Tentara yang Diperas oleh Negaranya Sendiri
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Militer Israel (IDF) kerap dipuji sebagai pasukan paling terlatih dan tangguh di kawasan. Tapi sejak perang Gaza meletus pada Oktober 2023 dan berlarut hingga tahun 2025, institusi ini menghadapi tantangan internal yang tak kalah berat dari serangan eksternal: krisis moral, kelelahan massal, dan retaknya kepercayaan dari dalam.
Kebijakan darurat bernama Arahan 77, yang memperpanjang masa dinas tentara aktif, bukan hanya memperlihatkan krisis logistik tempur, tetapi juga menyingkap kenyataan pahit: tentara-tentara Israel kini diperas oleh negaranya sendiri, di tengah perang yang kian kehilangan arah dan makna.
Penyebab Kekurangan Tentara di Tubuh IDF
1. Perang di Banyak Front
IDF kini tak hanya menghadapi Hamas di Gaza, tapi juga serangan dari Hizbullah di utara, serta operasi keamanan di Tepi Barat.
Ketegangan dengan Iran dan proksi-proksinya menambah beban kesiapsiagaan militer secara nasional.
2. Perang Gaza yang Berkepanjangan
Sejak Oktober 2023, ribuan tentara dikerahkan ke Gaza dalam operasi darat yang berat dan terus menerus.
Banyak pasukan mengalami cedera fisik dan trauma psikologis karena intensitas pertempuran dan lingkungan urban yang mematikan.
3. Gelombang Cedera dan Gangguan Mental
Laporan internal menyebut ribuan tentara mengalami PTSD, kelelahan ekstrem, hingga bunuh diri.
Banyak dari mereka tidak layak tempur, tapi tetap dimobilisasi kembali karena kekosongan unit.
4. Eksodus Diam-diam ke Luar Negeri
Terdapat laporan bahwa sejumlah pemuda Israel memilih keluar negeri, menunda dinas, atau menetap di luar untuk menghindari panggilan wajib militer.
Arahan 77: Solusi Darurat yang Jadi Masalah Baru
Pada April 2024, militer Israel menerbitkan Arahan 77 (Hora’at 77)—sebuah kebijakan darurat yang:
Memperpanjang wajib militer prajurit tempur selama 4 bulan.
Berlaku bagi mereka yang sudah menjalani nyaris 3 tahun dinas aktif.
Dilakukan di bawah status Tzav 8 (mobilisasi darurat terbuka).
Tidak memiliki landasan undang-undang yang tegas, dan dikeluarkan sebagai instruksi administratif dari Direktorat Tenaga Kerja IDF.
Dampak Langsung Arahan 77
1. Terhadap Jiwa dan Moral Tentara
Banyak prajurit mengalami keletihan fisik dan mental ekstrem.
Ada laporan prajurit melukai diri sendiri demi cuti, atau menolak kembali dengan risiko penjara.
Rasa dikhianati dan kehilangan makna tugas mulai meluas di unit-unit lapangan.
2. Terhadap Keluarga Prajurit
Para ibu, ayah, istri, dan anak-anak hidup dalam ketidakpastian dan tekanan emosional tinggi.
Banyak keluarga mengalami ketidakstabilan ekonomi, karena anggota keluarganya tak kunjung pulang atau tidak mampu bekerja pasca tugas.
Organisasi Mother Awake melaporkan ratusan pengaduan dari keluarga prajurit yang kelelahan dan kehilangan hak mereka.
3. Terhadap Ketersediaan Tenaga Kerja Nasional
Penundaan pemulangan tentara menyebabkan terhambatnya masuk tenaga muda ke sektor sipil.
Generasi muda tak bisa melanjutkan kuliah, bekerja, atau membangun kehidupan setelah dinas.
Ini bisa mengganggu ekonomi jangka panjang, terutama dalam sektor teknologi dan pendidikan tinggi yang banyak digerakkan oleh lulusan IDF.
Dampak Terhadap Institusi IDF Sendiri
Moral pasukan menurun drastis, dengan banyak unit mulai retak dari dalam.
Kepercayaan terhadap pimpinan militer mengalami penurunan tajam, bahkan dari kalangan Zionis religius sayap kanan yang biasanya sangat loyal.
Rekrutmen jangka panjang terancam, karena semakin banyak pemuda Israel mulai enggan menjadi bagian dari IDF setelah melihat bagaimana para seniornya “diperas” tanpa jeda dan tanpa penghargaan.
Tentara Tak Lagi Dipimpin, Tapi Diperas
Arahan 77 adalah simbol dari negara yang kehabisan opsi, lalu memeras tentara sendiri. Dalam narasi nasionalis, ini dibungkus sebagai "pengabdian tak kenal lelah". Tapi bagi mereka yang hidup di dalamnya, ini adalah bentuk eksploitasi atas nama patriotisme.
Ketika negara menolak memberi ruang pemulihan bagi tentaranya, ketika keluarga tak tahu kapan anaknya pulang, dan ketika pemuda-pemudi mulai kehilangan keinginan untuk ikut membela negara—maka bukan hanya kelelahan yang melanda, tapi krisis kepercayaan yang mengakar.
Dan kepercayaan yang rusak, lebih sulit diperbaiki dibanding kota yang hancur akibat perang.
0 komentar: