Cermin Sejarah dan Wahyu: Pandangan Dunia dan Al-Qur’an tentang Yahudi
“Mengapa, ya, Al-Qur’an begitu sering berbicara tentang Yahudi?”
Pertanyaan itu pernah saya lontarkan dalam hati ketika membaca mushaf. Hampir di setiap surat besar, kisah mereka hadir. Kadang sebagai pengingat, kadang sebagai peringatan. Seolah-olah Allah ingin kita bercermin lewat perjalanan mereka: bangsa yang diberi amanah, lalu jatuh karena kesombongan.
Ketika saya membuka buku-buku sejarah, herannya: catatan dunia pun menunjukkan hal serupa. Yahudi berulang kali naik ke puncak, lalu jatuh terhempas. Mereka pernah berjaya, tapi tak pernah utuh. Mereka kuat dalam ilmu dan harta, tapi rapuh dalam keimanan dan persatuan.
Maka tibalah pada simpul: pandangan Al-Qur’an terhadap Yahudi dan kesimpulan sejarah dunia tentang mereka, pada dasarnya sama.
---
1. Bani Israil: Bangsa yang Diangkat
Al-Qur’an menuturkan awal perjalanan mereka dengan agung:
> “Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian, dan bahwa Aku telah melebihkan kalian atas semua umat di dunia.” (QS. Al-Baqarah: 47).
Mereka adalah bangsa para nabi: Musa, Dawud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, Isa. Mereka pernah menjadi mercusuar ilmu dan syariat. Allah belah laut untuk mereka, turunkan manna dan salwa, berikan kerajaan yang besar.
Sejarah pun mengakui itu. Kerajaan Dawud dan Sulaiman di Yerusalem menjadi salah satu peradaban penting dunia kuno. Taurat menjadi pegangan, dan kota suci menjadi pusat ziarah.
Awal itu indah. Mereka benar-benar menjadi umat pilihan.
---
2. Dari Cahaya Menuju Kelam
Namun nikmat itu tak dijaga. Al-Qur’an mencatat dengan getir:
> “Maka mereka menimpakan kemurkaan dari Allah, dan kehinaan menutupi mereka. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Al-Baqarah: 61).
Mereka menolak kebenaran, bahkan kepada nabi sendiri. Kitab diselewengkan, hukum Allah diganti tafsir hawa nafsu.
Sejarah mencatat berulang kali kehancuran:
Ditawan Babilonia, Baitul Maqdis dihancurkan.
Ditaklukkan Romawi, tercerai berai ke seluruh dunia.
Pada Abad Pertengahan, mereka tersebar di Eropa, sering diusir dari Spanyol, Prancis, Jerman, Inggris.
Ironi itu melahirkan luka panjang. Dari luka itulah lahir ide Zionisme modern, sebuah gerakan sekuler yang ingin kembali ke Palestina, bukan untuk tunduk kepada Allah, tapi untuk membangun negara etnis.
---
3. Inggris: Dari Janji ke Pengkhianatan
Kisah modern Yahudi tak bisa lepas dari Inggris.
Di abad ke-17, aliran Puritan di Inggris membaca Kitab Suci secara literal. Mereka percaya, kembalinya Yahudi ke Tanah Suci akan mempercepat kedatangan Yesus kedua. Maka sejak awal, sebagian elit Inggris mendorong “pengembalian” Yahudi ke Palestina.
Puncaknya terjadi pada 1917: Deklarasi Balfour. Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, berjanji mendukung berdirinya “rumah nasional Yahudi” di Palestina. Padahal sebelumnya Inggris berjanji kepada bangsa Arab memberi kemerdekaan bila membantu melawan Turki Utsmani.
Janji itu dikhianati. Palestina yang mayoritas Muslim diserahkan untuk kolonisasi. Migrasi Yahudi besar-besaran dimulai, dan benturan dengan rakyat Arab pun tak terhindarkan.
Dari situlah awal luka Palestina bermula.
---
4. Negara Israel dan Luka Panjang Palestina
Setelah Perang Dunia II dan tragedi Holocaust, dukungan Barat pada Zionisme makin kuat. Pada 1948, Israel berdiri dengan restu PBB, didukung Inggris dan Amerika.
Sejak itu, perang demi perang terjadi: 1948, 1967, 1973. Israel menang secara militer, tapi kemenangan itu melahirkan kebencian abadi. Jutaan rakyat Palestina terusir, hidup di kamp-kamp pengungsian, atau terkepung di Gaza dan Tepi Barat.
Israel terus menindas:
Permukiman ilegal dibangun.
Gaza diblokade total.
Ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, menjadi korban serangan.
Semuanya dilakukan dengan legitimasi politik Zionis sayap kanan, yang makin ekstrem dan rasis.
---
5. Eropa dan Rasa Bersalah
Sejarah berputar. Negara-negara Eropa yang dulu menjadi panggung penderitaan Yahudi—dari pengusiran di Spanyol hingga Holocaust di Jerman—sekarang menyaksikan lahirnya Israel di atas penderitaan Palestina.
Awalnya, Eropa mendukung Israel dengan penuh semangat, seolah menebus dosa mereka kepada Yahudi. Tapi setelah melihat kebrutalan Zionisme, mereka mulai bergeser.
Kini, banyak negara Eropa mengakui Palestina: Spanyol, Norwegia, Irlandia, Slovenia, Islandia, dan bahkan Inggris. Pengakuan itu bukan sekadar sikap politik, melainkan refleksi sejarah: mereka sadar, proyek kolonial yang dulu mereka lahirkan telah berubah menjadi mesin penindasan.
---
6. Pandangan Al-Qur’an: Terhina, Tercerai, dan Terikat
Al-Qur’an menegaskan:
> “Mereka ditimpakan kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia. Mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah, dan ditimpakan kepada mereka kehinaan.” (QS. Ali Imran: 112).
Inilah hukum sejarah. Mereka bisa menang sesaat, tapi hidup dalam kegelisahan. Mereka bisa berkuasa, tapi selalu dikepung.
Dan Israel hari ini adalah cerminnya. Negara itu punya senjata nuklir, teknologi tinggi, ekonomi kuat. Tapi warganya hidup dalam ketakutan. Sirene roket, trauma perang, perpecahan internal, ancaman demografi, semuanya menghantui.
Kekuatan itu nyata, tapi rapuh.
---
7. Sejarah Dunia dan Wahyu: Dua Jalan, Satu Simpul
Kalau kita tarik garis:
Sejarah dunia mencatat Yahudi sebagai bangsa yang selalu naik-turun: unggul dalam ilmu dan ekonomi, tapi jatuh karena manipulasi, eksklusivitas, dan konflik.
Al-Qur’an jauh-jauh hari sudah menuturkan: diberi nikmat, tapi mengingkarinya; diberi nabi, tapi menolaknya; akhirnya hidup dalam kehinaan.
Dan kini, Inggris yang dulu melahirkan Israel justru mengakui Palestina. Seolah sejarah ingin berkata: Janji palsu harus ditebus.
Dua jalan berbeda—sejarah manusia dan wahyu Allah—tapi bertemu pada simpul yang sama.
---
8. Refleksi: Cermin untuk Kita
Namun pertanyaan besar muncul: apakah kisah Yahudi hanya tentang mereka?
Al-Qur’an tidak menceritakan sia-sia. Kisah itu untuk kita bercermin. Bukankah umat Islam juga pernah melalui hal serupa?
Kita pernah jaya dengan ilmu, lalu lalai.
Kita pernah bersatu, lalu pecah karena ego.
Kita diberi amanah besar, tapi sering tergoda dunia.
Apakah kita akan mengulang nasib Yahudi—mulia di awal, hina di akhir?
Atau kita belajar, lalu bangkit kembali?
---
9. Epilog: Dua Cermin yang Sama
Saya menutup mushaf dan buku sejarah. Keduanya seperti dua cermin yang berhadapan.
Al-Qur’an menuturkan kisah Yahudi dengan cahaya wahyu. Sejarah menuliskannya dengan tinta peristiwa.
Bayangan yang terlihat sama:
Mereka mulia di awal, hancur di akhir.
Mereka unggul sesaat, rapuh selamanya.
Mereka ditinggikan, tapi menolak kebenaran, lalu dijatuhkan.
Dan kini, Eropa—terutama Inggris—dipaksa sejarah untuk menatap cermin itu juga, dengan mengakui Palestina sebagai bentuk penebusan dosa.
Maka jelaslah: pandangan Al-Qur’an dan kesimpulan sejarah dunia tentang Yahudi sejatinya sama.
Dan peringatan itu bukan untuk mereka saja. Itu untuk kita semua. Karena siapa pun yang berjalan di jalan kesombongan dan penolakan kebenaran, akan berakhir sama. Yahudi hanyalah contoh. Dunia adalah panggung. Dan manusia—termasuk kita—sedang memainkan lakon yang sama.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif