjanjian besar tentang Palestina selalu dibuat tanpa Palestina.” Bukankah ini tafsir nyata dari ayat 8? Bisikan yang justru menyingkirkan pihak yang paling berhak.

Noam Chomsky, intelektual Amerika, menyebut diplomasi Amerika–Israel sebagai “teater politik”. Pertemuan rahasia hanya ilusi, sementara agenda militer terus berjalan.

Wahbah az-Zuhaili, mufassir kontemporer, menegaskan: najwā tercela adalah perundingan “untuk menzalimi orang lain atau memperkuat penguasa zalim.” Tepat sekali jika kita menaruh kacamata tafsir ini pada konteks Palestina.



---

Penutup: Bisikan yang Lebih Nyaring

Hari ini, Washington dan Tel Aviv mungkin kembali sibuk berbisik: membicarakan Gaza, menghitung biaya perang, menyusun rencana pascaperang.

Tapi ada bisikan lain yang lebih kuat: doa anak-anak Gaza yang berbisik di malam gelap, doa ibu-ibu yang kehilangan anaknya, doa para syuhada yang gugur dengan senyum.

Bisikan itu naik ke langit, menembus semua pintu tertutup. Dan di hadapan Allah, bisikan doa lebih nyaring dari bisikan diplomasi.

> Inilah janji al-Mujādilah: makar musuh hanyalah tipu daya setan. Sementara bisikan doa adalah bisikan cahaya. Dan pada akhirnya, cahaya akan menelan gelap. Gaza akan bangkit, bukan karena meja rahasia, melainkan karena Allah hadir dalam setiap najwā.

Surat dari Gaza: "Aku Tetap di Sini" Bismillahirrahmanirrahim Kepada saudaraku di luar tembok pengepungan, Aku menulis...


Surat dari Gaza: "Aku Tetap di Sini"

Bismillahirrahmanirrahim

Kepada saudaraku di luar tembok pengepungan,

Aku menulis surat ini dari sebuah kota yang sedang sekarat tetapi menolak mati: Gaza. Kota yang bernafas dengan sisa oksigen dari reruntuhan, kota yang berdiri di atas puing-puing rumahnya sendiri, kota yang menolak tunduk meski maut mengepungnya dari segala arah.

Aku menulis bukan untuk mengundang belas kasihan, bukan pula untuk menebar keluh kesah. Surat ini adalah saksi — saksi bahwa Gaza tidak pernah diam, bahwa kami yang tinggal di sini tetap memilih bertahan, meski dunia berkata itu pilihan gila.

Allah berfirman:

> "Janganlah kamu lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman."
(QS. Ali Imran: 139)



Ayat ini yang terus menghidupkan napas kami, bahkan ketika rumah kami hancur berkali-kali, bahkan ketika anak-anak kami meregang nyawa tanpa sempat berlari.


---

1. Antara Dua Kematian

Di sini, kami hanya punya dua pilihan: mati di rumah sendiri atau mati di pengungsian. Israel memaksa kami pergi ke selatan dengan janji “keamanan”, tetapi kami tahu itu kebohongan. Saudaraku, kematian tetap menemukan mereka yang pergi.

Baru kemarin, sepupuku, Yousef, beserta istrinya Nedaa dan kedua anak mereka, Roaa (19 tahun) dan Hamoud (11 tahun), dibunuh di selatan, setelah meninggalkan rumah mereka di Gaza. Mereka mencari perlindungan, tetapi bom lebih cepat menemui mereka.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

> "Seutama-utama jihad adalah kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim."
(HR. Abu Dawud)



Maka, saudaraku, kami memilih melawan dengan keberadaan kami. Tinggal di Gaza adalah kalimat benar yang kami suarakan dengan tubuh kami sendiri.


---

2. Kota yang Ingin Dikosongkan

Israel ingin Gaza sunyi, kosong, tidak berpenghuni. Mereka ingin kota ini tinggal nama di peta, bukan kenyataan di bumi.

Tapi selama satu keluarga saja menolak pergi, Gaza akan tetap hidup. Kota ini akan tetap berdenyut.

Aku sering ditanya: “Mengapa engkau tidak pergi? Mengapa tidak menyelamatkan diri?”

Jawabku sederhana: pergi berarti kehilangan identitas. Gaza bukan sekadar tempat lahir, ia adalah bahasa ibuku, doa ayahku, aroma kopi pagi tetanggaku, dan kuburan kakekku. Jika aku pergi, aku akan kehilangan semuanya.

Allah berfirman:

> "Berapa banyak kota yang lebih kuat daripada kota-kota yang telah membunuh para nabi mereka, namun Kami binasakan mereka. Tidak ada penolong bagi mereka."
(QS. Muhammad: 13)



Aku tahu, Gaza tidak sendirian. Gaza adalah jejak panjang sejarah kota-kota yang pernah dikepung, pernah hancur, tapi tidak pernah musnah.


---

3. Hidup dengan Tas Darurat

Seminggu yang lalu, aku mengemas dua tas darurat: satu tas hitam, satu tas merah.

Isinya bukan harta, melainkan serpihan hidup: beberapa pakaian, sebuah album foto, parfum favorit, headphone, buku catatan, dan charger ponsel. Betapa kecilnya hidup ketika perang memaksa kita menyusutkan dunia ke dalam dua tas.

Namun, aku tetap memasukkan buku. Aku ingin, jika aku terbunuh, ada catatan yang tersisa, ada kata-kata yang menjadi saksi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Jika kiamat tiba sedang di tangan salah seorang di antara kalian ada biji kurma, maka tanamlah ia."
(HR. Ahmad)



Maka aku menulis. Kata-kata ini, meski kecil, aku tanam seperti biji kurma di tanah yang hangus.


---

4. Kenangan Serangan dan Pengepungan

Ini bukan pertama kalinya aku dipaksa melarikan diri. Pada November 2023, pasukan Israel masuk tanpa peringatan. Kami lari di bawah tembakan artileri. Aku melihat tank dan tentara mendekat, wajah mereka dingin seperti besi yang mereka bawa.

Beberapa bulan kemudian, awal 2024, kami dikepung sembilan hari. Tanpa makanan, tanpa air. Tentara memaksa kami keluar, menelanjangi para pria, mengikat tangan mereka. Tujuh jam dalam dingin.

Saat itu aku tahu: mereka tidak hanya ingin tubuh kami, mereka ingin menghancurkan martabat kami.

Allah mengingatkan:

> "Dan janganlah kamu lemah terhadap mencari kaum itu (musuh), jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan."
(QS. An-Nisa: 104)



Kami mungkin menderita, tapi kami masih punya harapan. Harapan itu adalah senjata yang tidak bisa mereka rebut.


---

5. Hidup dalam Kekurangan

Hari-hari di Gaza adalah hari-hari lapar. Sudah berbulan-bulan kami tidak melihat buah, daging, atau telur. Yang ada hanya keripik, biskuit, Nutella sisa, atau tepung dengan harga yang tak terjangkau.

Air harus diambil dengan taruhan nyawa. Kayu bakar menjadi emas. Obat-obatan seperti mimpi yang sulit digapai.

Namun, setiap pagi aku bangun dan melihat keluargaku masih hidup. Itu sudah cukup untuk bersyukur.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Barangsiapa di antara kalian bangun pagi dalam keadaan aman pada dirinya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia seluruhnya diberikan kepadanya."
(HR. Tirmidzi)



Maka meski kami lapar, meski kami kekurangan, kami masih punya dunia: keluarga, iman, dan Gaza.


---

6. Antara Takut dan Cinta

Setiap malam aku bertanya: apakah malam ini tank-tank itu akan sampai ke rumahku? Apakah ini malam terakhirku?

Tapi aku juga tahu, setiap pagi aku mencium wajah ibuku, mendengar suara anak-anak di jalan, dan merasakan pasir Gaza di tanganku. Semua itu membuatku yakin: cinta lebih besar daripada takut.

Saudaraku, inilah yang Israel tidak mengerti. Mereka punya bom, kami punya cinta. Mereka punya jet tempur, kami punya doa.

Allah berfirman:

> "Mereka merencanakan tipu daya, dan Aku pun membuat perencanaan. Maka lihatlah bagaimana akibat rencana mereka."
(QS. An-Naml: 50)




---

7. Gaza Adalah Janji

Jika aku mati di sini, biarlah dunia tahu: aku tidak mati sia-sia. Gaza adalah janji. Janji bahwa kota ini tidak akan pernah hilang meski dihancurkan ribuan kali.

Gaza adalah saksi zaman bahwa ada manusia yang menolak menyerah, bahkan ketika semua jalan ditutup.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran, mereka tidak akan dirugikan oleh orang yang menelantarkan mereka dan orang yang menentang mereka, hingga datang keputusan Allah sementara mereka tetap teguh."
(HR. Bukhari dan Muslim)



Aku percaya, Gaza adalah kelompok itu.


---

Penutup: Surat untuk Dunia

Saudaraku di luar tembok,

Jika surat ini sampai kepadamu, jangan hanya bacalah. Jadikan ia doa. Jadikan ia janji. Jangan biarkan Gaza mati dalam sunyi.

Jika suatu hari aku tidak lagi ada, biarlah kata-kata ini menjadi saksi: aku memilih tinggal. Aku memilih bertahan. Aku memilih Gaza.

Karena aku tahu, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.

> "Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah: 153)



Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dari Gaza, dengan cinta dan luka,
Huda Skaik

Sumber:
https://www.aljazeera.com/opinions/2025/9/29/i-have-decided-to-stay-in-gaza-city-as-israel-seeks-to-wipe-it-out

Trump Membayar Lunas Israel, Palestina Dijanjikan Bersyarat Tanpa Kejelasan Waktunya  Pengantar Sejarah perdamaian Palestina–Isr...

Trump Membayar Lunas Israel, Palestina Dijanjikan Bersyarat Tanpa Kejelasan Waktunya 


Pengantar

Sejarah perdamaian Palestina–Israel selalu dipenuhi paradoks. Di atas kertas, rencana perdamaian berulang kali diumumkan dengan bahasa manis: “peta jalan,” “kesepakatan bersejarah,” “visi dua negara,” atau “inisiatif internasional.” Namun, dalam praktiknya, pola yang sama terus berulang: Israel menerima keuntungan langsung yang konkret, sementara Palestina hanya diberi janji samar yang dikaitkan dengan syarat-syarat mustahil, dengan jadwal waktu yang selalu digeser ke masa depan yang “dapat diperkirakan.”

Al-Qur’an telah menyingkap pola seperti ini sejak lama:

> “Apabila mereka datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami beriman.’ Padahal sesungguhnya mereka datang dengan kekafiran, dan dengan kekafiran itu pula mereka pergi; dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. Engkau melihat kebanyakan mereka bersegera dalam dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh buruk apa yang mereka kerjakan itu.”
(QS. Al-Maidah: 61-62)



Rencana 20 poin Donald Trump pasca genosida Gaza hanyalah cermin terbaru dari pola lama itu. Mari kita menelusuri pola janji kosong ini, lalu merenungkannya dalam cahaya wahyu.


---

1. Membayar Lunas Israel di Muka

Trump, dengan gaya flamboyannya, mengumumkan proposal 20 poin sebagai jalan menuju “perdamaian abadi.” Para pemimpin Arab dan Muslim, lemah oleh tekanan geopolitik, bergegas memberi dukungan tanpa syarat. Namun, Benjamin Netanyahu berdiri di samping Trump hanya untuk menambahkan catatan-catatan kecil yang merusak keseluruhan rencana.

Trump memberi Israel manfaat instan: pengembalian semua tawanan, kontrol atas keamanan Gaza, dan wewenang menentukan siapa yang boleh memerintah. Sebaliknya, Palestina hanya diberi janji “penarikan bertahap” pada masa depan yang samar.

Polanya jelas: Israel langsung menerima keuntungan nyata, Palestina hanya menerima janji di masa depan.

Di sinilah kita teringat pada sabda Rasulullah ﷺ:

> “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)



Janji yang berulang kali diingkari adalah bagian dari strategi politik yang dipoles dengan diplomasi.


---

2. Pola yang Berulang: Dari Oslo ke Peta Jalan Bush

Rencana Trump bukan hal baru. Pada 1993, Perjanjian Oslo membuat Palestina mengakui Israel, tetapi Israel hanya menjanjikan “pembahasan kenegaraan” yang tak kunjung tiba.

Pada 2003, “Peta Jalan” George W. Bush diberi pujian besar di media. Ariel Sharon menerima—tetapi dengan 14 keberatan yang melemahkan seluruh rencana. Sama seperti sekarang, media AS hanya menyoroti penerimaan Sharon, tanpa menyebut bahwa keberatannya berarti penolakan terselubung.

Kini, 2025, Trump mengulang pola itu. Netanyahu menerima “bersyarat,” dengan catatan-catatan yang cukup untuk mengubur rencana sejak hari pertama.

Al-Qur’an menggambarkan tipu daya seperti ini dengan gamblang:

> “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
(QS. Al-Baqarah: 9)



Janji kosong adalah tipu daya. Ia memberi ilusi seolah ada jalan keluar, padahal hanya menunda penderitaan.


---

3. Racun Netanyahu: Dari Pasal ke Pasal

Rencana Trump tampak indah di atas kertas. Tetapi Netanyahu menyuntikkan racun di balik kata-kata.

Penarikan Pasukan: Trump menjanjikan Israel mundur jika sandera dibebaskan. Netanyahu menambahkan syarat “Israel tetap menjaga perimeter keamanan untuk masa mendatang yang dapat diperkirakan.” Artinya, Israel tetap berhak masuk kapan saja.

Pemerintahan Gaza: Trump membayangkan badan internasional sebelum PA direformasi. Netanyahu menolak: “Tidak Hamas, tidak PA.” Israel berhak menentukan siapa yang memerintah Gaza.

Kenegaraan Palestina: Trump menjanjikan “jalur kredibel.” Netanyahu menolak, menuntut Palestina mengakui Israel sebagai negara Yahudi, berhenti ke ICC dan ICJ, dan menyerah pada syarat-syarat politik yang mustahil.

Pendudukan: Trump menulis “Israel tidak akan menduduki Gaza.” Netanyahu langsung menolak, menyatakan Israel akan tetap berada di perimeter keamanan.


Hasil akhirnya jelas: semua yang dijanjikan Trump untuk Palestina berubah menjadi kertas kosong begitu disentuh Netanyahu.

Rasulullah ﷺ mengingatkan kita:

> “Akan datang suatu masa, penguasa kalian adalah seburuk-buruk manusia, orang-orang kaya kalian hanya kikir, dan urusan kalian diserahkan kepada orang-orang fasik. Barangsiapa di antara kalian mendapati masa itu, hendaklah ia menjaga dirinya dan agamanya.”
(HR. Baihaqi)



Kita sedang menyaksikan masa itu: politik dikendalikan oleh tipu daya, sementara rakyat tertindas diminta percaya pada janji kosong.


---

4. Ilusi Masa Depan yang “Dapat Diperkirakan”

Istilah yang berulang: masa depan yang dapat diperkirakan (foreseeable future). Inilah jebakan bahasa. Masa depan tidak pernah tiba, karena selalu bisa diperkirakan lebih jauh lagi.

Begitu pula dalam Oslo: masa depan kenegaraan Palestina “dapat diperkirakan.” Tiga dekade berlalu, masa depan itu tetap di cakrawala.

Janji kosong adalah strategi kolonial klasik: menunda sampai generasi lelah menunggu.

Al-Qur’an mencatat sikap ini:

> “Dan di antara mereka ada orang yang berjanji kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan menjadi orang-orang yang saleh.’ Tetapi setelah Allah memberi karunia itu, mereka kikir dan berpaling, dan mereka memang orang-orang yang berpaling.”
(QS. At-Taubah: 75-76)



Janji yang ditunda adalah bentuk penolakan. Ia bukan keterlambatan teknis, tetapi strategi penghianatan.


---

5. Bantuan Kemanusiaan sebagai Senjata

Butir 8 Trump menyebut distribusi bantuan netral melalui PBB dan Bulan Sabit Merah. Tanpa disadari, Trump mengakui bahwa Israel selama ini menggunakan makanan sebagai senjata.

Israel berulang kali memblokir bantuan, menjadikan pangan dan obat-obatan sebagai alat tawar. Gaza bukan hanya dikepung oleh tank dan drone, tapi juga oleh lapar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Barangsiapa tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan, maka ia bukanlah golongan kami.”
(HR. Thabrani)



Dunia yang membiarkan Gaza kelaparan telah memilih menjadi bagian dari kezaliman itu.


---

6. Media Amerika: Propaganda Janji

Seperti biasa, media Amerika merayakan penerimaan Israel, sambil mengecam Palestina jika berani menuntut kejelasan. Palestina langsung dicap “penolak,” sementara syarat-syarat Netanyahu yang mustahil ditampilkan seolah “rasional.”

Inilah pembunuhan narasi: korban dituduh sebagai penghambat perdamaian, sementara pelaku kekerasan tampil sebagai pejuang perdamaian.

Al-Qur’an mengingatkan tentang permainan kata seperti ini:

> “Dan demikianlah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang besar agar mereka melakukan tipu daya di negeri itu. Dan mereka tidak menipu melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.”
(QS. Al-An’am: 123)



Media menjadi alat tipu daya, membungkus kezaliman dengan bahasa manis.


---

7. Refleksi: Gaza sebagai Penolak Janji Kosong

Di tengah semua ini, Gaza berdiri sebagai saksi. Blokade, pemboman, genosida, dan janji kosong tidak menghancurkan keyakinan mereka.

Bagi Israel dan sekutunya, janji kosong adalah strategi. Bagi rakyat Gaza, menolak janji kosong adalah iman.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berpegang teguh pada kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, sampai datang ketentuan Allah dan mereka tetap teguh.”
(HR. Muslim)



Gaza adalah kelompok itu. Mereka menolak tunduk pada janji kosong, meski dunia menyuruh mereka menunggu masa depan yang “dapat diperkirakan.”


---

Penutup: Antara Janji Manusia dan Janji Allah

Trump telah membayar lunas Israel, memberi mereka segala keuntungan instan. Palestina lagi-lagi ditinggalkan dengan janji bersyarat. Seperti biasa, janji itu akan tertunda, ditunda, hingga dilupakan.

Tetapi janji manusia tidak sama dengan janji Allah.

> “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. Ar-Rum: 6)



Janji politik adalah ilusi. Janji Allah adalah kepastian.

Maka, meski janji kosong terus dilontarkan, Gaza tetap bertahan. Sebab mereka tahu, janji yang benar bukan datang dari Trump, Bush, Oslo, atau Netanyahu. Janji yang benar datang dari Allah:

> “Dan sungguh Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh bahwa untuk mereka ada ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al-Maidah: 9)



Dan itulah satu-satunya janji yang layak ditunggu.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (262) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (257) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (242) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)