Studi Singkat: Konflik Internal Quraisy Menghadapi Kebenaran
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejarah bukan hanya catatan peristiwa, tapi juga cermin jiwa manusia saat dihadapkan pada kebenaran. Dalam perjalanan dakwah Rasulullah Muhammad saw, yang paling berat bukanlah perlawanan dari luar, melainkan perlawanan dari dalam: dari mereka yang hatinya tahu tapi enggan tunduk, dari mereka yang pikirannya paham tapi tertawan gengsi, dari mereka yang tahu itu cahaya tapi memilih tetap dalam gelap.
Inilah kisah tentang Quraisy—kaum yang menyaksikan langsung akhlak Nabi, mendengar sendiri ayat-ayat suci diturunkan, namun justru menjadi benteng pertama penolakan. Bukan karena mereka tak paham, tapi karena mereka takut: takut kehilangan kekuasaan, takut tergusur dari pusat kendali sosial dan ekonomi, dan takut rakyatnya berpaling kepada kebenaran yang menumbangkan berhala.
Namun sejarah membuktikan, bukan kebenaran yang kalah dalam makar, melainkan para pembuat makar yang kalah oleh kebenaran. Mereka membangun rencana dengan kecerdikan dunia, tapi dilumpuhkan oleh satu hal yang tak mereka miliki: keberanian untuk tunduk pada kebenaran.
Tulisan ini mencoba menelusuri sejarah konflik internal Quraisy, yang mencerminkan betapa beratnya ego manusia saat berhadapan dengan cahaya Tuhan.
1. Ketika Kekuasaan Guncang oleh Cahaya Kebenaran
Saat risalah tauhid mulai bergema dari bibir Muhammad saw di Makkah, para pemuka Quraisy menghadapi badai dalam batin dan rapat-rapat mereka. Mereka tidak kompak. Mereka goyah. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Abu Jahal, pemimpin faksi radikal, memilih represi dan penindasan. Baginya, Islam harus dibungkam dengan kekerasan.
Walid bin Mughirah, tokoh tua yang bijak duniawi, mengusulkan kompromi: ditawarkanlah harta, kekuasaan, hingga pernikahan. Asal Muhammad saw berhenti mencela berhala mereka.
Utbah bin Rabi’ah, lebih halus, mencoba menjembatani—tapi tetap menolak kebenaran risalah yang dibawa.
Abu Thalib, pelindung Rasulullah saw dari Bani Hasyim, menjadi penghalang besar bagi semua makar mereka. Selama ia hidup, mereka tidak bisa menyentuh Nabi saw secara langsung.
Mereka berbeda dalam strategi, tetapi satu dalam ketakutan: jika Islam dibiarkan tumbuh, maka seluruh bangunan sosial, ekonomi, dan religius mereka akan runtuh.
2. Ketika Fitnah Dijadikan Alat Politik
Gagal membungkam Nabi saw, mereka beralih ke strategi delegitimasi. Dalam forum Darun Nadwah, muncul pertanyaan: "Apa yang harus kita katakan tentang Muhammad?"
Ada yang menyebut beliau penyair—tapi bait-bait Al-Qur’an bukan puisi biasa.
Ada yang menyebut beliau gila—tapi akhlak dan tutur katanya membantah semua tuduhan itu.
Ada yang menyebut beliau tukang sihir—karena ajarannya memecah belah keluarga.
Akhirnya, mereka sepakat: Muhammad adalah tukang sihir! Bukan karena mereka percaya, tapi karena itu tuduhan yang paling bisa diterima oleh publik.
"Sesungguhnya mereka bukan mendustakanmu (Muhammad), tetapi orang-orang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. Al-An’am: 33)
3. Ketika Makar Menjadi Musyawarah
Setelah Bai’at Aqabah Kedua dan sinyal kuat bahwa Madinah siap menjadi benteng Islam, Quraisy panik. Mereka tahu, jika Muhammad saw lolos ke Madinah, mereka akan kehilangan kendali selamanya.
Diadakanlah rapat darurat di Darun Nadwah.
Abu Jahal mengusulkan siasat jahat: setiap kabilah mengutus satu pemuda terbaik, lalu bersama-sama menikam Muhammad hingga mati. Dengan cara ini, darah akan ditanggung bersama, dan Bani Hasyim takkan bisa membalas.
Mereka sepakat. Tapi mereka lupa satu hal: Allah turut hadir dalam setiap makar itu.
Rasulullah saw hijrah, tepat sebelum para algojo Quraisy menerobos rumahnya. Rencana besar itu hancur oleh bisikan wahyu dan jejak hijrah yang sunyi.
"Dan mereka membuat makar, dan Allah pun membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas makar." (QS. Al-Anfal: 30)
4. Ketika Ego Menyeret ke Medan Badar
Nabi saw tidak keluar untuk berperang. Tujuannya hanya mencegat kafilah dagang Quraisy yang membawa hasil rampasan dari Makkah.
Namun Quraisy melihatnya sebagai tantangan. Abu Sufyan, pemimpin kafilah, berhasil menghindar. Tapi ego kolektif Quraisy, terutama Abu Jahal, menolak mundur.
“Kita akan ke Badar. Kita minum khamar, menyembelih unta, didengar seluruh Arab!” seru Abu Jahal.
Beberapa, seperti Akhmas bin Syuraiq, ingin pulang. Tapi ditertawakan.
Akhirnya, Badar menjadi panggung kehancuran mereka: tiga puluh satu pemuka Quraisy tewas. Mereka tak hanya kalah di medan perang, tapi kehilangan para perancang makar di meja rapat.
5. Ketika Balas Dendam Jadi Nafsu: Konflik Quraisy di Perang Uhud
Setelah kekalahan telak di Badar, luka batin Quraisy belum sembuh. Mereka dilanda krisis moral dan kehilangan banyak pemimpin utama. Maka Perang Uhud dirancang bukan semata strategi militer, tapi ritual balas dendam.
Namun dalam rapat strategi mereka, muncul dua arus:
Satu pihak menginginkan gencatan dan pemulihan ekonomi,
Faksi keras, seperti Hindun binti Utbah dan Abu Sufyan, mendorong balas dendam meski harus berdarah-darah.
Konflik internal ini terselubung di balik gemerlap senjata.
Setelah kemenangan semu di Uhud, Quraisy justru terjebak dalam keangkuhan. Mereka gagal menghancurkan Islam, dan balas dendam mereka tak mampu meruntuhkan keimanan satu pun sahabat Nabi.
6. Ketika Ketakutan Jadi Benteng: Perang Khandaq dan Retaknya Barisan Quraisy
Saat pasukan koalisi Arab (Ahzab) berkumpul di luar Madinah, Quraisy tidak lagi sendiri. Tapi justru di sinilah perpecahan makin tampak.
Sebagian ingin menyerbu cepat,
Sebagian lainnya takut pada strategi parit yang tak mereka kenal.
Kondisi musim dingin, logistik minim, dan demoralisasi pasukan membuat mereka saling menyalahkan. Bahkan beberapa pimpinan Quraisy mulai meragukan kelayakan Abu Sufyan sebagai pemimpin koalisi.
Alih-alih menjadi pertempuran, Khandaq justru menjadi perang batin dan keraguan di tubuh pasukan musyrik.
Mereka datang dengan 10.000 pasukan, tapi pulang dengan hati yang lebih beku dari malam Madinah. Kemenangan kembali berpihak pada yang bersabar.
7. Ketika Ibadah Dianggap Ancaman: Hudaibiyah
Tahun ke-6 Hijriah, Rasulullah saw bersama 1.400 sahabat datang ke Makkah bukan untuk perang, tapi untuk umrah.
Quraisy gamang.
Jika mereka membiarkan Muhammad masuk, itu dianggap kekalahan simbolik.
Jika mereka melarang, dunia akan melihat mereka sebagai penjaga Ka’bah yang kejam.
Sebagian ingin mengusir dengan senjata. Sebagian sadar: menyerang jamaah yang tidak bersenjata akan mencoreng kehormatan Quraisy.
Akhirnya mereka memilih bernegosiasi. Lahirlah Perjanjian Hudaibiyah, yang tampaknya menguntungkan Quraisy—padahal dalam dua tahun, Makkah jatuh ke tangan Nabi saw tanpa perlawanan.
8. Ketika Kesombongan Runtuh Diam-diam: Fathu Makkah dan Menyerahnya Ego
Tahun ke-8 Hijriah. Islam telah menyebar ke seluruh jazirah. Perjanjian Hudaibiyah yang dahulu mereka rasa menguntungkan, justru menjadi jalan dakwah terbuka. Quraisy tak mampu lagi membendung laju kebenaran.
Setelah mereka melanggar perjanjian, Rasulullah saw bergerak menuju Makkah dengan 10.000 pasukan. Tanpa darah. Tanpa perlawanan. Tanpa pertempuran.
Tapi sebelum pasukan Islam masuk kota, konflik meletus lagi di kalangan Quraisy:
Sebagian mengusulkan menyerah diam-diam,
Sebagian ingin melawan habis-habisan untuk mempertahankan kehormatan.
Namun kehormatan tanpa iman tak bisa bertahan lama. Akhirnya, mayoritas Quraisy memilih tunduk.
Bahkan Abu Sufyan pun masuk Islam. Makkah jatuh bukan oleh pedang, tapi oleh keteguhan dan ampunan Rasulullah saw.
Kekalahannya dari Hati Mereka Sendiri
Konflik internal Quraisy sejak awal bukan sekadar tentang Muhammad saw, tapi tentang ketakutan menghadapi kebenaran. Tentang ego yang enggan tunduk pada wahyu. Tentang kekuasaan yang merasa terancam oleh keadilan.
Mereka berdiskusi, bermufakat, membuat makar. Tapi setiap kali, langit lebih dulu membatalkan skenario mereka.
Mereka gagal bukan karena taktik mereka buruk,
Tapi karena kebenaran tak bisa dikalahkan oleh musyawarah gelap.
Islam menang bukan karena kekuatan pasukan,
Tapi karena pasrah pada ketetapan Tuhan.
0 komentar: