Sejarah Kamp Konsentrasi: Penjajah Israel Ingin Membuatnya Lagi di Depan Kamera Dunia
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Ketika Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengumumkan rencana pembangunan "kota kemanusiaan" di Rafah—zona yang dipagari kawat berduri, dijaga militer, dan menampung lebih dari dua juta warga Palestina—banyak ahli hukum, sejarawan, dan pegiat kemanusiaan langsung mengenalinya dengan satu istilah yang telah lama dikutuk dunia: kamp konsentrasi.
Apakah Israel telah mewujudkannya? Secara formal, kamp itu belum berdiri secara utuh. Namun semua elemen dasarnya sudah ada:
1. Ratusan ribu warga Palestina telah dipaksa pindah dari utara ke selatan Gaza, ke daerah sempit seperti al-Mawasi dan Rafah;
2. Wilayah tersebut dikontrol ketat oleh militer, dengan pembatasan gerak dan perimeter bersenjata;
3. Distribusi bantuan dan pemantauan dikendalikan sepihak;
4. Dan yang paling berbahaya: munculnya narasi tentang "pemindahan sukarela ke luar negeri", eufemisme lama dari pembersihan etnis yang dibungkus janji kemanusiaan.
Dengan demikian, Israel sedang membangun kamp konsentrasi modern—bukan di gurun yang terpencil, tetapi di bawah sorotan kamera dunia, dengan jargon diplomasi dan klaim "hak membela diri."
Nazi, Libya, dan Aljazair: Tiga Cermin Luka
1. Nazi Jerman: Ketika Keteraturan Menjadi Mesin Kematian
Di bawah Adolf Hitler (1933–1945), kamp konsentrasi menjadi lambang genosida sistematis. Awalnya dibangun untuk menahan lawan politik, kamp-kamp itu berubah menjadi mesin pembunuh massal:
1. Orang Yahudi, Roma, komunis, hingga penyandang disabilitas ditahan, dipaksa bekerja, disiksa, lalu dibunuh.
2. Auschwitz-Birkenau menjadi ikon horor dunia: lebih dari 1 juta jiwa melayang di dalamnya.
3. Kamp seperti Dachau, Treblinka, dan Sobibor menunjukkan bahwa wajah keteraturan bisa menyembunyikan kekejaman yang rapi.
Kamp konsentrasi Nazi bukan hanya soal angka, tapi tentang bagaimana sebuah sistem politik membunuh dengan justifikasi hukum dan logistik.
2. Italia di Libya: Penjajahan yang Mengeringkan Kehidupan
Pada 1920-an dan 1930-an, fasis Italia di bawah Benito Mussolini membangun kamp konsentrasi di Cyrenaica untuk membungkam perlawanan rakyat Libya yang dipimpin Umar Mukhtar.
Lebih dari 100.000 warga sipil dikumpulkan ke kamp-kamp di gurun.
Mereka dijauhkan dari mata dunia, disiksa kelaparan, dan dibunuh secara perlahan.
Sekitar 50.000 jiwa—kebanyakan wanita dan anak-anak—tewas di dalamnya.
Tujuan utamanya jelas: mengosongkan tanah Libya dari rakyatnya, lalu menggantinya dengan pemukim Italia.
3. Prancis di Aljazair: Kamp Konsolidasi yang Merenggut Martabat
Selama Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962), kolonial Prancis menggunakan taktik baru: kamp konsentrasi tanpa gas, tapi tetap mematikan.
Lebih dari 2,5 juta warga Aljazair dipaksa pindah ke camps de regroupement (kamp konsolidasi). Mereka diisolasi dari para pejuang, dipantau, dan dikontrol. Di balik dalih "pengamanan", kamp-kamp ini memutus nadi kehidupan sosial rakyat Aljazair.
Kamp ini tidak menggunakan kamar gas, tetapi tetap menyekap harapan dan martabat jutaan manusia.
Israel dan Pola Lama yang Diulang
Hari ini, taktik serupa sedang dijalankan dengan label yang lebih modern:
1. Pemindahan paksa disebut evakuasi;
2. Kamp pengurungan disebut zona kemanusiaan;
3. Penghapusan identitas dan hak bergerak disebut prosedur keamanan.
Yang berubah hanya istilah. Yang tetap sama adalah esensinya: penahanan massal, penghapusan ruang hidup, dan pembersihan politik.
Sejarah mengajarkan bahwa kamp konsentrasi tidak pernah dimulai dengan kamar gas. Ia selalu dimulai dengan:
1. Pembatasan gerak;
2. Pengumpulan paksa;
3. Deradikalisasi paksa;
4. Dan penghapusan bertahap terhadap eksistensi suatu kelompok.
Rafah: Kamp Konsentrasi yang Tidak Tersembunyi
Jika Nazi melakukannya dalam diam, Israel melakukannya dalam terang. Dunia tahu. Kamera menyala. Jurnalis mencatat. Akademisi mengkritik.
Tapi tindakan tegas tetap nihil.
Dunia kini menyaksikan kejahatan yang dulu dikutuk, diulang dengan narasi baru—dan diam yang memekakkan.
Saat Kata “Kemanusiaan” Dipakai untuk Menyembunyikan Kekejaman
Israel menyebutnya “zona kemanusiaan”. Tapi sejarah tahu, itu hanya topeng. Nama sejatinya tetap sama:
kamp konsentrasi.
Maka pertanyaan kita hari ini bukan sekadar:
“Apakah Israel telah membangun kamp konsentrasi di Gaza?”
Melainkan:
“Beranikah dunia menyebutnya apa adanya—dan menghentikannya sebelum terlambat?”
“Yang tidak belajar dari sejarah akan mengulanginya. Tapi yang mempelajari sejarah dan tetap diam—merekalah yang lebih bersalah.”
0 komentar: