basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membukt...

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membuktikan bahwa kekayaan tidak selalu menjerumuskan, maka dialah Abdurrahman bin Auf. Ia tidak hanya sukses sebagai pedagang, tapi juga lulus sebagai pecinta akhirat yang tidak diperbudak dunia.

Hartanya tak membuatnya sombong, jabatannya tak membuatnya congkak, dan kedermawanannya tak membuatnya merasa berjasa. Ia hidup sebagai pejuang ekonomi Islam, dan wafat sebagai ahli surga yang dijamin oleh Nabi ï·º.

Berikut adalah teladan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola uang dalam enam aspek kehidupan:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Menjadi Suami dan Ayah yang Bertanggung Jawab

Sebagai orang kaya, Abdurrahman bin Auf bisa saja hidup bermewah-mewahan. Namun kepada keluarganya, ia mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab. Ia memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan layak, tanpa berlebih.

Ia menjaga nafkah yang halal, dan memastikan bahwa keluarganya tidak ikut dalam gaya hidup konsumtif. Dalam sebuah riwayat, ketika mendengar putranya membeli pakaian mahal, ia menegur dengan lembut:

“Apakah engkau ingin dilalaikan dari akhirat hanya karena kemewahan dunia?”

Ia mendidik keluarganya agar tahu: harta bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dipertanggungjawabkan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Mandiri, dan Profesional

Bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat berkat kejujuran, kerja keras, dan integritas. Ketika hijrah ke Madinah tanpa harta, ia menolak bantuan materi dan berkata:

“Tunjukkan aku jalan ke pasar.”

Dengan kerja keras dan keahlian berdagang, ia segera bangkit menjadi saudagar sukses. Tapi ia tetap menjaga:

Tidak menimbun barang

Tidak memanipulasi harga

Tidak memeras orang miskin

Tidak memperdagangkan barang haram


Ia memandang bisnis sebagai wasilah (jalan) untuk meraih ridha Allah, bukan sekadar laba dunia. Hartanya bersih, karena itulah hatinya ringan melepaskannya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hindari Beban, Lunasi Cepat

Abdurrahman bin Auf adalah orang yang sangat berhati-hati terhadap utang. Ia tidak suka berutang, dan jika terpaksa meminjam, ia berusaha segera melunasi.

Sebaliknya, ketika orang lain berutang padanya dan tidak mampu membayar, ia ringan memaafkan.

“Aku tidak ingin harta menjadi penghalang bagiku dan orang lain di akhirat.”

Ia tahu bahwa utang bukan sekadar angka di dunia, tapi bisa menjadi beban besar di akhirat. Itulah sebabnya ia hidup sederhana dan penuh perhitungan, tapi sangat dermawan kepada yang benar-benar butuh.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Dermawan Tanpa Jabatan

Abdurrahman bin Auf tidak pernah menjadi bendahara negara, tetapi ia adalah penopang besar kekuatan negara Islam.

Dalam Perang Tabuk, ia menyumbangkan 200 uqiyah emas.

Ia mendatangkan 700 ekor unta penuh muatan untuk logistik jihad dan menyedekahkan seluruhnya.

Ia ikut membiayai kaum muhajirin yang miskin setelah hijrah.

Ia menyumbang dengan diam-diam, tanpa ingin popularitas. Rasulullah ï·º sampai bersabda:

“Tidak akan merugi harta Abdurrahman meski ia berinfak sebanyak apa pun di jalan Allah.”

Ia tidak mengambil dari kas negara, tapi justru memasukkan harta pribadinya ke dalamnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kekuasaan, Menerima Tanggung Jawab

Abdurrahman bin Auf menolak menjadi khalifah saat umat Islam membentuk syura setelah wafatnya Umar bin Khattab. Namun ia menerima amanah untuk menjadi penentu akhir dalam pemilihan khalifah ketiga.

Ia tidak mengambil gaji, tidak minta imbalan, dan tidak memanfaatkan posisi strategis itu untuk kepentingan pribadi.

Ia hidup dari usahanya sendiri dan berkata:

 “Aku takut hartaku yang tidak jelas asalnya akan menjadi bara api di punggungku kelak di akhirat.”

Ia membuktikan bahwa pejabat tak harus bergaji besar, jika hatinya besar untuk Allah dan umat.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua Kembali untuk Allah dan Umat

Ketika wafat, Abdurrahman bin Auf meninggalkan kekayaan besar:

1.000 unta

100 kuda

3.000 kambing

Emas yang dibagikan warisannya saja membuat ahli waris sulit mengangkatnya

Namun yang lebih agung dari jumlahnya adalah cara ia mewasiatkannya:

Ia membebaskan 100 budak sebelum wafat.

Ia mewasiatkan 50.000 dinar (setara miliaran rupiah) untuk para veteran perang Badar.

Ia mewakafkan tanah-tanah subur miliknya untuk kaum miskin.

Ia wafat dalam keadaan telah memberi sebanyak mungkin, dan takut hartanya menjadi beban hisab.

Ia tak mati meninggalkan istana, tapi meninggalkan cahaya keteladanan dalam dunia bisnis, keluarga, dan pelayanan umat.



Penutup: Jadilah Kaya Seperti Abdurrahman bin Auf

Banyak orang ingin kaya seperti Qarun, tapi lupa bahwa Abdurrahman bin Auf jauh lebih mulia. Ia bukan hanya kaya, tapi suci, bersih, dan jujur.

Hartanya di tangan, bukan di hati.
Hartanya besar, tapi syukurnya lebih besar.
Hartanya banyak, tapi hisabnya ringan—karena sudah ditunaikan di dunia.

Itulah rahasia mengelola uang dalam Islam: bukan banyaknya, tapi bersihnya.

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah s...

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah satu dari sedikit orang yang dijamin surga oleh Rasulullah ï·º semasa hidupnya. Ia dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan, sangat berjasa di medan perang, dan salah satu pebisnis paling sukses dalam sejarah sahabat.

Ketika kebanyakan orang diuji dengan kekurangan, Thalhah diuji dengan kelimpahan harta. Tapi ia berhasil melaluinya — bukan dengan menumpuk, tapi dengan membagi.

Berikut enam sisi keteladanannya dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Cinta dan Tanggung Jawab

Thalhah bukan hanya pemberani di medan perang, tapi juga ayah dan suami yang penuh kasih sayang. Ia menafkahi keluarganya dengan baik dari kekayaan halal hasil perniagaan, kebun, dan investasi tanah.

Ia memperhatikan kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Mereka hidup dalam cukup, namun tidak berlebihan.

Ia tidak pelit kepada keluarga, tapi juga tidak memanjakan mereka dengan kemewahan dunia.

“Harta adalah amanah. Keluarga adalah tanggung jawab. Aku ingin anak-anakku besar dalam keberkahan, bukan hanya dalam limpahan.” – demikian semangat hidupnya.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Produktif, dan Visioner

Thalhah bin Ubaidillah adalah salah satu saudagar besar Madinah. Ia berdagang kain, ternak, dan tanah. Ia punya:

Perkebunan luas di Irak dan Madinah

Gudang dan jalur dagang lintas Hijaz

Properti yang terus berkembang


Namun kekayaannya tidak menjadikannya tamak. Ia terkenal jujur dalam transaksi, tidak mengambil keuntungan haram, dan selalu memperhatikan hak orang miskin.

Setiap kali memperoleh keuntungan besar, ia langsung membaginya:

Sebagian untuk keluarga

Sebagian untuk para sahabat miskin

Sebagian untuk zakat dan wakaf


Ia pernah menyumbangkan 700.000 dinar dalam sekali duduk! Dan berkata:

“Aku malu tidur malam, sementara hartaku masih tertahan di rumahku.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Amanah dan Bertanggung Jawab

Thalhah sangat berhati-hati dengan utang. Ia dikenal tidak banyak berutang, karena:

Sumber usahanya lancar

Perputaran bisnisnya sehat

Dan gaya hidupnya tetap sederhana


Namun bila ada yang berutang kepadanya, ia sangat pemaaf. Ia mudah menghapuskan utang orang miskin, bahkan terkadang memberikan lebih dari yang mereka pinjam.

“Aku lebih bahagia melihat orang terbebas dari utang, daripada melihat hartaku bertambah.” – ucapnya suatu hari.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Mengambil Hak Umat

Walaupun kaya dan terpandang, Thalhah tidak pernah mengambil keuntungan dari kas negara. Ia membiayai jihad dan dakwah dari harta pribadinya, dan menolak bayaran dari baitul mal.

Ia tidak pernah menjabat posisi bendahara atau gubernur, karena lebih senang berdakwah dan berdagang. Namun kontribusinya kepada negara sangat besar, terutama:

Menyumbang logistik untuk pasukan Islam

Memberi modal kepada sahabat yang miskin

Menyediakan kebun dan rumah untuk tamu Nabi



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Tergiur Jabatan

Thalhah tidak tergiur jabatan meski punya pengaruh besar. Ia tidak pernah mengambil gaji dari negara. Dalam Perang Jamal, ia maju bukan karena ambisi kekuasaan, tapi karena keyakinan politik dan kecintaan pada umat.

Saat konflik pecah, Thalhah menyesal dan menarik diri dari pertempuran. Ia syahid sebagai penengah yang mengajak damai, bukan pemburu tahta.

Harta yang ia hasilkan tetap dari bisnisnya — bukan dari posisi atau fasilitas.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil, Memberi Sebelum Ditanya

Menjelang wafat, Thalhah bin Ubaidillah meninggalkan harta yang sangat banyak. Namun ia telah menyiapkan pembagiannya dengan rinci:

Warisan untuk anak dan istri

Wakaf untuk umat

Pembebasan utang orang yang berutang padanya

Pemberian tetap untuk keluarga sahabat


Menurut riwayat, ia meninggalkan:

200.000 dinar tunai

200.000 dirham perak

Kebun-kebun di Madinah dan Irak

Rumah-rumah dan properti sewa


Namun seluruh kekayaan itu dikelola bukan dengan keserakahan, tapi dengan keikhlasan.

Ia tidak membawa hartanya ke kubur, tapi mengirimnya lebih dulu ke akhirat.



Penutup: Kaya Raya, Tapi Tidak Dimiliki Dunia

Thalhah bin Ubaidillah adalah simbol bahwa kekayaan dan surga bisa berjalan beriringan, jika hati tidak dikuasai dunia.

Ia memiliki banyak,
Memberi banyak,
Tapi mengambil sedikit.

Harta tidak membuatnya sombong. Jabatan tidak membuatnya rakus. Dan surga tidak membuatnya malas berbuat.

Ia bukan hanya pebisnis cerdas, tapi dermawan yang ikhlas.

Jihad Ruhani Para Sultan Jawa: Di Antara Senjata dan Sujud Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik gegap gempita genderang perang, g...

Jihad Ruhani Para Sultan Jawa: Di Antara Senjata dan Sujud

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik gegap gempita genderang perang, gemuruh takbir, dan pekik perlawanan yang menggema dari balik benteng-benteng kesultanan di Jawa, terdapat sesuatu yang tak kasat mata—namun justru menjadi akar dari semua keberanian itu: bekal spiritual. Para sultan tak hanya berdiri sebagai pemimpin duniawi, tetapi juga sebagai imam ruhani yang memandu umat menuju kemenangan yang bermartabat, baik di bumi maupun di sisi Tuhan.

Mereka paham, penjajahan bukan sekadar penaklukan wilayah dan pengurasan sumber daya. Penjajahan adalah pengoyakan iman, penggerusan adab, dan perobekan ruh perjuangan. Maka, perlawanan mereka pun tak pernah kering dari munajat dan dzikir, dari ayat-ayat Al-Qur’an hingga butir-butir hikmah para wali.



Surat-Surat Ilahi yang Dihidupkan Sebelum Menyerbu

Dalam tiap pertemuan rahasia, ketika para panglima dan ulama berkumpul di serambi masjid kesultanan, selalu ada tilawah—lantunan suci yang membuka jalur langit. Surat Al-Anfal menjadi bacaan pokok: menyuntikkan semangat jihad, menyusun strategi, dan mengingatkan pasukan bahwa kemenangan bukan sekadar taktik, tapi karunia Allah.

Surat At-Taubah dibaca saat jiwa mulai berat—karena isinya adalah seleksi iman. Hanya mereka yang menjual dirinya kepada Allah yang layak turun ke medan laga. Di waktu malam, menjelang pergerakan, terdengar bacaan Surat Al-Fath, membasuh kecemasan dengan janji kemenangan. Dan bila pertempuran makin dekat, Surat Yasin pun mengalir sebagai pelindung ruhani, sedangkan Al-Hasyr menjadi wirid untuk membentengi pasukan dari makar musuh yang tak terlihat.



Dzikir-Dzikir yang Menyulam Hati Prajurit

Setiap malam sebelum pertempuran, kesultanan menggelar dzikir berjamaah. Ratib al-Haddad dan Ratib al-Attas menjadi alunan khas. Bukan hanya suara, tapi nafas mereka memahat keberanian. Dalam ratib itu terdapat nama-nama Allah yang menguatkan hati, ayat-ayat penjaga dari kejahatan, serta istighfar yang menjernihkan niat.

Dzikir bukan hanya repetisi suara, ia adalah pengokoh ruh jihad. Dalam malam-malam dingin di bawah langit pesisir Gresik, Banten, atau Yogyakarta, santri dan prajurit duduk bersimpuh, menggenggam tasbih, memeluk senjata, dan memantapkan diri: “Kami tidak sendiri. Allah beserta kami.”



Hizb: Perisai Batin dari Langit

Ketika pasukan kolonial datang dengan senapan, meriam, dan tipu daya, para sultan menyiapkan pasukannya bukan hanya dengan strategi militer, tapi dengan hizb—doa-doa para wali yang menjadi perisai batin.

Hizb al-Nashr, karya Imam Syadzili, menjadi andalan. Isinya seperti kabut kepercayaan yang melingkupi barisan—dzikir yang tidak hanya membakar semangat, tapi menyelimuti mereka dengan tawakal. Dalam perjalanan laut atau misi rahasia melewati perairan, dibacalah Hizb al-Bahr. Bukan karena laut menakutkan, tapi karena pasukan tahu bahwa musuh datang dari segala penjuru.



Doa Para Nabi, Lintasan Cahaya dari Sejarah

Doa Nabi Musa:

"Rabbi syrahli shadri wa yassirli amri..."
menjadi andalan para pemimpin dan juru bicara. Mereka memohon bukan hanya keberanian, tapi kejernihan logika, kelancaran lisan, dan kesabaran hati.


Sementara itu, doa Nabi Muhammad ï·º saat Perang Ahzab:

"Ya Allah, turunkanlah pertolongan, hancurkan pasukan musuh..."
dibacakan dalam malam-malam menjelang serangan kolonial, saat benteng telah mengepung, dan hanya langit yang tersisa untuk diandalkan.



Kitab-Kitab Hikmah yang Mengajarkan Jalan Terjal

Di ruang-ruang pengajian istana, para sultan duduk bersama ulama, membahas bukan strategi perang, tapi strategi membersihkan hati. Mereka membaca Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali—mengenali hakikat niat, takut akan riya, dan berani karena keyakinan.

Kitab Nashaih al-‘Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani menjadi pegangan utama dalam mendidik santri, rakyat, dan prajurit. Di dalamnya diajarkan, bahwa melawan penjajah adalah bagian dari menjaga agama dan kehormatan umat.

Sedangkan Kitab al-Hikam Ibnu Atha’illah membentuk pribadi-pribadi tahan derita:

“Jangan bergantung pada hasil. Tugasmu hanya berjuang. Hasil adalah wilayah Tuhan.”



Di Antara Takbir dan Tombak

Perlawanan para sultan di Jawa bukan sekadar sejarah tempur, tetapi sejarah ruhani. Mereka tahu, meriam bisa dibeli oleh penjajah, tapi iman tidak bisa direbut kecuali dengan kelalaian sendiri. Karena itu, mereka membekali tentaranya bukan hanya dengan pelatihan fisik, tetapi dengan dzikir yang menghujam, doa yang memeluk langit, dan ilmu yang memurnikan niat.

Maka bila mereka gugur, mereka gugur dalam sujud. Bila menang, mereka sujud dalam syukur. Karena perang yang mereka menangkan bukan hanya soal tanah, tetapi soal kehormatan langit.

"Senjata bisa patah, kuda bisa lelah, tapi ruh yang dibakar dzikir tak akan pernah mati."

Kesultanan Demak: Warisan Pertama Jihad Politik Islam di Tanah Jawa Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di ufuk sejarah Nusantara, ketika Majapahit ...


Kesultanan Demak: Warisan Pertama Jihad Politik Islam di Tanah Jawa

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

Di ufuk sejarah Nusantara, ketika Majapahit mulai meredup dan Islam mulai menyinari lembah-lembah kepercayaan rakyat, lahirlah sebuah kekuatan baru di utara Jawa. Ia bukan sekadar kerajaan. Ia adalah amanat ruhani dari para wali, sekaligus cita-cita umat untuk membentuk masyarakat yang adil dan bertauhid. Dialah Kesultanan Demak Bintoro—batu pertama dari bangunan panjang jihad Islam melawan penjajahan.



Raden Patah: Raja Santri Pendiri Demak

Didirikan sekitar tahun 1475 M oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari seorang perempuan Muslim Tionghoa, Kesultanan Demak menjelma menjadi pusat kekuatan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah bukan sekadar raja; ia adalah murid Wali Songo, dididik dalam hikmah dan keberanian. Ia memulai sesuatu yang belum pernah ada di Jawa: kekuasaan yang berakar dari dakwah, bukan sekadar pedang.

Dari rahim Demak, lahirlah tokoh-tokoh agung seperti:

Pati Unus (Adipati Yunus), sang syuhada laut yang berani menantang Portugis di Malaka;

dan Sultan Trenggana, pemimpin penaklukan yang membawa Islam ke Jawa Timur, menumbangkan sisa-sisa kekuasaan Hindu feodal Majapahit.



Wazir Para Wali: Politik dan Hikmah

Demak tidak bergerak sendiri. Di balik layar kekuasaan, berdiri para ulama sebagai wazir—penasihat ruhani dan strategi. Sunan Kudus adalah salah satu tokoh kunci. Ia bukan hanya ulama, tapi juga arsitek hukum dan strategi militer. Di tangannya, keilmuan bertemu kebijakan, dan fatwa menjadi bagian dari siasat negara.

Sunan Giri, pemimpin Giri Kedaton, berperan sebagai raja spiritual seluruh Jawa. Ia bukan hanya pendukung Demak, tapi penjaga akhlak kekuasaan Islam. Giri memberi restu, sementara Demak mengangkat panji.



Jihad Laut dan Darat: Pati Unus dan Trenggana

Ketika Portugis menancapkan kuku kolonialnya di Malaka, Demak tidak tinggal diam. Pati Unus, dalam usia muda, memimpin ribuan armada kayu melawan meriam Portugis. Dalam dua ekspedisi (1511 dan 1521), ia membuktikan bahwa Islam Jawa bukan hanya untuk dakwah, tapi juga untuk perlawanan.

Meski gugur, ia menjadi syuhada pertama perlawanan Islam Nusantara terhadap penjajahan Eropa.

Sementara itu, Sultan Trenggana menaklukkan sisa-sisa Majapahit, menyatukan pesisir utara, dan memperluas pengaruh Islam dengan pendekatan militer dan budaya. Di tangannya, Islam menjadi kekuatan dominan di Jawa.



Para Wali: Ulama yang Mengangkat Pedang dan Pena

Wali Songo bukan hanya menyebar Islam dengan tembang dan wayang, tapi juga mendidik bangsawan dan rakyat menjadi pejuang sejati. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan lainnya, mengajar bahwa jihad bukan hanya melawan musuh dengan pedang, tapi juga membersihkan diri, melawan nafsu, dan menegakkan keadilan.

Mereka menanamkan semangat bahwa berjuang menegakkan kalimat Allah adalah bagian dari iman.

“Islam harus dibela dengan pena, lisan, dan pedang.” – Sunan Giri
“Perang ini bukan hanya untuk tanah, tapi untuk menegakkan kalimat Allah.” – Sunan Kudus



Bekal Spiritual: Dzikir Sebelum Teriakan Perang

Sebelum prajurit Demak mengangkat senjata, mereka menunduk dalam dzikir. Hizb al-Bahr dan Hizb al-Nashr mengalir di lidah para santri dan prajurit. Surat Al-Anfal dan Al-Fath dibaca untuk menguatkan jiwa dan melunakkan hati dari kesombongan.

Ulama memimpin shalat hajat dan dzikir berjamaah. Mereka tahu, kekuatan militer hanyalah alat; kemenangan adalah karunia dari Allah.



Tentara dari Pesantren dan Pesisir

Tentara Demak lahir dari pondok-pondok pesantren dan desa-desa pesisir. Mereka adalah santri yang bisa menghafal Al-Qur’an dan menebas musuh. Para eks prajurit Majapahit yang masuk Islam menjadi pelatih militer. Taktik darat dan laut diajarkan — dari medan terbuka hingga pertempuran kapal.

Pasukan dibagi ke dalam satuan berdasarkan mukim dan kiai. Setiap kelompok kecil punya pemimpin ruhani dan militer. Mereka bukan hanya prajurit, tapi juga murid.



Dana dan Senjata dari Umat

Dana perang berasal dari:

1. Wakaf dan infak saudagar Muslim,
2. Harta kerajaan,
3. Pajak pelabuhan Jepara,
4. dan perdagangan rempah-rempah.


Senjata diperoleh dari:
1. Pandai besi lokal: keris, tombak, pedang.
2. Senjata api dan meriam: dibeli dari pedagang Arab, Gujarat, dan Tionghoa Muslim.
3. Rampasan dari Portugis.
4. Demak dan Jepara menjadi pusat produksi senjata dan logistik perlawanan laut.



Jaringan Nusantara dan Dunia Islam

Demak menjalin aliansi dengan:

1. Cirebon dan Banten: saudara seperjuangan dari ajaran Wali Songo.
2. Giri Kedaton: sebagai poros ruhani dan fatwa.
3. Saudagar Arab, Gujarat, dan Tionghoa Muslim: sebagai penghubung teknologi dan informasi.

Dukungan moral bahkan datang dari Kesultanan Mamluk Mesir dan Khilafah Utsmani, yang mendengar seruan jihad dari timur jauh.



Warisan Bagi Nusantara

Perjuangan Demak tidak berhenti ketika istananya runtuh. Sebaliknya, semangatnya hidup dalam:

1. Kesultanan Banten, Mataram, dan Cirebon.
2. Pesantren-pesantren Jawa yang mengajarkan jihad ruhani dan intelektual.
3. Gerakan perlawanan abad 17–20 yang meneladani model jihad Demak: spiritual, terorganisir, dan berwawasan.

Kisah perang dan dakwah Demak hidup dalam tembang, hikayat, dan khutbah Jumat rakyat Jawa.



Dari Tanah Demak, Islam Bangkit Melawan

Kesultanan Demak bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang jalan baru perlawanan Islam: dengan ilmu, dengan iman, dan dengan kesadaran sejarah. Ia tidak sekadar menggantikan Majapahit, tapi meletakkan dasar peradaban Islam di bumi Nusantara.

"Demak membuktikan bahwa negara bisa dibangun dari mimbar dan mihrab, bukan dari ambisi kekuasaan. Bahwa jihad adalah tangga menuju keadilan, bukan alat balas dendam."

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (475) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)