Kesultanan dan Keilmuan Islam Nusantara dalam Geopolitik Dunia Islam
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Islam di Nusantara tidak tumbuh dari ruang kosong atau dari isolasi adat semata. Ia berkembang dalam jalinan geopolitik Islam global—menghubungkan wilayah kepulauan ini dengan pusat otoritas spiritual dan politik dunia Islam: dari Haramain di Hijaz, Istanbul di jantung Khilafah Turki Utsmani, hingga pesantren dan istana-istana Islam di Banten, Aceh, Mataram, dan Yogyakarta.
Sejak awal, Kesultanan Islam Nusantara tidak hanya mendasarkan kekuasaannya pada warisan lokal atau garis keturunan, tapi menambatkannya pada legitimasi spiritual dan politik Islam internasional. Ulama pun tak sebatas penasihat ritual, melainkan arsitek jaringan keilmuan trans-nasional yang menjadi infrastruktur intelektual umat.
Yang jarang disadari: keterhubungan global ini bukan sekadar strategi melawan kolonialisme. Ia adalah peta strategis untuk memajukan peradaban—secara spiritual, politik, keilmuan, hingga militer.
1. Banten: Legitimasi Mekah untuk Kekuasaan Modern
Tahun 1638, Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Qadir dari Banten mengutus delegasi resmi ke Mekah. Tujuannya bukan semata menunaikan ibadah haji, melainkan memperoleh pengakuan dari pusat kekuasaan Islam.
Sejarawan Martin van Bruinessen mencatat:
“The embassy he sent to Mecca returned to Banten... bringing various gifts and a new name for the ruler, to legitimize themselves by claims to Islamic knowledge and powers.”
Dengan gelar dari Haramain dan simbol legitimasi spiritual, Sultan Banten mengokohkan kekuasaannya sebagai pemimpin Muslim yang diakui dunia. Ini bukan reaksi pasif terhadap ancaman Belanda, tetapi inisiatif untuk membangun pemerintahan Islam modern berbasis pengakuan internasional.
2. Mataram: Islamisasi Institusi, Bukan Arabisasi Budaya
Tiga tahun kemudian, Sultan Agung dari Mataram melakukan hal serupa. Tahun 1641, ia mengirim utusan ke Haramain dan kembali dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi, kuluk (mahkota Arab), panji tauhid, dan air zamzam.
“The embassy returned with an Arabic title... kuluk, banner, and a jar of zamzam water.”
Simbol-simbol ini menandai masuknya Mataram dalam jaringan kepemimpinan dunia Islam. Sultan Agung mulai memperkuat struktur hukum, administrasi, dan sosial dengan pendekatan syariah. Ia tidak menanggalkan kejawaan, tetapi melekatkan kekuasaannya dalam jaringan kekhilafahan Islam global.
3. Aceh: Koalisi Militer-Islam dalam Skala Regional
Kesultanan Aceh mengambil posisi paling strategis. Ketika Portugis dan Belanda merangsek masuk ke Asia Tenggara, Aceh menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Khilafah Turki Utsmani.
Anthony Reid menulis:
“Diplomatic and military relations between Ottoman Turkey and some Muslim states of Southeast Asia has been known for centuries.”
Aceh memperoleh bantuan senjata, meriam, teknisi, bahkan surat kekhilafahan dari Istanbul. Menurut Jajat Burhanuddin:
“Hingga awal abad ke-19, Aceh masih menyebut dirinya bagian dari dunia kekhalifahan.”
Aceh menunjukkan bahwa kekuatan militer umat Islam bisa dibangun melalui diplomasi antar-peradaban, bukan isolasi lokal.
4. Yogyakarta dan Diponegoro: Islam sebagai Gerakan Sosial
Pada abad ke-19, Keraton Yogyakarta mempertahankan relasi simbolik dengan Haramain. Gelar Khalifatullah, stempel kekhalifahan, pedang Hijaz, hingga potongan kiswah Ka’bah menjadi simbol resmi kesultanan.
Pangeran Diponegoro menjadikan simbol-simbol itu sebagai alat mobilisasi dalam Perang Jawa. Peter Carey mencatat:
“Diponegoro menggunakan simbol-simbol Islam global untuk menyatukan rakyat dan mendeklarasikan perang suci melawan penjajahan.”
Perjuangan Diponegoro bukan sekadar jihad militer, tetapi upaya reformasi tatanan sosial Jawa yang telah rusak oleh kolonialisme dan deviasi elite.
5. Sanad Ulama: Infrastruktur Intelektual Nusantara
Jika para sultan membangun kekuasaan dengan legitimasi politik Islam, maka para ulama membangun pilar peradaban lewat keilmuan. Mereka belajar di Haramain, membawa pulang sanad dan otoritas fatwa.
Beberapa tokoh penting:
Syaikh Nawawi al-Bantani – Imam Masjidil Haram, guru KH Hasyim Asy’ari.
Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi – Guru pendiri NU dan Muhammadiyah.
Syaikh Yusuf Makassar, Arsyad al-Banjari – Mujahid keilmuan dan reformasi akhlak.
Azyumardi Azra menyatakan:
“Jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara menjadi tulang punggung transformasi sosial-politik Muslim Asia Tenggara.”
Pesantren pun lahir dari jaringan ini: sebagai pusat literasi, kaderisasi, dan pembebasan umat.
Dari Zamzam ke Meriam: Arsitektur Islam untuk Kemajuan
Apa makna semua ini?
Pengakuan dari Mekah dan Istanbul bukan sekadar ornamen. Dalam logika geopolitik Islam klasik, itu adalah bentuk penguatan kekuasaan, hukum, pendidikan, dan pertahanan. Sebuah recognition of statehood dalam sistem peradaban Islam.
Francis Robinson menegaskan:
“Peran Mekah dan Istanbul dalam dunia Islam dulu seperti PBB dan Liga Arab dalam dunia modern.”
Aceh bahkan meminta “Surat Firman” dari Sultan Ottoman sebagai perlindungan terhadap Portugis. Ini menunjukkan bahwa Kesultanan Islam Nusantara adalah aktor aktif dalam sistem internasional Islam.
Islam di Nusantara: Lokalitas atau Konektivitas?
Sering kita dengar narasi bahwa Islam Nusantara adalah hasil “adat yang diislamkan.” Tapi fakta sejarah menolak simplifikasi itu.
Jika Islam Nusantara hanya budaya lokal, mengapa para sultan ke Mekah?
Jika ia sekadar adat, mengapa ulama harus mencari sanad di Haramain?
Jika ia hanya simbol, mengapa bantuan meriam datang dari Istanbul?
Jawabannya:
Islam Nusantara kuat bukan karena eksotisme lokal, tetapi karena konektivitasnya dengan jantung peradaban Islam.
Geopolitik Hari Ini: Ketika Kiblat Kekuasaan Beralih ke Barat
Pertanyaannya kini lebih tajam: bagaimana menyikapi kenyataan bahwa kekuasaan, ilmu, dan teknologi kini dimonopoli oleh Barat?
Pakar geopolitik Islam, Ali Paya, menjawab:
> “Dalam Islam, tidak ada pemisahan mutlak antara ilmu, kekuasaan, dan spiritualitas. Yang ada adalah jaringan—saling menopang, saling menguatkan.”
Sementara itu, Tariq Ramadan memperingatkan:
“Umat Islam akan kehilangan arah jika tidak membangun kembali jaringan global berbasis ilmu, etika, dan solidaritas.”
Dan hari ini, Gaza—dengan segala kepedihannya—justru menjadi simpul awal kebangkitan jaringan itu.
Krisis di Gaza telah menyatukan masjid-masjid, ulama, aktivis, dan kaum muda dari Maroko hingga Malaysia. Ia menjadi pengingat bahwa umat Islam masih bisa disatukan oleh satu nilai: kehormatan.
Menyambung Jaringan yang Terputus
Kesultanan dan keilmuan Islam Nusantara telah memberi teladan: bahwa kekuatan umat lahir dari koneksi global, bukan isolasi lokal.
Jika dulu kekuatan itu disalurkan melalui zamzam dan panji tauhid dari Mekah, meriam dari Istanbul, serta sanad dari Haramain—hari ini, koneksi itu harus dibangun ulang lewat jaringan digital, solidaritas intelektual, dan gerakan moral lintas negara.
Mungkin Gaza adalah ujung awal. Tapi masa depan menanti:
Apakah kita siap menyambung kembali jaringan Islam dunia?
Atau kita tetap puas jadi penonton geopolitik yang dirancang bukan oleh umat ini?
Islam di Nusantara bukan sekadar warisan. Ia adalah blueprint kebangkitan.
Yang kita butuhkan bukan nostalgia, tapi aksi dan jaringan—seperti para sultan dan ulama dahulu membangunnya.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif