Tentara yang Pulang Tanpa Jiwa: Trauma Gaza dan Runtuhnya Nurani Militer Israel
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Perang bukan hanya tentang medan tempur, strategi militer, atau peta kemenangan. Ia juga adalah soal batin manusia—tentang bagaimana seorang prajurit memaknai senjata yang ia bawa, peluru yang ia lepaskan, dan tubuh-tubuh yang ia tinggalkan di belakang.
Selama hampir dua tahun agresi di Gaza, Israel mengklaim sedang “memerangi terorisme”. Namun apa jadinya jika dalam perang itu, yang paling hancur bukan hanya kota musuh, tapi juga jiwa tentara Israelnya sendiri?
Mereka Pulang, Tapi Tak Jadi Pahlawan
Dalam banyak konflik, prajurit yang pulang dari medan perang disambut sebagai pahlawan. Tapi tidak demikian halnya dengan sebagian tentara Israel yang kembali dari Gaza.
Alih-alih merasa menang, mereka pulang dengan beban. Bukan hanya luka fisik, tapi juga luka batin. Mereka membawa pulang bayangan tubuh anak-anak di bawah reruntuhan, suara tangisan ibu yang kehilangan, dan kesunyian kota yang diluluhlantakkan oleh perintah mereka sendiri.
Banyak dari mereka tak ingin disebut “pahlawan”. Sebab jauh di dalam diri, mereka tahu bahwa yang mereka lakukan bukan sepenuhnya pembelaan. Mereka mulai bertanya: apakah ini benar-benar perang melawan terorisme, atau sekadar penghancuran besar-besaran terhadap rakyat yang nyaris tak punya daya?
Enggan Kembali ke Medan Perang
Dalam laporan-laporan psikologis dan testimoni yang beredar, sejumlah prajurit menyatakan enggan kembali ke Gaza. Bukan karena takut akan peluru, tetapi karena tak ingin mengulang trauma yang sama.
Sebagian menderita PTSD. Sebagian mengalami mimpi buruk setiap malam. Sebagian lain menarik diri dari masyarakat, tak tahan menghadapi pertanyaan anak-anak mereka sendiri: "Ayah, apakah Ayah membunuh orang-orang di sana?"
Di sisi lain, dunia yang kian sadar akan tragedi kemanusiaan di Gaza mulai menciptakan tekanan sosial dan citra buruk terhadap para prajurit yang terlibat. Apa yang dulu dianggap sebagai tugas negara, kini dilihat oleh sebagian sebagai keterlibatan dalam operasi brutal terhadap warga sipil.
Protokol Hannibal: Doktrin Tanpa Nurani
Sebagian penyebab keretakan moral ini bisa dilacak dari kebijakan internal militer Israel yang dikenal sebagai Protokol Hannibal.
Protokol ini secara prinsip menyatakan: lebih baik seorang tentara mati dalam penculikan daripada hidup sebagai tawanan. Maka, jika seorang prajurit IDF diseret oleh musuh, pasukan di sekitarnya boleh menembak atau membom kendaraan atau lokasi penculikan, meskipun berisiko membunuh tentara itu sendiri—dan tentu saja siapa pun yang ada di sekitarnya.
Dalam praktiknya, protokol ini sering kali menyebabkan serangan brutal terhadap kawasan sipil, karena diduga menyembunyikan atau menjadi jalur evakuasi tawanan. Sebuah operasi militer bisa berubah menjadi hujan bom yang menyapu anak-anak, perempuan, hingga warga sipil yang tak tahu-menahu.
Dampak Psikologis: Ketika Tentara Kehilangan Hati
Apa yang terjadi jika seseorang diperintahkan membunuh tanpa sempat menilai siapa yang benar-benar bersalah? Apa akibatnya bagi otak, jiwa, dan nurani ketika seorang prajurit menyadari bahwa pelurunya menghancurkan keluarga, bukan kombatan?
Secara ilmiah, pengalaman seperti itu meninggalkan luka biologis dalam sistem saraf. Studi tentang prajurit yang terlibat dalam tindakan tak bermoral menunjukkan kerusakan pada area otak yang berkaitan dengan empati, pengendalian emosi, dan keseimbangan psikologis.
Banyak dari mereka mengalami:
1. Rasa bersalah kronis.
2. Delusi dan mimpi buruk berulang.
3. Ketidakmampuan menjalin hubungan sosial setelah perang.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bukan hanya merusak individu, tapi juga menurunkan daya tempur secara keseluruhan. Prajurit yang hancur mentalnya tidak lagi bisa berpikir jernih, mudah panik, dan rentan dalam situasi tempur yang menuntut ketenangan sehingga mudah terjebak dan dijebak.
Terjebak di Gaza, Tewas oleh Diri Sendiri
Prajurit yang kehilangan nurani bukan menjadi lebih kuat, melainkan lebih rapuh. Dalam perang darat di Gaza, tentara IDF menghadapi perlawanan sengit dari kelompok yang secara perlengkapan jauh lebih lemah. Namun jumlah korban tewas dari pihak Israel terus bertambah.
Mengapa?
Karena prajurit yang kehilangan arah moral, tak punya kekuatan batin untuk bertahan dalam situasi sulit. Mereka menjadi mesin tanpa tujuan, bertindak reaktif, dan mudah terjebak dalam manuver musuh.
Di sinilah kemenangan justru berbalik menjadi kehancuran: ketika kekuatan militer yang besar tidak lagi dibarengi dengan ketahanan mental dan legitimasi moral.
Krisis Militer yang Tak Terlihat di Layar
Gempuran udara, serangan artileri, dan invasi darat mungkin bisa ditonton lewat siaran langsung. Tapi ada perang lain yang tak tampak: perang di dalam diri para prajurit. Perang melawan rasa bersalah, hancurnya kepercayaan diri, dan kehampaan makna dari sebuah kemenangan.
Dan ketika prajurit tidak lagi percaya pada tujuan perang, ketika senjata mereka berat bukan karena logamnya tapi karena beban jiwanya—maka sejatinya, sebuah negara tengah kehilangan kekuatan tempurnya dari dalam.
Yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh berseragam yang tak tahu lagi apa yang mereka pertahankan.
0 komentar: