basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman (Seri 4 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  ...

Ketika Yusuf Diajak Bermain: Sebuah Luka yang Disembunyikan di Balik Senyuman
(Seri 4 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

"Maka ketika mereka membawanya..."
(QS. Yusuf: 15)

Pagi itu cerah. Angin semilir menggoyangkan dedaunan, seakan tidak ada duka yang mengendap di langit keluarga Ya'qub. Yusuf, si anak lembut yang wajahnya menyimpan keteduhan langit, diajak oleh saudara-saudaranya bermain. Ia menatap wajah-wajah mereka dengan penuh harap, meski hatinya menyimpan rasa janggal.

“Saudara-saudaraku, sungguh lama aku menanti hari ini… saat kalian mengajakku bermain,” ujar Yusuf dengan polos dan bahagia.

Namun, di balik senyum mereka, tersembunyi niat kelam yang disusun dengan penuh dengki dan kecemburuan. Hati mereka yang selama ini dirundung bayang-bayang kasih sayang ayah, merasa Yusuf-lah penyebab semua itu. Yusuf adalah cahaya di mata sang ayah, dan cahaya itu — menurut mereka — harus dipadamkan.

Langkah demi langkah menuju padang yang sunyi, hati Yusuf mulai dihantui tanya.
“Ke mana kita akan bermain?” tanyanya.
“Tunggulah, Yusuf. Di sana ada tempat yang menyenangkan,” jawab salah satu dari mereka, dengan suara yang memaksakan kehangatan.


---

Ketika Yusuf Dimasukkan ke Dalam Sumur: Runtuhnya Dunia Seorang Anak

"Maka mereka sepakat untuk memasukkannya ke dasar sumur..."
(QS. Yusuf: 15)

Dan tibalah saat yang telah mereka rencanakan. Di dekat sumur tua yang sepi, mereka melemparkan Yusuf ke dasar kegelapan. Tak ada air mata di wajah mereka. Justru sebaliknya—ada kepuasan yang ganjil.
"Sudah selesai. Kini Ayah akan mencintai kita," ujar salah satu dari mereka.
Yang lain mengangguk, lega. “Yusuf, penghalang itu, telah hilang.”

Di dasar sumur itu, Yusuf menggigil. Bukan hanya karena dingin, tetapi karena luka yang tak tertampung oleh kata-kata. Ia bukan hanya dijatuhkan oleh tubuhnya, tapi juga oleh kepercayaannya kepada orang-orang yang ia sebut saudara.

"Apakah ini akhir dari hidupku, ya Allah?" bisiknya lirih.


---

Ketika Allah Menghibur Seorang Anak yang Dikhianati

"Kami wahyukan kepadanya..."
(QS. Yusuf: 15)

Namun pada saat itulah, justru langit membuka pintunya. Allah membisikkan keteguhan ke dalam jiwa Yusuf yang ringkih:
"Tenanglah, Yusuf. Ini belum akhir. Akan tiba saatnya engkau berdiri tegak dan menceritakan semua ini kepada mereka..."

Di dalam sumur yang gelap, Yusuf tidak sendiri. Ia ditemani oleh janji langit. Janji bahwa penderitaan ini bukan kehancuran, melainkan permulaan dari kemuliaan. Bahwa pengkhianatan ini akan menjadi awal dari kisah panjang seorang pemimpin yang akan mengampuni mereka yang pernah mencelakakannya.


---

Ketika Mereka Tidak Sadar: Dunia Berputar, Rencana Ilahi Terus Bergerak

"Sedang mereka tidak menyadari..."
(QS. Yusuf: 15)

Saudara-saudaranya pergi dengan hati ringan, tanpa tahu bahwa langit punya rencana yang jauh lebih besar dari siasat mereka. Mereka tidak menyadari bahwa orang yang mereka celakai adalah orang yang kelak akan memberi mereka makan di masa paceklik, memeluk mereka di saat ketakutan, dan mengampuni mereka saat menangis menyesal.

Yusuf bertahan. Bukan karena kekuatannya, tetapi karena rahmat Allah. Ia tahu kini: bahkan sumur pun bisa menjadi panggung wahyu. Bahkan kegelapan bisa menjadi tempat datangnya cahaya.


---

“Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia…”
(QS. Ali Imran: 191)

Tiada satu pun kisah yang sia-sia dalam kehidupan ini, apalagi yang ditulis langsung oleh pena keagungan Ilahi. Dari mata Yusuf yang basah, dari hati saudara-saudaranya yang gelap, dari sumur yang bisu—semuanya bagian dari kisah yang akan membuktikan: Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, bahkan ketika semua orang melakukannya.

Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi (Seri 3 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di uju...

Pagi itu, Sebelum Yusuf Pergi
(Seri 3 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Pagi itu di Kanaan, embun masih menggantung di ujung dedaunan. Udara sejuk menyelimuti perbukitan. Nabi Ya‘qub duduk di dekat pangkal pohon zaitun tua, tangannya sibuk merapikan anyaman wadah dari pelepah kurma. Wajahnya teduh, tetapi matanya memancarkan kepekaan seorang ayah yang selalu menyimpan kecemasan dalam diam. Di sekelilingnya, burung-burung kecil berkicau, dan angin padang membawa harum tanah yang baru tersiram embun.

Dari kejauhan, sekelompok anak lelaki mendekat. Langkah mereka pelan, seakan menyembunyikan kegugupan. Mereka adalah putra-putra Ya‘qub, kakak-kakak Yusuf. Saling melirik satu sama lain, ada keganjilan yang belum sempat mereka sepakati untuk disembunyikan. Namun hari itu mereka sepakat untuk satu hal: Yusuf harus dijauhkan.

Mereka duduk melingkar tak jauh dari ayah mereka. Suasana jadi senyap, hanya terdengar desir daun yang diterpa angin. Tak satu pun langsung bicara. Mereka terlihat ragu, lidah mereka kelu. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri.

“Wahai Ayah kami,” katanya, dengan nada seolah memohon kepercayaan.
“Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf?”
“Padahal kami benar-benar menginginkan kebaikan baginya.”

Ya‘qub menghentikan anyamannya. Ia menoleh, pandangannya tajam namun penuh kasih. Ia belum menjawab, seolah memberi ruang untuk anak-anaknya melanjutkan kata.

Yang lain menyambung, suaranya bergantian, terdengar seperti rencana yang sudah lama dirancang:

“Izinkan dia pergi bersama kami besok pagi,”
“Agar ia bersenang-senang dan bermain-main.”
“Dan sungguh, kami pasti menjaganya.”

Mereka saling sahut, meyakinkan, seakan semua telah siap menjaga Yusuf dengan penuh tanggung jawab. Namun Ya‘qub tetap diam sejenak, lalu menghela napas dalam. Dari raut wajahnya, tampak perasaan yang dalam antara cinta dan firasat yang menekan.

“Sesungguhnya kepergian Yusuf bersama kalian... itu sangat menyedihkanku,” ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan angin.
“Aku khawatir… dia akan dimakan serigala... saat kalian lengah.”

Matanya memandang jauh ke arah padang, seolah menggambarkan ruang bermain yang luas namun berbahaya. Bayangan Yusuf kecil di tengah padang gersang, dengan tawa yang bisa sirna seketika oleh satu kelengahan.

Namun para kakak tetap berkeras. Salah seorang berkata:

“Jika dia sampai dimakan serigala—padahal kami ini kelompok yang kuat dan banyak—maka sungguh, kami inilah orang-orang yang benar-benar rugi!”

Yang lain mengangguk, menegaskan kalimat itu. Seakan membiarkan Yusuf celaka adalah kehancuran harga diri mereka. Mereka membangun benteng kata untuk membujuk sang ayah. Dan Ya‘qub… seorang nabi yang penuh hikmah dan cinta, menyimak semua dengan air mata yang belum tumpah, namun sudah tergenang dalam dada.

Akhirnya, dengan hati yang berat, ia mengangguk pelan. Sebab ia tahu: kadang ujian tidak bisa dihindari, hanya bisa dihadapi dengan doa.

Dan Yusuf pun berangkat pagi itu bersama saudara-saudaranya. Ia berjalan dengan langkah ringan, membawa keceriaan anak-anak. Ia tak tahu, rencana besar telah disembunyikan di balik senyum saudara-saudaranya. Dan sang ayah, Nabi Ya‘qub, berdiri di kejauhan, menatap kepergian itu dengan hati yang diguncang firasat.

Langit tetap biru, tetapi bumi mulai menyiapkan takdirnya.

Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi (Seri 2 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  "Wahai anakku, janganlah...

Di Balik Sebuah Mimpi, Tersimpan Sebuah Konspirasi
(Seri 2 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


"Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,
sebab mereka bisa merancang tipu daya terhadapmu.
Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia."
— (QS. Yusuf: 5)

Petuah itu terucap lembut di tengah malam yang senyap. Di bawah cahaya bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit Kanaan, Nabi Ya‘qub menggenggam tangan putranya, Yusuf kecil, yang wajahnya bersinar oleh kemurnian dan cahaya kenabian yang belum disadarinya sendiri.

Di antara detak jantung yang tenang dan bisikan angin gurun, sang ayah—seorang Nabi yang bijak—telah membaca gelombang masa depan yang tersembunyi dalam sebuah mimpi: sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepada Yusuf. Sebuah mimpi yang bukan sekadar bunga tidur, melainkan kabar langit yang bisa memancing gelombang kecemburuan di bumi.

"Jangan ceritakan ini kepada saudara-saudaramu," ucap Ya‘qub dengan tatapan mendalam. "Karena tidak semua orang mampu mencintai kebenaran, bahkan jika kebenaran itu adalah darah dagingnya sendiri."

Yusuf mengangguk polos, belum sepenuhnya mengerti bahwa sebagian kasih akan menumbuhkan iri, dan sebagian saudara bisa berubah menjadi duri.



Di Balik Semak, Di Bawah Malam, Sebuah Rapat Gelap

"Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)

Jauh dari pandangan ayah mereka, di sebuah tempat yang tersembunyi dan sunyi, di balik rerimbunan semak dan bayang-bayang gelap malam, berkumpullah sekelompok saudara. Suara mereka ditekan pelan, namun bara di dada mereka membakar seperti api yang tertahan.

“Kenapa Yusuf dan adiknya lebih dicintai ayah kita?” bisik salah seorang dengan gigi terkatup, seolah cinta yang diberikan Ya‘qub kepada Yusuf adalah sebuah pengkhianatan.

“Padahal kita ini satu kelompok yang kuat. Kita dewasa. Kita lebih layak diperhatikan,” sahut yang lain, matanya memerah oleh api iri yang membakar dalam diam bertahun-tahun.

Diam-diam mereka menyudutkan sang ayah, seorang nabi yang mereka anggap telah terlampau buta oleh kasih sayang kepada dua anak dari ibu yang berbeda.

“Sesungguhnya ayah kita benar-benar dalam kekeliruan yang nyata,” ujar mereka. Kalimat itu meluncur tajam, bukan hanya menggores Yusuf, tapi juga merobek kepercayaan kepada ayah yang selama ini membesarkan mereka dalam sabar dan cinta.



Api Kecemburuan Mencari Pelampiasan

Lalu seorang dari mereka melemparkan usul yang mencekam:
“Bunuh saja Yusuf.”

Kata-kata itu mengendap di udara, membeku dalam hening yang menegangkan. Sebagian terdiam, sebagian saling memandang, sebagian lainnya bergidik. Tapi yang berbicara tidak berhenti.

“Atau,” katanya, dengan nada lebih perlahan namun tetap mengancam, “buang saja dia ke suatu tempat yang jauh.”

Seseorang bertanya, “Mengapa?”

Jawaban itu keluar dengan kepastian yang dingin:
“Agar perhatian ayah tertumpah kepadamu. Supaya cinta yang selama ini menjadi milik Yusuf, kini menjadi milik kita.”

Dan dengan tambahan alasan yang mengejutkan, seolah ingin mencuci darah dengan kesalehan:
“Setelah itu… kita bisa menjadi orang yang baik. Kita bertobat.”



Namun Suara Nurani Menyela

Seseorang di antara mereka tiba-tiba bangkit dari diamnya. Hati nurani yang belum sepenuhnya mati berbicara, meski pelan.

“Janganlah kalian membunuh Yusuf,” ucapnya menahan napas, menahan ngeri.
“Masukkan saja dia ke dasar sumur…
Biarkan dia dipungut oleh musafir. Jika kalian memang harus berbuat, maka ini jalan yang lebih ringan.”

Perdebatan pun pecah. Di antara mereka ada yang ingin cepat menuntaskan rencana dengan kekerasan. Ada pula yang menyembunyikan rasa bersalah, namun takut dianggap lemah.

Setelah tarik-ulur, akhirnya suara yang menyarankan sumur itu diterima. Bukan karena belas kasih, tetapi karena terlihat lebih ‘bersih’. Tidak ada darah. Tidak ada tubuh. Hanya penghilangan.

Mereka sepakat.



Rencana Gelap yang Disusun Rapi

Angin malam berhembus kencang. Seperti ikut menyaksikan sekelompok manusia menutupi niat jahat dengan strategi dan sandiwara.

“Besok pagi kita minta izin kepada ayah,” kata salah seorang.

“Kita ajak Yusuf bermain bersama,” sambung yang lain.

“Lalu kita buang dia ke sumur tua itu… yang sepi dan tak berpenjaga.”

Rapat gelap itu ditutup dengan pandangan-pandangan saling menguatkan. Iri yang dibungkus logika. Kejahatan yang disamar dengan dalih kedewasaan dan rasa keadilan. Padahal semuanya berasal dari satu akar: hasad.

Mereka tidak tahu, rencana mereka bukanlah akhir dari kisah Yusuf. Tapi justru permulaan dari takdir agung yang ditulis oleh langit.


 "Sungguh, dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya."
— (QS. Yusuf: 7)

Mimpi di Langit Palestina (Seri 1 Nabi Yusuf) Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Senja baru saja turun di tanah Kanaan. Angin gurun mem...

Mimpi di Langit Palestina
(Seri 1 Nabi Yusuf)

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Senja baru saja turun di tanah Kanaan. Angin gurun membelai lembut bukit-bukit yang menghadap langit merah tembaga. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan bayang-bayang panjang mulai melingkupi ladang. Di sebuah dataran tenang, di pinggiran Palestina, seorang anak lelaki terjaga dari tidurnya yang dalam—matanya membelalak, jantungnya berdebar.

Yusuf kecil duduk diam di pembaringan tanah liat yang hangat sisa cahaya sore. Udara begitu hening hingga desir hatinya sendiri terasa menggema.

“Mengapa hatiku berguncang oleh cahaya itu?” bisiknya dalam hati. “Apa arti dari penglihatan tadi?”

Dalam tidurnya, ia melihat sesuatu yang tak biasa. Bintang-bintang, matahari, dan bulan—semuanya tunduk, bersujud padanya. Tapi siapakah dia hingga alam semesta memberi hormat?

Ia menatap langit yang mulai dihiasi bintang-bintang. Hatinya bergolak antara ingin menyimpan atau menceritakan. Tapi kepada siapa? Hanya satu orang yang bisa memahami gelisah dalam dadanya—ayahnya.

Dengan langkah pelan, ia mendekati tenda utama tempat ayahnya duduk bersandar sambil berzikir di bawah rembulan yang mengambang tenang. Wajah Yakub memantulkan kedamaian, namun jiwa seorang ayah selalu peka pada suara langkah anaknya.

Yusuf berdiri ragu, lalu mendekat dengan suara lirih:
“Wahai ayahku…”

Yakub membuka matanya, tersenyum penuh kasih. “Apa yang mengganggumu, putraku?”

“Sesungguhnya aku bermimpi… kulihat sebelas bintang, matahari dan bulan. Semuanya sujud kepadaku.” Suaranya bergetar, antara kagum dan bingung.

Sejenak, suasana menjadi sunyi. Angin berhenti seolah menanti jawaban dari langit.

Yakub menunduk. Wajahnya berubah. Bukan karena takut, tapi karena hati seorang nabi dapat membaca isyarat ilahi dari peristiwa kecil sekalipun. Ia tahu, ini bukan mimpi biasa. Ini adalah panggilan takdir.

Namun Yakub juga tahu, dunia ini tak hanya berisi kasih. Di dalam keluarganya sendiri, benih-benih iri dapat tumbuh jika tak dijaga.

Dengan lembut namun penuh peringatan, Yakub berkata,
“Wahai anakku… Jangan engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.”

Yusuf mengernyit, namun Yakub melanjutkan, matanya menatap jauh seolah melihat bayangan masa depan.
“Sungguh, mereka akan membuat tipu daya untuk membinasakanmu. Setan itu musuh yang nyata bagi manusia…”

Angin malam mulai meniup tenda-tenda, dan api unggun berkedip-kedip seolah ikut gelisah. Di balik kata-kata itu, terpendam rasa cemas seorang ayah—ia mengenal gejolak dalam hati anak-anaknya yang lain, ia tahu bahwa cinta yang tak seimbang bisa melahirkan dendam.

Namun Yakub tak ingin putranya hidup dalam ketakutan.

Ia menatap Yusuf dalam-dalam, lalu suaranya berubah menjadi haru:
“Sesungguhnya Tuhanmu memilihmu, wahai anakku… Tuhan akan mengajarkanmu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua kakekmu, Ibrahim dan Ishaq.”

Yusuf menatap ayahnya. Dada kecilnya mulai mengembang oleh rasa haru dan harap.

“Engkau bukan anak biasa, Yusuf,” bisik Yakub, seolah kepada jiwanya sendiri. “Kau akan meniti jalan kenabian, jalan sunyi yang berat, namun bercahaya.”

Dan dengan nada akhir yang membawa keteguhan dan keimanan, Yakub berkata:
“Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Langit malam kini penuh bintang, seolah menyimak janji langit kepada bumi. Yusuf tidak lagi merasa kecil. Ia tahu, hidupnya akan berbeda. Tapi sejak malam itu, ia juga tahu bahwa cinta Allah tak selalu berarti jalan yang mudah. Kadang, ia dimulai dari mimpi—dan diikuti oleh ujian.


Sumber:
Surat Yusuf ayat 4-6

Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara Oleh: Nasrulloh Baksolahar “Mereka mengira perdagang...

Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


“Mereka mengira perdagangan digerakkan oleh emas dan perak. Padahal kekuatan sejatinya adalah iman dan ukhuwah.”
— Catatan pelaut Arab abad ke-16 dalam Rihlah al-Bahr al-Hindi



Malaka: Poros Peradaban Islam Asia Tenggara

Pada abad ke-15, Malaka bukan sekadar pelabuhan dagang. Ia adalah simpul spiritual dan geopolitik dunia Islam di Timur. Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikannya penghubung utama antara Gujarat, Hadramaut, Makkah, Aceh, Ternate, dan Jawa. Namun bukan posisi geografis semata yang menghidupkan Malaka—melainkan ruh aqidah.

Saudagar dari Hadramaut, Gujarat, Benggala, hingga Demak datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga menyambung ukhuwah dan menyebarkan syariat. Pasar menjadi madrasah, pelabuhan menjadi mimbar. Transaksi ekonomi dijalankan dengan akhlak dan misi dakwah. Dalam istilah Azyumardi Azra, "perdagangan Islam tidak bisa dipisahkan dari misi dakwah dan ukhuwah."

Malaka hidup bukan karena cukai atau tarif, tetapi karena kepercayaan yang mengikat para pedagang Muslim dalam jaringan akidah lintas wilayah. Sebuah etos niaga yang menolak transaksi tanpa keadilan dan keberkahan.



Ketika Portugis Salah Membaca Dunia Islam

Namun kesucian itu dihancurkan meriam. Tahun 1511, armada Portugis menyerbu Malaka. Dengan benteng dan kapal perang, mereka mengira telah menguasai jalur emas Asia. Gubernur Afonso de Albuquerque dengan penuh keangkuhan menulis:

“By taking Malacca... Cairo and Mecca will be completely lost.”

Mereka menyangka bahwa dengan menguasai pelabuhan, mereka bisa memutus urat nadi Islam. Tapi mereka lupa: perdagangan Muslim tidak ditentukan oleh senjata, tapi oleh iman. Malaka yang sebelumnya hidup, tiba-tiba sepi. Kapal-kapal enggan merapat. Saudagar hijrah dalam sunyi ke Samudera Pasai dan Aceh.

Denys Lombard mencatat, “Aceh berkembang karena menjadi simbol perlawanan spiritual dan ekonomi terhadap kolonialisme.”

Islam mengajarkan bahwa hijrah tak hanya dari kekufuran, tetapi juga dari kezaliman ekonomi. Dan para pedagang Muslim memahami itu secara hakiki.



Dari Pasai ke Aceh: Akidah sebagai Arah Ekonomi

Pasai sempat menggantikan peran Malaka, tapi Portugis kembali datang membawa kehancuran. Maka gelombang hijrah kembali bergulir—menuju Aceh Darussalam. Di bawah Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh bukan hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tapi juga benteng akidah yang melahirkan solidaritas ekonomi.

Aceh tidak tumbuh dari emas atau rempah, tetapi dari ruh jihad dan loyalitas kepada tauhid. Sejarawan M.C. Ricklefs menulis, “Islam menciptakan identitas trans-nasional yang mengikat komunitas-komunitas jauh dalam satu jaringan solidaritas.”

Di sinilah satu pola sejarah mulai terlihat jelas:

Ke mana aqidah ditegakkan, ke sanalah perdagangan dan kekuasaan Islam tumbuh.



Ketika Jalur Dagang Bergeser: Sunda Kelapa dan Banten Bangkit

Setelah Malaka dan Pasai jatuh, jaringan saudagar Islam tidak bubar. Mereka hanya berbelok. Jalur pelayaran menyusuri pantai barat Sumatera, melewati Lampung, menuju Sunda Kelapa dan Banten, lalu terus ke Kalimantan dan Indonesia Timur.

Sumber sejarah mencatat:

“Islamic traders… shifted their trade route from the Strait of Malacca toward the direction of Sunda Strait via West Java.”

Banten pun bangkit sebagai pelabuhan internasional. Ia menjadi titik temu pedagang dari Arab, Turki, Cina, Gujarat, Inggris, dan Bugis. Yang menghidupkan pelabuhan itu bukan tarif murah, tapi reputasi amanah para sultan dan imam. Kejujuran jadi modal utama, dan aqidah menjadi fondasi sistem dagang.



Ketika Portugis Menjadi Bajak Laut

Karena gagal menguasai jalur perdagangan yang digerakkan oleh ukhuwah Islamiyah, Portugis berubah haluan. Mereka bukan lagi pedagang atau penguasa pelabuhan, melainkan perompak samudera. Di Samudera Hindia, mereka menjarah kapal-kapal Muslim dari Jawa, Kalimantan, dan Aceh yang hendak menuju Hijaz atau Mesir.

Namun blokade itu gagal. Jamaah haji dari Nusantara mulai mengambil jalur alternatif: dari Aceh ke Sri Lanka, lalu ke Yaman dan Makkah. Upaya Portugis memutus koneksi Nusantara dengan pusat dunia Islam—gagal total.

Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “kosmopolitanisme Islam yang berbasis pada jaringan keilmuan dan spiritualitas, bukan dominasi militer.”



Mengapa Demak dan Aceh Menyerang Malaka?

Pertanyaan ini kerap muncul: mengapa Kesultanan Demak dan Aceh menyerang Malaka, padahal lokasinya di luar teritorial mereka?

Jawabannya tegas: karena Malaka adalah bagian dari tubuh umat Islam. Penjajahan atas Malaka bukan hanya penaklukan geografis, tetapi penistaan terhadap akidah. Maka membela Malaka bukan ekspansi politik, tetapi jihad fi sabilillah.

Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa gerakan anti-Portugis di Nusantara bukanlah reaksi lokal, melainkan “solidaritas Islam yang bersifat lintas kerajaan dan wilayah.”

Inilah nasionalisme berbasis tauhid. Sebuah ikatan yang melampaui batas-batas darah dan bahasa.



Revolusi Politik Berbasis Akidah

Sebelum Islam datang, politik Nusantara dibangun di atas kesukuan dan kerajaan. Tapi Islam membawa paradigma baru: umat. Maka satu kapal dagang dari Minangkabau dianggap saudara oleh Sultan di Ternate. Seorang ulama dari Giri bisa memimpin pasukan di Palembang. Karena yang mengikat bukan peta, tapi kalimat tauhid.

Kesadaran baru ini melahirkan revolusi politik berbasis akidah. Sebuah bentuk awal dari apa yang hari ini disebut “geopolitik Islam”. Ulama, saudagar, dan sultan menjadi satu simpul dalam jaringan ruhani yang kokoh.



Ketika Ekonomi Tunduk pada Akidah

Inilah pelajaran besar dari sejarah:

Ekonomi Islam di Nusantara tunduk pada nilai, bukan pasar.
Jika pelabuhan dikuasai oleh penjajah kafir, maka pelabuhan itu ditinggalkan. Jika cukai dipakai untuk menindas umat, maka perdagangan pun dialihkan.

Inilah jihad ekonomi. Sebuah bentuk perlawanan tanpa senjata, tapi berdampak besar.

Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)


Epilog: Bisnis Sebagai Cermin Akidah

Di era modern, kita terbiasa memisahkan bisnis dari iman. Tapi sejarah Nusantara berkata sebaliknya: bisnis sejati adalah ekspresi dari aqidah. Malaka, Pasai, Aceh, Banten—semua tumbuh bukan karena emas atau pasar bebas, tetapi karena keimanan yang teguh dan jaringan ukhuwah yang hidup.

Portugis boleh menguasai pelabuhan, tapi tidak bisa menguasai hati. Mereka bisa menembak kapal, tapi tak bisa menghentikan ruh dagang yang berpijak pada tauhid.

Buya Hamka dalam Falsafah Hidup menegaskan bahwa:

"Orang yang mengaku beriman, tetapi masih berjual beli dengan mengorbankan akhlak, sejatinya telah meletakkan dunia di atas Tuhan. Padahal bagi Muslim, rezeki adalah amanah, bukan rebutan."

Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam kerangka pemikiran Islamisasi ilmu, mengkritik pemisahan antara nilai spiritual dan aktivitas ekonomi modern. Baginya, kekayaan bukan sekadar akumulasi material, tapi tanggung jawab tauhid yang harus menjamin keadilan, keseimbangan, dan kemuliaan manusia sebagai hamba dan khalifah.

"Islam tidak mengenal dikotomi antara ‘ekonomi’ dan ‘agama’. Segala aspek hidup berada dalam orbit tauhid. Maka mencari rezeki adalah juga bentuk ibadah, selama ia bergerak dalam maqashid yang benar." — al-Attas, Islam and Secularism

Pertanyaannya untuk masa kini:

Masihkah aqidah menjadi pondasi bisnis dan politik kita hari ini?
Atau kita justru mulai menjual prinsip demi kursi dan profit?

Sejarah sudah memberi jawaban: siapa yang menjadikan iman sebagai fondasi, dialah yang akan tetap menjadi poros dunia. Bukan karena senjata. Tapi karena Allah-lah yang menggerakkan rezeki, kemuliaan, dan kemenangan.

Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia Oleh: Nasrulloh Baksolahar  “De Nederlandsch-Indië zal nooit wor...

Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



 “De Nederlandsch-Indië zal nooit worden losgelaten.”
“Hindia Belanda tidak akan pernah dilepas.”
— Tertulis di uang kertas Belanda, dekade 1940-an.



Ketika Kolonialisme Mengira Dirinya Abadi

Pada dekade 1940-an, Belanda benar-benar yakin bahwa Hindia Belanda adalah miliknya untuk selama-lamanya. Keyakinan ini tak hanya tampak dalam retorika politik atau propaganda, tetapi tercetak secara terang-terangan di atas lembaran uang resmi mereka. Mata uang itu tidak sekadar alat tukar—ia adalah simbol kekuasaan total.

Sejarawan Peter Carey mencatat, "Sistem kolonial Belanda pada 1940-an bukan hanya memenjarakan tubuh rakyat Indonesia, tapi juga pikirannya. Belanda menata ulang seluruh struktur sosial agar tidak ada celah perlawanan."

Mengapa mereka begitu percaya diri? Karena dari ujung Aceh hingga Papua, hampir tak ada wilayah yang benar-benar merdeka. Kesultanan-kesultanan Islam—dari Ternate, Bone, Pontianak, hingga Yogyakarta—sudah berada di bawah kendali simbolik dan administratif Belanda. Mereka masih memiliki mahkota, tetapi tidak lagi punya kekuasaan. Sistem hukum Islam telah direduksi menjadi urusan moral privat. Kata “jihad” telah dimuseumkan oleh tangan-tangan Snouck Hurgronje dan para penerusnya yang berpakaian akademik tapi bekerja untuk kolonialisme.



Keheningan yang Disangka Kemenangan

Belanda sangat memahami bahwa dominasi fisik saja tak cukup. Maka mereka menguasai seluruh sendi kehidupan. Hukum dibuat agar syariat tak bisa hidup di luar ruang pribadi. Pendidikan dirancang untuk mencetak birokrat kolaborator, bukan pemimpin perlawanan. Mata pelajaran tentang sejarah dan keislaman dibersihkan dari unsur “gerakan”.

Snouck Hurgronje menulis dalam “De Atjehers” bahwa “Islam sebagai sistem sosial-politik harus dipisahkan dari Islam sebagai ritual pribadi agar tidak membahayakan stabilitas kolonial.”

Pendidikan modern hanya dibuka bagi bangsawan loyalis. Ulama disingkirkan dari ruang publik. Bahkan fatwa keagamaan dimonitor dan diregulasi oleh pemerintah kolonial. Mata uang, sebagai simbol ekonomi, dicetak dan disebar bukan hanya untuk transaksi, tetapi untuk menyampaikan pesan kekuasaan: kalian adalah milik kami.

Menurut sejarawan ekonomi Christopher Bayly, “Berjalannya mata uang asing di wilayah jajahan adalah bentuk penjajahan tertinggi—ia menjajah tanpa terlihat, memerintah tanpa tentara.”

Dan ini bukan hanya terjadi di Hindia Belanda. Aljazair menggunakan franc Prancis, India memakai pound sterling, Filipina memakai dolar AS. Bahkan hingga kini, penggunaan dolar dalam transaksi internasional masih dianggap bentuk dominasi global pasca-kolonial. Profesor Michael Hudson menyebutnya sebagai "financial imperialism disguised as liberal trade."



Negara yang Dikuasai Total, Tapi Tetap Merdeka

Indonesia bukan satu-satunya. India, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Inggris selama hampir dua abad, akhirnya merdeka pada 1947. Aljazair, setelah 132 tahun dijajah Prancis dengan brutal, juga memproklamirkan kemerdekaannya pada 1962. Bahkan Vietnam, yang sepenuhnya dicengkeram oleh Prancis dan kemudian Amerika, akhirnya berdiri tegak setelah perjuangan panjang dan berdarah.

Semua negara ini punya kesamaan: ketika kekuasaan kolonial merasa telah menguasai seluruh lini—politik, ekonomi, budaya, pendidikan, agama—mereka justru kehilangan kemampuan mendeteksi api yang membara di dalam jiwa rakyat.

Sejarawan Arnold Toynbee menyimpulkan hal ini dengan sangat tajam:

“Empires fall not at their weakest moment, but when they believe they are invincible.”

Inilah hukum sejarah: saat sebuah kekuasaan merasa tak terkalahkan, saat itulah ia mulai rapuh.



Ketika Semua Kekuatan Berpadu dalam Kezaliman

Kekuasaan Belanda tidak berdiri sendiri. Ia didukung oleh bangsawan lokal yang sudah kehilangan kemandirian, oleh intelektual yang sibuk mencari aman, dan oleh pedagang asing yang mencari untung. Semuanya membentuk aliansi diam-diam untuk mengabadikan ketidakadilan.

Namun sejarah mencatat: kezaliman yang terlalu rapi justru mendekati ajalnya.

“Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)

Belanda tidak dikalahkan oleh tentara besar. Mereka kalah oleh perubahan zaman dan oleh ruh perlawanan yang tak mati. Jepang membuka pintu sejarah, dan rakyat Indonesia yang selama ini ditekan menemukan kembali keberaniannya. Mereka berseru: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”



Yang Menghancurkan Kezaliman: Skenario Langit

Kita sering terjebak dalam logika kekuatan fisik. Tapi sejarah Indonesia membuktikan: yang menghancurkan kolonialisme bukan meriam, tapi ruh. Bukan propaganda, tapi doa. Bukan elite, tapi rakyat biasa yang istiqamah.

KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan ulama lain tidak menggenggam senjata, tapi mereka menggenggam kejujuran, keyakinan, dan pengaruh ruhani. Mereka membangun kekuatan dari bawah tanah: dari mushalla, dari pesantren, dari jiwa umat.

“Berapa banyak kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 249)



Gaza: Cermin Masa Lalu, Api Masa Depan

Kini, dunia menyaksikan Gaza. Sebuah wilayah kecil yang dikurung, diblokade, dan dibombardir oleh kekuatan militer dan politik global. Tapi Gaza, seperti Indonesia dahulu, sedang menyimpan bara. Mereka tidak punya tank, tapi mereka punya tekad. Tidak punya satelit, tapi punya semangat. Dan sejarah akan membuktikan: kezaliman yang terlalu percaya diri sedang menuju runtuhnya.

Ketika semua jalan diblokir, jalan langit terbuka.



Pilih Sisi Sejarah

Kita tidak perlu menjadi jenderal untuk menumbangkan kekuasaan. Cukup jadi manusia jujur yang tak tunduk. Cukup jadi suara yang tak berhenti menyerukan kebenaran. Karena sejarah besar selalu dimulai oleh tindakan kecil yang istiqamah.

Belanda dulu merasa abadi. Tapi mereka hilang tanpa jejak yang harum. Gaza hari ini tampak hancur. Tapi mereka mungkin sedang menuliskan bab pertama dari sejarah baru dunia Islam.

Dan kita? Tinggal memilih: ingin jadi bagian dari sistem kezaliman, atau bagian dari skenario langit.

“Sesungguhnya Kami telah mencatat segala sesuatu dalam Kitab (Lauh Mahfuz). Maka bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.”
(QS. Az-Zukhruf: 78–80)

Kesultanan dan Keilmuan Islam Nusantara dalam Geopolitik Dunia Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Islam di Nusantara tidak tumbuh ...

Kesultanan dan Keilmuan Islam Nusantara dalam Geopolitik Dunia Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Islam di Nusantara tidak tumbuh dari ruang kosong atau dari isolasi adat semata. Ia berkembang dalam jalinan geopolitik Islam global—menghubungkan wilayah kepulauan ini dengan pusat otoritas spiritual dan politik dunia Islam: dari Haramain di Hijaz, Istanbul di jantung Khilafah Turki Utsmani, hingga pesantren dan istana-istana Islam di Banten, Aceh, Mataram, dan Yogyakarta.

Sejak awal, Kesultanan Islam Nusantara tidak hanya mendasarkan kekuasaannya pada warisan lokal atau garis keturunan, tapi menambatkannya pada legitimasi spiritual dan politik Islam internasional. Ulama pun tak sebatas penasihat ritual, melainkan arsitek jaringan keilmuan trans-nasional yang menjadi infrastruktur intelektual umat.

Yang jarang disadari: keterhubungan global ini bukan sekadar strategi melawan kolonialisme. Ia adalah peta strategis untuk memajukan peradaban—secara spiritual, politik, keilmuan, hingga militer.



1. Banten: Legitimasi Mekah untuk Kekuasaan Modern

Tahun 1638, Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Qadir dari Banten mengutus delegasi resmi ke Mekah. Tujuannya bukan semata menunaikan ibadah haji, melainkan memperoleh pengakuan dari pusat kekuasaan Islam.

Sejarawan Martin van Bruinessen mencatat:

“The embassy he sent to Mecca returned to Banten... bringing various gifts and a new name for the ruler, to legitimize themselves by claims to Islamic knowledge and powers.”

Dengan gelar dari Haramain dan simbol legitimasi spiritual, Sultan Banten mengokohkan kekuasaannya sebagai pemimpin Muslim yang diakui dunia. Ini bukan reaksi pasif terhadap ancaman Belanda, tetapi inisiatif untuk membangun pemerintahan Islam modern berbasis pengakuan internasional.



2. Mataram: Islamisasi Institusi, Bukan Arabisasi Budaya

Tiga tahun kemudian, Sultan Agung dari Mataram melakukan hal serupa. Tahun 1641, ia mengirim utusan ke Haramain dan kembali dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi, kuluk (mahkota Arab), panji tauhid, dan air zamzam.

“The embassy returned with an Arabic title... kuluk, banner, and a jar of zamzam water.”

Simbol-simbol ini menandai masuknya Mataram dalam jaringan kepemimpinan dunia Islam. Sultan Agung mulai memperkuat struktur hukum, administrasi, dan sosial dengan pendekatan syariah. Ia tidak menanggalkan kejawaan, tetapi melekatkan kekuasaannya dalam jaringan kekhilafahan Islam global.



3. Aceh: Koalisi Militer-Islam dalam Skala Regional

Kesultanan Aceh mengambil posisi paling strategis. Ketika Portugis dan Belanda merangsek masuk ke Asia Tenggara, Aceh menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Khilafah Turki Utsmani.

Anthony Reid menulis:

“Diplomatic and military relations between Ottoman Turkey and some Muslim states of Southeast Asia has been known for centuries.”

Aceh memperoleh bantuan senjata, meriam, teknisi, bahkan surat kekhilafahan dari Istanbul. Menurut Jajat Burhanuddin:

“Hingga awal abad ke-19, Aceh masih menyebut dirinya bagian dari dunia kekhalifahan.”

Aceh menunjukkan bahwa kekuatan militer umat Islam bisa dibangun melalui diplomasi antar-peradaban, bukan isolasi lokal.



4. Yogyakarta dan Diponegoro: Islam sebagai Gerakan Sosial

Pada abad ke-19, Keraton Yogyakarta mempertahankan relasi simbolik dengan Haramain. Gelar Khalifatullah, stempel kekhalifahan, pedang Hijaz, hingga potongan kiswah Ka’bah menjadi simbol resmi kesultanan.

Pangeran Diponegoro menjadikan simbol-simbol itu sebagai alat mobilisasi dalam Perang Jawa. Peter Carey mencatat:

“Diponegoro menggunakan simbol-simbol Islam global untuk menyatukan rakyat dan mendeklarasikan perang suci melawan penjajahan.”

Perjuangan Diponegoro bukan sekadar jihad militer, tetapi upaya reformasi tatanan sosial Jawa yang telah rusak oleh kolonialisme dan deviasi elite.



5. Sanad Ulama: Infrastruktur Intelektual Nusantara

Jika para sultan membangun kekuasaan dengan legitimasi politik Islam, maka para ulama membangun pilar peradaban lewat keilmuan. Mereka belajar di Haramain, membawa pulang sanad dan otoritas fatwa.

Beberapa tokoh penting:

Syaikh Nawawi al-Bantani – Imam Masjidil Haram, guru KH Hasyim Asy’ari.

Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi – Guru pendiri NU dan Muhammadiyah.

Syaikh Yusuf Makassar, Arsyad al-Banjari – Mujahid keilmuan dan reformasi akhlak.


Azyumardi Azra menyatakan:

“Jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara menjadi tulang punggung transformasi sosial-politik Muslim Asia Tenggara.”

Pesantren pun lahir dari jaringan ini: sebagai pusat literasi, kaderisasi, dan pembebasan umat.



Dari Zamzam ke Meriam: Arsitektur Islam untuk Kemajuan

Apa makna semua ini?

Pengakuan dari Mekah dan Istanbul bukan sekadar ornamen. Dalam logika geopolitik Islam klasik, itu adalah bentuk penguatan kekuasaan, hukum, pendidikan, dan pertahanan. Sebuah recognition of statehood dalam sistem peradaban Islam.

Francis Robinson menegaskan:

“Peran Mekah dan Istanbul dalam dunia Islam dulu seperti PBB dan Liga Arab dalam dunia modern.”

Aceh bahkan meminta “Surat Firman” dari Sultan Ottoman sebagai perlindungan terhadap Portugis. Ini menunjukkan bahwa Kesultanan Islam Nusantara adalah aktor aktif dalam sistem internasional Islam.



Islam di Nusantara: Lokalitas atau Konektivitas?

Sering kita dengar narasi bahwa Islam Nusantara adalah hasil “adat yang diislamkan.” Tapi fakta sejarah menolak simplifikasi itu.

Jika Islam Nusantara hanya budaya lokal, mengapa para sultan ke Mekah?

Jika ia sekadar adat, mengapa ulama harus mencari sanad di Haramain?

Jika ia hanya simbol, mengapa bantuan meriam datang dari Istanbul?


Jawabannya:

Islam Nusantara kuat bukan karena eksotisme lokal, tetapi karena konektivitasnya dengan jantung peradaban Islam.



Geopolitik Hari Ini: Ketika Kiblat Kekuasaan Beralih ke Barat

Pertanyaannya kini lebih tajam: bagaimana menyikapi kenyataan bahwa kekuasaan, ilmu, dan teknologi kini dimonopoli oleh Barat?

Pakar geopolitik Islam, Ali Paya, menjawab:

> “Dalam Islam, tidak ada pemisahan mutlak antara ilmu, kekuasaan, dan spiritualitas. Yang ada adalah jaringan—saling menopang, saling menguatkan.”

Sementara itu, Tariq Ramadan memperingatkan:

“Umat Islam akan kehilangan arah jika tidak membangun kembali jaringan global berbasis ilmu, etika, dan solidaritas.”

Dan hari ini, Gaza—dengan segala kepedihannya—justru menjadi simpul awal kebangkitan jaringan itu.

Krisis di Gaza telah menyatukan masjid-masjid, ulama, aktivis, dan kaum muda dari Maroko hingga Malaysia. Ia menjadi pengingat bahwa umat Islam masih bisa disatukan oleh satu nilai: kehormatan.



Menyambung Jaringan yang Terputus

Kesultanan dan keilmuan Islam Nusantara telah memberi teladan: bahwa kekuatan umat lahir dari koneksi global, bukan isolasi lokal.

Jika dulu kekuatan itu disalurkan melalui zamzam dan panji tauhid dari Mekah, meriam dari Istanbul, serta sanad dari Haramain—hari ini, koneksi itu harus dibangun ulang lewat jaringan digital, solidaritas intelektual, dan gerakan moral lintas negara.

Mungkin Gaza adalah ujung awal. Tapi masa depan menanti:
Apakah kita siap menyambung kembali jaringan Islam dunia?
Atau kita tetap puas jadi penonton geopolitik yang dirancang bukan oleh umat ini?


Islam di Nusantara bukan sekadar warisan. Ia adalah blueprint kebangkitan.
Yang kita butuhkan bukan nostalgia, tapi aksi dan jaringan—seperti para sultan dan ulama dahulu membangunnya.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (551) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (241) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (506) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (250) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (229) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)