Al Jazeera: Madrasah Jihad Para Jurnalis
“Kami bukan sekadar meliput perang. Kami hidup di dalamnya.”
Kalimat itu diucapkan Anas al-Sharif, jurnalis lapangan Al Jazeera, dalam sebuah wawancara terakhirnya sebelum tewas di Gaza pada Agustus 2025.
Beberapa jam setelah wawancara itu ditayangkan, drone Israel menghantam area tempat ia berdiri. Kamera yang sempat ia genggam ditemukan hancur, masih menampilkan gambar terakhir: langit Gaza yang kelabu, penuh debu dan nyala api.
Dari ruang redaksi Doha, berita kematiannya dibacakan dengan suara bergetar. Anas menjadi jurnalis kesepuluh Al Jazeera yang gugur di Gaza sejak perang dimulai pada Oktober 2023.
Namun bagi rekan-rekannya, kematian itu bukan akhir — melainkan kelanjutan dari sebuah tradisi panjang: jihad pena di tengah kehancuran dunia.
---
I. Madrasah yang Tidak Pernah Sepi dari Syahid
Sejak 7 Oktober 2023, Gaza berubah menjadi nisan terbuka bagi dunia media.
Menurut data Committee to Protect Journalists (CPJ), sedikitnya 237 jurnalis dan pekerja media telah tewas hingga pertengahan 2025, dan 197 di antaranya warga Palestina.
International Federation of Journalists (IFJ) mencatat, lebih dari separuh jurnalis yang tewas di seluruh dunia pada 2024 adalah dari Gaza.
Sebuah angka yang membuat perang ini menjadi pembantaian terbesar terhadap jurnalis dalam sejarah modern.
Dan di antara semua lembaga media internasional, Al Jazeera berdiri paling depan — bukan karena paling aman, tetapi karena paling berani.
Sepuluh wartawannya gugur, puluhan lainnya terluka, dan ratusan staf lokal bekerja di bawah ancaman pembunuhan, penggerebekan, dan penutupan kantor.
Namun liputan mereka tidak berhenti bahkan sedetik pun.
“Kami tidak hanya kehilangan rekan kerja,” kata Wafaa al-Dud, produser senior Al Jazeera di Doha.
“Kami kehilangan saudara seiman, murabbi, dan pejuang yang meyakini bahwa kamera mereka adalah amanah.”
---
II. Dari Doha ke Gaza: Sekolah Jihad Informasi
Al Jazeera didirikan di Doha pada 1996 oleh Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani.
Namun sejak awal, stasiun ini tidak sekadar media — ia tumbuh sebagai madrasah jihad informasi: tempat di mana para wartawan dilatih untuk melawan dengan narasi, melawan dengan bukti, dan melawan dengan keberanian.
Dalam setiap liputan, mereka ditanamkan prinsip: “Lawan propaganda dengan kebenaran, meski nyawa taruhannya.”
Itulah sebabnya, sejak Perang Irak 2003, hingga Arab Spring, hingga perang di Suriah, dan kini Gaza, wartawan Al Jazeera selalu menjadi target — bukan karena mereka bersenjata, tapi karena mereka menembus kebohongan.
Wartawan senior Shireen Abu Akleh, yang ditembak mati oleh tentara Israel di Jenin pada Mei 2022, menjadi simbol paling awal dari madrasah itu.
Ia adalah alumni Universitas Yarmouk, jurnalis Katolik yang mengabdikan hidupnya di tengah masyarakat Muslim, dan tewas ketika mengenakan rompi bertuliskan “PRESS”.
Darahnya membuka bab pertama dari tragedi panjang yang kini disebut The Gaza Genocide oleh dunia akademik.
“Mereka ingin membungkam Al Jazeera, tapi darah Shireen justru membuat dunia membuka mata,” tulis The Guardian dalam tajuk 2022.
---
III. Kamera yang Tak Mati di Reruntuhan
Nama-nama seperti Anas al-Sharif, Wael Dahdouh, Ismail al-Ghoul, dan Hani Mahmoud menjadi saksi bahwa berita di Gaza tidak ditulis dengan tinta, tapi dengan darah.
Wael Dahdouh, kepala biro Al Jazeera Gaza, kehilangan istri, anak, dan cucu dalam satu serangan udara.
Namun keesokan harinya, ia tetap melaporkan dari lokasi yang sama — masih dengan mikrofon di tangan dan wajah berdebu.
“Saya tidak akan meninggalkan Gaza,” katanya dalam siaran langsung,
“karena setiap rumah di sini adalah kantor berita kami.”
CNN menulis:
“Wael Dahdouh adalah wajah baru dari jurnalisme keberanian di abad ke-21.”
Sementara Reuters menyebut:
“Tidak ada media lain yang meliput perang Gaza sedekat Al Jazeera, dan tidak ada media lain yang membayar harga semahal mereka.”
Bahkan BBC mengakui bahwa ketika jaringan komunikasi putus total pada November 2023, satu-satunya sumber visual yang tersisa dari Gaza adalah dari Al Jazeera Arabic.
---
IV. Gaza, Kuburan dan Kelas Pelatihan Sekaligus
Bagi jurnalis Palestina, setiap tugas lapangan adalah kuliah terbuka tentang kesyahidan.
Mereka belajar mengedit di bawah sirene, menulis berita di tengah reruntuhan, dan menyiarkan laporan ketika listrik hanya bertahan dua jam.
Banyak dari mereka bukan wartawan profesional, tapi relawan, fotografer, dan guru sekolah yang memegang kamera demi menyelamatkan kebenaran.
CPJ melaporkan bahwa lebih dari 80% jurnalis yang tewas tidak sedang menyiarkan langsung, tapi sedang berusaha menolong korban atau mengarsipkan data kemanusiaan.
Namun Israel menuding mereka “agen propaganda Hamas”.
Ironisnya, tidak satu pun bukti yang pernah diberikan secara terbuka.
Sementara Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut bahwa serangan Israel terhadap jurnalis adalah sistematis dan terencana.
“Pembunuhan terhadap jurnalis bukan kecelakaan perang,” tulis HRW Report on Gaza 2024,
“melainkan bagian dari strategi penghapusan saksi.”
---
V. Dunia Melihat, Tapi Dunia Diam
Dalam forum PBB pada Juni 2024, Duta Besar Qatar, Majed Al-Ansari, menyampaikan pernyataan keras:
“Setiap jurnalis Al Jazeera yang dibunuh, adalah peluru terhadap kebebasan pers global.”
Namun Dewan Keamanan tidak menghasilkan keputusan apa pun.
Israel tetap menolak investigasi independen, dan menyebut kematian para wartawan sebagai “konsekuensi tragis dari perang.”
Sementara itu, The Washington Post mencatat bahwa serangan terhadap media justru meningkat setelah Qatar menolak menutup Al Jazeera.
Pada Desember 2024, tentara Israel membom kantor media di Khan Younis dan menuduh Al Jazeera “memfasilitasi komunikasi militan.”
Tapi seperti dikatakan kolumnis Haaretz, Zvi Bar’el,
“Setiap kali Israel membungkam satu kamera, sepuluh kamera lain muncul.
Mereka tidak bisa membunuh narasi yang sudah hidup di hati rakyat.”
---
VI. Pakar dan Para Saksi
Profesor Marc Owen Jones, pakar media dan disinformasi di Universitas Hamad bin Khalifa, Qatar, mengatakan dalam wawancara dengan Middle East Eye:
“Al Jazeera adalah kekuatan kontra-hegemonik yang langka.
Ia menantang monopoli narasi Barat tentang perang, dan itu membuatnya menjadi ancaman bagi kekuatan kolonial informasi.”
Sementara James Rodgers, mantan koresponden BBC yang kini mengajar di City University of London, menulis:
“Gaza telah menjadi medan uji terakhir bagi integritas jurnalisme.
Mereka yang tetap meliput di sana, terutama dari Al Jazeera, layak disebut mujahid pena.”
Dan Tamer al-Mishal, pembawa acara investigatif Ma Khafiya A’zhom, menegaskan dalam salah satu siaran:
“Kami tidak mencari kematian, tapi kami juga tidak takut padanya.
Kami hanya takut pada dua hal — dusta dan diam.”
---
VII. Al Jazeera dan Diplomasi Qatar
Qatar menyadari bahwa jurnalisme bisa lebih kuat daripada pasukan militer.
Melalui Al Jazeera, Doha membangun soft power yang menembus batas ideologi dan sekat diplomatik.
Bahkan Amerika Serikat, meski beberapa kali mengecam liputan Al Jazeera, tidak bisa menyingkirkannya dari peta geopolitik.
Ketika perang Gaza mencapai puncaknya pada 2024, Qatar menjadi mediator utama antara Hamas dan Israel — dan Al Jazeera menjadi alat penghubung narasi antara diplomasi dan opini publik.
Setiap tayangan Al Jazeera dari Gaza menjadi tekanan moral bagi dunia untuk menuntut gencatan senjata.
“Dalam perang ini, kamera Al Jazeera lebih ditakuti daripada rudal Hamas,”
tulis Foreign Policy Magazine pada Januari 2025.
Turki, Malaysia, dan Indonesia pun secara terbuka menyebut liputan Al Jazeera sebagai “sumber utama kebenaran di lapangan”.
Sementara di dunia Arab, generasi muda menjadikan jurnalis Al Jazeera sebagai ikon baru — bukan hanya reporter, tetapi pejuang keadilan.
---
VIII. Di Antara Kamera dan Doa
Mereka yang bertahan di Gaza kini bekerja tanpa gaji pasti, tanpa listrik, dan tanpa jaminan hidup.
Namun setiap malam, mereka menyalakan kamera dan berdoa:
“Ya Allah, jadikan lensa ini saksi atas kebenaran-Mu.”
Anas al-Sharif pernah menulis dalam catatan pribadinya:
“Kami mungkin tidak akan hidup untuk melihat kemerdekaan Palestina,
tapi kami akan mati agar dunia tidak bisa berpura-pura tidak tahu.”
Dan begitulah Al Jazeera berdiri — bukan hanya sebagai kantor berita,
tapi sebagai madrasah jihad informasi: tempat di mana setiap liputan adalah doa, setiap berita adalah bentuk ibadah, dan setiap syahid adalah guru.
---
IX. Epilog: Pena yang Lebih Tajam dari Rudal
Di antara reruntuhan Gaza, anak-anak masih memungut sisa kamera dan mikrofon yang hancur.
Mereka tidak tahu apa itu “press freedom”, tapi mereka tahu bahwa ada orang-orang yang mati karena ingin dunia melihat kebenaran.
Sejarah mungkin akan mencatat:
Israel memenangkan perang militer, tapi kehilangan perang moral.
Dan kemenangan moral itu, sebagian besar, ditulis oleh tangan-tangan wartawan Al Jazeera yang tak gentar menghadapi maut.
“Setiap kali satu wartawan gugur,” tulis seorang kolumnis muda Haaretz,
“dunia kehilangan saksi, tapi langit menambah satu pengingat bahwa kebenaran tidak bisa dibunuh.”
Dan di antara awan debu Gaza, suara mereka masih bergema:
“Kami bukan sekadar meliput perang. Kami hidup — dan mati — di dalamnya.”
0 komentar: