Islam di Nusantara: Lokal atau Trans-Nasional?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Islam di Nusantara kerap digambarkan sebagai “produk lokal”—mengakar di bumi pertiwi, berpadu dengan adat, dan bersifat damai. Namun narasi semacam itu sering digunakan untuk memutus akar sejarah Islam yang sesungguhnya: bahwa sejak awal, Islam di Nusantara bukan sekadar lokal, melainkan bagian dari jaringan besar dunia Islam.
Yang ironis, keterhubungan ini kini justru dicurigai. Gerakan Islam yang menautkan diri ke Mekkah, Kairo, atau Istanbul langsung dicap “radikal” atau “asing.” Sementara hubungan ideologis ke Washington, Paris, atau Beijing malah dielu-elukan sebagai bentuk kemajuan dan keterbukaan.
Padahal, justru dari keterhubungan itulah kekuatan Islam Nusantara tumbuh. Maka pertanyaannya bukan “Islam kita lokal atau trans-nasional?”, melainkan: mengapa hanya keterhubungan Islam yang dicurigai?
Apa Itu Gerakan Trans-Nasional?
Istilah “gerakan trans-nasional” biasanya dimaknai sebagai ekspor ideologi dari luar yang mengancam kedaulatan. Aksa, peneliti dari Universitas Mulawarman, menyebut Hizbut Tahrir sebagai contoh gerakan Islam trans-nasional yang membawa doktrin khilafah global. Namun ia juga mengakui bahwa Nahdlatul Ulama memiliki dimensi trans-nasional melalui jejaring santri dan ulama global (Jurnal PAI, 2022).
Sementara itu, Prof. Azyumardi Azra memberi pandangan lebih mendalam. Dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (2004), ia menyebut fenomena ini sebagai “kosmopolitanisme Islam,” di mana ulama Nusantara menjadi bagian dari jaringan keilmuan dunia tanpa kehilangan identitas lokal.
Dengan kata lain, trans-nasionalisme bukan ancaman, tapi warisan sejarah Islam yang mendalam. Yang jadi soal bukan keterhubungannya, melainkan bagaimana ia diramu ulang dalam konteks perjuangan umat di tanah air.
Masuknya Islam: Melalui Ilmu, Bukan Invasi
Islam masuk ke Nusantara bukan lewat pedang, melainkan lewat perdagangan dan dakwah damai. T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam mencatat bahwa sejak abad ke-7, pedagang dan ulama dari Arab, Persia, dan Gujarat telah hadir di pelabuhan-pelabuhan Sumatera, Jawa, dan Maluku.
Navigator Muslim abad ke-15, Al-Mahri, menyebut Melaka sebagai pelabuhan utama para pelajar dan pedagang Islam. Itu berarti, sejak awal, Nusantara sudah menjadi simpul penting dalam jaringan dunia Islam—bukan pulau terisolasi yang mendadak “diislamkan” dari dalam.
Sriwijaya dan Khalifah: Diplomasi Islam Abad ke-8
Hubungan trans-nasional Islam-Nusantara sudah tercatat sejak masa kekhalifahan Umayyah. Sejarawan S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia (1963) menulis bahwa Raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), meminta agar ulama dikirim ke kerajaannya.
“Permintaan raja Sriwijaya kepada khalifah adalah permohonan serius atas dasar keinginan belajar Islam, bukan sekadar diplomasi politik.” — S.Q. Fatimi
Ini bukti nyata bahwa keterhubungan dunia Islam tidak lahir dari proyek penaklukan, tetapi dari haus ilmu dan kerinduan spiritual yang datang dari wilayah timur dunia Islam.
Walisongo: Ulama Global, Dakwah Lokal
Walisongo bukanlah figur lokal semata, melainkan hasil interaksi panjang dengan pusat-pusat keilmuan Islam di Hadramaut, Kairo, hingga Istanbul. Menurut Azyumardi Azra, mereka adalah bagian dari jaringan ulama dunia Islam yang saling mengunjungi, menimba ilmu, dan membangun pusat-pusat dakwah baru.
“Ulama-ulama Nusantara adalah bagian dari jejaring ulama dunia Islam yang saling belajar dan mengajar.” — Azyumardi Azra (2004)
Yang membuat mereka berhasil adalah kemampuan meramu fiqh Syafi’i, tasawuf Sunni, dan ilmu Islam klasik dengan kebudayaan lokal. Inilah Islamisasi yang tidak memusnahkan budaya, tapi menyucikannya.
Aceh, Banten, dan Solidaritas Ottoman
Trans-nasionalisme Islam tidak berhenti di bidang ilmu. Ia juga tampak dalam bidang diplomasi dan perlawanan. Pada 1566, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan menghadapi Portugis. Sultan Selim II mengirim meriam dan ahli militer sebagai respons.
B.J. Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce menyebutnya sebagai bentuk solidaritas Islam internasional.
Habib Abdurrahman Az-Zahir dari Aceh, pada abad ke-19, bahkan diangkat sebagai Pasha oleh Sultan Abdulhamid II karena perannya dalam diplomasi anti-kolonial. Dalam Al-Rihlah ila Bilad al-Atrak (1880), ia menulis:
“Umat Islam di Timur dan Barat adalah satu tubuh. Jika satu bagian tersakiti, seluruh tubuh merasakannya.”
Komunitas Jawi dan Perpustakaan Kairo
Santri Nusantara telah belajar di Haramain sejak abad ke-17. Mereka dikenal sebagai “kaum Jawi” dan membentuk komunitas keilmuan di Mekkah dan Madinah. Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi adalah salah satu ulama terkemuka asal Nusantara yang menjadi imam besar di Masjidil Haram dan guru dari pendiri NU dan Muhammadiyah.
Kitab-kitab pesantren pun mayoritas dicetak di Kairo, Beirut, dan Istanbul. Fealy dan Bruinessen dalam Pesantren dan Kitab Kuning mencatat:
“Mayoritas kitab yang digunakan di pesantren berasal dari tradisi Syafi’iyyah Timur Tengah dan dicetak di Kairo.”
Ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam kita tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dari interaksi global yang membumi.
NU dan Muhammadiyah: Trans-Nasional yang Dimodifikasi
NU dan Muhammadiyah bukan gerakan yang muncul dari ruang lokal murni. Keduanya adalah hasil perjumpaan ulama Nusantara dengan arus intelektual dan gerakan pembaruan di Timur Tengah. Muhammadiyah terinspirasi oleh gerakan salafiyah modernis seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. NU lahir sebagai respons terhadap modernisme yang dianggap mengabaikan tasawuf dan tradisi pesantren.
Sejarawan Prof. Karel A. Steenbrink mencatat dalam Muslim Modernism in Indonesia:
“Gerakan pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 adalah produk interaksi dengan dunia Islam yang lebih luas, bukan reaksi lokal semata.”
Dengan kata lain, NU dan Muhammadiyah adalah contoh sempurna bagaimana gagasan global bisa diramu ulang sesuai kebutuhan perjuangan umat Islam di tanah air—bukan proyek asing, melainkan penyesuaian kontekstual dari warisan bersama.
Lalu Mengapa Hanya Islam yang Dicurigai?
Kapitalisme, sekularisme, liberalisme gender, bahkan budaya pop digital seperti Netflix, TikTok, atau K-pop—semuanya adalah gerakan trans-nasional. Tapi tak satu pun dicap “radikal” atau “mengancam budaya lokal.”
Sementara Islam, ketika bersuara dari Kairo atau Istanbul, langsung dicurigai sebagai ideologi impor. Padahal, justru dari relasi global itulah Islam Nusantara tumbuh dan matang.
Inilah sisa trauma kolonial yang belum sembuh: relasi ke dunia Islam dianggap berbahaya, tapi relasi ke Barat dianggap modernitas.
Trans-Nasionalisme Adalah Akar Kita
Islam Nusantara bukan hasil isolasi budaya, melainkan hasil dialog abadi antara wahyu dan konteks, antara langit dan bumi. Ia bukan salinan mentah dari Arab, tetapi bukan pula konstruksi lokal tanpa akar.
Islam kita kuat karena ia terhubung. Ia tumbuh dari pelabuhan Melaka, dari surat Raja Sriwijaya, dari doa para wali, dari diplomasi Aceh ke Ottoman, dari pesantren-pesantren yang menimba ilmu dari Timur Tengah, hingga lahirnya NU dan Muhammadiyah sebagai hasil sintesis keilmuan dan perjuangan.
Maka, berhentilah mencurigai keterhubungan sebagai ancaman. Justru dalam keterhubungan itulah letak kekuatan, akar sejarah, dan denyut nadi peradaban Islam Nusantara.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif