Dilema Moral di Jatung Kekuasaan Penjajah Israel
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di Tengah Kemenangan Semu, Dilema yang Nyata
Di tanah yang diliputi bara dan debu, kemenangan tak lagi punya wujud. Yang tersisa hanya angka: berapa rudal ditembakkan, berapa bangunan diratakan, berapa anak yang gugur. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang tak bisa dibom atau dibungkam: kebenaran. Dan justru kebenaran itulah yang kini menjadi beban paling berat di pundak Israel—di ruang kabinet, di parit-parit tentara, bahkan di balik jubah para politisi sayap kanan yang lantang berseru “tanpa kompromi.”
Dilema Netanyahu: Antara Sejarah dan Neraka Politik
Benjamin Netanyahu, sang perdana menteri veteran, berdiri di atas ladang ranjau politik. Di satu sisi, ia ingin dikenang sebagai pemimpin yang "menghabisi Hamas" dan menyelamatkan Zionisme dari krisis legitimasi. Di sisi lain, tekanan datang bertubi-tubi: Amerika Serikat mendesak gencatan senjata, keluarga sandera menjerit menuntut kejelasan, dan dunia bersatu dalam simpati kepada Gaza.
Netanyahu tahu: melanjutkan perang berarti kehilangan legitimasi global. Tapi menghentikan perang berarti kehilangan koalisi kanan dan mungkin juga kariernya. Dalam ruang sunyi, ia mungkin terdiam dan bertanya: apakah kekuasaan memang lebih berharga dari kedamaian?
Dilema Presiden Israel: Suara Hati yang Tak Didengar
Isaac Herzog, Presiden Israel, pernah berkata bahwa bangsa ini perlu lebih mendengar suara hati. Tapi di negara yang dikendalikan oleh ketakutan dan dendam sejarah, suara hati kerap ditenggelamkan oleh raungan jet tempur dan teriakan ekstremis.
Sebagai kepala negara simbolik, Herzog terjepit: ia ingin menjadi wajah yang manusiawi bagi Israel, tapi juga tak berdaya melawan dominasi politik sayap kanan. Ia melihat darah anak-anak di Gaza, tapi juga melihat sandera yang belum pulang. Ia tahu, Israel kehilangan arah. Tapi siapa yang mau mendengarkan kompas moral dalam badai ambisi?
Dilema Jenderal IDF: Perintah vs Nurani
Para jenderal seperti Eyal Zamir atau Herzi Halevi tak hanya memimpin pasukan. Mereka juga memikul beban sejarah. IDF didirikan untuk melindungi Israel. Tapi hari ini, dunia melihatnya sebagai alat penjajahan, penghancur rumah, dan pembunuh anak-anak.
Di ruang-ruang taktis, mereka dituntut memetakan operasi yang “bersih dan presisi.” Tapi bagaimana caranya bila medan perang adalah kamp pengungsian dan targetnya tersembunyi di antara tangisan bayi?
Mereka tahu: melaksanakan perintah bisa berarti mengorbankan nurani. Menolak perintah bisa berarti mengorbankan karier dan keamanan negara.
Dilema Tentara Israel: Di Parit, Mereka Menangis Diam-Diam
Tak semua tentara Israel haus darah. Banyak dari mereka adalah anak muda biasa, dipaksa menghadapi kengerian yang tak mereka pilih. Mereka melihat jasad rekan yang digotong pulang, melihat mata anak Gaza yang membeku dalam luka, dan mendengar suara dunia yang menyebut mereka penjajah.
Mereka mengangkat senjata, tapi hati mereka gemetar. Mereka bertanya dalam diam: apakah yang mereka hadapi benar-benar musuh, atau hanya manusia yang diperangi karena ingin merdeka?
Dilema Politisi Sayap Kanan: Di Antara Dendam dan Ketakutan
Ben Gvir, Smotrich, dan para politisi kanan ekstrem mewakili wajah Israel yang keras. Tapi bahkan mereka pun tahu: perlawanan Palestina tak bisa dibunuh dengan peluru.
Mereka tahu, setiap anak yang syahid, akan melahirkan seratus lainnya yang bangkit dengan lebih nekat dan lebih siap. Mereka sadar, bahwa jika tanah ini dibasahi terlalu banyak darah, suatu saat akan tumbuh pohon-pohon kemerdekaan yang tak bisa lagi ditebang.
Namun mereka terus memompa kebencian. Karena tanpa itu, mereka kehilangan legitimasi. Dan dalam diam, mungkin mereka juga takut: bukan kepada Hamas, tapi kepada kebenaran yang tak bisa mereka jinakkan.
Maka Tentramlah Bersama Kebenaran
Kebenaran bukan milik siapa yang paling kuat, paling banyak senjata, atau paling lantang di mimbar. Kebenaran adalah milik siapa yang memuliakan kehidupan, membela yang tertindas, dan berani mengaku salah.
Israel bisa terus membangun tembok, meluncurkan rudal, dan membungkam dunia maya. Tapi mereka tak akan pernah bisa tidur tenang selama yang mereka hadapi adalah kebenaran.
Dan kebenaran itu kini bernama Gaza. Bernama Palestina. Bernama anak-anak yang tak gentar meski rumah mereka tinggal puing.
Karena kebenaran tidak butuh pelindung. Ia hanya butuh satu hal: keberanian untuk menyambutnya.
Mungkin, sudah saatnya Israel berhenti berperang dengan dunia, dan mulai berdamai dengan kebenaran. Hanya di sana, ketentraman sejati bisa lahir.
0 komentar: