basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pera...

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang bukan hanya soal senjata, strategi, atau statistik. Ia adalah ujian moral, daya tahan batin, dan legitimasi politik. Dalam dua front utama yang kini dihadapi Israel—Gaza dan Iran—yang terjadi bukan hanya pertempuran fisik, melainkan juga pertarungan makna: antara narasi kemenangan dan realitas kehancuran batin.

Israel memang unggul dalam teknologi militer, tetapi konflik ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik tidak selalu sejajar dengan ketahanan jiwa bangsa. Yang dipertaruhkan kini bukan hanya wilayah, tapi nilai-nilai dasar yang menentukan apakah sebuah negara layak disebut sebagai peradaban.



Dilema Serangan Udara vs Darat: Antara Tombol dan Luka

Dalam doktrin militer modern, perbedaan antara perang udara dan darat bukan hanya soal taktik, tapi juga soal biaya kemanusiaan dan dampak moral yang menyertainya.

1. Efisiensi Anggaran dan Logistik

Perang udara menelan biaya tinggi dalam teknologi, tapi rendah risiko bagi pasukan penyerang. Cocok untuk pembalasan cepat dan tekanan psikologis.
Sebaliknya, perang darat lebih murah per satuan serangan, namun memerlukan keterlibatan fisik dan logistik besar, serta risiko nyawa yang tak kecil.

2. Dampak Moral bagi Pasukan

Pasukan udara menjatuhkan bom dari ketinggian—jauh dari suara jeritan dan wajah korban. Tapi saat pulang, media membawa kembali citra kehancuran itu ke ruang keluarga mereka.
Sementara tentara darat menyaksikan langsung penderitaan warga sipil, luka, dan kematian anak-anak. Ini menimbulkan cedera moral yang mendalam, trauma yang tak sembuh hanya dengan medali atau pidato.

3. Efektivitas Strategis

Perang udara memang bisa melemahkan musuh, tapi jarang menyelesaikan perang.
Sebaliknya, perang darat bisa menciptakan kontrol wilayah, namun berisiko tinggi bagi legitimasi politik dan reputasi internasional.



Gaza: Membumihanguskan yang Membakar Moral

Di Gaza, Israel menggabungkan kekuatan udara dan darat dalam skala masif. Rudal dijatuhkan, tank dikirim, dan kawasan padat penduduk diserbu dengan dalih membasmi kelompok bersenjata.
Namun dalam kenyataannya, anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersenjata menjadi korban utama.

Bagi dunia internasional, ini adalah tragedi kemanusiaan. Namun bagi sebagian warga Israel sendiri, ini mulai menjadi beban batin yang mengganggu keyakinan mereka atas legitimasi negaranya.

Apakah ini masih perang untuk bertahan hidup?
Atau telah menjelma menjadi pembantaian yang kehilangan nurani?


Serangan udara memang efektif secara militer. Tapi saat tubuh-tubuh kecil yang bersimbah darah muncul di layar ponsel, taktik berubah menjadi tuduhan, dan kemenangan berubah menjadi kecaman.

Moral warga mulai goyah, bukan karena tentara mereka gagal berperang, tetapi karena yang mereka lawan bukan lagi tentara, melainkan manusia yang lebih lemah dan tak bersenjata.



Iran: Serangan Balik yang Mengoyak Rasa Aman

Berbeda dari Gaza yang terus dibombardir, Iran justru membalas serangan Israel atas fasilitas nuklirnya. Untuk pertama kalinya, rudal dan drone Iran mengarah langsung ke Tel Aviv dan pangkalan militer Israel.

Sebagian besar serangan itu berhasil dicegat. Tapi yang hancur bukan hanya infrastruktur—yang lebih dalam adalah ilusi rasa aman.

Iron Dome tak lagi jadi jaminan.
Dan rakyat Israel pun menyadari bahwa rumah mereka bukan lagi “wilayah suci” yang tak tersentuh.

Iran tak perlu menimbulkan banyak korban. Mereka hanya perlu membakar rasa tenang nasional, dan itu telah terjadi. Serangan ini menjadi trauma kolektif, peringatan bahwa bahkan negara terkuat pun bisa diserang balik.



Mana yang Lebih Menyakitkan bagi Israel: Gaza atau Iran?

Iran: Ketakutan Eksistensial

Korban fisik sedikit, tapi ketakutan nasional meningkat drastis.

Serangan ke Tel Aviv menyentuh jantung simbolik dan psikologis Israel.

Ini bukan lagi serangan militer, tapi tamparan eksistensial: Israel tak lagi kebal.


Gaza: Keruntuhan Legitimasi Moral

Israel mungkin menang secara militer di Gaza.

Namun dunia melihat Israel bukan sebagai korban, tetapi sebagai penindas.

Yahudi diaspora pun mulai mempertanyakan arah negara ini.

Gaza tak hanya menumpahkan darah—ia menumpahkan kredibilitas.



Moralitas: Penentu Kemenangan Sejati

Israel mungkin menang di medan tempur, tapi di medan yang lebih luas—medan nurani dan kepercayaan publik global—mereka mulai kehilangan banyak hal.
Dan sejarah telah membuktikan: negara yang kehilangan legitimasinya akan digerus oleh arus zaman, tak peduli seberapa kuat tentaranya.

Perang udara memberi efisiensi, tapi membusukkan hati.
Perang darat memberi kontrol, tapi menghancurkan jiwa.
Perang melawan Iran mengguncang rasa aman,
Perang melawan Gaza mengguncang nurani.

Dan bila sebuah bangsa telah kehilangan keduanya—rasa aman dan nurani—tak ada senjata di dunia yang cukup untuk menyelamatkannya dari kehancuran moral.

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara konflik panjang dan perlawanan yang ...

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara konflik panjang dan perlawanan yang tak kunjung padam, Israel berdiri sebagai negara yang didukung penuh oleh kekuatan adidaya: Amerika Serikat. Dukungan ini bukan hanya moral dan diplomatik, tetapi juga militer, intelijen, logistik, hingga veto di PBB. Namun pertanyaan penting mengemuka: apakah dukungan dari luar—bahkan sekelas Amerika—cukup untuk membuat sebuah negara bertahan?

Sejarah berkata lain.



Rezim Shah Iran: Hancur Meski Didukung Amerika

Reza Pahlavi, Shah Iran terakhir, adalah salah satu sekutu paling setia Amerika di Timur Tengah. Ia didukung penuh oleh CIA dalam kudeta tahun 1953 yang menggulingkan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. Shah mendapat bantuan senjata, pelatihan SAVAK (polisi rahasia), dan teknologi militer tercanggih saat itu.

Namun apa yang terjadi?

Tahun 1979, rakyat bangkit dalam Revolusi Iran. Bukan karena kurangnya kekuatan militer, tapi karena hilangnya legitimasi. Shah dianggap boneka Barat, anti-Islam, dan menindas rakyatnya sendiri. Dukungan Amerika tak mampu menahan gelombang jutaan rakyat yang turun ke jalan. Sistem hancur, dan kekuasaan runtuh dari dalam.



Rezim Apartheid Afrika Selatan: Runtuh Meski Didukung Eropa dan AS

Selama dekade 1950-an hingga 1980-an, rezim Apartheid Afrika Selatan mendapatkan dukungan ekonomi dan teknologi dari negara-negara Barat. Eropa dan AS berinvestasi besar, perusahaan-perusahaan multinasional terus beroperasi, dan militer Afrika Selatan menjadi salah satu yang terkuat di benua itu.

Namun apa daya?

Tekanan dari dalam negeri—gerakan rakyat kulit hitam, para pemuda, dan tokoh seperti Nelson Mandela—membuat sistem tak lagi bisa dipertahankan. Ketika rakyat bersatu dan komunitas internasional mulai sadar, dukungan luar tak mampu lagi menyelamatkan struktur kekuasaan rasis yang dibangun di atas penindasan.



Rezim Boneka di Afghanistan: Gagal Bertahan Meski Didukung Amerika

Dua dekade Amerika Serikat menduduki Afghanistan. Miliaran dolar dikucurkan. Tentara dilatih. Pemerintahan Ashraf Ghani dibentuk. Tetapi ketika Taliban masuk ke Kabul pada 2021, rezim yang dibangun AS runtuh hanya dalam hitungan hari. Tanpa ada perlawanan berarti.

Mengapa?

Karena rakyat tak mempercayai pemerintahan itu. Ia dianggap hanya simbol, bukan pemimpin sejati rakyat. Kekuasaan tanpa legitimasi rakyat hanyalah istana dari kaca: tampak kokoh, tapi sekali dihantam retakan, pecah.



Rezim Assad di Suriah: Bertahan, Tapi dengan Harga yang Hancur

Bashar al-Assad bisa bertahan di Suriah karena dukungan besar-besaran dari Rusia dan Iran. Namun yang bertahan bukanlah negara yang stabil, melainkan negara yang hancur, porak-poranda, dan kehilangan separuh populasinya. Assad tetap berkuasa, tapi Suriah tak lagi utuh.

Maka pertanyaannya bukan hanya “bertahan atau tidak?” Tapi: bertahan dalam bentuk apa?



Apakah Israel Akan Bernasib Sama?

Israel memang berbeda: teknologinya canggih, ekonominya maju, dan dukungan AS hampir tak terbatas. Tapi seperti contoh-contoh di atas, dukungan luar tidak cukup jika fondasi internalnya keropos:

1. Negara tanpa keadilan untuk semua warganya.
2. Negara yang terus hidup dari konflik, bukan perdamaian.
3. Negara yang rakyatnya sendiri banyak memiliki paspor ganda—siap pergi saat badai datang.
4. Negara yang hidup dengan membangun tembok, bukan jembatan.


Dukungan Amerika bisa menunda keruntuhan, tapi tidak bisa meniadakan hukum sejarah.



Legitimasi Lebih Kuat daripada Dana dan Senjata

Rezim bertahan bukan karena siapa yang mendukung dari luar, tapi karena siapa yang menerimanya dari dalam.
Dan negara bertahan bukan karena kuat militernya, tapi karena dalamnya akar keadilan yang ditanam di tanahnya.

Israel bisa hidup lebih lama. Tapi jika tidak berubah dari dalam—mengakui hak Palestina, meruntuhkan apartheid, dan membangun hidup bersama—maka ia akan menjadi contoh lain dari sejarah yang berulang: kekuasaan yang besar namun rapuh, dan akhirnya runtuh oleh gelombang yang diciptakannya sendiri.

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern,...

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern, sebuah negara ideal dibangun di atas empat fondasi utama: tujuan kemanusiaan yang luhur, konstitusi yang mengikat, pengakuan atas kedaulatan rakyat dan tanah, serta keutuhan sosial yang menjamin identitas dan keadilan bersama. Negara bukan hanya struktur kekuasaan, tapi wadah bagi martabat, kesejahteraan, dan peradaban manusia.

Namun ketika kita mencermati realitas Israel, kita justru melihat kebalikannya. Mari kita bandingkan satu per satu.



1. Tujuan Kemanusiaan vs Proyek Eksklusivisme

Negara ideal, kata John Locke dan Montesquieu, harus melindungi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan seluruh rakyatnya—tanpa diskriminasi.

Israel, lahir bukan untuk melayani nilai-nilai kemanusiaan universal, melainkan untuk melindungi satu kelompok atas nama sejarah masa lalu. Tujuannya bukan menyatukan, tapi memisahkan. Negara seperti ini tidak memenuhi asas keadilan sosial; ia dibangun dari rasa takut, bukan dari kepercayaan akan persamaan derajat manusia.



2. Konstitusi yang Mengikat vs Kekuasaan Tanpa Pedoman

Dalam teori tata negara modern (lihat Hans Kelsen dan Lon L. Fuller), konstitusi adalah “jiwa negara”. Ia adalah hukum tertinggi yang menyatukan kekuasaan dan membatasi penyalahgunaan.

Israel sampai kini tidak memiliki undang-undang dasar yang komprehensif. Hukum dasar parsial (Basic Laws) justru menjadi alat fleksibel bagi penguasa untuk menyusun ulang aturan sesuai kepentingan politik. Dalam negara ideal, hukum berdiri di atas semua kekuatan; tapi di Israel, hukum kerap ditekuk oleh arah ideologi dominan.



3. Tanah Air Berbasis Historis vs Rampasan yang Dinaturalisasi

Negara ideal memiliki wilayah yang dihormati berdasarkan sejarah hidup bersama rakyatnya, bukan sekadar mitos atau kekuatan militer.

Israel adalah negara tanpa tanah air. Ia dibangun di atas tanah yang dirampas, bukan diwarisi secara sosial. Penghuni asli diusir, dan pendatang diberi gelar “pulang”. Inilah bentuk negasi terhadap asas legitimasi rakyat dan keterikatan emosional terhadap tanah—dua hal yang mendasari makna sejati dari “tanah air”.



4. Persatuan Sosial vs Konflik Internal yang Kronis

Negara ideal bukan sekadar hidup dalam hukum, tapi juga memiliki kohesi sosial (lihat teori Benedict Anderson dan Durkheim) yang menyatukan rakyat dalam solidaritas dan visi bersama.

Israel dihuni oleh kelompok-kelompok yang saling bertentangan: Yahudi sekuler vs Haredim, Ashkenazi vs Mizrahim, Yahudi Rusia vs Yahudi Etiopia, Yahudi vs Arab. Negara ini bertahan karena adanya musuh bersama, bukan karena nilai dan rasa kebangsaan yang menyatukan. Dalam teori negara, ini pertanda krisis identitas nasional.



5. Kedaulatan Penduduk Asli vs Pengusiran Sistemik

Negara ideal mengakui hak historis penduduk asli. Konvensi internasional dan PBB menegaskan, tidak ada negara yang sah jika lahir dari pengusiran sistemik.

Israel justru meniadakan keberadaan penduduk asli. Mereka yang hidup berabad-abad di sana—baik Muslim maupun Kristen Palestina—disebut tak ada. Ini bukan hanya kejahatan sejarah, tapi juga pelanggaran terhadap prinsip jus soli dan jus culturae: hak atas tanah dan budaya yang dijaga turun-temurun.



6. Kesetiaan Tunggal vs Kewarganegaraan Ganda yang Bersyarat

Negara ideal menuntut kesetiaan penuh warganya kepada negara, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip civic nationalism. Israel justru dihuni oleh warga berkewarganegaraan ganda yang dapat sewaktu-waktu meninggalkannya.

Paspor ganda menandakan ketidakpastian identitas nasional dan loyalitas politik. Negara seperti ini rentan terhadap eksodus diam-diam, ketika krisis datang. Ia bukan rumah, tapi persinggahan.



7. Perdamaian Tetangga vs Konflik Permanen

Negara ideal berfungsi sebagai penjaga stabilitas kawasan, bukan sebagai pemicu konflik. Dalam teori hubungan internasional, negara yang terus berperang adalah negara yang lemah secara diplomatik dan moral.

Israel terus berkonflik dengan tetangganya. Ia tidak pernah benar-benar berdamai, bahkan dengan bangsa yang tinggal tepat di sebelah rumahnya: Palestina. Ini pertanda negara yang tidak selesai membangun legitimasi dan masih bergantung pada kekerasan untuk bertahan.



Israel bukan negara gagal secara administratif, tetapi negara yang goyah secara etika dan prinsip dasar bernegara. Dalam banyak aspek, ia melanggar norma dan asas yang seharusnya menjadi ruh sebuah negara modern dan beradab. Ia ada, tapi tidak utuh. Ia kuat, tapi tak stabil. Ia hidup, tapi tanpa arah kemanusiaan.

Negara seperti ini bisa saja bertahan dalam waktu lama. Namun seperti rumah di atas gelombang, ia akan terus diguncang badai: dari luar, dan lebih dalam lagi, dari dalam dirinya sendiri.

Israel: Negara di Atas Gelombang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejar...

Israel: Negara di Atas Gelombang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejarah yang dipaksakan, berdiri di antara badai politik, gelora konflik, dan reruntuhan nilai kemanusiaan. Ia bukan lahir dari kedalaman nurani umat manusia, melainkan dari laboratorium kolonialisme modern, di mana luka dijadikan dasar negara, dan pengusiran dianggap permulaan harapan.

Ini adalah negara tanpa tujuan kemanusiaan. Ia tidak dibangun untuk menciptakan kedamaian universal, tetapi untuk melindungi eksklusivitas satu kelompok atas nama sejarah dan penderitaan masa lalu. Tujuannya bukan inklusi, melainkan pemisahan. Bukan keadilan, melainkan kekuasaan. Negara ini menyebut dirinya demokrasi, tapi gagal memberi ruang bagi martabat manusia yang berbeda darinya.

Ia pun negara tanpa undang-undang dasar. Tanpa konstitusi yang utuh, ia menjelma menjadi negara yang dapat diatur sesuka waktu dan suara mayoritas dominan. Hukum bukan pilar keadilan, tapi alat politik. Maka rakyat tak dilindungi oleh kesepakatan luhur, melainkan oleh siapa yang berkuasa hari ini. Keadilan menjadi relatif, dan demokrasi menjadi manipulasi.

Israel adalah negara tanpa tanah air—karena tanahnya diperoleh bukan dengan cinta, melainkan dengan paksa. Diproklamirkan bukan di atas sejarah sosial bersama, tapi di atas reruntuhan desa-desa Palestina yang dihancurkan. Ia tidak tumbuh dari akar organik yang menghormati penghuni lama, tapi dari bibit ideologi yang menafikan eksistensi orang lain. Inilah tanah air yang dideklarasikan, bukan diwarisi.

Negara ini juga berisi kelompok masyarakat yang terus berkonflik. Yahudi Ortodoks menolak Yahudi sekuler. Yahudi Rusia bersitegang dengan Yahudi Etiopia. Arab Israel hidup dalam ketakutan. Palestina di wilayah pendudukan hidup dalam keterasingan. Tak ada identitas tunggal yang menyatukan, hanya musuh bersama yang dijadikan alasan untuk tetap saling bertahan. Sebuah masyarakat yang retak dari dalam, meski berusaha utuh di luar.

Ini juga adalah negara tanpa penduduk asli. Orang-orang yang menanam zaitun, mengumandangkan azan, membunyikan lonceng gereja, dan menggembala sejak berabad-abad lamanya—disebut tak ada. Mereka diusir, dilabeli asing, lalu dijadikan target. Sementara yang datang dari jauh, dari Eropa, dari Amerika, dari Rusia—dianggap “pulang”. Inilah ironi: negeri yang mengusir anak kandung, lalu menyambut tamu sebagai pewaris tunggal.

Israel bahkan dipenuhi warga dengan kewarganegaraan ganda. Banyak dari mereka datang bukan karena cinta tanah air, melainkan karena kesempatan, atau sekadar pelarian dari krisis identitas. Paspor Amerika di satu saku, paspor Israel di saku lainnya. Dalam damai, mereka hidup di Tel Aviv. Dalam bahaya, mereka pulang ke New York atau Berlin. Sebuah negara yang warganya bisa meninggalkan tanahnya kapan saja—karena tanah itu belum benar-benar menjadi “milik hati”.

Dan yang paling nyata: Israel adalah negara yang terus berperang dengan tetangganya. Tak ada hari tanpa ketegangan. Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, Iran—semua pernah atau sedang menjadi musuh. Palestina, tetangga yang ditolak keberadaannya, terus menjadi korban dan kambing hitam. Israel bukanlah rumah dalam lingkaran damai, melainkan benteng dalam lautan konflik.



Akhirnya...

Israel berdiri, tapi goyah.
Ia bersinar, tapi dari api, bukan cahaya.
Ia bertahan, tapi di atas ketakutan.
Ia ada, tapi belum menjadi negara yang seutuhnya hidup.

Sebab negara sejati bukan dibangun dari klaim sejarah, tapi dari keberanian memberi ruang bagi orang lain.
Bukan dari dinding beton dan senjata, tapi dari keadilan dan pengakuan.
Dan selama itu belum terjadi, Israel akan tetap menjadi… negara di atas gelombang—yang setiap saat bisa dihantam oleh gelombang yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tanah yang Menolak Dikosongkan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di ujung dunia yang dipagari tembok, kawat berduri, dan sanksi senjat...


Tanah yang Menolak Dikosongkan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di ujung dunia yang dipagari tembok, kawat berduri, dan sanksi senjata paling mematikan, ada sebuah bangsa yang terus mencoba dihapus dari peta. Bukan hanya peta geopolitik, tapi juga dari peta demografi, dari sejarah, bahkan dari ingatan. Itulah proyek paling gelap yang kini sedang dijalankan: depopulasi—usaha sistematis untuk mengurangi, menggusur, menghapus satu bangsa dari tanah yang mereka cintai, dan yang mencintai mereka kembali.

Palestina, terutama Gaza dan Tepi Barat, sedang menghadapi ujian sejarah semacam ini. Tapi sejarah punya memori panjang. Ia tahu, pernah ada benua seperti Amerika dan Australia yang berhasil dibersihkan dari penduduk aslinya oleh para kolonialis. Dengan senjata, penyakit, propaganda, dan hukum buatan, para penjajah Eropa menciptakan dunia baru—tanpa orang lama. Maka pertanyaannya muncul kembali hari ini: apakah Israel sedang dan akan berhasil melakukan hal yang sama di Palestina?



Gaza: Tidak Punya Tempat Lain

Di Gaza, orang-orang lahir bukan dengan paspor, tapi dengan nasib. Mereka tidak punya tempat untuk lari. Tak ada rumah kedua di Toronto. Tak ada nenek moyang yang bisa ditelusuri untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman. Mereka lahir di kamp pengungsi, besar di bawah drone, tidur dalam suara dentuman. Tapi besok paginya mereka bangun—dan tetap tinggal.

Gaza tidak punya rencana cadangan. Karena tanah itu bukan hanya tempat, tapi harga diri. Dan kehormatan, bagi bangsa yang telah dihancurkan berkali-kali, justru menjadi alasan untuk tidak pergi.

Israel tahu ini. Maka senjata mereka tidak hanya bom dan peluru. Tapi juga kelaparan, pengungsian internal, pemusnahan infrastruktur, dan blokade yang menusuk ke perut anak-anak. Ini bukan sekadar perang. Ini perhitungan penduduk. Ini politik angka hidup dan mati.



Tepi Barat: Tanah yang Digigit Sedikit Demi Sedikit

Sementara itu, di Tepi Barat, depopulasi berjalan dengan cara yang lebih sunyi, tapi tak kalah sistematis. Pemukim ilegal—datang dengan paspor ganda dan perlindungan militer—mengambil tanah hektar demi hektar. Penduduk Palestina ditekan oleh hukum, dikurung dalam dinding, dan dihadapkan pada pilihan: pergi atau tenggelam dalam penderitaan yang perlahan.

Ada desa-desa yang tak lagi punya nama di peta. Ada ladang zaitun yang berubah menjadi jalan bagi militer. Dan ada keluarga yang melihat rumahnya dihancurkan bukan karena perang, tapi karena surat dari “pengadilan pemukim.”

Israel membangun jalan, hukum, dan tembok, bukan untuk semua orang, tapi untuk sebagian—yang datang dari luar dan diberi hak atas tanah yang bukan milik mereka. Itu bukan pembangunan. Itu pembersihan.



Rintangan yang Tak Bisa Ditembus Senjata

Tapi ada satu hal yang tidak bisa diatasi oleh sistem canggih Israel: tekad rakyat Palestina. Mereka yang tidak punya tempat pergi, tak bisa diusir semudah itu. Mereka tidak hanya tinggal di tanah itu, mereka menjadi tanah itu. Tidak ada senjata yang bisa memisahkan akar dari bumi tanpa membuat keduanya mati.

Tekanan internasional mulai berubah. Mahkamah Internasional menyebut ini sebagai genosida. Opini publik global—terutama generasi muda—tidak lagi diam. Dan di setiap reruntuhan sekolah Gaza, ada tangan kecil yang memegang buku, bukan untuk pergi dari sejarah, tapi untuk menulisnya ulang.



Tanah yang Akan Memihak yang Bertahan

Dalam sejarah, penjajah selalu datang dengan kekuatan. Tapi mereka yang bertahan selalu datang dengan cinta. Dan cinta, dalam bentuk yang paling murni, adalah ketika seseorang tinggal di tempat yang ingin membunuhnya—karena dia tahu, tanah itu lebih membutuhkannya daripada ketakutannya sendiri.

Israel mungkin bisa mengguncang dunia dengan teknologi militer. Tapi rakyat Gaza mengguncang nurani dunia dengan daya tahannya.

“Depopulasi hanya bisa terjadi jika penduduknya menyerah. Tapi Gaza tidak menyerah. Dan Tepi Barat masih melawan—dalam bisu, dalam diam, dalam doa, dalam batu, dalam darah.”

Tanah Palestina, dalam luka-lukanya, tetap hidup. Dan selama ada satu keluarga yang menolak meninggalkan rumahnya, sejarah akan menulis ulang dirinya sendiri: bukan untuk mereka yang datang, tapi untuk mereka yang tetap tinggal.

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Watak Diaspora dalam Paspor Ganda Di balik wa...

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Watak Diaspora dalam Paspor Ganda

Di balik wajah modern Israel—dengan kibbutz teknologi, kampus elit, dan kekuatan militer termutakhir—tersimpan kecemasan laten yang diwariskan selama ribuan tahun: ketidakpastian akan tempat tinggal terakhir. Maka tak heran jika kewarganegaraan ganda menjadi bukan hanya dokumen hukum, tetapi cermin watak historis bangsa Yahudi itu sendiri.

Sejak pengusiran dari tanah Kanaan oleh Babilonia dan Romawi, lalu diaspora panjang akibat Inkuisisi, pogrom, hingga Holocaust, bangsa Yahudi terbiasa hidup tanpa tanah tetap. Mereka tak tumbuh dengan akar, melainkan dengan sayap: fleksibilitas identitas dan mobilitas lintas batas.

Mereka ahli bertahan bukan dengan benteng lagi, tapi juga dengan cadangan pilihan tempat hidup. Dan hari ini, bentuk modernnya adalah paspor asing di samping paspor Israel.

Di sinilah paspor ganda menjadi warisan yang tak tertulis dari mentalitas diaspora. Tradisi Exodus tak pernah benar-benar selesai. Bahkan setelah berdirinya negara Israel, banyak Yahudi—terutama kalangan sekuler—tetap menyimpan satu pintu keluar. Mereka mencintai tanah ini, tapi tidak yakin akan tinggal selamanya.



Konflik Mendorong Pintu Darurat

Seiring memburuknya konflik di kawasan, gelombang permohonan paspor asing melonjak—terutama setelah serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas. Ketakutan bukan hanya pada roket, tapi pada masa depan yang tak stabil:

Ketegangan di Gaza dan Tepi Barat yang tak kunjung selesai.

Ancaman rudal dari Hizbullah Lebanon dan Suriah yang makin presisi.

Serangan rudal dari Ansarullah Yaman yang kini menyasar Laut Merah dan Tel Aviv.

Warga Israel, khususnya yang sekuler dan berpendidikan, menyediakan paspor asing bagi anak-anak mereka bahkan sebelum anak itu bisa bicara. Mereka mendatangi konsulat Jerman, Polandia, Kanada, atau Prancis. Bukan untuk pindah esok hari—tapi untuk bersiap bila esok tak ada lagi.

Hari ini, paspor asing lebih bernilai dari rumah, tanah, bahkan saham teknologi.



Mengapa Israel Mengizinkan Kewarganegaraan Ganda?

Israel sangat longgar soal paspor ganda. Bukan tanpa alasan:

1. Sejarah Imigrasi dan Aliyah

Negara ini dibangun dari orang-orang yang datang dari Rusia, Eropa, AS, Yaman, dan Afrika Utara. Mereka tiba dengan membawa paspor lama, dan Israel tidak ingin memutuskan keterhubungan mereka dengan dunia luar—terutama karena Yahudi diaspora punya pengaruh politik dan ekonomi global.

2. Mobilitas dan Keamanan

Kewarganegaraan ganda memudahkan warganya bepergian ke negara yang tidak bersahabat dengan Israel—tanpa membuka identitas.

3. Asuransi Politik

Bagi sebagian warga, paspor asing adalah jalan kabur darurat jika konflik sipil meledak, pemerintah ekstremis berkuasa, atau ekonomi kolaps. Paspor itu menjadi jaminan hidup alternatif—sebuah “Plan B” kolektif bangsa yang masih trauma oleh sejarahnya sendiri.



Kelompok Mana yang Paling Banyak Punya Paspor Ganda?

Kaum Sekuler — PALING BANYAK

Berasal dari latar imigran Eropa dan Amerika.

Paling sadar risiko politik dan ekonomi.

Anak-anak mereka yang lahir di Israel pun didaftarkan untuk paspor Jerman, Polandia, atau AS.


Arab Israel — JUGA CUKUP BANYAK, Tapi Dengan Nuansa Lain

Sebagian memiliki koneksi ke Yordania, Tepi Barat, bahkan Eropa.

Bagi mereka, paspor asing adalah jembatan identitas, bukan strategi kabur.


Pemukim Ilegal Yahudi — BANYAK JUGA

Ironis: mereka paling vokal tentang “tanah yang dijanjikan,” tapi tetap menyimpan paspor Prancis atau AS.

Banyak dari mereka adalah imigran yang belum melepas kewarganegaraan lama.


Haredim — PALING SEDIKIT

Hidup dalam komunitas tertutup, fokus agama.

Kurang peduli urusan internasional.

Meski begitu, sebagian kecil masih menyimpan paspor lama dari diaspora.



Ancaman Bagi Masa Depan Israel

1. Brain Drain

Paspor asing membuat generasi muda berbakat mudah pindah ke luar negeri—dan mereka tidak kembali.

2. Krisis Loyalitas

Saat Israel berkonflik dengan negara lain, warga dengan paspor asing bisa ditarik oleh kesetiaan ganda.

3. Ketimpangan Sosial Baru

Paspor menjadi kelas sosial: yang punya bebas ke luar negeri, punya opsi masa depan. Yang tidak? Terjebak dalam krisis internal.

4. Ancaman Keamanan

Paspor ganda bisa digunakan untuk menyelundupkan identitas, logistik, atau informasi. Ini menciptakan potensi lubang intelijen.



Negara dengan Dua Jiwa

Israel adalah negara yang dibangun oleh mimpi dan trauma. Tapi kini, banyak warganya hidup dengan dua paspor dan dua kemungkinan masa depan. Yang satu sebagai warga negara Israel. Yang lain sebagai pewaris trauma diaspora—yang tahu bahwa sejarah bisa berulang.

Saat anak-anak Tel Aviv punya paspor Berlin dan anak-anak pemukiman ekstrem punya paspor New York, pertanyaannya bukan lagi “apakah mereka cinta Israel?” tapi “apakah mereka siap tinggal jika Israel berubah?”

Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat ken...


Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat kendali Iron Dome, dan barak-barak elit militer Unit 8200, berdetak sebuah bom waktu sosial dan demografis yang nyaris tak terdengar. Israel, negara kecil dengan reputasi besar di bidang militer dan teknologi, kini menghadapi ancaman yang tak datang dari luar, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri. Bukan roket, bukan embargo, bukan tekanan diplomatik yang paling membahayakan masa depan Israel—melainkan ketegangan sosial yang kian mengkristal di antara empat kelompok besar masyarakatnya.

Masing-masing kelompok itu membawa dunia sendiri. Mereka hidup berdampingan, tapi tidak berjalan searah. Mereka memakai bahasa yang sama, tapi bicara dalam logika yang berbeda. Dan bila tak segera ada koreksi arah, benturan di antara mereka bisa menjadi lebih dahsyat dari semua perang yang pernah mereka menangkan.



Sekuler: Otak Negara yang Perlahan Pergi

Mereka adalah para insinyur, ilmuwan, pendiri startup, jenderal militer, diplomat, dan ekonom. Mereka membangun citra Israel sebagai “Start-Up Nation” yang disegani dunia. Tapi kini, mereka mulai merasa asing di tanah yang dulu mereka rancang.

Mereka melihat negara yang mereka bangun mulai diambil alih oleh aturan agama yang tak mereka pilih, oleh politik sayap kanan yang menusuk akal sehat, dan oleh anggaran negara yang lebih banyak mengalir ke yeshiva daripada ke riset dan pengembangan.

Mereka tidak marah. Mereka hanya meninggalkan. Berbondong-bondong menuju Berlin, Toronto, New York, Paris. Mereka membawa koper, ijazah, dan kenangan akan sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula.



Haredim: Menang Dalam Jumlah, Tapi Tidak Dalam Gagasan

Di sisi lain, komunitas Haredim terus tumbuh dalam jumlah dan kekuatan politik. Setiap tahun, anak-anak Haredi memenuhi ruang-ruang kelas yang menolak matematika, sains, dan bahasa Inggris. Mereka belajar Taurat siang malam, menolak wajib militer, dan sebagian besar hidup dari subsidi negara.

Namun pertumbuhan populasi mereka sangat cepat—jauh melampaui kelompok lainnya. Ini bukan sekadar angka kelahiran, tapi arah masa depan.

Pertanyaannya: apa jadinya Israel jika mayoritas penduduknya tidak bekerja, tidak mau belajar teknologi, dan tidak mempercayai negara demokratis sekuler?



Para Pemukim: Menanam Ideologi di Atas Tanah Sengketa

Mereka menyebut diri sebagai penjaga tanah yang dijanjikan, meski dunia menyebut mereka pelanggar hukum internasional. Para pemukim Yahudi di Tepi Barat adalah perpaduan antara nasionalisme religius dan fanatisme ideologis. Mereka memperluas permukiman dengan dukungan penuh pemerintah, dilindungi tentara, dan dibiayai oleh pajak yang dibayar oleh kelompok sekuler.

Mereka bukan sekadar beban fiskal. Mereka adalah sumber ketegangan geopolitik yang tak kunjung padam. Mereka memperkecil kemungkinan perdamaian dengan Palestina, memicu kemarahan dunia Arab, dan mendorong Israel ke jurang keterasingan diplomatik.

Israel boleh menambah wilayah fisik, tapi kehilangan wilayah moral dan politik.



Arab Israel: Warga yang Tak Pernah Dianggap Penuh

Berjumlah hampir 20% dari populasi, Arab Israel adalah warga negara yang hidup di antara pengakuan dan penolakan. Mereka membayar pajak, belajar, bekerja sebagai dokter, pengacara, sopir, guru. Tapi mereka tidak pernah menjadi “kita”. Mereka tetap “mereka”.

Namun di balik diskriminasi dan pengucilan itu, muncul generasi baru yang terdidik, melek teknologi, dan punya ambisi. Mereka tidak lagi sekadar bertahan. Mereka mulai bersaing. Dan ketika ruang terus ditutup, mereka bisa berubah dari jembatan perdamaian menjadi simbol perlawanan internal.



Israel yang Akan Datang: Negara Tanpa Pusat Kekuatan 

Jika tren ini terus berlanjut, Israel di masa depan bukan lagi negara kuat dengan fondasi sekuler dan teknologi tinggi. Ia akan menjadi negara dengan pusat yang kosong:

Inovasi tetap ada, tapi tak sebesar dulu—karena para penciptanya sudah pindah ke luar negeri.

Militer tetap kuat, tapi dijalankan oleh negara yang makin tertutup dan religius.

Ekonomi tetap hidup, tapi diseret oleh beban subsidi untuk kelompok yang tak produktif.

Politik tetap sibuk, tapi hanya mengurus konflik internal dan eksternal yang tak kunjung selesai.

Dan yang paling parah: dunia internasional bisa kehilangan kepercayaan terhadap Israel sebagai mitra yang rasional. Negara-negara yang dulu jadi sekutu bisa mulai menjauh. Geopolitik berubah. Diplomasi meredup.



Dari Ancaman Luar ke Ledakan Dalam

Israel dibangun oleh mimpi besar dan ketakutan besar. Tapi kini, ancaman terbesarnya bukan dari luar, melainkan dari dalam. Saat kaum sekuler pergi, Haredim tumbuh, pemukim meledakkan batas, dan Arab Israel terus dipinggirkan—Israel sedang menciptakan sebuah dunia dengan banyak kutub tapi tanpa pusat.

Pertanyaannya bukan lagi: “Apakah Israel akan bertahan?”
Tapi: “Israel yang mana yang akan bertahan?”
Apakah yang modern dan terbuka? Ataukah yang religius dan eksklusif?



Jika tak ada arah bersama yang disepakati, maka kekuatan militer dan teknologi tak akan cukup menyelamatkan Israel dari kehancuran yang perlahan tapi pasti—karena negara bisa bertahan dari musuh luar, tapi tak bisa diselamatkan dari pertikaian di dalam rumah sendiri.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (480) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)